Ruang rapat dipenuhi suara gumaman ketika Kirana selesai memaparkan hasil analisisnya. Beberapa anggota tim saling bertukar pandang, sementara beberapa lainnya sibuk mencatat poin-poin penting yang ia sampaikan. Kirana menutup presentasi dengan mantap, tangannya tetap terlipat di depan dada, menunggu reaksi.
Dirga menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya tak terbaca. "Jadi, menurutmu strategi kita saat ini tidak cukup kompetitif?"
Kirana menatapnya tanpa gentar. "Saya hanya menunjukkan data dan perbandingan di lapangan. Jika ingin mendominasi pasar, kita perlu menyesuaikan pendekatan."
Salah satu manajer pemasaran mengangguk setuju. "Analisisnya masuk akal, Pak Dirga. Kompetitor memang lebih agresif dalam strategi digital mereka."
Alih-alih mengakui, Dirga malah menyilangkan tangan dan menatap Kirana dengan tatapan menilai. "Kalau begitu, coba buktikan. Buat strategi pemasaran yang bisa mengungguli mereka. Saya ingin proposal yang konkret dalam waktu satu minggu."
Beberapa orang di ruangan terlihat terkejut. Itu bukan tenggat waktu yang masuk akal. Kirana menahan napas sesaat sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Baik. Saya akan siapkan."
Dirga mengangguk, lalu berdiri. "Bagus. Rapat selesai." Ia melangkah keluar lebih dulu, tapi saat melintas di dekat Kirana, ia menunduk sedikit dan berbisik pelan, hanya cukup untuk didengar olehnya.
"Kita lihat apakah kamu benar-benar sehebat yang kamu kira."
Kirana hanya menatap punggungnya yang menjauh. Dulu, kata-kata seperti itu bisa membuatnya bimbang. Sekarang? Tidak lagi.
….
Kirana menghabiskan beberapa malam lembur di kantor, matanya semakin terbiasa dengan cahaya layar laptop daripada lampu apartemennya. Ia meneliti tren pemasaran, mempelajari pola belanja pelanggan, hingga menyusun strategi yang bukan hanya kompetitif, tapi juga inovatif.
Di hari presentasi, ruangan kembali dipenuhi para petinggi perusahaan. Kirana menyampaikan proposalnya dengan suara tegas, memaparkan strategi digital yang bisa meningkatkan engagement pelanggan sekaligus menarik pasar baru.
Ketika akhirnya ia selesai, semua mata beralih ke Dirga yang duduk di ujung meja dengan ekspresi sulit ditebak. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, seolah mempertimbangkan sesuatu.
"Menarik," katanya akhirnya. "Kalau ini berhasil, bisa jadi gebrakan besar."
Salah satu direktur keuangan mengangguk setuju. "Strategi ini bisa menaikkan revenue dalam jangka panjang."
Kirana tetap diam, menunggu tanggapan terakhir dari Dirga.
Pria itu akhirnya bersandar ke kursinya. "Baik. Kita jalankan ini."
Ada kelegaan yang nyaris terasa di ruangan itu, tapi Kirana tahu Dirga tidak akan membiarkannya menang begitu saja. Benar saja, pria itu menambahkan dengan nada setengah meremehkan, "Tapi karena ini idemu, kamu yang bertanggung jawab penuh. Pastikan strategi ini berjalan sesuai ekspektasi. Kalau gagal..." Ia menatap Kirana dengan mata tajam. "Kamu yang akan saya evaluasi pertama."
Alih-alih terintimidasi, Kirana hanya tersenyum tipis. "Tentu. Saya akan pastikan tidak mengecewakan Anda, Pak Dirga."
Dirga mengangkat alis, mungkin tidak menyangka Kirana akan setenang itu menghadapi tekanannya. Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi, Reza—sekretarisnya—menyodorkan catatan di sampingnya. "Pak, Anda ada pertemuan lagi sepuluh menit lagi."
Dirga hanya mendengus, lalu berdiri. "Baik. Rapat selesai."
Saat semua orang mulai beranjak pergi, Kirana mengemasi laptopnya. Tapi sebelum ia sempat keluar ruangan, suara Dirga terdengar lagi.
"Kirana."
Ia menoleh dan menemukan pria itu masih berdiri di sana, menatapnya dalam diam.
"Jangan sampai mengecewakan," ulang Dirga dengan nada yang lebih pelan, hampir seperti peringatan.
Kirana menatapnya balik tanpa gentar. "Kita lihat saja, Pak."
Lalu ia berbalik pergi, meninggalkan Dirga yang lama-lama ada perasaan sedikit... terusik.
