Keesokan harinya saat makan pagi bersama, Julio mencari keberadaan Rania. Ia bertanya kepada Amar kenapa kakak iparnya tersebut tak kunjung keluar dari kamar."Kak Rania sudah pulang, Julio. Dia dijemput sama Kak Rafka tadi malam.""Kenapa sih, Kak Rania bersama Kak Rafka? Kenapa Kak Rania tidak menemani Kak Rafka di sini?"Hampir saja Amar tersedak mendengar pertanyaan dari Julio. Ia tidak tahu harus menjawab apa."Sebaiknya kamu segera menghabiskan sarapan kamu Sayang," ungkap Rosita seraya mengusap kepala anaknya.Ting Tong !Terdengar suara bel pintu rumah berbunyi. Tampaknya ada seorang tamu yang berkunjung."Jangan-jangan itu Kak Rania. Biar Julio saja yang membukakan pintunya."Dengan semangat jagoan kecil itu membukakan pintu, tetapi ia kecewa karena yang datang bukanlah Rania."Kak Tisa? Kok pagi-pagi sudah ke sini?" tanya Julio penasaran.Mendengar nama Tisa dipanggil, Rosita segera menghampirinya. "Eh, ada Nak Tisa. Kebetulan lagi makan nih. Yuk, ikut sarapan sama kita.""T
"Hehe, aku bercanda Ran. Maaf, ya?" Rafka menarik tangan Rania yang sengaja Rania gunakan untuk menutupi wajahnya. "Maaf untuk apa, Raf?" Rania kembali dibuat heran oleh kekasihnya. Rafka meletakkan kedua tangannya pada bahu Rania. Kemudian menatapnya lekat-lekat. Ada sebuah kekhawatiran di wajahnya. "Maaf, karena aku belum bisa membahagiakanmu lahir dan batin. Aku tidak mau terjadi apa-apa sama calon bayi kita," ungkap Rafka mencoba untuk menggoda. Kali ini ia melirik ke arah perut Rania yang masih rata. Rani refleks mengusap perutnya sendiri. "Kamu percaya diri sekali, Raf. Ini belum ada satu bulan dari peristiwa malam itu." "Kamu masih mengingat hari dan tanggal kejadian waktu itu? Jangan-jangan kamu memang—" Rania langsung membekap mulut Rafka dengan tangannya. Ia malu karena ketahuan telah mengabadikan momen saat itu. Tentu saja wanita itu mengingatnya. Karena malam itu bertepatan dengan hari ulang tahun pernikahannya dengan Amar. Meski jika diingat-ingat, juga ada kesedihan
Rafka merasa senang karena dipuji tampan oleh Rania. Apalagi tatapan wanita itu yang terlihat tidak sedang bersandiwara. "Tara ... aku sudah menyiapkan ini." Dengan semangat Rania memperlihatkan sesuatu di tangannya. Membuat Rafka semakin merasa bahagia. "Oh, jadi kamu sudah menyiapkan itu? Aku jadi GR, nih!" "Ini tuh, aku beli dengan uangku sendiri saat masih bekerja dulu." "Oh, ya?" Rafka membelai rambut Rania. "Warnanya lucu. Cewek banget. Haha." Lelaki tampan itu tertawa cukup keras. Ia mengejek Rania karena memiliki kamera digital berwarna pink. "Nggak lucu ih, Raf. Kamu nyebelin." "Maaf, maaf, bercanda, Sayang. Lebih baik kita foto bareng yuk?" Rafka segera merangkul kekasihnya itu. Ia tidak mau kena marah lagi sama Rania. Rania pun tersenyum bahagia sembari mengangguk cepat. Mereka mengambil foto sepuasnya di dalam mobil itu. Setelah puas dengan sesi foto-foto, Rafka mengajak Rania berkeliling untuk jalan-jalan dan melihat-lihat pemandangan di dekat pegunungan. Merek
