Kirana menelan ludah saat berdiri di samping mobil hitam yang mengilap itu. Mercedes-Benz GLC. Bukan sekadar mobil, ini adalah kendaraan mewah yang rasanya lebih cocok buat pejabat atau orang-orang elit di drama Korea yang biasa ia tonton.
Tangannya sedikit gemetar saat meraih handle pintu. Begitu pintu terbuka, aroma khas interior kulit langsung menyapa penciumannya, disusul dengan tampilan dashboard yang penuh layar digital. Astaga, ini mobil atau kokpit pesawat?
Dengan hati-hati, Kirana duduk di balik kemudi. Joknya empuk, terlalu nyaman dibandingkan mobil mungilnya yang biasa ia bawa ke mana-mana. Ia mencoba menyesuaikan posisi duduk, tapi malah salah pencet tombol di sisi kursi, membuatnya tiba-tiba terdorong maju hingga hampir menempel ke setir.
"Astagaaa..." Kirana buru-buru menekan tombol lain dan mundur sedikit. Jantungnya sudah berdetak cepat sebelum ini, tapi sekarang makin menggila.
Deg-degan. Antara mau ketemu Arka dan harus nyetir mobil yang harganya bisa buat beli rumah.
Ia menarik napas panjang dan menyalakan mesin. Suara mesin yang halus namun bertenaga memenuhi telinganya. Kirana menggenggam setir erat-erat, biasanya dia menyetir mobil LCGC keluaran lama, kini ia duduk di belakang setir Mercedes-Benz GLC milik Dirga, merasa seolah sedang mengendalikan sesuatu yang jauh lebih berharga dari dirinya sendiri.
Dia mengingat pesan Dirga tadi. "Jangan bikin lecet!"
Sialan. Kenapa rasanya semakin gugup?!
…..
Kirana memarkir mobil dengan hati-hati, menelan ludah saat melihat deretan mobil lain di area drop-off. Sedan-sedan mewah dan SUV kelas atas berjejer rapi, membuat Mercedes-Benz GLC yang ia bawa terasa tidak terlalu mencolok—tapi tetap saja, ini bukan mobilnya.
Tangannya masih mencengkeram setir ketika ia menghela napas panjang. Jantungnya berdebar, bukan hanya karena mobil ini, tetapi karena apa yang menunggunya di dalam. Arka.
Ia melirik jam di dashboard digital, memastikan dirinya tidak terlambat. Lalu, dengan langkah setengah ragu, ia membuka pintu dan turun dari mobil. Beberapa orang tua yang juga menjemput anak mereka melirik sekilas ke arahnya, tetapi Kirana tidak peduli. Fokusnya hanya satu.
Begitu melewati gerbang, suasana sekolah terasa ramai. Anak-anak berseragam berlarian, beberapa guru dan staf membantu mengatur para murid. Kirana berdiri di dekat area tunggu, matanya mencari sosok kecil yang sudah lama tidak ia temui.
Jantungnya berdegup lebih kencang.
Bagaimana jika Arka tidak mengenalinya? Bagaimana jika anak itu menolak bertemu dengannya?
Saat itulah, dari kejauhan, seorang guru mendekat dengan seorang anak laki-laki yang berjalan pelan di sampingnya. Mata mereka bertemu.
Arka.
Kirana nyaris lupa bernapas.
Kirana berdiri membeku di tempatnya, merasa dunia di sekelilingnya memudar.
Arka, dengan tas kecil tergantung di punggungnya, berjalan mendekat. Langkahnya ragu-ragu, kepalanya sedikit miring, seperti sedang menilai seseorang yang familiar tapi asing di waktu yang bersamaan.
Kirana menelan ludah. Tangannya ingin sekali terulur, ingin menyentuh pipi anaknya, ingin memastikan kalau ini benar-benar nyata.
"Arka..." Suaranya hampir bergetar.
Anak itu berhenti beberapa langkah di depannya. Mata bulatnya menatap Kirana dengan campuran bingung dan ingin tahu.