………..
Begitu Kirana keluar ruangan, Dirga mengembuskan napas panjang dan merapikan jasnya. Tapi ketenangannya tak bertahan lama karena Reza, sekretarisnya yang selalu penuh kejutan, tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya dengan ekspresi menggoda.
"Menarik banget ya, Pak."
Dirga melirik tajam. "Apa yang menarik?"
Reza menyeringai. "Pak Dirga. Biasanya kalau ada karyawan baru presentasi, Bapak nggak pernah seintens ini perhatiannya. Tapi tadi, fokus banget."
Dirga mendengus, lalu berjalan keluar ruangan. "Aku cuma memastikan semua berjalan sesuai standar."
Reza mengangguk-angguk berlebihan sambil mengikutinya. "Oh, tentu. Sangat profesional, ya. Sampai-sampai nggak kedip waktu Bu Kirana bicara."
Langkah Dirga terhenti. "Reza!"
"Tapi yang lebih menarik sih, waktu Bapak bilang ‘kalau ini gagal, kamu yang saya evaluasi pertama’. Itu khas Pak Dirga banget sih, tegas dan dingin." Reza menyeringai lebih lebar. "Tapi ekspresi Bu Kirana juga nggak kalah keren. Dia nggak gentar sama sekali, malah senyum. Luar biasa."
Dirga menghela napas panjang, menahan diri untuk tidak menendang kursi terdekat. "Reza, kamu ini sebenarnya sekretaris atau komentator?"
Reza berpikir sebentar. "Sekretaris yang berdedikasi, Pak. Termasuk mengingatkan kalau ada sesuatu yang mengganggu fokus Anda."
Dirga memutar bola matanya, berjalan lebih cepat menuju ruangannya. Tapi Reza masih belum selesai.
"Oh iya, Pak. Saya baru kepikiran," katanya, seolah baru menemukan sesuatu yang jenius. "Tadi waktu Bu Kirana keluar ruangan, anak magang yang sering bawain kopi langsung nyamperin dia lagi."
Dirga berhenti. Reza hampir menabraknya.
"Bawa kopi lagi?" Dirga bertanya tanpa sadar.
Reza menahan tawa. "Wah, kayaknya ada yang mulai terganggu, nih?"
Dirga tidak menjawab. Ia hanya menghela napas panjang dan masuk ke ruangannya, membanting pintu sedikit lebih keras dari biasanya.
Reza, di luar ruangan, hanya terkikik puas.
Seharian ini Kirana tidak bisa fokus bekerja. Pikirannya terus berputar pada satu hal—ulang tahun Arka yang semakin dekat.Ia ingin tahu bagaimana kabar putranya. Ingin tahu apakah Arka baik-baik saja tanpa dirinya. Ingin tahu... apakah Arka masih mengingatnya.Namun, semakin ia berpikir, semakin berat perasaannya. Ia dan Dirga sudah lama tidak berbicara di luar urusan pekerjaan. Menanyakan tentang Arka seakan menjadi hal yang terlalu sulit untuk dilakukan.Tapi hari ini, ia harus melakukannya.Saat jam kerja sudah selesai, Kirana mengambil napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian. Ia berjalan ke arah ruangan Dirga, namun langkahnya melambat ketika melihat seseorang keluar lebih dulu—Arya, salah satu manager muda paling berprestasi di kantor mereka.Arya menoleh dan tersenyum. “Oh, Kirana! Kamu mau ketemu Pak Dirga?” tanyanya santai.Kirana balas tersenyum kecil. “Iya, ada yang mau saya tanyakan.”“Wah, kebetulan. Aku juga baru ngobrol sama dia, tapi kayaknya mood-nya lagi kura
Dirga melirik jam tangannya begitu mobilnya berhenti di depan sekolah Arka. Panggilan dari pihak sekolah pagi tadi membuatnya terpaksa menyelipkan waktu di antara jadwal meetingnya yang padat.Begitu dia masuk ke ruang guru, seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah menyambutnya. “Selamat siang, Pak Dirga. Saya Bu Lita, wali kelas Arka. Silakan duduk.”Dirga mengangguk singkat dan menarik kursi di hadapan sang guru. “Ada apa dengan Arka, Bu?”Bu Lita tampak ragu sejenak, lalu menghela napas. “Begini, Pak. Kami memperhatikan ada perubahan dalam sikap Arka belakangan ini. Biasanya dia aktif dan ceria, tapi sekarang dia sering menyendiri. Dia jarang bermain dengan teman-temannya, lebih banyak melamun saat pelajaran, dan terkadang terlihat gelisah.”Dirga menegakkan punggungnya, ekspresinya tetap dingin meski pikirannya mulai dipenuhi tanda tanya. “Maksud Ibu, dia mengalami kesulitan belajar?”“Bukan hanya itu.” Bu Lita mengusap kedua tangannya. “Beberapa kali, dia terlihat seperti an