Pagi itu, Amar sangat terkejut ketika mendapati tubuhnya yang tak berbusana. Dan di sampingnya ada Tisa dengan kondisi yang juga sama seperti dirinya. Wanita itu menggeliatkan tubuhnya. Lalu membuka perlahan kedua matanya. "Tisa, apa yang terjadi? Tadi malam kita—" "Iya, Mas. Tadi malam kamu telah memaksaku. Kamu menganggap diriku adalah Rania." Perempuan itu menangis sesenggukan. Di dekatnya, di atas sprei terlihat noda merah bekas pertempuran mereka tadi malam. Pertanda bahwa Amar telah merenggut kesuciannya. Amar kebingungan melihat Tisa menangis. Ia merutuki kebodohannya tadi malam. Karena rasa bahagia mendapatkan sebuah pekerjaan, Amar minum sepuas-puasnya untuk mengimbangi Paman Danis. Akhirnya Amar memberanikan diri untuk menyentuh bahu Tisa dengan tangan kanannya. "Maafkan aku, Sa. Aku khilaf. Aku tidak sadar." "Kamu harus tanggung jawab, Mas. Kamu harus menikahiku," ucap Tisa di sela-sela isakkan tangisnya. Amar terdiam seketika. Mana mungkin ia menikahi Tisa di saat
Rania segera meletakkan gelasnya di atas meja. Ia memandangi Rafka dengan tatapan heran. Lelaki di sampingnya ini terlihat sangat menggemaskan. "Aku serius, Ran?" Rafka menaik-turunkan kedua alisnya sambil tersenyum menggoda. "Maaf, Raf. Aku masih belum siap. Aku tidak mau jika nanti kecewa." Rafka ikut meletakkan cangkirnya yang telah kosong di atas meja. "Tidak apa-apa. Aku tidak akan memaksa. Tetapi lebih cepat lebih baik, jika kita mengetahuinya. Kalau memang benar kamu hamil, maka makan dan minumnya harus hati-hati. Jangan seenaknya sendiri." Ucapan Rafka terdengar seperti sebuah sindiran untuk Rania. Wanita itu sangat menyukai makanan pedas dan manis. "Iya, Rafka, Sayang. Terima kasih ya, atas perhatiannya." Rania mengalungkan tangannya pada leher Rafka. Wanita itu memejamkan matanya saat wajah Rafka bergerak maju. Lelaki itu memiringkan kepalanya. Dan sekejap saja mereka telah saling bertukar saliva. Kalau saja keduanya tidak menjalin sebuah hubungan terlarang, pasti Raf
Amar mengumpulkan semua kekuatannya. Mengerahkan segala tenaga agar mampu mengatakan cerai kepada Rania. "Aku mau bicara sama kamu, Rania. Sesuatu hal yang sangat penting." "Em, katakan saja, Mas. Aku siap mendengarnya. Mungkin Mas Amar mau duduk dulu. Atau dibuatkan minuman?" Mendadak Rania jadi gugup. Kedua tangannya masih tersembunyi di belakang tubuhnya. "Tidak perlu, Ran. Secara sadar aku mengatakan. Mulai sekarang kita sudah bukan lagi suami istri. Aku talak tiga kamu, Rania Larasati. Mulai detik ini kita bercerai." DUARRR ! Seperti ada petir yang menggelegar di siang hari. Entah mengapa tubuh Rania mendadak terasa lemas. Tangan itu tak mampu lagi untuk memegang dengan kuat. Tiga buah testpack jatuh ke lantai. Rania kebingungan sendiri. Kedua mata Amar langsung tertuju ke lantai. Tangannya mengambil ketiga buah benda bergaris dua itu. "Rania ... kamu hamil?" Tiba-tiba kedua mata Amar tampak berkaca-kaca. Harusnya ia senang karena istrinya hamil. Namun sayangnya ia baru sa
