Kirana duduk di lantai kamar Arka, mengamati betapa cerianya anak itu saat menyusun balok-balok warna-warni menjadi menara tinggi. Sesekali, Arka tertawa riang, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Tangannya yang mungil dengan lincah menyusun satu demi satu balok, lalu menoleh ke Kirana dengan senyum lebarnya.
"Tante Kirana lihat! Tinggi banget, kan?" Arka berseru bangga.
Kirana menelan ludah, berusaha menahan emosi yang bergemuruh di dadanya. Matanya mulai basah, tapi ia tersenyum lebar, mengusap kepala Arka dengan lembut. "Iya, tinggi sekali! Arka pintar banget. Hati-hati, jangan sampai roboh, ya."
Arka mengangguk antusias, lalu buru-buru mengambil balok lain untuk menambah ketinggian menaranya. Tawa kecilnya menggema di ruangan, mengisi setiap sudut dengan kehangatan yang begitu sederhana namun mendalam.
Tanpa mereka sadari, di ambang pintu, Dirga berdiri diam. Matanya mengamati setiap gerakan Kirana dan Arka. Wajahnya tetap datar, tapi ada sesuatu di sorot matanya yang sulit dijelaskan—campuran perasaan yang tak bisa ia ungkapkan. Ia tak ingin mengganggu momen itu, hanya ingin menyaksikan bagaimana Arka tampak begitu hidup saat bersama Kirana.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Dirga melihat Arka tertawa sebebas itu. Tidak ada kecanggungan, tidak ada dinding yang menghalangi. Anak itu benar-benar bahagia. Dan di sanalah Kirana, bagian yang selama ini hilang dari hidup mereka berdua.
Dirga menarik napas pelan, lalu bersandar di pintu, tetap dalam diam. Membiarkan dirinya menyaksikan kehangatan yang entah sejak kapan terasa begitu jauh darinya.
Saat langit mulai gelap, Kirana sadar waktu sudah cukup lama berlalu. Ia menepuk lututnya ringan dan tersenyum pada Arka. "Arka, Tante Kirana pulang dulu, ya. Besok kita main lagi."
Arka langsung memasang wajah memelas. "Tante Kirana nginep aja di sini."
Kirana terkesiap, lalu tersenyum kecil. "Aduh, gak bisa, Arka. Tante harus pulang. Besok pasti main lagi, janji."
Dirga melangkah masuk, menatap Kirana sebentar sebelum berkata, "Aku anter pakai supir. Biar lebih aman."
Kirana menggeleng. "Gak usah, aku naik ojek online aja. Lebih cepat."
Dirga tetap bersikeras. "Kirana, aku yang minta tolong tadi. Anggap aja ini caraku berterima kasih."
Kirana menatap Dirga lama sebelum akhirnya berkata dengan nada pelan, "Kamu gak perlu berterima kasih kalau itu soal Arka. Dia anakku juga."
Sejenak, tak ada yang bicara. Dirga hanya menatap Kirana, lalu menghela napas. "Oke. Tapi setidaknya biar supir antar kamu sampai depan komplek. Setelah itu terserah kamu."
Kirana akhirnya mengalah, lalu berpamitan pada Arka. Namun, sebelum ia benar-benar pergi, Arka tiba-tiba berlari dan memeluknya erat.
"Jangan pergi..." bisik Arka pelan, suaranya terdengar manja.
Kirana terpaku, matanya kembali memanas. Ia membalas pelukan kecil itu, mengusap punggung Arka dengan lembut. "Tante Kirana gak pergi jauh, Sayang. Next time Tante datang lagi, ya."
Arka mengangguk pelan, meskipun wajahnya masih penuh keengganan untuk melepas Kirana.
Setelah akhirnya Kirana masuk ke mobil, ia duduk diam, menatap jalanan yang mulai gelap. Tanpa bisa ditahan, air matanya jatuh satu per satu. Tangannya menggenggam erat rok yang ia kenakan, berusaha menenangkan perasaan yang bercampur aduk dalam dadanya.
