Rosita kembali ke ruangan Amar. Ia sempat menangis di dalam toilet umum beberapa menit. Karena teringat Julio yang hanya seorang diri menjaga Amar, maka wanita paruh baya itu menyudahi kesedihannya."Aku tidak boleh lemah. Semua salah Rania. Bukan salahku."Julio menoleh cepat saat mendengar mamanya membuka pintu. Begitupun dengan Amar."Rania mana, Ma?" tanya Amar penasaran.Rosita menyuruh Julio duduk di kursi yang letaknya agak jauh dari mereka. Dan anak kecil itu menurut. Wanita paruh baya itu semakin mendekat ke arah putra pertamanya.""Dia sudah pergi," jawab Rosita datar."Apakah Mama mengusirnya? Amar ingin bicara sama Rania, Ma?" Lelaki itu terlihat gelisah. Ia masih merindukan kehadiran istrinya."Mama kecewa sama kamu, Amar. Kenapa kamu harus selingkuh di belakang Rania? Apa mau kamu, Amar?" cecar sang mama ingin tahu."Maafkan, Amar, Ma. Amar bisa hidup miskin. Amar sengaja memanfaatkan harta milik atasan Amar di kantor."Rosita geleng-geleng kepala. Ia tidak habis pikir d
Dengan semangat Tisa mengetuk pintu ruangan Amar. Kemudian masuk dan memperlihatkan senyuman termanisnya."Pagi Tante," sapanya kepada Rosita yang kini tengah memandanginya."Pagi, Tisa. Tante pikir kamu tidak datang hari ini," ucap Rosita.Tisa semakin berjalan mendekat. Sambil tersenyum ia berkata, "Mana mungkin Tisa nggak dateng Tante? Ini Tisa bawakan buah-buahan buat Mas Amar. Julio juga boleh makan yang banyak.""Terima kasih, ya? Kamu memang calon menantu idaman," ungkap Rosita sambil menepuk pelan pundak Tisa.Wanita itu tersenyum senang di dalam hatinya. Ia telah berhasil merebut hati calon mertua. Sebentar lagi pasti Amar juga akan jatuh di pelukannya."Tante bisa saja."Tisa melihat ke arah Amar. Lelaki itu hanya diam dan tak merespon apapun. Membuatnya sedikit kesal."Amar ... kamu kok diam saja sih? Ini Tisa sudah bela-belain datang ke sini demi kamu. Dia juga bawain buah-buahan. Tidak seperti Rania. Mengajak ngobrol kamu pun tidak. Istri macam apa dia?" Kepala Rosita mel
"Raf ...." Rania menahan pergelangan tangan Rafka saat lelaki itu hendak pergi. Ia semakin merasa bersalah terhadap kekasih barunya itu."Tidak apa-apa, Ran. Anggap saja sebagai permohonan maafku."Rafka bergegas pergi ke dapur. Sementara Rania duduk di sofa dan mengecek ponselnya. Ia menemukan “SW” Tisa yang memperlihatkan kedekatannya dengan Amar, Julio, dan Rosita. Sahabatnya tersebut menulis caption di bawah gambar itu. “Akan segera menjadi keluarga bahagia.”"Mereka?" Rania mengamati foto itu. "Apa maksud dari ucapan Tisa? Apakah mereka akan segera menikah?"Rania mencoba untuk tetap tersenyum. Sebenci itukah Rosita kepadanya? Hingga lebih mendukung anaknya dengan Tisa, sahabatnya sendiri? Padahal jelas-jelas Amar belum resmi bercerai dengannya.Wanita itu tidak ingin pusing-pusing memikirkan tentang Tisa. Sahabat satu-satunya yang sangat ia percayai ternyata menyukai suaminya. Rania menyesal karena tidak pernah sadar akan hal itu.Rania memilih untuk meletakkan ponselnya. Lalu i
"Em, Raf ... sudah malam. Sebaiknya kita segera istirahat." Rania berlari melalui tangga. Ia berteriak dengan lantang. "Aku mencintaimu, Raf." Rania mengatakannya sambil tersenyum malu. Wanita itu langsung masuk ke dalam kamarnya.Sementara Rafka masih terbengong-bengong di tempatnya."Ran, ini maskernya gimana? Apa harus dibawa tidur sampai pagi?" Rafka garuk-garuk kepala. Ia memandangi kopi dan coklat panas buatannya yang justru dianggurin oleh Rania.Terpaksa lelaki itu menghabiskannya seorang diri. Karena masih terjaga, Rafka memeriksa beberapa email yang masuk melalui ponselnya.Ada beberapa masalah yang terjadi di kantor. Fariz menghubungi melalui email tersebut."Ada apa lagi ini? Besok aku harus datang ke kantor."Rafka mulai berpikir keras. Mencari ide dan mengatur strategi baru untuk perusahaannya. Meski lelaki itu terbilang sukses dan punya segalanya, namun ia tidak mau menunda-nunda masalah kecil sekalipun. Bisa jadi masalah kecil itu akan berakibat fatal di kemudian hari
Rania merasa tidak asing dengan wajah seorang lelaki yang kini berjalan mendekatinya, namun ia lupa siapa namanya."Rania, kamu lupa denganku?" Lelaki itu menepuk pelan pundak Rania. Membuat wanita itu merasa risih."Ini aku, Ran. Riko ...." Lelaki itu meraih tangan Rania dan menyalaminya. "Aku teman Rafka saat SMA."Rania mulai mengingat-ingat lagi. Ia kemudian yakin jika Riko adalah salah satu teman Rafka yang dulu sering ikut mengerjai dia."Oh ... jadi kamu teman Rafka ya? Iya, aku baru ingat maaf ya?" Wanita itu berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Riko."Kamu di sini ngapain?" Riko memperhatikan Rania dari atas sampai bawah. "Kamu cantik banget ya sekarang. Berisi lagi."Rania terlihat malu. Ia tidak suka diperhatikan seperti itu. Wanita itu berusaha mengalihkan pandangannya."Pertanyaanku belum dijawab, Ran. Mau jemput siapa?" tanya Riko lagi."Mau jemput adik saya. Adik ipar.""Adik ipar?" Riko terlihat terkejut."Kamu sendiri sedang apa di sini?" Rania balik bertanya.
