Sudah ya, terima kasih. :)
Di pagi yang cerah. Sinar matahari menyusup lembut melalui jendela rumah sakit, menciptakan nuansa hangat dan damai di ruangan bersalin. Di luar burung-burung berkicau riang menyambut datangnya hari baru. Namun di dalam ruangan itu, suasana penuh dengan ketegangan dan harapan. Alsha dengan wajah yang berpeluh tengah berjuang melahirkan buah hati yang dinantikan. Dito berdiri di samping Alsha. Ia menggenggam erat tangan sang istri. Lelaki tampan itu memberikan dukungan tanpa henti. Wajah Dito tampak cemas. Namun ia merasakan kebahagiaan yang tak bisa terlukiskan. “Kamu bisa, Alsha. Aku ada di sini bersamamu,” bisiknya dengan suara lembut dan penuh kasih. Dengan napas yang terengah-engah, Alsha menguatkan diri. Setiap kontraksi membawa rasa sakit yang luar biasa, namun juga mendekatkannya pada momen yang paling dinantikan dalam hidupnya. Wajahnya menegang, tetapi ada kilauan tekad di matanya. “Sedikit lagi, Bu Alsha. Sedikit lagi,” ucap dokter dengan nada tenang dan men
Malam itu langit di atas rumah megah Rania dan Rafka penuh dengan bintang-bintang. Udara segar musim semi membawa aroma bunga yang mekar di taman mereka. Di dalam rumah suasana begitu tenang. Setelah anak bungsu mereka—Rafael berangkat kuliah ke luar negeri, rumah terasa lebih sepi. Namun kebersamaan mereka tetap hangat. Rania duduk di ruang keluarga. Ia sedang membaca buku favoritnya di bawah cahaya lampu yang lembut. Rafka yang baru saja pulang dari kantor, berjalan masuk dengan senyum lelah namun penuh cinta di wajahnya. Melihat istrinya yang tenang ia merasa bahagia meski suasana rumah kini lebih sunyi. “Rania, aku sudah pulang,” ucap Rafka lembut sambil meletakkan tas kerjanya di meja. Rania mengangkat wajahnya dari buku dan tersenyum hangat. “Selamat datang, Sayang. Bagaimana hari ini?” tanya Rania sambil menutup bukunya dan berdiri untuk menyambut suaminya. Rafka merangkul Rania dengan lembut. Lalu mencium keningnya dengan penuh kasih. “Hari yang panjang, tapi semua
“Kenapa Mas Amar sampai sekarang belum pulang juga?” keluh Rania seorang diri.Wanita itu berjalan dengan resah di dalam kamarnya. Ia sudah tidak sabar menanti kedatangan suaminya.Selesai mempersiapkan segalanya, Rania sengaja memakai sebuah pakaian tipis nan seksi atas rekomendasi dari sahabatnya. Ia juga menggunakan parfum dengan aroma yang sangat menggoda.Wanita itu ingin memberikan kejutan kepada sang suami di hari ulang tahun pernikahan mereka yang ketiga tahun. Ia juga sudah mengirimkan sebuah pesan untuk Amar agar pulang cepat malam ini.Rania berusaha menenangkan perasaannya. Ia mulai bercermin kembali dan menambah sedikit lipstik merah terang pada bibirnya. Kemudian mengurai rambut panjangnya.Untuk kesekian kali Rania mengecek ponselnya. Namun tetap saja tidak ada balasan pesan dari Amar meski pesan tersebut telah berwarna biru bertanda centang dua.“Apakah mungkin Mas Amar masih sibuk di kantornya? Sampai-sampai tidak sempat membalas pesanku.”Rania berusaha tetap setia me
Kedua mata mereka saling bertemu. Rafka memandangi kecantikan wajah kakak iparnya meski tidak memakai make up sama sekali. Wanita itu tampak cantik alami dengan rambut panjangnya yang masih terlihat sedikit basah. "Ra—Rafka. Maafkan, aku." Tergagap Rania mengatakannya. Ia semakin merasa salah tingkah di hadapan Rafka. "Baiklah. Kamu bisa bangun sekarang. Tubuhmu berat juga rupanya." Rafka tersenyum smirk. Ia justru senang bisa menggoda Rania. Rania terkejut. Ia segera berdiri tegak berusaha menjauhkan dirinya dari sang adik ipar. "Kamu beristirahatlah. Aku ke luar dulu," pamit Rania kemudian. "Rania, tunggu!" tahan Rafka. Rania pun berbalik badan. "Bisakah kamu memanggilku dengan sebutan kakak?" Sejak pertama kali Rania menikah dengan Amar, tidak pernah Rafka memanggilnya dengan sebutan kakak ipar. Lelaki itu selalu menyebut nama karena usia Rania memang jauh di bawahnya. "Of, course. Tapi aku lebih suka memanggilmu Rania." "Em ... sudahlah. Itu tidak penting. Aku harus segera
