Bel pulang sekolah berbunyi. Tanda, kalau semua pembelajaran hari ini sudah selesai. Dengan perasaan senang, semua murid pun, langsung menuju ke parkiran.
Di parkiran, sudah banyak murid yang sedang mencoba mengeluarkan sepeda motornya dari keramaian yang ada. Terlalu banyak yang mengendarai sepeda motor, sampai-sampai parkiran sekolah penuh.
Tiba-tiba, aktivitas mereka terhenti, saat melihat ada sepasang kekasih memasuki parkiran. Mereka menatap sepasang kekasih itu dengan tatapan tajam. Sepasang kekasih itu adalah Ardiansyah dan Laura.
Berita tentang mereka resmi berpacaran sudah menyebar ke seluruh murid yang bersekolah di SMA Nusa Bangsa. Tentu saja, semua murid laki-laki langsung kecewa setelah mendengar itu. Bidadari yang selama ini mereka idam-idamkan, sudah menjadi milik orang lain. Tetapi, masih banyak beranggapan, kalau itu hanyalah gosip belaka. Karena, tidak mungkin, seorang murid baru, bisa mendapatkan bidadari idaman mereka.
Langkah Ardiansyah, dan Laura berhenti, saat Brian berdiri tepat di depan mereka. Brian menatap sepasang kekasih itu sambil tersenyum. Ia sangat tidak percaya dengan gosip itu. Tetapi, kalau gosip itu benar, ia tidak bisa melakukan apapun.
"Selamat," ucap Brian sambil mengulurkan tangannya.
"Makasih," ucap Ardiansyah.
"Perasaan baru kemarin lo masuk sekolah ini. Tapi, kok udah bisa dapat pacar aja."
"Takdir."
Sepertinya akan sangat sulit bagi Brian untuk membongkar apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi, laki-laki yang ada di hadapannya ini, sangat irit bicara.
"Kayaknya banyak nggak percaya sama hubungan kalian berdua. Gimana, kalau kalian ngasih satu bukti, biar semua yang ada di sini percaya?" tanya Brian.
Ardiansyah menatap Brian dengan malas. Laki-laki itu sangat suka sekali membuat dirinya kerepotan. Lagi pula, ia yakin, kalau laki-laki itu tau kebenarannya. Tetapi, kenapa masih saja merepotkannya dengan pertanyaan itu?
"Ans," ucap Laura.
Mendengar itu, Ardiansyah pun langsung memandang Laura. Matanya membulat sempurna, saat bibir Laura mendarat sempurna di pipi sebelah kanannya. Sepertinya bukan cuman Ardiansyah yang terkejut. Tetapi, semua orang yang ada di sana pun langsung terkejut melihat itu.
Seorang perempuan yang sangat menjaga jarak dengan laki-laki. Sekarang, dengan santainya, mencium laki-laki di depan umum. Dengan ini, satu bukti sudah ditunjukkan. Tidak ada yang bisa menyangkal bukti ini.
Ardiansyah dan Laura pun langsung melenggang pergi melewati Brian yang masih diam mematung. Ardiansyah melirik Brian sebentar.
"Pasti sakit," ucap Ardiansyah lalu melanjutkan perjalanannya.
Ardiansyah dan Laura sudah berada di dekat sepeda Ardiansyah. Sebuah sepeda dewasa berwarna putih polos, dengan sebuah jok bonceng di belakangnya.
Ardiansyah melepaskan tasnya, lalu memberikannya kepada Laura. Ia pun menarik sepedanya keluar dari himpitan sepeda motor yang terparkir rapi.
"Naik," ucap Ardiansyah.
Laura pun naik ke atas jok bonceng sepeda itu. Ini pertama kalinya, ia naik sepeda bersama seorang laki-laki. Dan, mungkin, mulai sekarang, naik sepeda, akan jadi kebiasaannya.
"Coba ubah posisi duduk lo menghadap ke belakang," ucap Ardiansyah.
"Kalau aku jatuh gimana?" tanya Laura.
"Nggak mungkin. Gua nggak bakal biarin bidadari gua jatuh," jawab Ardiansyah.
Ardiansyah sudah mulai memainkan perannya sebagai seorang kekasih. Dan, Laura pun mencoba untuk mempercayai ucapan lelaki itu. Ia pun duduk menghadap ke arah belakang. Dan, Ardiansyah mulai mengayuh sepedanya keluar dari parkiran.
Ardiansyah mengayuh sepedanya dengan santai. Tadi, ia sempat dikasih tau, tentang alamat rumah Laura. Dan, sampai sekarang, ia masih ingat. Jadi, ia tidak perlu arahan dari Laura.
