**“Ibu!”Soraya meraih sosok di balik pintu itu tanpa banyak berpikir. Mendekapnya erat-erat dan membiarkannya menumpahkan tangis penuh kepedihan di sana. Sementara itu sang putra yang masih pula tak habis pikir dengan apa yang terjadi, hanya mendengus dan kembali ke lantai bawah, membawa perasaan kesal. Tak percaya bahwa ibunya menyeretnya kembali ke rumah hanya untuk bertangis-tangisan dengan seseorang yang ia sebut menantu.“Kiran, apa yang terjadi?” Soraya mengusap air mata yang masih berderai membasahi pipi perempuan muda itu. Menarik tangannya untuk masuk dan duduk berdua di atas ranjang.“Mas Karan … sepertinya udah ingat semuanya, Bu.” Kiran menjawab dengan suara bergetar. Sulit untuknya menahan tangis yang sedari semalam tak habis-habis itu. Ia menggeleng lemah.“Gimana bisa begitu? Apa sesuatu terjadi? Dari kapan dia begitu, Kiran?”“Kemarin pagi waktu berangkat kerja, dia hampir kecelakaan. Mobilnya hampir ketabrak. Dia nggak apa-apa, tapi kepalanya kebentur setir.” Kiran
** “Istrimu sedang hamil.” Selama beberapa saat selanjutnya, keheningan menyelimuti ruangan itu. Karan tampak tertegun dengan kalimat yang ayahnya ucapkan, namun tak menimpali dengan kata apapun. Hanya terdengar satu dua kali isak kecil Kiran yang tersisa. Perempuan itu menunduk dalam, tidak berani memandang sang suami untuk melihat bagaimana responnya atas kata-kata sang ayah mertua barusan. “Hamil?” Hingga kemudian suara Karan terdengar, disertai dengus tawa tak percaya. “Ayah bilang dia hamil?” “Karan, tolong–” “Jadi apa urusanku kalau dia hamil, Ayah?” “Karan, astaga!” Tersentak kaget, Kiran sama sekali tidak mengira jika suaminya akan berkata seperti itu. Hatinya sudah cukup perih dengan segala yang terjadi sejak hari kemarin, namun pria ini masih terus saja menambah rasa sesaknya. “Benar kan, Ayah? Apa hubungannya denganku kalau dia hamil. Kalian tahu kalau aku nggak pernah suka sama dia, kan?” “Karan, itu anakmu! Bisa-bisanya kamu ngomong begitu!” Soraya sudah habis sa
**Soraya benar. Percuma saja Kiran menunggu. Beberapa hari berlalu dalam suasana yang sama persis dengan hari-hari awal ia menikah. Karan hanya pulang ke rumah untuk tidur dan menukar pakaian. Setelahnya, ia akan kembali menghilang entah ke mana. Bahkan pria itu mengembalikan sedan putih milik sang ayah, sebab kini telah memakai sebuah SUV baru. Entahlah, bisa saja pemberian dari Nevia. Hanya sebuah mobil tidak akan mengurangi harta keluarga perempuan itu seujung kuku pun.Hari ini Kiran pulang ke rumah untuk memeriksa keadaan, mungkin ada sesuatu yang bisa ia kerjakan di sana. Meski rasanya itu sama saja dengan menuang air garam ke atas luka. Rumah itu penuh kenangan dan aroma cinta yang sempat suaminya sebarkan beberapa waktu silam.Nah, namun entah kebetulan atau apa, ternyata bersamaan dengan itu, Karan juga sedang pulang. Pria itu baru saja datang membawa dua hal yang membuat perasaan Kiran seperti ditikam belati.Mobilnya yang baru, serta seorang Nevia Angeline di dalamnya.“M-
**“Kamu serius, aku boleh tinggal di sini?”Karan mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat yang baru saja ia buka pintunya. Mewah, kesan pertama yang melekat ketika ia mematai tempat tersebut.“Tentu saja, Kar. Apartemen ini punyaku, kamu boleh pakai kapanpun kamu mau.” Nevia tersenyum lebar. Ia memeluk sekilas pria rupawan itu dari samping.“Papa kamu gimana? Apa nggak akan ngomong apa-apa?”“Papa?” Nevia terlihat sedikit berpikir sebelum menjawab. “I’ts okay, nggak perlu dipikirin.”Gadis dua puluh tiga tahun itu melenggang dengan santai, menuju ruang agak dalam sembari menenteng paperbag berisi beberapa baju yang tadi Karan ambil dari rumahnya. Nah, sementara itu Karan justru terdiam. Menghela napas sebelum menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Karan pikir ini agak … bagaimana mengatakannya?