Kirana menelan ludah saat berdiri di samping mobil hitam yang mengilap itu. Mercedes-Benz GLC. Bukan sekadar mobil, ini adalah kendaraan mewah yang rasanya lebih cocok buat pejabat atau orang-orang elit di drama Korea yang biasa ia tonton.Tangannya sedikit gemetar saat meraih handle pintu. Begitu pintu terbuka, aroma khas interior kulit langsung menyapa penciumannya, disusul dengan tampilan dashboard yang penuh layar digital. Astaga, ini mobil atau kokpit pesawat?Dengan hati-hati, Kirana duduk di balik kemudi. Joknya empuk, terlalu nyaman dibandingkan mobil mungilnya yang biasa ia bawa ke mana-mana. Ia mencoba menyesuaikan posisi duduk, tapi malah salah pencet tombol di sisi kursi, membuatnya tiba-tiba terdorong maju hingga hampir menempel ke setir."Astagaaa..." Kirana buru-buru menekan tombol lain dan mundur sedikit. Jantungnya sudah berdetak cepat sebelum ini, tapi sekarang makin menggila.Deg-degan. Antara mau ketemu Arka dan harus nyetir mobil yang harganya bisa buat beli rumah
Kirana duduk di lantai kamar Arka, mengamati betapa cerianya anak itu saat menyusun balok-balok warna-warni menjadi menara tinggi. Sesekali, Arka tertawa riang, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Tangannya yang mungil dengan lincah menyusun satu demi satu balok, lalu menoleh ke Kirana dengan senyum lebarnya."Tante Kirana lihat! Tinggi banget, kan?" Arka berseru bangga.Kirana menelan ludah, berusaha menahan emosi yang bergemuruh di dadanya. Matanya mulai basah, tapi ia tersenyum lebar, mengusap kepala Arka dengan lembut. "Iya, tinggi sekali! Arka pintar banget. Hati-hati, jangan sampai roboh, ya."Arka mengangguk antusias, lalu buru-buru mengambil balok lain untuk menambah ketinggian menaranya. Tawa kecilnya menggema di ruangan, mengisi setiap sudut dengan kehangatan yang begitu sederhana namun mendalam.Tanpa mereka sadari, di ambang pintu, Dirga berdiri diam. Matanya mengamati setiap gerakan Kirana dan Arka. Wajahnya tetap datar, tapi ada sesuatu di sorot matanya yang sulit dijela
Suasana ruang meeting terasa tegang. Kirana merapikan catatan di tangannya, memastikan semua poin presentasinya tersusun rapi. Sudah sebulan ia bekerja di sini, dan ini pertama kalinya ia harus mempresentasikan strategi marketing langsung di hadapan CEO—sosok misterius yang selama ini belum pernah ia temui."Jangan gugup," bisik Aulia, rekan kerjanya. "Katanya CEO kita tuh visioner banget, tapi agak dingin. Kalau idemu bagus, dia pasti suka."Kirana mengangguk, berusaha meyakinkan diri. Toh, ia sudah terbiasa menghadapi atasan yang perfeksionis. Lagipula, ini hanya presentasi biasa, bukan sesuatu yang harus ditakuti.Pintu terbuka. Seorang pria memasuki ruangan dengan langkah tenang, jasnya rapi, auranya mendominasi seketika.Kirana yang awalnya berdiri siap untuk memulai presentasi, mendadak membeku. Napasnya tercekat.Pria itu.Mantan suaminya.Dirga.Dada Kirana berdegup kencang. Ia ingin percaya bahwa ini hanya ilusi—bahwa sosok yang kini berdiri di hadapannya, dengan tatapan taja
Di sela-sela pekerjaannya, Dirga duduk di balik meja besar di ruangannya, sibuk membaca laporan proyek yang sedang berjalan."Pak Dirga, maaf mengganggu. Ini dokumen tambahan untuk proyek yang dikerjakan Bu Kirana," ujar Reza, sekretarisnya sambil meletakkan map di meja.Dirga hanya mengangguk tanpa menoleh, tetapi detik berikutnya, sekretarisnya menambahkan dengan nada sedikit jahil, "Oh iya, Pak, sepertinya Bu Kirana karyawan baru itu punya banyak penggemar di kantor ini."Sudah seminggu yang lalu sejak kejadian dia membuat Kirana terluka di hari pertama pertemuan mereka. Apakah ejekan sarkasnya pada Kirana memang jadi kenyataan, kalau Kirana beneran kembali jadi gadis?Mata Dirga akhirnya beralih dari dokumen. "Penggemar?"Sekretarisnya terkikik. "Iya, Pak. Banyak yang diam-diam naksir. Bahkan ada anak magang yang terang-terangan ngasih kopi ke meja Bu Kirana setiap pagi."Alis Dirga sedikit berkerut, tetapi matanya masih tertuju pada laporan. "Anak magang?"Reza mengangguk, nada s