Memboncengkan Laura, tidak seberat yang ia kira. Tetapi, masih ia tidak kira, kalau waktu ini akan tiba. Waktu di mana, ia akan memboncengkan seorang perempuan dengan sepedanya.
Sedangkan, di satu sisi. Laura sedang menikmati hembusan angin yang menerpa wajahnya. Posisinya sekarang, membuatnya sedikit pusing. Tetapi, ia sangat terpukau dengan apa yang lihat sekarang. Ia melihat ke arah langit sambil tersenyum. Apa dengan Ardiansyah ini, ia bisa melupakan sosok laki-laki yang selalu ia idam-idamkan? Tentu tidak. Tetapi, ia harap, rasa cintanya pada laki-laki yang berada di belakangnya ini, tumbuh secepatnya.
"Ans, apa menurut kamu, ketulusan itu ada?" tanya Laura sambil menyadarkan punggungnya ke punggung Ardiansyah.
"Entah," ucap Ardiansyah.
Laura, dan Ardiansyah sama-sama tidak percaya dengan sebuah ketulusan. Bagi mereka, tidak ada bedanya antara ketulusan dengan rasa iba.
"Kalau ada, aku pengen ngerasain sekali saja," ucap Laura.
Ardiansyah hanya diam. Ia tetap mengayuh sepedanya. Tetapi, pikirannya sedang memikirkan hal yang lain. Ketulusan. Kalau, dirinya yang dulu, pasti ia yakin dengan adanya sebuah ketulusan. Tetapi, dirinya yang sekarang tidak.
Perempuan yang berada di belakangnya sekarang berbeda dengannya. Perempuan yang selalu mendapatkan sebuah perhatian, kasih sayang, cinta. Ia yakin, kalau perempuan itu pasti akan merasakan ketulusan yang sesungguhnya. Tetapi, sebelum merasakan sebuah ketulusan. Perempuan itu, pasti akan merasakan pahitnya sebuah kehilangan, pengkhianatan, dan kegagalan. Dan, Ardiansyah sudah siap, untuk selalu berada di sisi perempuan itu, saat perempuan itu sedang merasakan kepahitan tersebut.
"Ans, apa kamu bakalan ninggalin aku, kalau aku sudah suka sama orang lain?" tanya Laura.
"Enggak," jawab Ardiansyah.
"Kenapa?"
"Tugas gua cuma bantu lo bebas dari semua laki-laki yang selama ini ngejar lo. Dan, soal lo yang suka sama lain, itu bukan urusan gua."
Laura tersenyum kecil. Laki-laki yang sangat dingin. Padahal, status mereka sudah menjadi sepasang kekasih. Tetapi, laki-laki itu masih saja cuek. Ini lah yang selama ini Laura inginkan. Sebuah kebebasan yang tiada batas. Ia bisa dekat dengan siapa saja, tanpa harus memikirkan hati Ardiansyah. Dan, pergi ke mana saja, tanpa memberitahu laki-laki itu.
"Apa kamu bener-bener nggak tertarik sama aku?" tanya Laura.
"Enggak," jawab Ardiansyah.
"Kenapa?"
Tidak ada jawaban dari Ardiansyah. Sepertinya, laki-laki itu masih belum mau terbuka kepadanya. Laura pun sekarang hanya bisa mencoba memahami posisi laki-laki itu. Mereka baru saja kenal, jadi wajar saja kalau ada beberapa kisah yang harus dirahasiakan.
"Besok kamu mau makan apa?" tanya Laura.
"Emang kenapa?" tanya Ardiansyah.
"Rencananya, besok aku mau buatin kamu bekal."
"Terserah."
Terserah. Berarti laki-laki itu tidak menolak tawaran Laura. Tetapi, kata itu juga membuat Laura bertanya-tanya, apa yang akan ia masak besok. Ini pertama kalinya, ia memasak, jadi ia akan minta bantuan asisten rumah tangganya.
"Jangan dikasih yang aneh-aneh," ucap Ardiansyah.
"Tenang aja. Kan aku masih butuh kamu. Jadi, aku nggak bakal biarin kamu mati begitu aja," ucap Laura.
Ardiansyah tersenyum kecil. Benar kata perempuan itu, selama ia masih berguna, pasti tidak akan ada orang yang mau membuangnya. Ia sudah terbiasa dengan situasi seperti itu. Tidak ada satu pun orang, yang menginginkan kehadirannya. Dan, tidak ada satu pun orang, yang mengerti perasaannya saat diperlakukan seperti boneka.
"Jangan buat gua bosan."