Supir yang mengantar Kirana sesekali melirik dari kaca spion, menyaksikan mantan istri majikannya yang tampak begitu rapuh malam itu. Ia menghela napas pelan, lalu tanpa banyak bicara, mengendarai mobil dengan tenang menuju tujuan Kirana.
Begitu kembali ke rumah, supir itu menemukan Dirga yang masih duduk di ruang tamu. Ragu-ragu, ia akhirnya membuka suara. "Pak Dirga... Maaf kalau saya lancang, tapi tadi... Bu Kirana nangis di mobil. Diam-diam saya lihat dari kaca spion. Kelihatannya pikirannya campur aduk, Pak "
Dirga yang tadinya terlihat tenang, mendadak menegang. Ia tidak menjawab, hanya mengalihkan pandangan ke luar jendela, menatap gelapnya malam dengan perasaan yang semakin sulit ia definisikan.
….
Kirana berdiri di depan layar presentasi, tubuhnya tegap, sorot matanya tajam. Dengan nada stabil dan penuh keyakinan, ia menjelaskan strategi pemasaran terbaru, menampilkan data serta proyeksi yang sudah ia susun dengan matang.
"Tahun ini, kita akan fokus pada segmentasi yang lebih spesifik untuk meningkatkan engagement. Data menunjukkan bahwa pendekatan berbasis pengalaman pelanggan lebih efektif dibandingkan metode konvensional..."
Suara Kirana terdengar tegas, setiap kata tertata rapi, dan tidak ada sedikit pun celah untuk kesalahan. Tidak ada gugup, tidak ada emosi berlebih—hanya profesionalisme yang tak terbantahkan.
Dari tempatnya duduk, Dirga menyimak dalam diam. Matanya memperhatikan Kirana dengan seksama, bukan hanya karena isi presentasinya, tetapi karena sosok yang sedang berbicara di depannya.
Ia ingat kata-kata supirnya tadi malam. "Tadi Bu Kirana nangis di mobil. Diam-diam saya lihat dari kaca spion. Kelihatannya pikirannya campur aduk, Pak."
Sekarang, melihat Kirana berdiri di sana—begitu tenang, begitu tidak tersentuh—Dirga merasakan ada sesuatu yang mengganjal di dadanya.
Sama sekali tak ada jejak kesedihan dalam ekspresi Kirana saat ini. Tidak ada sisa air mata yang supirnya katakan. Seakan semua itu tak pernah terjadi.
Dan entah kenapa, itu justru membuat Dirga semakin gelisah.
Begitu presentasi selesai, ruang rapat dipenuhi tepuk tangan kecil dari beberapa peserta. Salah satu rekan kerja Kirana, Tio, menoleh padanya dengan senyum lebar.
"Kirana, keren banget sih! Gue jadi makin yakin proyek ini bakal jalan mulus," kata Tio sambil mengacungkan jempol.
Kirana mengangguk kecil, bibirnya melengkung membentuk senyum anggun. "Mudah-mudahan. Tapi masih banyak yang harus kita pastikan di tahap eksekusi."
Tio terkekeh. "Ah, lo kayak biasa aja. Padahal gue tahu lo udah mikirin ini sampai lembur, kan?"
Kirana tertawa kecil. "Namanya juga kerja, Tio."
Beberapa rekan kerja lain ikut bercanda, membahas hal-hal ringan sebelum beranjak dari ruang rapat. Kirana masih berbincang sebentar, ekspresinya santai, bahkan matanya tampak sedikit berbinar saat menanggapi obrolan mereka.
Dirga, yang masih duduk di kursinya, hanya diam mengamati.
Jadi Kirana bisa tersenyum. Bisa tertawa. Bisa bercanda dengan rekan-rekannya.
Bisa tersenyum hangat bahkan tertawa pada Arka.
Tapi begitu berhadapan dengannya, senyuman itu langsung lenyap seakan tidak pernah ada.
Rahangnya mengatup, tatapannya sedikit menggelap.
Jadi selama ini, cuma dia yang Kirana hadiahi wajah datarnya?
…..