Kirana duduk di lantai kamar Arka, mengamati betapa cerianya anak itu saat menyusun balok-balok warna-warni menjadi menara tinggi. Sesekali, Arka tertawa riang, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Tangannya yang mungil dengan lincah menyusun satu demi satu balok, lalu menoleh ke Kirana dengan senyum lebarnya."Tante Kirana lihat! Tinggi banget, kan?" Arka berseru bangga.Kirana menelan ludah, berusaha menahan emosi yang bergemuruh di dadanya. Matanya mulai basah, tapi ia tersenyum lebar, mengusap kepala Arka dengan lembut. "Iya, tinggi sekali! Arka pintar banget. Hati-hati, jangan sampai roboh, ya."Arka mengangguk antusias, lalu buru-buru mengambil balok lain untuk menambah ketinggian menaranya. Tawa kecilnya menggema di ruangan, mengisi setiap sudut dengan kehangatan yang begitu sederhana namun mendalam.Tanpa mereka sadari, di ambang pintu, Dirga berdiri diam. Matanya mengamati setiap gerakan Kirana dan Arka. Wajahnya tetap datar, tapi ada sesuatu di sorot matanya yang sulit dijela
Kirana menelan ludah saat berdiri di samping mobil hitam yang mengilap itu. Mercedes-Benz GLC. Bukan sekadar mobil, ini adalah kendaraan mewah yang rasanya lebih cocok buat pejabat atau orang-orang elit di drama Korea yang biasa ia tonton.Tangannya sedikit gemetar saat meraih handle pintu. Begitu pintu terbuka, aroma khas interior kulit langsung menyapa penciumannya, disusul dengan tampilan dashboard yang penuh layar digital. Astaga, ini mobil atau kokpit pesawat?Dengan hati-hati, Kirana duduk di balik kemudi. Joknya empuk, terlalu nyaman dibandingkan mobil mungilnya yang biasa ia bawa ke mana-mana. Ia mencoba menyesuaikan posisi duduk, tapi malah salah pencet tombol di sisi kursi, membuatnya tiba-tiba terdorong maju hingga hampir menempel ke setir."Astagaaa..." Kirana buru-buru menekan tombol lain dan mundur sedikit. Jantungnya sudah berdetak cepat sebelum ini, tapi sekarang makin menggila.Deg-degan. Antara mau ketemu Arka dan harus nyetir mobil yang harganya bisa buat beli rumah
Dirga melirik jam tangannya begitu mobilnya berhenti di depan sekolah Arka. Panggilan dari pihak sekolah pagi tadi membuatnya terpaksa menyelipkan waktu di antara jadwal meetingnya yang padat.Begitu dia masuk ke ruang guru, seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah menyambutnya. “Selamat siang, Pak Dirga. Saya Bu Lita, wali kelas Arka. Silakan duduk.”Dirga mengangguk singkat dan menarik kursi di hadapan sang guru. “Ada apa dengan Arka, Bu?”Bu Lita tampak ragu sejenak, lalu menghela napas. “Begini, Pak. Kami memperhatikan ada perubahan dalam sikap Arka belakangan ini. Biasanya dia aktif dan ceria, tapi sekarang dia sering menyendiri. Dia jarang bermain dengan teman-temannya, lebih banyak melamun saat pelajaran, dan terkadang terlihat gelisah.”Dirga menegakkan punggungnya, ekspresinya tetap dingin meski pikirannya mulai dipenuhi tanda tanya. “Maksud Ibu, dia mengalami kesulitan belajar?”“Bukan hanya itu.” Bu Lita mengusap kedua tangannya. “Beberapa kali, dia terlihat seperti an