Amar menarik nafas kuat-kuat. Mungkin memang sudah saatnya ia berterus terang kepada Rania dan meminta maaf."Itu semua memang benar, Ran. Sejak kehadiran Rafka, Mama dan Papaku mulai berubah. Mereka lebih sayang adikku. Aku merasa iri dan waktu itu mengetahui jika Rafka telah jatuh cinta. Dia sangat mencintaimu sejak dulu. Tetapi tidak pernah berani untuk mengungkapkan.""Apakah mungkin seorang kakak iri dan berbuat senekat itu kepada adik kandungnya sendiri?" Rania tidak habis pikir dengan pemikiran suaminya."Bagaimana jika aku mengatakan bahwa Rafka bukan adik kandungku?" Amar berucap dengan wajah serius.Rania semakin dibuat bingung sendiri. Pernyataan Amar sulit untuk dipercaya. "Kamu ngomong apa sih, Mas? Mas jangan mengada-ada."Rania melangkah pergi meninggalkan Amar sendirian. Wanita itu memilih duduk di tepi kolam renang yang ada di halaman belakang."Apa sih, maksud Mas Amar berbicara seperti itu? Jelas-jelas Rafka adalah adik kandungnya.""Kak Rania, kok ada di sini?" Per
"Tidak, Mas. Aku tidak mau."Amar memandangi wajah Rania lekat-lekat. Ia mendekatkan wajahnya."Kali ini aku akan membuatmu hamil, Ran. Aku tidak mau pisah sama kamu." Seringaian mengembang di bibir Amar. Sepertinya lelaki itu memiliki niat yang jahat. Tiba-tiba Rania menegang. Ia merasa ketakutan. Wanita itu sudah berjanji bahwa dirinya akan memberikan cinta yang ia miliki sepenuhnya hanya untuk Rafka."Jangan, Mas. Kamu tega." Air mata Rania luluh membahasi pipinya.Sedangkan Amar mempersulit gerakan istrinya dengan mencengkeram kedua tangan wanita itu dengan tangan kirinya dan ia letakkan di atas kepala Rania."Cukup, Mas! Hentikan!"Amar menggunakan tangan kanannya untuk mengeluarkan senjatanya. Bersamaan dengan itu terdengar bel pintu rumah berbunyi berkali-kali.Ting Tong !"Sial! Siapa itu. Mengganggu saja."Dengan cepat Rania menggigit lengan suaminya. Hingga Amar sedikit berteriak karena terkejut. Setelah itu Rania beranjak dari ranjang dan merapikan pakaiannya.Rania segera
Keesokan harinya saat makan pagi bersama, Julio mencari keberadaan Rania. Ia bertanya kepada Amar kenapa kakak iparnya tersebut tak kunjung keluar dari kamar."Kak Rania sudah pulang, Julio. Dia dijemput sama Kak Rafka tadi malam.""Kenapa sih, Kak Rania bersama Kak Rafka? Kenapa Kak Rania tidak menemani Kak Rafka di sini?"Hampir saja Amar tersedak mendengar pertanyaan dari Julio. Ia tidak tahu harus menjawab apa."Sebaiknya kamu segera menghabiskan sarapan kamu Sayang," ungkap Rosita seraya mengusap kepala anaknya.Ting Tong !Terdengar suara bel pintu rumah berbunyi. Tampaknya ada seorang tamu yang berkunjung."Jangan-jangan itu Kak Rania. Biar Julio saja yang membukakan pintunya."Dengan semangat jagoan kecil itu membukakan pintu, tetapi ia kecewa karena yang datang bukanlah Rania."Kak Tisa? Kok pagi-pagi sudah ke sini?" tanya Julio penasaran.Mendengar nama Tisa dipanggil, Rosita segera menghampirinya. "Eh, ada Nak Tisa. Kebetulan lagi makan nih. Yuk, ikut sarapan sama kita.""T