Amar pulang dengan perasaan campur aduk. Dua wanita yang dekat dengannya sama-sama hamil. Tetapi mungkin Rania lebih dulu hamil. Hanya saja wanita itu belum pernah ke dokter. "Gimana, Mar? Kamu sudah menceraikan Rania?" Tiba-tiba suara sang mama kembali mengacaukan pikirannya. "Ma, tadi katanya mau ke butik?" balas Amar balik bertanya. "Iya, tapi sebentar saja. Kepala Mama pusing mikirin kamu." "Amar sudah menceraikan Rania, Ma. Ini buktinya." Amar memperlihatkan rekaman pada ponselnya. "Nah ... gitu dong, Mar. Harusnya sejak dulu kamu itu menceraikan Rania." "Tapi sekarang Rania juga hamil, Ma. Dia hamil anak Rafka." Rosita terkesiap mendengar pernyataan dari Amar. "Astaga, benar-benar tidak tahu malu, Rania itu. Mama akan mencarikan jodoh yang tepat untuk Rafka. Lihat saja nanti!" "Tapi, Ma? Kasihan Rania. Semua bukan salah dia, Ma. Selama ini aku yang tidak memperbolehkan Rania untuk hamil. Karena aku ingin memiliki rumah terlebih dahulu. Nyatanya sekarang semua telah hilang
Rafka benar-benar terkejut atas tindakan Cindy baru saja. Namun ia sudah tidak bisa mengelak. Lelaki itu langsung melihat ke arah Rania dan menggedikkan bahunya. Rania langsung mengerucutkan bibirnya. "Jahat banget kamu, Raf." Rania berbalik arah dan meninggalkan Rafka sendirian. Wanita itu menahan diri untuk tidak menangis. "Ternyata cemburu itu rasanya tidak enak," lirih Rania. "Rania, tunggu!" teriak Rafka. "Ternyata ibu hamil itu sensitif banget! Mati aku!" Rafka menepuk keningnya sendiri. Lalu segera mengejar kepergian Rania. Wanita itu tidak masuk ke dalam mobil lagi. Ia justru berjalan di tengah ramainya malam itu. Rafka berusaha mengejar sang kekasih hati dengan mobilnya. Berkali-kali ia membunyikan klakson mobilnya. "Ran, aku mohon. Masuk ke dalam mobil." Rania tidak menghiraukan apa kata Rafka. Ia masih terus berjalan sendiri tanpa arah tujuan. Tak ingin Rania kenapa-napa, Rafka segera turun dari mobil. Ia langsung menggendong tubuh Rania tanpa ijin. Rania m
Malam itu langit di atas rumah megah Rania dan Rafka penuh dengan bintang-bintang. Udara segar musim semi membawa aroma bunga yang mekar di taman mereka. Di dalam rumah suasana begitu tenang. Setelah anak bungsu mereka—Rafael berangkat kuliah ke luar negeri, rumah terasa lebih sepi. Namun kebersamaan mereka tetap hangat. Rania duduk di ruang keluarga. Ia sedang membaca buku favoritnya di bawah cahaya lampu yang lembut. Rafka yang baru saja pulang dari kantor, berjalan masuk dengan senyum lelah namun penuh cinta di wajahnya. Melihat istrinya yang tenang ia merasa bahagia meski suasana rumah kini lebih sunyi. “Rania, aku sudah pulang,” ucap Rafka lembut sambil meletakkan tas kerjanya di meja. Rania mengangkat wajahnya dari buku dan tersenyum hangat. “Selamat datang, Sayang. Bagaimana hari ini?” tanya Rania sambil menutup bukunya dan berdiri untuk menyambut suaminya. Rafka merangkul Rania dengan lembut. Lalu mencium keningnya dengan penuh kasih. “Hari yang panjang, tapi semua