"Kamu..." Arka menggigit bibir bawahnya, ekspresinya berpikir keras. Lalu ia menoleh ke guru yang berdiri di sampingnya. "Bu, ini siapa?"
Dada Kirana seperti diremas. Ia sudah menduga, tetapi tetap saja, mendengar anaknya bertanya seperti itu terasa seperti tamparan.
Guru Arka tersenyum lembut, lalu berlutut di samping murid kecilnya. "Ingat yang Bu Guru bilang tadi? Hari ini kamu dijemput seseorang yang spesial."
Arka mengerutkan kening. Ia menatap Kirana sekali lagi, matanya yang mirip dengan Dirga kini menyapu wajahnya dengan lebih saksama.
Kirana menarik napas panjang, lalu berusaha tersenyum. "Aku..." Suaranya nyaris tak keluar. "Aku yang akan menjemputmu, Arka."
Arka masih diam. Lalu, dengan kepala sedikit miring, ia bertanya, "Mobilnya mana?"
Kirana hampir tertawa. Tentu saja, hal pertama yang ditanyakan anak sekecil ini adalah mobil. Ia melirik ke belakang, lalu berusaha terlihat percaya diri meskipun tangannya masih gemetar. "Di sana. Mobil Papa."
Arka mengikuti arah tatapannya, lalu matanya melebar sedikit. "Papa nggak jemput?"
Kirana menggeleng. "Hari ini aku yang jemput kamu."
Anak itu menimbang sejenak, sebelum akhirnya berujar pelan, "Oh."
Hanya itu. Tidak ada pelukan, tidak ada seruan girang seperti yang ia impikan. Tapi setidaknya, Arka tidak menolak. Itu sudah lebih dari cukup.
Dengan ragu, Kirana mengulurkan tangan. "Kita pulang?"
Arka memandangi tangannya selama beberapa detik, sebelum akhirnya mengangguk dan menggenggamnya. Kecil, hangat, dan begitu berharga.
Saat itu juga, air mata Kirana hampir tumpah.
…..
Kirana memberhentikan mobilnya sesuai titik di maps yang dikirimkan Dirga, dan menatap rumah megah di dekatnya. Matanya menyapu halaman luas, fasad modern yang elegan, dan pencahayaan yang membuat segalanya tampak begitu mahal.
Hatinya mencelos.
Jadi, begini hidup Dirga sekarang? Setelah cerai, dia malah makin sukses, makin beruntung.Kirana menelan ludah. Ada bagian dalam dirinya yang masih nggak terima. Kenapa justru setelah mereka berpisah, hidup Dirga terlihat jauh lebih baik? Tapi sebelum perasaan itu bisa berkembang lebih jauh, suara kecil di belakangnya menariknya kembali ke kenyataan.
Arka.
Kirana menarik napas panjang, menoleh ke anaknya yang masih sibuk melepaskan sabuk pengaman. Dia mengingat satu hal yang lebih penting dari perasaannya sendiri: Arka bahagia. Itu saja sudah cukup.
Arka melompat turun dari mobil dengan wajah berbinar. Dia menarik tangan Kirana dengan semangat.
“Tante masuk dulu, ya! Aku mau tunjukin kamarku!” serunya penuh antusias.
Kirana ragu sejenak, tapi bagaimana bisa dia menolak ajakan itu? Apalagi melihat mata Arka yang berbinar.
Sebelum sempat menjawab, seorang pria paruh baya dengan seragam rapi menghampiri mereka. "Selamat siang, Bu. Saya Pak Darto. Mobilnya diparkir di dalam saja, ya?"
Kirana menoleh ke pria yang jelas-jelas seorang sopir atau kepala rumah tangga di sini. Dia refleks ingin menolak, tapi mengingat betapa berharga mobil ini buat Dirga, dia mengangguk pelan.
“Ah, iya… Silakan,” jawabnya agak canggung.
Pak Darto langsung mengambil alih setir, sementara Kirana mengikuti Arka yang masih menggenggam tangannya erat.
Saat memasuki rumah, Kirana sempat terpaku. Interior rumah ini tidak hanya luas, tapi juga terasa begitu hangat dan berkelas.
