Deburan ombak membasahi kaki seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sedang berlarian di pinggir pantai. Sinar matahari yang mulai redup, menjadi saksi kebahagiaan mereka. Dua murid SMP yang masih belum mengenal apa itu arti cinta. Tetapi, sudah saling berjanji untuk selalu bersama. Mereka adalah Elvano dan Felysia.
Langkah mereka berhenti, saat matahari sudah terbenam seutuhnya. Mata mereka mulai memandang ke arah pantai. Menikmati, hembusan angin malam. Dan, tersenyum bahagia.
"Kita pisah di sini, ya," ucap Elvano.
"Iya, besok kita main ke sini lagi, ya," ucap Felysia dengan antusias.
"Bukan itu maksudku."
"Terus apa dong?"
Elvano mulai mengumpulkan keberaniannya. Jantungnya mulai berdetak kencang. Semua kata-kata yang tadi sudah ia siapkan, secara tiba-tiba hilang dari ingatannya. Sehingga, ia harus memikirkan ulang, kalimat apa yang bisa ia ucapkan, tanpa membuat Felysia bersedih.
"Sayonara," ucap Elvano.
Cuma satu kata itu yang terpikirkan olehnya. Satu kata yang mengandung berbagai kesedihan di dalamnya. Sebuah kata yang menjadi akhir dari sebuah hubungan. Dan, Felysia sadar betul tentang hal itu.
"Kalau mau bercanda, jangan pakai kalimat itu," ucap Felysia sambil menggenggam erat tangan kanan Elvano.
"Sorry. Kali ini, aku nggak lagi bercanda," ucap Elvano.
Senyuman Felysia luntur. Ia berharap, kalau sahabatnya itu sedang bercanda. Dan, kalau ini adalah mimpinya, ia ingin bangun sekarang juga. Dirinya belum siap mendengarkan kalimat perpisahan dari Elvano. Ia ingin hari-harinya dengan Elvano masih terus berlanjut.
"Mau pergi ke mana? Kan, kita baru aja naik kelas," tanya Felysia.
Hari ini adalah pengumuman hasil ujian kenaikan kelas. Jadi, hari ini mereka berdua telah resmi naik ke kelas dua SMP.
"Jauh dari sini," jawab Elvano.
"Kembali lagi ke sini?" tanya Felysia.
"Iya, kan kamu ada di sini. Sejauh apa pun aku pergi, pasti akan kembali lagi ke kamu," jawab Elvano sambil mengelus puncak kepala Felysia.
"Kapan?"
Elvano memejamkan matanya. Ia sendiri bahkan tidak tau, kapan dirinya akan kembali ke kota ini. Tetapi, ia yakin, kalau setelah perpisahan ini, dirinya dan Felysia akan dipertemukan lagi oleh Tuhan. Setidaknya, hanya itu yang ia yakini sampai sekarang.
"Entah, aku juga nggak tau. Tapi, kayaknya bakalan lama," ucap Elvano.
"Ayah kamu bakalan pensiun dua tahun lagi. Jadi, pasti kamu nggak akan kesepian," lanjut Elvano.
Reno, itu nama ayah Felysia. Seorang pria angkatan laut yang sudah berumur 56 tahun. Pria dengan tampang menakutkan itu, akan selalu ada buat Felysia setelah dirinya pensiun dari kerjaannya. Dan, tentu saja, pria itu akan selalu ada, setiap Felysia membutuhkan pelukan seorang ayah.
Reno juga satu-satunya alasan kenapa Elvano memutuskan pergi dari sisi Felysia. Mungkin, Felysia tidak tau akan hal itu. Tetapi ia harap, saat Felysia tau tentang Itu semua, perempuan cantik itu tidak akan membenci Reno.
"Terima kasih buat senyumannya," ucap Elvano sambil mengulurkan tangannya.
"Terima kasih buat semua candanya," ucap Felysia sambil menjabat tangan Elvano.
Dengan cepat, Elvano menempelkan telapak tangannya di kening Felysia. Kepalanya mulai bergerak maju. Dan, lalu berhenti saat bibirnya sudah mencium punggung tangannya yang masih menempel di kening perempuan itu.