Sabtu siang, Kirana baru saja menyelesaikan editing artikel untuk klien luar negeri. Matanya lelah, punggung pegal, dan niatnya cuma satu: rebahan. Tapi ponselnya tiba-tiba berbunyi pelan—notif dari Pak Dirga.
Kirana sempat mikir, “Tumben amat siang-siang… urgent project kah?” Tapi saat dibuka...
Minggu ada acara Hari Ibu di sekolah Arka. Kamu ikut. Dia yang minta. Katanya dia cuma mau kalau ditemani kamu.
Suasana ruang meeting terasa tegang. Kirana merapikan catatan di tangannya, memastikan semua poin presentasinya tersusun rapi. Sudah sebulan ia bekerja di sini, dan ini pertama kalinya ia harus mempresentasikan strategi marketing langsung di hadapan CEO—sosok misterius yang selama ini belum pernah ia temui."Jangan gugup," bisik Aulia, rekan kerjanya. "Katanya CEO kita tuh visioner banget, tapi agak dingin. Kalau idemu bagus, dia pasti suka."Kirana mengangguk, berusaha meyakinkan diri. Toh, ia sudah terbiasa menghadapi atasan yang perfeksionis. Lagipula, ini hanya presentasi biasa, bukan sesuatu yang harus ditakuti.Pintu terbuka. Seorang pria memasuki ruangan dengan langkah tenang, jasnya rapi, auranya mendominasi seketika.Kirana yang awalnya berdiri siap untuk memulai presentasi, mendadak membeku. Napasnya tercekat.Pria itu.Mantan suaminya.Dirga.Dada Kirana berdegup kencang. Ia ingin percaya bahwa ini hanya ilusi—bahwa sosok yang kini berdiri di hadapannya, dengan tatapan taja
Di sela-sela pekerjaannya, Dirga duduk di balik meja besar di ruangannya, sibuk membaca laporan proyek yang sedang berjalan."Pak Dirga, maaf mengganggu. Ini dokumen tambahan untuk proyek yang dikerjakan Bu Kirana," ujar Reza, sekretarisnya sambil meletakkan map di meja.Dirga hanya mengangguk tanpa menoleh, tetapi detik berikutnya, sekretarisnya menambahkan dengan nada sedikit jahil, "Oh iya, Pak, sepertinya Bu Kirana karyawan baru itu punya banyak penggemar di kantor ini."Sudah seminggu yang lalu sejak kejadian dia membuat Kirana terluka di hari pertama pertemuan mereka. Apakah ejekan sarkasnya pada Kirana memang jadi kenyataan, kalau Kirana beneran kembali jadi gadis?Mata Dirga akhirnya beralih dari dokumen. "Penggemar?"Sekretarisnya terkikik. "Iya, Pak. Banyak yang diam-diam naksir. Bahkan ada anak magang yang terang-terangan ngasih kopi ke meja Bu Kirana setiap pagi."Alis Dirga sedikit berkerut, tetapi matanya masih tertuju pada laporan. "Anak magang?"Reza mengangguk, nada s
Ruang rapat dipenuhi suara gumaman ketika Kirana selesai memaparkan hasil analisisnya. Beberapa anggota tim saling bertukar pandang, sementara beberapa lainnya sibuk mencatat poin-poin penting yang ia sampaikan. Kirana menutup presentasi dengan mantap, tangannya tetap terlipat di depan dada, menunggu reaksi.Dirga menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya tak terbaca. "Jadi, menurutmu strategi kita saat ini tidak cukup kompetitif?"Kirana menatapnya tanpa gentar. "Saya hanya menunjukkan data dan perbandingan di lapangan. Jika ingin mendominasi pasar, kita perlu menyesuaikan pendekatan."Salah satu manajer pemasaran mengangguk setuju. "Analisisnya masuk akal, Pak Dirga. Kompetitor memang lebih agresif dalam strategi digital mereka."Alih-alih mengakui, Dirga malah menyilangkan tangan dan menatap Kirana dengan tatapan menilai. "Kalau begitu, coba buktikan. Buat strategi pemasaran yang bisa mengungguli mereka. Saya ingin proposal yang konkret dalam waktu satu minggu."Beberapa orang di