Arka menarik tangan Kirana, "Ayo ke atas! Aku mau tunjukin kamarku!"
Kirana sempat terdiam di ujung tangga. Rasanya aneh melangkah lebih jauh ke dalam rumah ini. Rumah mantan suaminya.
Arka menoleh, matanya penuh harap. "Tante?"
Kirana tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan keraguannya. "Iya, ayo."
Tapi saat menaiki anak tangga pertama, ada sesuatu yang terasa aneh. Seolah langkah kakinya membawa beban yang selama ini coba dia lupakan.
Kirana duduk di lantai kamar Arka, mengamati betapa cerianya anak itu saat menyusun balok-balok warna-warni menjadi menara tinggi. Sesekali, Arka tertawa riang, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Tangannya yang mungil dengan lincah menyusun satu demi satu balok, lalu menoleh ke Kirana dengan senyum lebarnya."Tante Kirana lihat! Tinggi banget, kan?" Arka berseru bangga.Kirana menelan ludah, berusaha menahan emosi yang bergemuruh di dadanya. Matanya mulai basah, tapi ia tersenyum lebar, mengusap kepala Arka dengan lembut. "Iya, tinggi sekali! Arka pintar banget. Hati-hati, jangan sampai roboh, ya."Arka mengangguk antusias, lalu buru-buru mengambil balok lain untuk menambah ketinggian menaranya. Tawa kecilnya menggema di ruangan, mengisi setiap sudut dengan kehangatan yang begitu sederhana namun mendalam.Tanpa mereka sadari, di ambang pintu, Dirga berdiri diam. Matanya mengamati setiap gerakan Kirana dan Arka. Wajahnya tetap datar, tapi ada sesuatu di sorot matanya yang sulit dijela
Suasana ruang meeting terasa tegang. Kirana merapikan catatan di tangannya, memastikan semua poin presentasinya tersusun rapi. Sudah sebulan ia bekerja di sini, dan ini pertama kalinya ia harus mempresentasikan strategi marketing langsung di hadapan CEO—sosok misterius yang selama ini belum pernah ia temui."Jangan gugup," bisik Aulia, rekan kerjanya. "Katanya CEO kita tuh visioner banget, tapi agak dingin. Kalau idemu bagus, dia pasti suka."Kirana mengangguk, berusaha meyakinkan diri. Toh, ia sudah terbiasa menghadapi atasan yang perfeksionis. Lagipula, ini hanya presentasi biasa, bukan sesuatu yang harus ditakuti.Pintu terbuka. Seorang pria memasuki ruangan dengan langkah tenang, jasnya rapi, auranya mendominasi seketika.Kirana yang awalnya berdiri siap untuk memulai presentasi, mendadak membeku. Napasnya tercekat.Pria itu.Mantan suaminya.Dirga.Dada Kirana berdegup kencang. Ia ingin percaya bahwa ini hanya ilusi—bahwa sosok yang kini berdiri di hadapannya, dengan tatapan taja
Di sela-sela pekerjaannya, Dirga duduk di balik meja besar di ruangannya, sibuk membaca laporan proyek yang sedang berjalan."Pak Dirga, maaf mengganggu. Ini dokumen tambahan untuk proyek yang dikerjakan Bu Kirana," ujar Reza, sekretarisnya sambil meletakkan map di meja.Dirga hanya mengangguk tanpa menoleh, tetapi detik berikutnya, sekretarisnya menambahkan dengan nada sedikit jahil, "Oh iya, Pak, sepertinya Bu Kirana karyawan baru itu punya banyak penggemar di kantor ini."Sudah seminggu yang lalu sejak kejadian dia membuat Kirana terluka di hari pertama pertemuan mereka. Apakah ejekan sarkasnya pada Kirana memang jadi kenyataan, kalau Kirana beneran kembali jadi gadis?Mata Dirga akhirnya beralih dari dokumen. "Penggemar?"Sekretarisnya terkikik. "Iya, Pak. Banyak yang diam-diam naksir. Bahkan ada anak magang yang terang-terangan ngasih kopi ke meja Bu Kirana setiap pagi."Alis Dirga sedikit berkerut, tetapi matanya masih tertuju pada laporan. "Anak magang?"Reza mengangguk, nada s
