Share

Guru Les

Semua murid kelas XI MIPA-1 sedang tegang. Karena, hari ini, adalah hari pembagian hasil ulangan harian yang diadakan kemarin. Jam sudah menunjukkan pukul 08.45, yang berarti sebentar lagi Vito akan masuk ke dalam kelas. Vito adalah guru yang mengajar mata pelajaran fisika. Sebuah mata pelajaran yang paling dibenci oleh seluruh murid. 

Suasana langsung hening saat Vito memasuki kelas dengan membawa setumpuk kertas. Di kertas tersebut, ada sebuah jawab masing-masing murid, dan tentu saja, ada nilai mereka. 

"Selamat pagi," ucap Vito sambil menaruh setumpuk kertas yang tadi ia bawa ke atas meja.

"Pagi, Pak," jawab seluruh murid.

"Karena, kemarin kita habis ulangan harian. Bapak pikir, hari ini lebih baik kalian santai-santai sambil ngambil hasil nilai kalian," ucap Vito.

Vito berbeda dari guru lainnya. Cara mengajarnya lebih santai. Tetapi, saat ada salah satu muridnya mendapatkan nilai di bawah rata-rata. Ia pasti akan langsung menghukum murid tersebut. Bisa dibilang, ia adalah satu-satunya guru yang akrab dengan para murid.

Vito pun mulai menyebutkan satu persatu nama muridnya. Lalu memberikan kertas hasil ulangan kemarin. Di balik wajahnya yang santai, ada sebuah kemarahan. Bagaimana tidak? Semua muridnya mendapatkan nilai di bawah rata-rata.  Hanya ada satu orang yang mendapatkan nilai di atas rata-rata. 

"Felysia," ucap Vito.

Felysia pun maju ke depan untuk mengambil hasil ulangannya. Dan, saat ia sudah mendapatkan kertas ulangannya, dengan perlahan ia melihat nilai yang tertulis di pojok kanan atas kertas. Ia mendapatkan nilai 68. Baginya, itu sudah cukup. 

"Kamu sangat pintar di pelajaran yang lain. Tapi, kenapa nilai kamu jelek di pelajaran fisika?" tanya Vito.

"Saya nggak suka fisika," jawab Felysia.

Vito menghembuskan nafas panjang. Itu sudah wajar, karena menurutnya sendiri, fisika adalah mata pelajaran yang paling sulit. Tetapi, itu tidak bisa menjadi alasan untuk tidak mendapatkan nilai bagus di mata pelajaran itu.

"Lagian, semuanya pasti dapat nilai di bawah rata-rata. Jadi, saya nggak perlu khawatir dengan posisi saya sebagai juara satu," ucap Felysia. 

Felysia adalah murid terpintar di XI MIPA-1. Jadi, bisa dipastikan, jika nilai Felysia buruk, pasti nilai teman sekelasnya lebih buruk darinya. 

"Kayaknya sekarang alurnya sudah berubah," ucap Vito.

"Ardiansyah,  nilai sempurna," lanjut Vito.

Sontak, seluruh kelas menoleh ke arah Ardiansyah. Apa benar, laki-laki itu mendapatkan nilai sempurna di ulangan fisika? Padahal laki-laki itu baru pindah ke sekolah ini satu minggu yang lalu. Tetapi, kenapa laki-laki itu bisa mendapatkan nilai sempurna?

Ardiansyah pun menjadi pusat perhatian seluruh murid yang ada di dalam kelas. Ia maju dengan langkah santainya. Tidak tersirat wajah bahagia sedikit pun di muka laki-laki itu. Bahkan, matanya masih sayu seperti biasanya. 

"Apa di sekolah kamu yang dulu, kamu selalu dapat juara satu?" tanya Vito sambil menyerahkan hasil ulangan kepada Ardiansyah. 

"Tidak pernah sama sekali," jawab Ardiansyah. 

Vito tersenyum tipis. Bagaimana mungkin, laki-laki itu tidak pernah mendapatkan juara satu? Padahal nilainya selalu nyaris sempurna di setiap mata pelajaran. Apa muridnya itu sedang berbohong? 

"Felysia sama Ardiansyah ikut saya. Dan, yang lainnya santai aja di kelas," ucap Vito.

Vito pun langsung melangkahkan kakinya keluar dari kelas. Tentu saja, diikuti oleh Felysia, dan Ardiansyah. Ia sudah punya rencana, agar nilai fisika Felysia bisa membaik. Jika, nilai Felysia di atas rata-rata,  sudah dipastikan kalau perempuan itu akan menjadi murid terpintar di angkatannya.

"Genius kehilangan jati diri," ucap Ardiansyah.

Ardiansyah sengaja memancing emosi Felysia. Ia tidak menyangka, kalau perempuan yang selama ini dianggap genius oleh semua orang, mendapatkan nilai buruk di mata pelajaran fisika.