Seharian ini Kirana tidak bisa fokus bekerja. Pikirannya terus berputar pada satu hal—ulang tahun Arka yang semakin dekat.Ia ingin tahu bagaimana kabar putranya. Ingin tahu apakah Arka baik-baik saja tanpa dirinya. Ingin tahu... apakah Arka masih mengingatnya.Namun, semakin ia berpikir, semakin berat perasaannya. Ia dan Dirga sudah lama tidak berbicara di luar urusan pekerjaan. Menanyakan tentang Arka seakan menjadi hal yang terlalu sulit untuk dilakukan.Tapi hari ini, ia harus melakukannya.Saat jam kerja sudah selesai, Kirana mengambil napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian. Ia berjalan ke arah ruangan Dirga, namun langkahnya melambat ketika melihat seseorang keluar lebih dulu—Arya, salah satu manager muda paling berprestasi di kantor mereka.Arya menoleh dan tersenyum. “Oh, Kirana! Kamu mau ketemu Pak Dirga?” tanyanya santai.Kirana balas tersenyum kecil. “Iya, ada yang mau saya tanyakan.”“Wah, kebetulan. Aku juga baru ngobrol sama dia, tapi kayaknya mood-nya lagi kura
Dirga melirik jam tangannya begitu mobilnya berhenti di depan sekolah Arka. Panggilan dari pihak sekolah pagi tadi membuatnya terpaksa menyelipkan waktu di antara jadwal meetingnya yang padat.Begitu dia masuk ke ruang guru, seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah menyambutnya. “Selamat siang, Pak Dirga. Saya Bu Lita, wali kelas Arka. Silakan duduk.”Dirga mengangguk singkat dan menarik kursi di hadapan sang guru. “Ada apa dengan Arka, Bu?”Bu Lita tampak ragu sejenak, lalu menghela napas. “Begini, Pak. Kami memperhatikan ada perubahan dalam sikap Arka belakangan ini. Biasanya dia aktif dan ceria, tapi sekarang dia sering menyendiri. Dia jarang bermain dengan teman-temannya, lebih banyak melamun saat pelajaran, dan terkadang terlihat gelisah.”Dirga menegakkan punggungnya, ekspresinya tetap dingin meski pikirannya mulai dipenuhi tanda tanya. “Maksud Ibu, dia mengalami kesulitan belajar?”“Bukan hanya itu.” Bu Lita mengusap kedua tangannya. “Beberapa kali, dia terlihat seperti an
Kirana menelan ludah saat berdiri di samping mobil hitam yang mengilap itu. Mercedes-Benz GLC. Bukan sekadar mobil, ini adalah kendaraan mewah yang rasanya lebih cocok buat pejabat atau orang-orang elit di drama Korea yang biasa ia tonton.Tangannya sedikit gemetar saat meraih handle pintu. Begitu pintu terbuka, aroma khas interior kulit langsung menyapa penciumannya, disusul dengan tampilan dashboard yang penuh layar digital. Astaga, ini mobil atau kokpit pesawat?Dengan hati-hati, Kirana duduk di balik kemudi. Joknya empuk, terlalu nyaman dibandingkan mobil mungilnya yang biasa ia bawa ke mana-mana. Ia mencoba menyesuaikan posisi duduk, tapi malah salah pencet tombol di sisi kursi, membuatnya tiba-tiba terdorong maju hingga hampir menempel ke setir."Astagaaa..." Kirana buru-buru menekan tombol lain dan mundur sedikit. Jantungnya sudah berdetak cepat sebelum ini, tapi sekarang makin menggila.Deg-degan. Antara mau ketemu Arka dan harus nyetir mobil yang harganya bisa buat beli rumah