Ruang rapat dipenuhi suara gumaman ketika Kirana selesai memaparkan hasil analisisnya. Beberapa anggota tim saling bertukar pandang, sementara beberapa lainnya sibuk mencatat poin-poin penting yang ia sampaikan. Kirana menutup presentasi dengan mantap, tangannya tetap terlipat di depan dada, menunggu reaksi.Dirga menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya tak terbaca. "Jadi, menurutmu strategi kita saat ini tidak cukup kompetitif?"Kirana menatapnya tanpa gentar. "Saya hanya menunjukkan data dan perbandingan di lapangan. Jika ingin mendominasi pasar, kita perlu menyesuaikan pendekatan."Salah satu manajer pemasaran mengangguk setuju. "Analisisnya masuk akal, Pak Dirga. Kompetitor memang lebih agresif dalam strategi digital mereka."Alih-alih mengakui, Dirga malah menyilangkan tangan dan menatap Kirana dengan tatapan menilai. "Kalau begitu, coba buktikan. Buat strategi pemasaran yang bisa mengungguli mereka. Saya ingin proposal yang konkret dalam waktu satu minggu."Beberapa orang di
Seharian ini Kirana tidak bisa fokus bekerja. Pikirannya terus berputar pada satu hal—ulang tahun Arka yang semakin dekat.Ia ingin tahu bagaimana kabar putranya. Ingin tahu apakah Arka baik-baik saja tanpa dirinya. Ingin tahu... apakah Arka masih mengingatnya.Namun, semakin ia berpikir, semakin berat perasaannya. Ia dan Dirga sudah lama tidak berbicara di luar urusan pekerjaan. Menanyakan tentang Arka seakan menjadi hal yang terlalu sulit untuk dilakukan.Tapi hari ini, ia harus melakukannya.Saat jam kerja sudah selesai, Kirana mengambil napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian. Ia berjalan ke arah ruangan Dirga, namun langkahnya melambat ketika melihat seseorang keluar lebih dulu—Arya, salah satu manager muda paling berprestasi di kantor mereka.Arya menoleh dan tersenyum. “Oh, Kirana! Kamu mau ketemu Pak Dirga?” tanyanya santai.Kirana balas tersenyum kecil. “Iya, ada yang mau saya tanyakan.”“Wah, kebetulan. Aku juga baru ngobrol sama dia, tapi kayaknya mood-nya lagi kura
Dirga melirik jam tangannya begitu mobilnya berhenti di depan sekolah Arka. Panggilan dari pihak sekolah pagi tadi membuatnya terpaksa menyelipkan waktu di antara jadwal meetingnya yang padat.Begitu dia masuk ke ruang guru, seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah menyambutnya. “Selamat siang, Pak Dirga. Saya Bu Lita, wali kelas Arka. Silakan duduk.”Dirga mengangguk singkat dan menarik kursi di hadapan sang guru. “Ada apa dengan Arka, Bu?”Bu Lita tampak ragu sejenak, lalu menghela napas. “Begini, Pak. Kami memperhatikan ada perubahan dalam sikap Arka belakangan ini. Biasanya dia aktif dan ceria, tapi sekarang dia sering menyendiri. Dia jarang bermain dengan teman-temannya, lebih banyak melamun saat pelajaran, dan terkadang terlihat gelisah.”Dirga menegakkan punggungnya, ekspresinya tetap dingin meski pikirannya mulai dipenuhi tanda tanya. “Maksud Ibu, dia mengalami kesulitan belajar?”“Bukan hanya itu.” Bu Lita mengusap kedua tangannya. “Beberapa kali, dia terlihat seperti an