"Kalau ngomong jangan ngasal," ucap Felysia sambil melirik Ardiansyah. 

Langkah mereka bertiga berhenti saat sudah berada di depan ruang kepala sekolah. Mereka langsung masuk, dan duduk di sofa. Ruangan kepala sekolah sekarang sedang sepi, hanya ada Vito, Felysia, Ardiansyah,  dan Denis yang sedang menata dokumen.

"Jadi, langsung ke intinya saja. Para guru meminta Ardiansyah untuk jadi guru les Felysia," ucap Vito.

Ardiansyah menghembuskan nafas panjang. Sedangkan, Felysia menatap Vito dengan tajam. Bagaimana mungkin, ia mendapatkan seorang guru les seperti Ardiansyah? Seorang laki-laki yang sangat dingin dengan orang yang ada di sekitarnya. Dan, bahkan sangking dinginnya,  tidak ada satu orang pun, yang pernah melihat laki-laki itu tersenyum. 

"Orang genius kayak dia nggak bakal butuh guru les," ucap Ardiansyah dengan santainya.

"Siapa juga yang mau jadi murid lo," ucap Felysia. 

"Tapi, sepertinya kamu nggak punya pilihan lain," ucap Vito sambil menaruh HP-nya di atas meja.

Ardiansyah menatap layar HP milik Vito. Di sana, ia bisa melihat sebuah rekaman video.  Sebuah rekaman yang memperlihatkan saat di mana Laura mencium pipinya. 

"Anda mengancam saya?" tanya Ardiansyah. 

"Bukan saya. Tapi, kepala sekolah. Bagaimana pun juga, para guru di sekolah ini, ingin sang genius mendapatkan nilai bagus di semua mata pelajaran," jawab Vito.

Ini bukan lah sebuah ancaman,  ini lebih ke sebuah kesepakatan. Ia yakin, kalau Ardiansyah tidak mau membuat kekasihnya mendapatkan sebuah hukuman dari guru BP. Jadi, ini lah satu-satunya cara, agar Ardiansyah setuju menjadi guru les Felysia. 

Di satu sisi yang lain, Ardiansyah tetap tenang. Pada akhirnya, ia tidak merasakan sebuah perasaan khawatir. Ia masih tidak peduli tentang kekasihnya itu. Ia tidak khawatir dengan sebuah hukuman yang menanti Laura, jika dirinya menolak permintaan Vito. 

Tetapi, sekarang ia adalah kekasih perempuan itu. Jadi, ia akan melindungi perempuan itu sebisanya. Entah, apapun yang akan terjadi ke depannya, selama ia bisa membuat dunia perempuan kembali tenang, pasti ia lakukan.

"Saya setuju jadi guru les dia. Itu pun, kalau dia sendiri yang memohon," ucap Ardiansyah sambil berdiri, lalu berjalan ke luar ruang kepala sekolah.

Felysia melirik Ardiansyah. Ternyata, laki-laki itu tidak seburuk yang ia kira. Laki-laki itu masih memiliki rasa peduli terhadap kekasihnya. 

"Kalau gitu, saya juga pamit kembali ke kelas," ucap Felysia sambil berdiri.

"Jangan lupa bujuk dia," ucap Vito.

Felysia tidak menjawab ucapan Vito. Rasanya sangat muak, jika harus membiarkan Ardiansyah menjadi guru lesnya. Tetapi, setelah melihat ancaman itu, ia tidak bisa tinggal diam. Karena, kalau Ardiansyah tidak menjadi guru lesnya. Pasti, Laura yang akan mendapatkan sebuah masalah.

Saat sudah berada di depan kelas, ia menghentikan langkahnya. Apa dengan membiarkan Ardiansyah bisa membuat semuanya menjadi lebih baik? Bagaimana jika kekasih laki-laki itu cemburu? Atau, bagaimana kalau Brian marah?

Ia langsung membalikkan badannya,  lalu berlari. Mungkin, ini akan menjadi pertama kalinya bertatapan langsung dengan perempuan yang paling diindam-idamkan oleh seluruh laki-laki.  Tadinya, ia berencana untuk pergi ke kelas XII MIPA-1. Tetapi, rencananya itu ia urungkan, karena ia sudah berpapasan dengan perempuan itu di koridor.

"Bisa minta waktunya sebentar?" tanya Felysia sambil berdiri di hadapan Laura.

"Maaf, gua lagi sibuk," jawab Laura.

"Ini tentang Ardiansyah."

Laura tersenyum kecil. Ada apa dengan kekasih bohongannya itu? Apa laki-laki itu sedang berada dalam masalah besar? Ia yakin, kalau laki-laki itu tidak akan melakukan hal-hal yang tidak berguna, seperti membuat masalah. 

"Oke, kita bicara di mana?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status