Semua murid kelas XI MIPA-1 sedang tegang. Karena, hari ini, adalah hari pembagian hasil ulangan harian yang diadakan kemarin. Jam sudah menunjukkan pukul 08.45, yang berarti sebentar lagi Vito akan masuk ke dalam kelas. Vito adalah guru yang mengajar mata pelajaran fisika. Sebuah mata pelajaran yang paling dibenci oleh seluruh murid.Suasana langsung hening saat Vito memasuki kelas dengan membawa setumpuk kertas. Di kertas tersebut, ada sebuah jawab masing-masing murid, dan tentu saja, ada nilai mereka."Selamat pagi," ucap Vito sambil menaruh setumpuk kertas yang tadi ia bawa ke atas meja."Pagi, Pak," jawab seluruh murid."Karena, kemarin kita habis ulangan harian. Bapak pikir, hari ini lebih baik kalian santai-santai sambil ngambil hasil nilai kalian," ucap Vito.Vito berbeda dari guru lainnya. Cara mengajarnya lebih santai. Tetapi, saat ada salah satu muridnya mendapatkan nilai di bawah rata-rata. Ia pasti akan langsung menghukum murid
Brian duduk di pinggir lapangan basket. Ia menatap jaring ring yang sejak tadi bergerak karena hembusan angin yang cukup kencang. Rasanya, sudah lama sekali, ia tidak bermain basket.Ia tersenyum, saat melihat jam tangannya. Sekarang sudah jam 15.00, berarti waktunya untuk pulang ke rumah. Ia berdiri lalu berbalik. Ia kaget, saat melihat Ardiansyah berada di hadapannya."Kenapa? Apa lo mau main basket?" tanya Brian."Pengen, tapi nggak boleh sama dokter," jawab Ardiansyah sambil memandang ring basket.Dokter? Apa laki-laki yang ada di hadapannya ini punya penyakit? Tetapi, ia terlihat sangat sehat. Dan, Brian sama sekali, tidak pernah melihat laki-laki itu minum obat."Antara Felysia dan Laura. Lo pilih yang mana?" tanya Ardiansyah."Felysia lah. Dia kan pacar gua," jawab Brian."Kalau gitu, nggak ada masalah, kalau gua pacaran sama Laura."Brian langsung terdiam. Benar juga, laki-laki yang berada di hadapannya ini, s
Felysia sedang menikmati sebuah cemilan di ruang tamu. Hari ini adalah hari minggu. Jadi, ia tidak perlu belajar, maupun pergi ke sekolah. Setiap hari minggu, pasti ia habiskan untuk memakan cemilan, menonton TV, tidur, dan membaca novel. Selalu saja begitu. Kencan dengan Brian? Tentu saja tidak. Reno selalu melarang Felysia untuk keluar rumah saat hari minggu tiba.Mata perempuan itu fokus menatap TV. Ia sedang melihat film kesayangan. Pandangannya beralih menatap jam dinding. Dan, ternyata jarum jam sudah menunjukkan pukul 09.00. Yang berarti, film kesayangannya sebentar lagi akan berakhir. Dan, ia akan kembali merasa bosan.Pandangannya beralih lagi, menatap seorang pria paruh baya yang sedang membaca koran. Siapa lagi kalau bukan Reno. Sang Ayah yang terlalu mengekangnya."Ayah pernah bilang, kalau aku punya bodyguard pribadi. Tapi, aku belum pernah ngelihat dia," ucap Felysia."Belum saatnya kamu tau identitas dia," ucap Reno.Felysia m
Ardiansyah sudah masuk ke dalam area parkiran SMA Nusa Bangsa. Ia mencari area yang kosong, untuk memarkirkan sepedanya. Matanya menatap sebuah area kosong di paling ujung. Dengan cepat, ia mengayuh pedal sepedanya.Matanya langsung melotot kaget, saat melihat ada perempuan yang tiba-tiba berdiri di jalan yang akan ia lewati. Dengan cekatan, ia langsung menarik rem sepedanya, lalu kakinya dengan cepat menginjak lantai, supaya badannya tidak terjatuh. Ia menghembuskan nafas panjang. Ia bersyukur karena tidak menabrak perempuan itu."Mata lo buta!" bentak Ardiansyah sambil turun dari sepedanya."Ya elah, kalem aja kali. Nggak kena juga, 'kan," ucap perempuan itu.Ardiansyah menatap perempuan itu malas. Perempuan yang sangat ingin ia bentak. Tetapi, ia ingat, kalau perempuan itu adalah pacar Brian. Jadi, ia urungkan niatnya itu. Ia tidak mau, karena ia membentak gadis itu, pertemanannya dengan Brian jadi rusak."Apa mau lo?" tanya Ardiansyah.&nb
Brian berjalan santai menuju ke arah kantin. Sesekali, ia menyapa orang yang berada di pinggir koridor. Sekarang sudah waktunya istirahat, makanya seluruh murid diperbolehkan berada di luar kelas. Dan, sekarang Brian ingin ke kantin untuk membeli sebuah minuman untuk Felysia.Langkahnya terhenti saat ia berada di dekat toilet murid laki-laki. Ia mendengar suara kegaduhan dari dalam toilet. Dari suara yang ia dengar, ia yakin kalau salah satu orang yang ada di dalam adalah Nova Carlo.Ia melangkahkan kakinya lagi. Tetapi, langkahnya kembali terhenti, saat ia mendengarkan suara yang sudah sangat familiar di telinganya. Itu adalah suara Ardiansyah.Dari yang ia dengar, ia bisa menebak, kalau di dalam sana ada empat atau bahkan lima orang. Kalau dugaannya benar. Nova berada di dalam sana, sudah bisa dipastikan, kalau Ardiansyah sedang di-bully.Tetapi, ia tidak peduli. Lagipula, ia yakin, kalau Ardiansyah bisa melawan musuh-musuhnya tanpa bantuannya.