Seharian ini Kirana tidak bisa fokus bekerja. Pikirannya terus berputar pada satu hal—ulang tahun Arka yang semakin dekat.Ia ingin tahu bagaimana kabar putranya. Ingin tahu apakah Arka baik-baik saja tanpa dirinya. Ingin tahu... apakah Arka masih mengingatnya.Namun, semakin ia berpikir, semakin berat perasaannya. Ia dan Dirga sudah lama tidak berbicara di luar urusan pekerjaan. Menanyakan tentang Arka seakan menjadi hal yang terlalu sulit untuk dilakukan.Tapi hari ini, ia harus melakukannya.Saat jam kerja sudah selesai, Kirana mengambil napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian. Ia berjalan ke arah ruangan Dirga, namun langkahnya melambat ketika melihat seseorang keluar lebih dulu—Arya, salah satu manager muda paling berprestasi di kantor mereka.Arya menoleh dan tersenyum. “Oh, Kirana! Kamu mau ketemu Pak Dirga?” tanyanya santai.Kirana balas tersenyum kecil. “Iya, ada yang mau saya tanyakan.”“Wah, kebetulan. Aku juga baru ngobrol sama dia, tapi kayaknya mood-nya lagi kura
Ruang rapat dipenuhi suara gumaman ketika Kirana selesai memaparkan hasil analisisnya. Beberapa anggota tim saling bertukar pandang, sementara beberapa lainnya sibuk mencatat poin-poin penting yang ia sampaikan. Kirana menutup presentasi dengan mantap, tangannya tetap terlipat di depan dada, menunggu reaksi.Dirga menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya tak terbaca. "Jadi, menurutmu strategi kita saat ini tidak cukup kompetitif?"Kirana menatapnya tanpa gentar. "Saya hanya menunjukkan data dan perbandingan di lapangan. Jika ingin mendominasi pasar, kita perlu menyesuaikan pendekatan."Salah satu manajer pemasaran mengangguk setuju. "Analisisnya masuk akal, Pak Dirga. Kompetitor memang lebih agresif dalam strategi digital mereka."Alih-alih mengakui, Dirga malah menyilangkan tangan dan menatap Kirana dengan tatapan menilai. "Kalau begitu, coba buktikan. Buat strategi pemasaran yang bisa mengungguli mereka. Saya ingin proposal yang konkret dalam waktu satu minggu."Beberapa orang di
Di sela-sela pekerjaannya, Dirga duduk di balik meja besar di ruangannya, sibuk membaca laporan proyek yang sedang berjalan."Pak Dirga, maaf mengganggu. Ini dokumen tambahan untuk proyek yang dikerjakan Bu Kirana," ujar Reza, sekretarisnya sambil meletakkan map di meja.Dirga hanya mengangguk tanpa menoleh, tetapi detik berikutnya, sekretarisnya menambahkan dengan nada sedikit jahil, "Oh iya, Pak, sepertinya Bu Kirana karyawan baru itu punya banyak penggemar di kantor ini."Sudah seminggu yang lalu sejak kejadian dia membuat Kirana terluka di hari pertama pertemuan mereka. Apakah ejekan sarkasnya pada Kirana memang jadi kenyataan, kalau Kirana beneran kembali jadi gadis?Mata Dirga akhirnya beralih dari dokumen. "Penggemar?"Sekretarisnya terkikik. "Iya, Pak. Banyak yang diam-diam naksir. Bahkan ada anak magang yang terang-terangan ngasih kopi ke meja Bu Kirana setiap pagi."Alis Dirga sedikit berkerut, tetapi matanya masih tertuju pada laporan. "Anak magang?"Reza mengangguk, nada s
Suasana ruang meeting terasa tegang. Kirana merapikan catatan di tangannya, memastikan semua poin presentasinya tersusun rapi. Sudah sebulan ia bekerja di sini, dan ini pertama kalinya ia harus mempresentasikan strategi marketing langsung di hadapan CEO—sosok misterius yang selama ini belum pernah ia temui."Jangan gugup," bisik Aulia, rekan kerjanya. "Katanya CEO kita tuh visioner banget, tapi agak dingin. Kalau idemu bagus, dia pasti suka."Kirana mengangguk, berusaha meyakinkan diri. Toh, ia sudah terbiasa menghadapi atasan yang perfeksionis. Lagipula, ini hanya presentasi biasa, bukan sesuatu yang harus ditakuti.Pintu terbuka. Seorang pria memasuki ruangan dengan langkah tenang, jasnya rapi, auranya mendominasi seketika.Kirana yang awalnya berdiri siap untuk memulai presentasi, mendadak membeku. Napasnya tercekat.Pria itu.Mantan suaminya.Dirga.Dada Kirana berdegup kencang. Ia ingin percaya bahwa ini hanya ilusi—bahwa sosok yang kini berdiri di hadapannya, dengan tatapan taja