Kirana duduk di lantai kamar Arka, mengamati betapa cerianya anak itu saat menyusun balok-balok warna-warni menjadi menara tinggi. Sesekali, Arka tertawa riang, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Tangannya yang mungil dengan lincah menyusun satu demi satu balok, lalu menoleh ke Kirana dengan senyum lebarnya."Tante Kirana lihat! Tinggi banget, kan?" Arka berseru bangga.Kirana menelan ludah, berusaha menahan emosi yang bergemuruh di dadanya. Matanya mulai basah, tapi ia tersenyum lebar, mengusap kepala Arka dengan lembut. "Iya, tinggi sekali! Arka pintar banget. Hati-hati, jangan sampai roboh, ya."Arka mengangguk antusias, lalu buru-buru mengambil balok lain untuk menambah ketinggian menaranya. Tawa kecilnya menggema di ruangan, mengisi setiap sudut dengan kehangatan yang begitu sederhana namun mendalam.Tanpa mereka sadari, di ambang pintu, Dirga berdiri diam. Matanya mengamati setiap gerakan Kirana dan Arka. Wajahnya tetap datar, tapi ada sesuatu di sorot matanya yang sulit dijela
Kirana menelan ludah saat berdiri di samping mobil hitam yang mengilap itu. Mercedes-Benz GLC. Bukan sekadar mobil, ini adalah kendaraan mewah yang rasanya lebih cocok buat pejabat atau orang-orang elit di drama Korea yang biasa ia tonton.Tangannya sedikit gemetar saat meraih handle pintu. Begitu pintu terbuka, aroma khas interior kulit langsung menyapa penciumannya, disusul dengan tampilan dashboard yang penuh layar digital. Astaga, ini mobil atau kokpit pesawat?Dengan hati-hati, Kirana duduk di balik kemudi. Joknya empuk, terlalu nyaman dibandingkan mobil mungilnya yang biasa ia bawa ke mana-mana. Ia mencoba menyesuaikan posisi duduk, tapi malah salah pencet tombol di sisi kursi, membuatnya tiba-tiba terdorong maju hingga hampir menempel ke setir."Astagaaa..." Kirana buru-buru menekan tombol lain dan mundur sedikit. Jantungnya sudah berdetak cepat sebelum ini, tapi sekarang makin menggila.Deg-degan. Antara mau ketemu Arka dan harus nyetir mobil yang harganya bisa buat beli rumah
Dirga melirik jam tangannya begitu mobilnya berhenti di depan sekolah Arka. Panggilan dari pihak sekolah pagi tadi membuatnya terpaksa menyelipkan waktu di antara jadwal meetingnya yang padat.Begitu dia masuk ke ruang guru, seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah menyambutnya. “Selamat siang, Pak Dirga. Saya Bu Lita, wali kelas Arka. Silakan duduk.”Dirga mengangguk singkat dan menarik kursi di hadapan sang guru. “Ada apa dengan Arka, Bu?”Bu Lita tampak ragu sejenak, lalu menghela napas. “Begini, Pak. Kami memperhatikan ada perubahan dalam sikap Arka belakangan ini. Biasanya dia aktif dan ceria, tapi sekarang dia sering menyendiri. Dia jarang bermain dengan teman-temannya, lebih banyak melamun saat pelajaran, dan terkadang terlihat gelisah.”Dirga menegakkan punggungnya, ekspresinya tetap dingin meski pikirannya mulai dipenuhi tanda tanya. “Maksud Ibu, dia mengalami kesulitan belajar?”“Bukan hanya itu.” Bu Lita mengusap kedua tangannya. “Beberapa kali, dia terlihat seperti an
Seharian ini Kirana tidak bisa fokus bekerja. Pikirannya terus berputar pada satu hal—ulang tahun Arka yang semakin dekat.Ia ingin tahu bagaimana kabar putranya. Ingin tahu apakah Arka baik-baik saja tanpa dirinya. Ingin tahu... apakah Arka masih mengingatnya.Namun, semakin ia berpikir, semakin berat perasaannya. Ia dan Dirga sudah lama tidak berbicara di luar urusan pekerjaan. Menanyakan tentang Arka seakan menjadi hal yang terlalu sulit untuk dilakukan.Tapi hari ini, ia harus melakukannya.Saat jam kerja sudah selesai, Kirana mengambil napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian. Ia berjalan ke arah ruangan Dirga, namun langkahnya melambat ketika melihat seseorang keluar lebih dulu—Arya, salah satu manager muda paling berprestasi di kantor mereka.Arya menoleh dan tersenyum. “Oh, Kirana! Kamu mau ketemu Pak Dirga?” tanyanya santai.Kirana balas tersenyum kecil. “Iya, ada yang mau saya tanyakan.”“Wah, kebetulan. Aku juga baru ngobrol sama dia, tapi kayaknya mood-nya lagi kura
