"Em, Raf ... sudah malam. Sebaiknya kita segera istirahat." Rania berlari melalui tangga. Ia berteriak dengan lantang. "Aku mencintaimu, Raf." Rania mengatakannya sambil tersenyum malu. Wanita itu langsung masuk ke dalam kamarnya.Sementara Rafka masih terbengong-bengong di tempatnya."Ran, ini maskernya gimana? Apa harus dibawa tidur sampai pagi?" Rafka garuk-garuk kepala. Ia memandangi kopi dan coklat panas buatannya yang justru dianggurin oleh Rania.Terpaksa lelaki itu menghabiskannya seorang diri. Karena masih terjaga, Rafka memeriksa beberapa email yang masuk melalui ponselnya.Ada beberapa masalah yang terjadi di kantor. Fariz menghubungi melalui email tersebut."Ada apa lagi ini? Besok aku harus datang ke kantor."Rafka mulai berpikir keras. Mencari ide dan mengatur strategi baru untuk perusahaannya. Meski lelaki itu terbilang sukses dan punya segalanya, namun ia tidak mau menunda-nunda masalah kecil sekalipun. Bisa jadi masalah kecil itu akan berakibat fatal di kemudian hari
Rania merasa tidak asing dengan wajah seorang lelaki yang kini berjalan mendekatinya, namun ia lupa siapa namanya."Rania, kamu lupa denganku?" Lelaki itu menepuk pelan pundak Rania. Membuat wanita itu merasa risih."Ini aku, Ran. Riko ...." Lelaki itu meraih tangan Rania dan menyalaminya. "Aku teman Rafka saat SMA."Rania mulai mengingat-ingat lagi. Ia kemudian yakin jika Riko adalah salah satu teman Rafka yang dulu sering ikut mengerjai dia."Oh ... jadi kamu teman Rafka ya? Iya, aku baru ingat maaf ya?" Wanita itu berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Riko."Kamu di sini ngapain?" Riko memperhatikan Rania dari atas sampai bawah. "Kamu cantik banget ya sekarang. Berisi lagi."Rania terlihat malu. Ia tidak suka diperhatikan seperti itu. Wanita itu berusaha mengalihkan pandangannya."Pertanyaanku belum dijawab, Ran. Mau jemput siapa?" tanya Riko lagi."Mau jemput adik saya. Adik ipar.""Adik ipar?" Riko terlihat terkejut."Kamu sendiri sedang apa di sini?" Rania balik bertanya.
Amar menarik nafas kuat-kuat. Mungkin memang sudah saatnya ia berterus terang kepada Rania dan meminta maaf."Itu semua memang benar, Ran. Sejak kehadiran Rafka, Mama dan Papaku mulai berubah. Mereka lebih sayang adikku. Aku merasa iri dan waktu itu mengetahui jika Rafka telah jatuh cinta. Dia sangat mencintaimu sejak dulu. Tetapi tidak pernah berani untuk mengungkapkan.""Apakah mungkin seorang kakak iri dan berbuat senekat itu kepada adik kandungnya sendiri?" Rania tidak habis pikir dengan pemikiran suaminya."Bagaimana jika aku mengatakan bahwa Rafka bukan adik kandungku?" Amar berucap dengan wajah serius.Rania semakin dibuat bingung sendiri. Pernyataan Amar sulit untuk dipercaya. "Kamu ngomong apa sih, Mas? Mas jangan mengada-ada."Rania melangkah pergi meninggalkan Amar sendirian. Wanita itu memilih duduk di tepi kolam renang yang ada di halaman belakang."Apa sih, maksud Mas Amar berbicara seperti itu? Jelas-jelas Rafka adalah adik kandungnya.""Kak Rania, kok ada di sini?" Per
"Tidak, Mas. Aku tidak mau."Amar memandangi wajah Rania lekat-lekat. Ia mendekatkan wajahnya."Kali ini aku akan membuatmu hamil, Ran. Aku tidak mau pisah sama kamu." Seringaian mengembang di bibir Amar. Sepertinya lelaki itu memiliki niat yang jahat. Tiba-tiba Rania menegang. Ia merasa ketakutan. Wanita itu sudah berjanji bahwa dirinya akan memberikan cinta yang ia miliki sepenuhnya hanya untuk Rafka."Jangan, Mas. Kamu tega." Air mata Rania luluh membahasi pipinya.Sedangkan Amar mempersulit gerakan istrinya dengan mencengkeram kedua tangan wanita itu dengan tangan kirinya dan ia letakkan di atas kepala Rania."Cukup, Mas! Hentikan!"Amar menggunakan tangan kanannya untuk mengeluarkan senjatanya. Bersamaan dengan itu terdengar bel pintu rumah berbunyi berkali-kali.Ting Tong !"Sial! Siapa itu. Mengganggu saja."Dengan cepat Rania menggigit lengan suaminya. Hingga Amar sedikit berteriak karena terkejut. Setelah itu Rania beranjak dari ranjang dan merapikan pakaiannya.Rania segera