Elvano, dan Felysia saling bertatapan. Felysia menggenggam erat roknya, berharap kalau semua ini hanyalah sebuah mimpi.
"Ciuman selamat tinggal," ucap Elvano ditutup dengan sebuah senyuman.
"Langit," lirih Felysia.
Mata Elvano membulat sempurna. Ia tidak menyangka, akan mendengar nama itu di saat-saat terakhirnya bersama perempuan itu.
"El, nama belakang kamu apa?"
"Emangnya kenapa, Fel?"
"Enggak kenapa-napa, sih. Cuman nanya doang."
"Langit. Anggap aja itu nama belakang ku."
Elvano teringat dengan kejadian di mana untuk pertama kalinya Felysia menanyakan nama belakangnya. Dan, untuk pertama kalinya juga, ia berbohong kepada perempuan itu.
"Aku suka nama itu, terima kasih sudah manggil aku pakai nama itu," ucap Elvano.
Senyuman Elvano luntur, saat melihat supir pribadi Felysia sudah berjalan mendekat. Sekarang adalah saat yang tepat, untuk meninggalkan perempuan itu. Tetapi, entah kenapa, kakinya tak ingin beranjak sedikit pun. Hatinya seolah menyuruhnya untuk tetap berada di sana, tetap berada di sisi perempuan itu sampai kapan pun.
Sekarang ia tidak bisa menuruti kata hatinya. Karena, semuanya sudah berbeda sekarang.
Elvano mundur satu langkah. Ia menunjukkan senyumannya kembali, lalu melenggang pergi dari hadapan Felysia. Walau, langkah kakinya mulai terasa berat, hatinya terasa sakit, sebuah air mata mulai membasahi pipinya. Ia terus berlari menjauh. Ia tidak akan pernah melihat ke belakang. Karena, sekali ia melihat ke belakang, pasti ia akan kembali ke dalam pelukan perempuan itu.
"Alasan kenapa aku mulai berjuang, alasan kenapa aku begitu ingin hidup. Itu semua salahmu. Kamu membuatku terikat dengan waktu yang kuhabiskan bersamamu," gumam Elvano.
Sedangkan, di satu sisi. Felysia membiarkan air matanya terus menetes. Ia tidak akan pernah menahan air mata itu, karena baginya, air mata itu adalah bukti, kalau dirinya sangat menyayangi sahabatnya itu. Ia terus membiarkan laki-laki itu terus pergi menjauh, karena dengan begitu, ia bisa sadar kalau seseorang bisa pergi kapan saja, jadi dirinya tidak akan pernah memaksakan seseorang untuk selalu berada di sisinya. Rasanya sangat berat, saat harus melihat kepergian seorang laki-laki yang selama ini telah menjadi alasannya untuk selalu tersenyum, tetapi mau gimana lagi. Ini sudah takdir. Dan, ia hanya bisa mencoba menikmati rasa sakit yang sedang ia rasakan sekarang.
"Nggak ada luka sedikit pun di tubuhku. Tapi, kenapa rasanya sakit sekali?" tanya Felysia
"Pergi sejauh yang kamu bisa. Asalkan kamu sudah janji buat kembali lagi, itu sudah cukup bagiku," lanjut Felysia.
"Merelakanmu,
cuman itu yang aku bisa."
Suasana hening mendominasi di kelas XI MIPA-1, semua siswa di kelas itu memperhatikan Denis yang sedang mengajar mata pelajaran matematika. Guru laki-laki yang terkenal dengan kecuekannya terhadap siswa itu, masih sibuk menulis beberapa rumus di papan tulis. Mata para siswa memang menatap papan tulis. Tetapi, pikiran mereka sedang memikirkan urusan mereka masing-masing.Felysia menghembuskan nafas panjang. Tempat duduknya berada di paling belakang dan dekat dengan jendela. Jadi, ia bisa melihat ke arah luar kelas. Ia memandang beberapa murid yang sedang olah raga di halaman. Ia mulai merasakan rasa bosan. Dan, ia tidak suka menikmati rasa itu.Pandangannya beralih ke arah Brian. Lelaki itu adalah kekasihnya. Ia dan Brian sudah pacaran sejak kelas X. Brian lah, alasan Felysia bisa melupakan sosok laki-laki yang pernah menjadi alasan buat tertawa semasa SMP. Bahkan, ia sudah tidak ingat, siapa nama asli sosok lelaki yang telah mengisi kisah hidupnya saat masih SMP.