Ruang rapat dipenuhi suara gumaman ketika Kirana selesai memaparkan hasil analisisnya. Beberapa anggota tim saling bertukar pandang, sementara beberapa lainnya sibuk mencatat poin-poin penting yang ia sampaikan. Kirana menutup presentasi dengan mantap, tangannya tetap terlipat di depan dada, menunggu reaksi.Dirga menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya tak terbaca. "Jadi, menurutmu strategi kita saat ini tidak cukup kompetitif?"Kirana menatapnya tanpa gentar. "Saya hanya menunjukkan data dan perbandingan di lapangan. Jika ingin mendominasi pasar, kita perlu menyesuaikan pendekatan."Salah satu manajer pemasaran mengangguk setuju. "Analisisnya masuk akal, Pak Dirga. Kompetitor memang lebih agresif dalam strategi digital mereka."Alih-alih mengakui, Dirga malah menyilangkan tangan dan menatap Kirana dengan tatapan menilai. "Kalau begitu, coba buktikan. Buat strategi pemasaran yang bisa mengungguli mereka. Saya ingin proposal yang konkret dalam waktu satu minggu."Beberapa orang di
Di sela-sela pekerjaannya, Dirga duduk di balik meja besar di ruangannya, sibuk membaca laporan proyek yang sedang berjalan."Pak Dirga, maaf mengganggu. Ini dokumen tambahan untuk proyek yang dikerjakan Bu Kirana," ujar Reza, sekretarisnya sambil meletakkan map di meja.Dirga hanya mengangguk tanpa menoleh, tetapi detik berikutnya, sekretarisnya menambahkan dengan nada sedikit jahil, "Oh iya, Pak, sepertinya Bu Kirana karyawan baru itu punya banyak penggemar di kantor ini."Sudah seminggu yang lalu sejak kejadian dia membuat Kirana terluka di hari pertama pertemuan mereka. Apakah ejekan sarkasnya pada Kirana memang jadi kenyataan, kalau Kirana beneran kembali jadi gadis?Mata Dirga akhirnya beralih dari dokumen. "Penggemar?"Sekretarisnya terkikik. "Iya, Pak. Banyak yang diam-diam naksir. Bahkan ada anak magang yang terang-terangan ngasih kopi ke meja Bu Kirana setiap pagi."Alis Dirga sedikit berkerut, tetapi matanya masih tertuju pada laporan. "Anak magang?"Reza mengangguk, nada s
Suasana ruang meeting terasa tegang. Kirana merapikan catatan di tangannya, memastikan semua poin presentasinya tersusun rapi. Sudah sebulan ia bekerja di sini, dan ini pertama kalinya ia harus mempresentasikan strategi marketing langsung di hadapan CEO—sosok misterius yang selama ini belum pernah ia temui."Jangan gugup," bisik Aulia, rekan kerjanya. "Katanya CEO kita tuh visioner banget, tapi agak dingin. Kalau idemu bagus, dia pasti suka."Kirana mengangguk, berusaha meyakinkan diri. Toh, ia sudah terbiasa menghadapi atasan yang perfeksionis. Lagipula, ini hanya presentasi biasa, bukan sesuatu yang harus ditakuti.Pintu terbuka. Seorang pria memasuki ruangan dengan langkah tenang, jasnya rapi, auranya mendominasi seketika.Kirana yang awalnya berdiri siap untuk memulai presentasi, mendadak membeku. Napasnya tercekat.Pria itu.Mantan suaminya.Dirga.Dada Kirana berdegup kencang. Ia ingin percaya bahwa ini hanya ilusi—bahwa sosok yang kini berdiri di hadapannya, dengan tatapan taja