**“Ibu, ke mana bayiku?”Soraya tersentak mendengar pertanyaan itu. Ia mengulurkan tangan untuk mengusap lembut kening menantunya seraya mengulas senyum.“Sudah lahir, Nak. Bayinya sudah kamu lahirkan.”Kedua netra sayu itu mengerjap. Kiran menatap lekat kepada Soraya dengan wajah tidak percaya. “Su-sudah lahir, Bu?”“Benar.”Perempuan muda itu berusaha menggeser posisi, hendak duduk. Namun sengatan rasa nyeri yang hebat membuatnya seketika mendesis dan menghentikan niatnya.“Jangan, Ki. Jangan dipaksa buat gerak-gerak dulu. Kamu baru aja sadar.”“Tapi bayinya, Bu? Aku mau lihat bayiku. Di mana dia, Bu? Apa dia baik-baik saja?”Soraya menahan pundak yang lebih muda dan mendorongnya dengan lembut agar kembali bersandar di atas bantal. “Bayinya selamat, Nak. Selamat dan terlahir dengan sempurna.”“Se-selamat?”Soraya kembali tersenyum, menatap ke dalam iris gelap yang mulai berpendar oleh air mata. Sementara Kiran masih terbelalak tak percaya. “Selamat. Hanya saja masih harus dalam pe
**Sudah begitu larut malam saat Karan membuka pintu apartemen. Sekitar pukul sebelas kurang lebih. Tanpa menyalakan lampu sehingga tempat itu temaram, ia menghempaskan tubuh di atas sofa yang dingin.Selama beberapa saat, hanya terus diam begitu tanpa memiliki niat untuk melakukan apapun, sama sekali. Perlahan kedua pandangan pada netra gelapnya menyapu sebuah bingkai besar yang diletakkan di dinding, tepat di hadapan tempatnya duduk.Foto pernikahan dirinya dengan Nevia. Lantas, pria itu memandang kalender meja kecil yang diletakkan di meja sudut.Sudah berapa lama waktu berlalu sejak ia menikah dengan perempuan yang ia cintai itu? Dua atau tiga bulan waktu telah berlalu.Mendesah pelan, ia meraih ponsel dari dalam saku celana dan mendial nomor yang ia simpan dengan nama My Wife.Beberapa kali dengung nada sambung sebelum panggilannya diterima dari seberang sana oleh suara parau yang kedengarannya sedang mengantuk.“Halo, Sayang?”“Kenapa, Kar?”Kenapa? Karan mengernyit dalam. Sejuj
**“Kiran, Axel baik-baik saja, kan?”Soraya berjalan mendekat saat pagi ini Kiran sedang menggendong sang putra sembari berjemur di antara rumpun-rumpun mawar di teras depan.“Semalam Ayah bilang Axel nangis waktu tengah malam. Ibu nggak dibangunin sama Ayah, masa. Padahal Axel-nya dibawa ke kamar.”Kiran tersenyum. “Dia kebangun waktu tengah malam, Bu. Tiba-tiba aja nangis tanpa sebab. Aku nggak enak banget, aku udah bilang sama Ayah, jangan bawa Axel ke kamar, padahal.”Wanita ayu itu tersenyum manis mendengar penuturan sang menantu. “Nggak enak segala, kayak sama siapa aja. Justru Ibu yang minta maaf karena nggak denger suara Axel.”“Dia langsung tenang lagi pas digendong sama Ayah. Dibawa Ayah ke kamar sampai dua jam. Kalau aku nggak ambil kembali, pasti jadinya tidur sama Ayah Ibu sampai pagi. Tadi aja pas Ayah pamit berangkat ke kantor, udah langsung nangis lagi, nggak mau ditinggalin.”Kali ini, wanita itu tampak menatap dengan trenyuh. Memang si bayi masih terlihat rewel hing
**Kiran benar-benar tidak tahu, apakah alasannya ingin bertemu dengan Karan adalah karena Axel atau bukan. Ataukah karena egoisnya sendiri, yang tidak bisa merindukan pria itu diam-diam, sehingga harus melibatkan orang lain. Nah, tapi, sejak semalam ketika Kiran katakan kepada putranya bahwa hari ini Axel akan bertemu dengan Papa, bayi yang berusia hampir empat bulan itu seketika berhenti rewel dan bisa tidur dengan nyenyak.Ah, dan satu lagi, Kiran berangkat sendirian. Hanya berdua dengan sang putra, sebab Soraya dan Herman sedang melayat ke rumah salah satu kerabat.“Sebenarnya Ayah nggak mau izinin,” gerutu Herman dengan wajah tampak sangat tidak senang, ketika hendak berangkat bersama Soraya pagi ini. Ia sudah memakai kemeja dan celana hitam. “Kenapa nggak besok aja, sih? Biar Ayah sama Ibu bisa antarkan?”Kiran hanya tersenyum. “Aku udah terlanjur janji sama Axel, Yah. Takutnya nanti malah jadi tantrum kayak kemarin-kemarin kalau aku ingkar janji. Ayah kan tahu dia sensitif bang
**“Karan?”Kedua mata Kiran sontak melebar kala ia melihat perempuan itu berdiri di ambang pintu kafe. Nevia, ya. Sekarang ia sedang mengayun langkah mendekat, menghampiri suaminya yang masih belum sempat ia membuat pergerakan apapun.