Felysia berjalan santai memasuki daerah pekarangan rumahnya. Rumah berwarna biru bercampur hijau itu, ia tinggali bersama ayah dan adiknya. Rumah yang bisa dibilang cukup megah, dengan sebuah taman yang cukup luas, dan sebuah kolam renang di samping rumah. Perlahan, ia membuka pintu rumahnya. Kakinya mulai melangkah masuk ke dalam ruang tamu. Dan di sofa, ia melihat lelaki paruh baya, berumur 58 tahun. Lelaki itu adalah Reno, ayahnya terkenal sebagai mantan angkatan laut. Dengan tampangnya yang sangar, dan nada suara yang sedikit tinggi, selalu bisa membuat semua teman laki-laki Felysia lari saat berniat untuk main ke rumah perempuan tersebut. "Oh, kamu udah pulang. Gimana sekolahmu?" tanya Reno. "Biasa aja. Nggak ada yang spesial dan nggak ada yang jelek," jawab Felysia sambil duduk di samping Reno. "Masih belum bisa pelajaran fisika?" tanya Reno. Fisika adalah mata pelajaran yang paling dibenci oleh Felysia. Tetapi, untung saja p
Bel istirahat sudah berbunyi dari lima menit yang lalu. Brian dan Felysia langsung memutuskan untuk pergi ke kantin. Dengan langkah kecil, mereka berdua berjalan menuju pintu kelas. Sebelum benar-benar keluar dari kelas, Brian sempat menatap Ardiansyah yang sedang mencatat sebuah materi fisika.Ia masih bingung dengan kejadian kemarin, sebenarnya siapa laki-laki itu? Kenapa laki-laki itu sangat peka dengan perasaan seseorang? Dan, kenapa laki-laki itu selalu tampil dengan mata sayu?Ia menghilangkan semua pemikirannya, saat sudah berada di luar kelas. Ia menggenggam erat tangan kiri Felysia, lalu tersenyum kecil. Seakan menunjukkan kalau dirinya sedang bahagia.Tak begitu lama, akhirnya mereka sampai di kantin. Mereka melihat banyak murid yang sudah mengantri memesan makanan. Bahkan, Brian tidak yakin, kalau dirinya bisa memesan makanan sebelum bel masuk berbunyi."Gimana?" tanya Felysia."Istirahat kedua aja," jawab Brian.Brian dan Felysia
Laura menghentikan langkahnya, saat laki-laki yang berada di depannya berhenti. Sekarang, mereka berdua sedang berada di taman sekolah. Matanya memandang wajah laki-laki itu. Wajah yang tidak membuat orang bosan, saat menatapnya. Semuanya sempurna. Kecuali, mata yang selalu terlihat sayu.Mengenai kejadian tadi, ia sendiri tidak menyangka, kalau lelaki itu membantunya berbohong."Siapa nama lo?" tanya Laura.Laura mendengus kesal. Karena, ia tak kunjung mendapatkan sebuah jawaban. Laki-laki yang di hadapannya sekarang, hanya diam sambil menatap ke arah langit."Hei, siapa nama lo?" tanya Laura."Terserah lo mau manggil gua apa. Yang penting, jangan nama asli gua," jawab laki-laki itu.Laura yang kesal, langsung menarik tubuh laki-laki itu. Sekarang, laki-laki itu sudah menghadap ke arahnya. Jadi, ia bisa melihat name tag laki-laki itu."Ardiansyah," gumam Laura.Nama yang tidak buruk. Tetapi, kenapa laki-laki itu tidak ingin dipa