Kirana duduk di lantai kamar Arka, mengamati betapa cerianya anak itu saat menyusun balok-balok warna-warni menjadi menara tinggi. Sesekali, Arka tertawa riang, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Tangannya yang mungil dengan lincah menyusun satu demi satu balok, lalu menoleh ke Kirana dengan senyum lebarnya."Tante Kirana lihat! Tinggi banget, kan?" Arka berseru bangga.Kirana menelan ludah, berusaha menahan emosi yang bergemuruh di dadanya. Matanya mulai basah, tapi ia tersenyum lebar, mengusap kepala Arka dengan lembut. "Iya, tinggi sekali! Arka pintar banget. Hati-hati, jangan sampai roboh, ya."Arka mengangguk antusias, lalu buru-buru mengambil balok lain untuk menambah ketinggian menaranya. Tawa kecilnya menggema di ruangan, mengisi setiap sudut dengan kehangatan yang begitu sederhana namun mendalam.Tanpa mereka sadari, di ambang pintu, Dirga berdiri diam. Matanya mengamati setiap gerakan Kirana dan Arka. Wajahnya tetap datar, tapi ada sesuatu di sorot matanya yang sulit dijela
Kirana menelan ludah saat berdiri di samping mobil hitam yang mengilap itu. Mercedes-Benz GLC. Bukan sekadar mobil, ini adalah kendaraan mewah yang rasanya lebih cocok buat pejabat atau orang-orang elit di drama Korea yang biasa ia tonton.Tangannya sedikit gemetar saat meraih handle pintu. Begitu pintu terbuka, aroma khas interior kulit langsung menyapa penciumannya, disusul dengan tampilan dashboard yang penuh layar digital. Astaga, ini mobil atau kokpit pesawat?Dengan hati-hati, Kirana duduk di balik kemudi. Joknya empuk, terlalu nyaman dibandingkan mobil mungilnya yang biasa ia bawa ke mana-mana. Ia mencoba menyesuaikan posisi duduk, tapi malah salah pencet tombol di sisi kursi, membuatnya tiba-tiba terdorong maju hingga hampir menempel ke setir."Astagaaa..." Kirana buru-buru menekan tombol lain dan mundur sedikit. Jantungnya sudah berdetak cepat sebelum ini, tapi sekarang makin menggila.Deg-degan. Antara mau ketemu Arka dan harus nyetir mobil yang harganya bisa buat beli rumah
Dirga melirik jam tangannya begitu mobilnya berhenti di depan sekolah Arka. Panggilan dari pihak sekolah pagi tadi membuatnya terpaksa menyelipkan waktu di antara jadwal meetingnya yang padat.Begitu dia masuk ke ruang guru, seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah menyambutnya. “Selamat siang, Pak Dirga. Saya Bu Lita, wali kelas Arka. Silakan duduk.”Dirga mengangguk singkat dan menarik kursi di hadapan sang guru. “Ada apa dengan Arka, Bu?”Bu Lita tampak ragu sejenak, lalu menghela napas. “Begini, Pak. Kami memperhatikan ada perubahan dalam sikap Arka belakangan ini. Biasanya dia aktif dan ceria, tapi sekarang dia sering menyendiri. Dia jarang bermain dengan teman-temannya, lebih banyak melamun saat pelajaran, dan terkadang terlihat gelisah.”Dirga menegakkan punggungnya, ekspresinya tetap dingin meski pikirannya mulai dipenuhi tanda tanya. “Maksud Ibu, dia mengalami kesulitan belajar?”“Bukan hanya itu.” Bu Lita mengusap kedua tangannya. “Beberapa kali, dia terlihat seperti an
Seharian ini Kirana tidak bisa fokus bekerja. Pikirannya terus berputar pada satu hal—ulang tahun Arka yang semakin dekat.Ia ingin tahu bagaimana kabar putranya. Ingin tahu apakah Arka baik-baik saja tanpa dirinya. Ingin tahu... apakah Arka masih mengingatnya.Namun, semakin ia berpikir, semakin berat perasaannya. Ia dan Dirga sudah lama tidak berbicara di luar urusan pekerjaan. Menanyakan tentang Arka seakan menjadi hal yang terlalu sulit untuk dilakukan.Tapi hari ini, ia harus melakukannya.Saat jam kerja sudah selesai, Kirana mengambil napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian. Ia berjalan ke arah ruangan Dirga, namun langkahnya melambat ketika melihat seseorang keluar lebih dulu—Arya, salah satu manager muda paling berprestasi di kantor mereka.Arya menoleh dan tersenyum. “Oh, Kirana! Kamu mau ketemu Pak Dirga?” tanyanya santai.Kirana balas tersenyum kecil. “Iya, ada yang mau saya tanyakan.”“Wah, kebetulan. Aku juga baru ngobrol sama dia, tapi kayaknya mood-nya lagi kura