Rania memilih untuk meninggalkan Rafka yang masih berdiri di tempatnya. Wanita itu kembali ke dapur untuk membuatkan sarapan suaminya."Rania, tunggu aku!" teriak Rafka kemudian.Rafka menyusul kepergian Rania. Ia berdiri di samping wanita yang sedang sibuk dengan wajan dan spatula."Kenapa kamu diam saja dibentak-bentak seperti itu? Lawan Ran, jika kamu memang benar."Rafka berbicara panjang lebar. Ia ingin Rania menjadi wanita tangguh. Sehingga tidak diinjak-injak oleh suaminya sendiri."Kamu apa-apaan sih, Ka! Seharusnya kamu tidak menjadi kompor. Biar dia saja," ungkap Rania sambil melirik ke arah kompor di depannya. Ucapan yang seharusnya lucu, tetapi terdengar garing di telinga adik iparnya."Rania, Rania, kamu masih sama saja seperti dulu. Sangat lugu dan polos." Rafka berucap dengan tenang. Menyandarkan tubuhnya di dekat dinding dapur."Hm, aku hanya tidak ingin memperpanjang masalah yang ada.""Oh, ya. Apa kamu ingat dulu kamu sangat cupu dan cengeng. Kamu merengek meminta per
Kotak merah dengan sebuah kalung emas yang sangat cantik ada di dalamnya. Rania hingga ternganga melihatnya."Cantik sekali kalung ini. Apakah Mas Amar sengaja ingin memberikan kejutan untukku? Ternyata aku salah menilainya. Mungkin dia menunggu waktu yang tepat."Dengan sangat hati-hati Rania mengembalikan kotak merah itu ke dalam laci. Ia sampai lupa dengan niat awalnya yang ingin mencari ikat rambut.Jantung Rania mendadak berdebar dengan hebat. Ia menantikan sang suami bersikap manis dan lembut kembali seperti dulu di saat awal-awal pernikahan mereka."Sebaiknya aku fokus bersih-bersih dan merapikan rumah saja."Sepanjang hari seperti itulah pekerjaan Rania. Ia harus memastikan agar rumah tempat tinggalnya selalu bersih dan rapi. Apalagi rumah itu adalah rumah tumpangan dari Rafka."Ngomong-ngomong soal, Rafka. Kenapa dia mau kembali ke rumah ini, ya? Apa benar ia sedang putus cinta?"Rania berceloteh seorang diri. Rupanya suasana rumah itu tak lagi sama setelah kemunculan adik ipa
"Ran, kamu kenapa? Tidak suka dengan hadiahnya? Atau—"Rafka hendak melanjutkan kalimatnya, tetapi Rania segera menyahut ucapan itu."Ikat rambut itu hadiah dari Mas Amar. Tapi kamu malah menghilangkannya," sahut Rania cepat. Wanita itu selalu berusaha merawat barang-barang pemberian suaminya. Meskipun hanya sekedar ikat rambut sekalipun.Rafka terdiam. Ia berusaha meminta maaf kepada Rania berkali-kali sampai wanita itu mau memaafkannya."Aku benar-benar minta maaf, Ran. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu bersedih."Setelah memikirkan hal yang seharusnya tidak perlu dipermasalahkan, Rania menjawab ucapan Rafka dengan cepat."Aku bercanda, Rafka. Kamu tidak perlu meminta maaf." Terpaksa Rania harus berbohong. Ia tidak ingin membesar-besarkan masalah yang ada. Apalagi jika sudah berhadapan dengan Rafka yang tidak jarang bersikap keras kepala.Rafka pun tersenyum smirk. Sebenarnya ia tahu semuanya. Dan ia sengaja membuang ikat rambut Rania yang dibelikan oleh suaminya.Rafka berdiri dar
"Rania, apakah kamu baik-baik saja?" tanya Rafka yang khawatir kepada kakak iparnya. Ia sempat mendengar pintu kamar Rania ditutup secara kasar oleh Amar.Tentu saja Rafka tidak ingin terjadi perkalihan lagi di antara mereka. Ia juga takut jika Amar berbuat kekerasan dalam rumah tangga."Rafka?" lirih Rania lemah. Ia begitu kecewa karena yang datang adalah adik iparnya. "Aku pikir Mas Amar yang kembali. Kenapa kamu ke sini?" Sungguh, selain kesal Rania juga merasa malu. Ia menutupi bagian atas tubuhnya dengan kedua tangan saling menyilang. Wanita itu memang hanya mengenakan pakaian yang sangat tipis dan tanpa penghalang di dalamnya.Rafka tersadar akan sikap Rania. Ia menjadi tidak enak hati dan segera memalingkan wajahnya. Bukan niat Rafka untuk mencuri-curi kesempatan kepada kakak iparnya."Oh, maaf, Ran. Aku pikir—" Belum sempat Rafka melanjutkan kalimatnya, Rania sudah menyahut ucapan lelaki itu."Sudahlah, Raf. Sebaiknya kamu tidak usah memikirkan aku." Rania sudah hafal betul