“Kenapa malah ngelamun di situ? Kamu mandi, gih. Terus istirahat, ya. Mau makan, nggak? Aku pesenin sesuatu kalau kamu mau.”Tersenyum, Karan merentangkan tangan untuk meminta gadis kesayanga
**Kiran membasuh wajahnya dengan air dingin sebanyak mungkin. Membiarkan rasa sejuk menenangkan dirinya setelah dilanda rasa mual hebat. Ia menahan tubuh dengan mencengkeram sisi wastafel dengan kedua tangan. Ini kesekian kalinya dirinya muntah-muntah hari ini. Tubuhnya lemas sebab terlalu banyak cairan yang terbuang.“Kiran?” Soraya memanggil dari luar kamar mandi, wanita itu lantas masuk dan menatap khawatir kepada menantu kesayangannya.“Muntah lagi, ya?”Mengangguk, Kiran mencoba tersenyum walau satu sisi kepalanya sedang berdenyut nyeri. “Nggak apa-apa, Bu. Ini kan normal. Semua orang hamil juga pasti begini, kan?”“Tetap aja khawatir, kamu nggak bisa makan apa-apa dari pagi.”Benar, Kiran menelan salivanya yang terasa pahit. Sejak pagi apapun yang ia telan terpaksa harus keluar kembali sebab mual yang tidak bisa ia atasi.“Apa kita perlu ke dokter, Nak? Kita periksakan aja, yuk.”Nah, dokter kandungan juga salah satu tempat yang berusaha Kiran hindari, meski agaknya itu tidak m
**“Berbahagialah, Mas. Ambil jalan apapun yang kiranya membuatmu bahagia. Nggak usah pikirkan aku.”Karan tertegun, sungguh. Ia pikir setidaknya akan ada drama dahulu, lah. Mengingat betapa selama ini Kiran selalu mati-matian mempertahankan dirinya. Jika sekarang semudah itu ia merelakan dirinya pergi, bukankah itu agak aneh?“Kiran?” Soraya menahan sang menantu, memegangi pergelangan tangan perempuan itu dan menatapnya dengan pandangan memohon. “Kiran mau ke mana, Nak?”“Aku masuk dulu, Bu. Kan aku sudah paham apa maksud Mas Karan datang ke sini. Aku nggak masalah dia menikah sama Nevia. Sementara kita memang nggak bisa bercerai dulu, tapi nanti kalau bayinya sudah lahir, kita bisa langsung cerai. Nggak masalah.”Dua orang tua yang berada di sana sontak terkejut tak alang kepalang. Bagaimana mungkin Kiran semudah itu mengatakannya? Apakah ia sudah akan menyerah sampai di sini?“Kiran, jangan ngomong begitu. Kita bicarakan dulu baik-baik, kita cari solusinya bersama-sama, Nak.” Herma
**“Pasien mengalami dehidrasi, Bu. Keadaannya akan semakin memburuk jika tidak segera dirawat. Beruntung segera dibawa ke sini.”Soraya mengangguk, bertukar tatap dengan sang suami yang duduk di sampingnya. Keduanya tidak mampu mengatakan apapun, hanya saling menghela napas berkali-kali.“Bagaimana dengan kandungannya? Apakah baik-baik saja?” Wanita itu bertanya, kemudian.Dokter perempuan yang memeriksa mengangguk meski wajahnya masih tetap muram seperti sebelumnya. “Beruntung, janin dalam kandungan termasuk kuat, sehingga bisa bertahan. Dalam keadaan demikian, bisa saja Nona Kiran mengalami keguguran sebab kondisinya sendiri termasuk serius.”Mengangguk lagi, Soraya merasa sangat bersalah sebab hal ini. Ia pikir, bagaimanapun orang yang paling bertanggung jawab dalam hal ini adalah dirinya, sebagai orang tua Karan.“Tapi Ibu tidak perlu khawatir.” Dokter perempuan itu berkata lagi. “Setelah perawatan intensif selama beberapa hari, Nona Kiran akan bisa pulih kembali. Hanya saja satu
**“Apa maksudnya? Kamu berniat pulang kemalaman, begitu?”Nevia menelan saliva. Tampak sekali bahwa ia salah bicara, sebab wajahnya seketika membara.“Apa maksudnya, Nev? Kamu mau kemana sama temanmu?” Karan masih terus mengejar.“Ah, apa, sih?” Perempuan itu berusaha menyembunyikan gugup dengan tertawa kecil. Ia mengibaskan tangannya sambil lalu. “Maksudku tuh, Papa nggak akan banyak tanya kalau aku sama temen yang sama-sama cewek, Kar. Kamu kan tahu kalau Papa orangnya kolot banget. Ini aja kalau tahu aku tiap hari pulang ke sini sama kamu, beliau pasti ngamuk.”Masih memasang wajah masam, Karan berusaha berpikir positif. Kekasihnya adalah perempuan baik-baik. Sangat tidak mungkin jika Nevia berakhir bermalam di club dalam keadaan mabuk alkohol bersama teman-temannya. Yeah, sebab itulah yang ada dalam pikiran Karan saat ini.“Jangan mikir yang nggak-nggak, Kar. Kamu kan kenal aku orangnya gimana? Kita udah sekian waktu bersama.”Seperti paham jalan pikiran prianya saja. Pria itu me