Ruang rapat dipenuhi suara gumaman ketika Kirana selesai memaparkan hasil analisisnya. Beberapa anggota tim saling bertukar pandang, sementara beberapa lainnya sibuk mencatat poin-poin penting yang ia sampaikan. Kirana menutup presentasi dengan mantap, tangannya tetap terlipat di depan dada, menunggu reaksi.Dirga menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya tak terbaca. "Jadi, menurutmu strategi kita saat ini tidak cukup kompetitif?"Kirana menatapnya tanpa gentar. "Saya hanya menunjukkan data dan perbandingan di lapangan. Jika ingin mendominasi pasar, kita perlu menyesuaikan pendekatan."Salah satu manajer pemasaran mengangguk setuju. "Analisisnya masuk akal, Pak Dirga. Kompetitor memang lebih agresif dalam strategi digital mereka."Alih-alih mengakui, Dirga malah menyilangkan tangan dan menatap Kirana dengan tatapan menilai. "Kalau begitu, coba buktikan. Buat strategi pemasaran yang bisa mengungguli mereka. Saya ingin proposal yang konkret dalam waktu satu minggu."Beberapa orang di
Di sela-sela pekerjaannya, Dirga duduk di balik meja besar di ruangannya, sibuk membaca laporan proyek yang sedang berjalan."Pak Dirga, maaf mengganggu. Ini dokumen tambahan untuk proyek yang dikerjakan Bu Kirana," ujar Reza, sekretarisnya sambil meletakkan map di meja.Dirga hanya mengangguk tanpa menoleh, tetapi detik berikutnya, sekretarisnya menambahkan dengan nada sedikit jahil, "Oh iya, Pak, sepertinya Bu Kirana karyawan baru itu punya banyak penggemar di kantor ini."Sudah seminggu yang lalu sejak kejadian dia membuat Kirana terluka di hari pertama pertemuan mereka. Apakah ejekan sarkasnya pada Kirana memang jadi kenyataan, kalau Kirana beneran kembali jadi gadis?Mata Dirga akhirnya beralih dari dokumen. "Penggemar?"Sekretarisnya terkikik. "Iya, Pak. Banyak yang diam-diam naksir. Bahkan ada anak magang yang terang-terangan ngasih kopi ke meja Bu Kirana setiap pagi."Alis Dirga sedikit berkerut, tetapi matanya masih tertuju pada laporan. "Anak magang?"Reza mengangguk, nada s
Suasana ruang meeting terasa tegang. Kirana merapikan catatan di tangannya, memastikan semua poin presentasinya tersusun rapi. Sudah sebulan ia bekerja di sini, dan ini pertama kalinya ia harus mempresentasikan strategi marketing langsung di hadapan CEO—sosok misterius yang selama ini belum pernah ia temui."Jangan gugup," bisik Aulia, rekan kerjanya. "Katanya CEO kita tuh visioner banget, tapi agak dingin. Kalau idemu bagus, dia pasti suka."Kirana mengangguk, berusaha meyakinkan diri. Toh, ia sudah terbiasa menghadapi atasan yang perfeksionis. Lagipula, ini hanya presentasi biasa, bukan sesuatu yang harus ditakuti.Pintu terbuka. Seorang pria memasuki ruangan dengan langkah tenang, jasnya rapi, auranya mendominasi seketika.Kirana yang awalnya berdiri siap untuk memulai presentasi, mendadak membeku. Napasnya tercekat.Pria itu.Mantan suaminya.Dirga.Dada Kirana berdegup kencang. Ia ingin percaya bahwa ini hanya ilusi—bahwa sosok yang kini berdiri di hadapannya, dengan tatapan taja