Di pagi yang cerah. Sinar matahari menyusup lembut melalui jendela rumah sakit, menciptakan nuansa hangat dan damai di ruangan bersalin. Di luar burung-burung berkicau riang menyambut datangnya hari baru. Namun di dalam ruangan itu, suasana penuh dengan ketegangan dan harapan. Alsha dengan wajah yang berpeluh tengah berjuang melahirkan buah hati yang dinantikan. Dito berdiri di samping Alsha. Ia menggenggam erat tangan sang istri. Lelaki tampan itu memberikan dukungan tanpa henti. Wajah Dito tampak cemas. Namun ia merasakan kebahagiaan yang tak bisa terlukiskan. “Kamu bisa, Alsha. Aku ada di sini bersamamu,” bisiknya dengan suara lembut dan penuh kasih. Dengan napas yang terengah-engah, Alsha menguatkan diri. Setiap kontraksi membawa rasa sakit yang luar biasa, namun juga mendekatkannya pada momen yang paling dinantikan dalam hidupnya. Wajahnya menegang, tetapi ada kilauan tekad di matanya. “Sedikit lagi, Bu Alsha. Sedikit lagi,” ucap dokter dengan nada tenang dan men
Pagi itu matahari baru saja terbit dan sinarnya yang lembut menembus jendela kamar Alma dan Marco. Suara burung berkicau di luar rumah memberikan kesan damai dan menenangkan. Namun pagi itu terasa berbeda bagi Alma. Dia terbangun dengan perasaan yang aneh. Sesuatu yang tidak biasa. Alma mencoba mengabaikannya, tapi gejala-gejala yang dia rasakan semakin nyata. Alma duduk di tepi ranjang, memegang perutnya yang terasa aneh. Pusing, mual, dan perasaan lelah yang luar biasa menyelimuti dirinya. Ia mengingat kembali beberapa hari terakhir, mencoba mencari penjelasan. “Mungkinkah?” pikir Alma, hatinya berdebar-debar dengan harapan sekaligus kecemasan. Marco yang berada di dapur, sedang menyiapkan sarapan. Dia memperhatikan Alma yang keluar dari kamar dengan wajah pucat. “Kamu baik-baik saja, Alma?” tanya Marco dengan nada khawatir. Alma mencoba tersenyum. “Aku merasa sedikit tidak enak badan. Mungkin aku butuh istirahat lebih,” jawabnya sambil mencoba menyembunyikan kekhawati
Beberapa hari telah berlalu. Alsha memilih menyendiri di sebuah hotel kecil yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota. Ia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan hatinya yang kacau. Kamar hotel itu sederhana, tapi cukup nyaman untuk menjadi tempat perlindungan sementara. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela memberikan sedikit kehangatan di dalam ruangan yang sunyi itu. Di tepi ranjang Alsha duduk dengan tatapan kosong. Ia merenungkan semua yang telah terjadi. Di dalam hatinya ada campuran antara rasa sakit, kebingungan, dan ketidakpastian. Gadis itu mengelus perutnya yang masih rata. Membayangkan bayi yang sedang tumbuh di dalamnya. Bayangan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian membuatnya merasa sendirian. Ketukan lembut di pintu mengagetkannya dari lamunan. Dengan perlahan dan hati-hati Alsha bangkit lalu membuka pintu. Di sana berdiri seorang lelaki suruhan papanya yang akhirnya berhasil menemukan tempat persembunyian Alsha setelah berhari
Hari pernikahan yang dinanti-nanti pun tiba. Karena sebuah kesepakatan akhirnya pernikahan dilaksanakan di rumah Rania dan Rafka. Taman rumah yang luas telah disulap menjadi tempat pernikahan yang megah, dipenuhi dengan hiasan bunga-bunga berwarna pastel dan lilin-lilin yang memberikan cahaya hangat. Sebuah tenda besar dihiasi kain putih dan pita emas menjulang di tengah-tengah taman. Menambah kesan elegan dan mewah. Marco, Alma, dan Dito sudah berkumpul bersama keluarga dan tamu undangan. Semuanya