Ardiansyah tersenyum kecil sambil menyeka darah yang baru saja keluar dari sudut bibirnya. Pandangannya beralih menatap Brian yang sedang menyeka keringatnya.Baru saja, mereka berdua berhasil mengalahkan empat senior mereka. Bertarung secara brutal di dalam kamar mandi. Ardiansyah tidak menyangka, kalau dirinya akan bertarung dengan salah satu seniornya.Ardiansyah menatap ke arah kaca kamar mandi. Untung saja, perkelahiannya tadi tidak membuat kerusakan sedikitpun, jadi tidak akan ada barang bukti yang menunjukkan bahwa ada sebuah pertarungan.Pertarungannya tadi menyita banyak waktu. Dan, sekarang sudah hampir jam istirahat kedua. Yang berarti, mereka telah bolos tiga jam mata pelajaran."Gimana? Mau masuk kelas atau bolos ke kantin sekalian?" tanya Brian."Terserah," jawab Ardiansyah."Kayaknya ke UKS dulu. Luka lo harus diobatin dulu.""Nggak perlu."Brian langsung melangkahkan kakin
Saat bel pulang sekolah, Felysia dengan cepat memasukkan seluruh buku, pensil ke dalam tas ransel miliknya. Rasanya semakin membara saat mengingat perkataan sang kekasihnya."Ardiansyah mau jadi guru les lo. Jadi, lo harus dapat nilai bagus di pelajaran fisika."Kalimat Brian itu sangat membuat dirinya bahagia. Dengan begini, ia tidak perlu membujuk Ardiansyah lagi. Karena, laki-laki itu telah bersedia, walau kelihatannya terpaksa.Matanya beralih menatap seorang laki-laki yang duduk di samping Brian. Laki-laki itu akan adalah orang yang akan menjadi guru lesnya mulai sekarang, entah apa yang akan terjadi, tetapi ia harap semua tujuannya tercapai. Dan, ia segera bisa tau, siapa identitas pengawalnya.Ia langsung melangkahkan kakinya ke arah meja Brian, dan Ardiansyah. Di setiap langkahnya, ia terus memikirkan apa yang akan ia sampai kepada Ardiansyah yang sudah mau menjadi guru lesnya. Langkahnya terhenti. Dan, ia belum mendapatkan sat
Ardiansyah sudah berada di depan rumah Felysia. Ia menatap rumah mewah itu dengan pandangan malas. Sudah sekitar, lima menit ia menunggu di depan gerbang. Tetapi, belum ada satu pun yang membukakan gerbang untuknya.Ia kaget, saat dari belakang ada orang yang menepuk pundaknya dengan keras. Dengan cepat, ia langsung melihat ke arah belakang. Dan, ternyata orang yang menepuk pundaknya adalah Felysia."Nungguin lama?" tanya Felysia."Menurut lo?" tanya Ardiansyah dengan suara yang sedikit tinggi."Ya maaf, tadi gua beli kue sama minuman dulu," jawab Felysia.Ardiansyah mengalihkan pandangannya ke arah plastik yang sedang dibawa Felysia. Sepertinya benar, perempuan itu telat karena membelikannya minuman, dan makanan terlebih dahulu. Tetapi, sepertinya masih ada yang kurang dari perempuan itu. Dan, Ardiansyah pun langsung dapat menyadarinya."Brian mana? Dia nggak nganterin lo sampai depan rumah?" tanya Ardiansyah.