Bel pulang sekolah berbunyi. Tanda, kalau semua pembelajaran hari ini sudah selesai. Dengan perasaan senang, semua murid pun, langsung menuju ke parkiran.Di parkiran, sudah banyak murid yang sedang mencoba mengeluarkan sepeda motornya dari keramaian yang ada. Terlalu banyak yang mengendarai sepeda motor, sampai-sampai parkiran sekolah penuh.Tiba-tiba, aktivitas mereka terhenti, saat melihat ada sepasang kekasih memasuki parkiran. Mereka menatap sepasang kekasih itu dengan tatapan tajam. Sepasang kekasih itu adalah Ardiansyah dan Laura.Berita tentang mereka resmi berpacaran sudah menyebar ke seluruh murid yang bersekolah di SMA Nusa Bangsa. Tentu saja, semua murid laki-laki langsung kecewa setelah mendengar itu. Bidadari yang selama ini mereka idam-idamkan, sudah menjadi milik orang lain. Tetapi, masih banyak beranggapan, kalau itu hanyalah gosip belaka. Karena, tidak mungkin, seorang murid baru, bisa mendapatkan bidadari idaman mereka.&nb
Semua murid kelas XI MIPA-1 sedang tegang. Karena, hari ini, adalah hari pembagian hasil ulangan harian yang diadakan kemarin. Jam sudah menunjukkan pukul 08.45, yang berarti sebentar lagi Vito akan masuk ke dalam kelas. Vito adalah guru yang mengajar mata pelajaran fisika. Sebuah mata pelajaran yang paling dibenci oleh seluruh murid.Suasana langsung hening saat Vito memasuki kelas dengan membawa setumpuk kertas. Di kertas tersebut, ada sebuah jawab masing-masing murid, dan tentu saja, ada nilai mereka."Selamat pagi," ucap Vito sambil menaruh setumpuk kertas yang tadi ia bawa ke atas meja."Pagi, Pak," jawab seluruh murid."Karena, kemarin kita habis ulangan harian. Bapak pikir, hari ini lebih baik kalian santai-santai sambil ngambil hasil nilai kalian," ucap Vito.Vito berbeda dari guru lainnya. Cara mengajarnya lebih santai. Tetapi, saat ada salah satu muridnya mendapatkan nilai di bawah rata-rata. Ia pasti akan langsung menghukum murid
Brian duduk di pinggir lapangan basket. Ia menatap jaring ring yang sejak tadi bergerak karena hembusan angin yang cukup kencang. Rasanya, sudah lama sekali, ia tidak bermain basket.Ia tersenyum, saat melihat jam tangannya. Sekarang sudah jam 15.00, berarti waktunya untuk pulang ke rumah. Ia berdiri lalu berbalik. Ia kaget, saat melihat Ardiansyah berada di hadapannya."Kenapa? Apa lo mau main basket?" tanya Brian."Pengen, tapi nggak boleh sama dokter," jawab Ardiansyah sambil memandang ring basket.Dokter? Apa laki-laki yang ada di hadapannya ini punya penyakit? Tetapi, ia terlihat sangat sehat. Dan, Brian sama sekali, tidak pernah melihat laki-laki itu minum obat."Antara Felysia dan Laura. Lo pilih yang mana?" tanya Ardiansyah."Felysia lah. Dia kan pacar gua," jawab Brian."Kalau gitu, nggak ada masalah, kalau gua pacaran sama Laura."Brian langsung terdiam. Benar juga, laki-laki yang berada di hadapannya ini, s
Felysia sedang menikmati sebuah cemilan di ruang tamu. Hari ini adalah hari minggu. Jadi, ia tidak perlu belajar, maupun pergi ke sekolah. Setiap hari minggu, pasti ia habiskan untuk memakan cemilan, menonton TV, tidur, dan membaca novel. Selalu saja begitu. Kencan dengan Brian? Tentu saja tidak. Reno selalu melarang Felysia untuk keluar rumah saat hari minggu tiba.Mata perempuan itu fokus menatap TV. Ia sedang melihat film kesayangan. Pandangannya beralih menatap jam dinding. Dan, ternyata jarum jam sudah menunjukkan pukul 09.00. Yang berarti, film kesayangannya sebentar lagi akan berakhir. Dan, ia akan kembali merasa bosan.Pandangannya beralih lagi, menatap seorang pria paruh baya yang sedang membaca koran. Siapa lagi kalau bukan Reno. Sang Ayah yang terlalu mengekangnya."Ayah pernah bilang, kalau aku punya bodyguard pribadi. Tapi, aku belum pernah ngelihat dia," ucap Felysia."Belum saatnya kamu tau identitas dia," ucap Reno.Felysia m