“Nev?”“Kamu lagi apa di sini sama dia?” Nevia menunjuk Kiran dengan terang-terangan. Wajahnya biasa saja, tidak menyiratkan emosi apapun. Namun, tetap saja Kiran yang merasa rikuh sendiri. Rasanya seperti sedang bermain belakang dengan suami orang. Padahal secara harfiah, status keduanya masih sama sampai detik ini.“Oh, itu, Nev ….”“Nggak ada. Aku cuma kebetulan lagi makan siang, terus dia datang.”“Dia datang?” Nevia memutar pandangan dengan heran kepada Kiran yang masih kebingungan di tempat. “Kamu sengaja dateng ke sini buat ketemu sama Karan, begitu?”Kiran mengernyit, untuk sesaat ia merasa akan merendah. Namun selanjutnya, ia pikir mengapa harus melakukan hal itu?“Ya, aku sengaja datang.” Begitulah akhirnya yang Kiran ucapkan. Ia memandang lur
**Soraya dan Herman bertukar pandang. Mendadak saja atmosfer kurang menyenangkan melingkupi ruang makan itu, setelah Kiran berkata dengan ekspresi agak serius. Soraya seperti bisa merasakan apa yang akan menantunya katakan bukanlah hal yang baik. Namun, wanita itu tetap menanggapi dengan senyum agar suasana tidak terasa semakin suram. Ia pikir, mungkin ini hanya perasaannya saja.“Mau sampaikan apa, Ki? Jangan serius begitu, dong. Ibu sama Ayah jadi tegang sendiri ini bawaannya kalau kamu begitu.”Kiran tersenyum, meski tampak jelas pendar luka memantul dari kedua obsidiannya yang berkilau. Lapisan bening sudah tampak di sana bahkan sebelum Kiran sempat mengatakan sesuatu.“Ibu, Ayah ….” Perempuan itu masih sempat mengambil jeda untuk menarik napas. “Aku minta izin untuk pindah dari sini.”Hening setelahnya. Soraya setengahnya tidak mempercayai pendengarannya. Wanita itu meraih gelas berisi air minum dan meneguk separuh isinya sebab tenggorokannya yang tiba-tiba saja terasa sangat ke
**Ini hari minggu. Karan mengerjapkan mata setelah terbangun dari tidurnya. Tetap berada pada posisi awal, berdiam diri di atas ranjang dan tidak berniat melakukan apapun lagi. Seharusnya hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan jika saja ia bisa melewatkannya bersama Nevia. Entah memasak bersama, mungkin berjalan-jalan ke taman kota, atau bahkan hanya bermalas-malasan saja di rumah. Namun sayang, perempuan itu lagi-lagi tidak ada bersamanya. Karan tidak tahu. Sampai di titik ini, ia rasa sudah tidak punya gagasan lagi tentang istrinya itu.Setengah tahun berlalu semenjak hari pernikahan itu, dan sampai detik ini, Karan masih perjaka. Ya, setidaknya seperti itulah yang ia rasakan. Sebab ia sama sekali belum pernah menyentuh istrinya seujung kuku pun. Nevia selalu memiliki seribu satu alasan untuk menolak. Membuat Karan frustasi saja.“Aku bisa aja memaksa dia atau menggunakan kekerasan, tapi aku nggak mau seperti itu. Bagaimanapun, Nevia adalah perempuan yang aku sayangi. Aku ing
**“Tapi kamu udah janji, Nev. Ini udah satu minggu sejak kamu janji. Sebenernya ada apa, sih? Apa yang kamu sembunyikan?” Karan berucap dengan emosi yang nyaris tidak bisa ia tahan. Menatap lekat kepada istrinya yang tampak salah tingkah sendiri. “Aku masih harus ketemu klien sebentar, Kar. Sebentar kok, nggak akan lama. Setelahnya, aku pasti langsung pulang ke apartemen. Aku janji.”“Klien? Klien yang mana lagi? Hari ini kan nggak ada jadwal kunjungan sama sekali. Jangan mengada-ada.”“Aku nggak mengada-ada. Memang janjinya mendadak aku approve sore ini.”Karan mendesis. Ingin rasanya ia luapkan emosinya di sana saat itu juga kalau saja ia tidak ingat masih berada di ruangan kantor. Memang sudah tak ada pegawai lain yang tinggal selain dirinya dengan Nevia, namun CCTV yang berada di setiap sudut ruang tengah mengawasinya dengan sangat jelas.“Kar, aku janji akan temenin kamu di apartemen sore ini. Tapi aku harus pergi dulu sebentar. Kamu pulang duluan, oke?”Tak ada yang bisa Karan