Keesokan harinya saat makan pagi bersama, Julio mencari keberadaan Rania. Ia bertanya kepada Amar kenapa kakak iparnya tersebut tak kunjung keluar dari kamar."Kak Rania sudah pulang, Julio. Dia dijemput sama Kak Rafka tadi malam.""Kenapa sih, Kak Rania bersama Kak Rafka? Kenapa Kak Rania tidak menemani Kak Rafka di sini?"Hampir saja Amar tersedak mendengar pertanyaan dari Julio. Ia tidak tahu harus menjawab apa."Sebaiknya kamu segera menghabiskan sarapan kamu Sayang," ungkap Rosita seraya mengusap kepala anaknya.Ting Tong !Terdengar suara bel pintu rumah berbunyi. Tampaknya ada seorang tamu yang berkunjung."Jangan-jangan itu Kak Rania. Biar Julio saja yang membukakan pintunya."Dengan semangat jagoan kecil itu membukakan pintu, tetapi ia kecewa karena yang datang bukanlah Rania."Kak Tisa? Kok pagi-pagi sudah ke sini?" tanya Julio penasaran.Mendengar nama Tisa dipanggil, Rosita segera menghampirinya. "Eh, ada Nak Tisa. Kebetulan lagi makan nih. Yuk, ikut sarapan sama kita.""T
"Hehe, aku bercanda Ran. Maaf, ya?" Rafka menarik tangan Rania yang sengaja Rania gunakan untuk menutupi wajahnya. "Maaf untuk apa, Raf?" Rania kembali dibuat heran oleh kekasihnya. Rafka meletakkan kedua tangannya pada bahu Rania. Kemudian menatapnya lekat-lekat. Ada sebuah kekhawatiran di wajahnya. "Maaf, karena aku belum bisa membahagiakanmu lahir dan batin. Aku tidak mau terjadi apa-apa sama calon bayi kita," ungkap Rafka mencoba untuk menggoda. Kali ini ia melirik ke arah perut Rania yang masih rata. Rani refleks mengusap perutnya sendiri. "Kamu percaya diri sekali, Raf. Ini belum ada satu bulan dari peristiwa malam itu." "Kamu masih mengingat hari dan tanggal kejadian waktu itu? Jangan-jangan kamu memang—" Rania langsung membekap mulut Rafka dengan tangannya. Ia malu karena ketahuan telah mengabadikan momen saat itu. Tentu saja wanita itu mengingatnya. Karena malam itu bertepatan dengan hari ulang tahun pernikahannya dengan Amar. Meski jika diingat-ingat, juga ada kesedihan
Rafka merasa senang karena dipuji tampan oleh Rania. Apalagi tatapan wanita itu yang terlihat tidak sedang bersandiwara. "Tara ... aku sudah menyiapkan ini." Dengan semangat Rania memperlihatkan sesuatu di tangannya. Membuat Rafka semakin merasa bahagia. "Oh, jadi kamu sudah menyiapkan itu? Aku jadi GR, nih!" "Ini tuh, aku beli dengan uangku sendiri saat masih bekerja dulu." "Oh, ya?" Rafka membelai rambut Rania. "Warnanya lucu. Cewek banget. Haha." Lelaki tampan itu tertawa cukup keras. Ia mengejek Rania karena memiliki kamera digital berwarna pink. "Nggak lucu ih, Raf. Kamu nyebelin." "Maaf, maaf, bercanda, Sayang. Lebih baik kita foto bareng yuk?" Rafka segera merangkul kekasihnya itu. Ia tidak mau kena marah lagi sama Rania. Rania pun tersenyum bahagia sembari mengangguk cepat. Mereka mengambil foto sepuasnya di dalam mobil itu. Setelah puas dengan sesi foto-foto, Rafka mengajak Rania berkeliling untuk jalan-jalan dan melihat-lihat pemandangan di dekat pegunungan. Merek
Pagi itu, Amar sangat terkejut ketika mendapati tubuhnya yang tak berbusana. Dan di sampingnya ada Tisa dengan kondisi yang juga sama seperti dirinya. Wanita itu menggeliatkan tubuhnya. Lalu membuka perlahan kedua matanya. "Tisa, apa yang terjadi? Tadi malam kita—" "Iya, Mas. Tadi malam kamu telah memaksaku. Kamu menganggap diriku adalah Rania." Perempuan itu menangis sesenggukan. Di dekatnya, di atas sprei terlihat noda merah bekas pertempuran mereka tadi malam. Pertanda bahwa Amar telah merenggut kesuciannya. Amar kebingungan melihat Tisa menangis. Ia merutuki kebodohannya tadi malam. Karena rasa bahagia mendapatkan sebuah pekerjaan, Amar minum sepuas-puasnya untuk mengimbangi Paman Danis. Akhirnya Amar memberanikan diri untuk menyentuh bahu Tisa dengan tangan kanannya. "Maafkan aku, Sa. Aku khilaf. Aku tidak sadar." "Kamu harus tanggung jawab, Mas. Kamu harus menikahiku," ucap Tisa di sela-sela isakkan tangisnya. Amar terdiam seketika. Mana mungkin ia menikahi Tisa di saat