terlihat anggun dalam balutan busana pernikahan yang memukau. Pak penghulu telah datang dan bersiap untuk memulai prosesi ijab kabul. Namun di antara keramaian dan kegembiraan itu ada satu hal yang mengganjal. “Ke mana Alsha?” tanya Rania dengan cemas. Ia memandang sekeliling mencari putrinya. “Tadi katanya ke toilet sebentar,” jawab Alma dengan sedikit gugup. Gadis itu mencoba menenangkan ibunya. Marco mulai merasa cemas. “Aku akan mencarinya,” ucapnya seraya bergegas menuju
Tanpa terasa hari pernikahan semakin dekat. Segala persiapan sudah selesai. Malam sebelum pernikahan, Alsha duduk sendirian di balkon apartemen. Ia merenung tentang semua yang telah terjadi. Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya, membawa kedamaian yang sementara. Tiba-tiba pintu balkon terbuka dan Alma ke luar. “Hei!” Alma menyapa sambil mendekati Alsha. “Kenapa kamu di sini sendirian?” “Alsha hanya merenung, Kak. Besok adalah hari besar kita,” jawab Alsha dengan senyum tipis. “Iya, besok kita akan memulai babak baru dalam hidup kita. Kamu sudah siap?” tanya Alma dengan lembut. “Sejujurnya, Alsha sedikit gugup. Tapi Alsha yakin ini adalah langkah yang benar,” jawab Alsha kemudian. “Semua akan baik-baik saja, Alsha!” Alma berbicara dengan yakin sambil merangkul kembarannya itu. Mereka duduk bersama dalam keheningan sejenak. Menikmati kebersamaan yang tenang di malam yang penuh bintang. Suara kota yang jauh terdengar seperti bisikan lembut, memberikan latar belakang yang m
“Ngapain di sini sendirian, Alsha?” Suara itu milik Marco yang tampak khawatir melihatnya. Alsha menghela napas lega meskipun masih ada sedikit rasa takut yang tertinggal. “Kok kamu tahu aku di sini, Marco?” tanyanya dengan suara yang masih bergetar. Marco tersenyum tipis. Ia mencoba menenangkan Alsha. “Aku khawatir padamu. Saat aku ke apartemen dan tidak menemukanmu, aku memutuskan untuk mencarimu. Aku ingat kamu pernah bercerita tentang tempat ini, jadi aku datang ke sini.” Alsha mengangguk, merasa sedikit tenang dengan kehadiran Marco. “Aku hanya butuh waktu sendirian untuk berpikir. Tapi aku takut Marco. Aku merasa tadi ada yang mengikutiku.” “Apakah kamu yakin?” Marco segera membawa tubuh Alsha ke dalam dekapannya. “Kamu tidak perlu takut. Ada aku di sini untukmu.” Alsha tak menolak meski ia tidak membalas pelukan Marco. Hatinya masih belum bisa sepenuhnya menerima Marco. “Terima kasih, Marco. Aku hanya merasa gugup menjelang pernikahan kita.” Marco mengangguk mengerti. “
“Tidak. Aku tidak peduli.” Alsha berusaha untuk mengabaikan pesan tersebut. Ia juga memblokir nomor baru yang masuk. Berapapun banyaknya nomor itu Alsha tidak akan peduli. Setelah merasa cukup tenang, Alsha segera memejamkan kedua matanya. Pagi harinya Alsha menjalani kehidupan seperti biasanya. Ia mencoba menghilangkan segala kegelisahan hati dengan rajin memasak. Gadis itu juga memilih untuk bekerja online dari ponselnya. Sebenarnya Marco tidak melarang jika setelah menikah nanti Alsha akan bekerja, tetapi lelaki itu akan sangat bahagia jika Alsha lebih fokus melayani sang suami saja. Tanpa terasa hari-hari berlalu dengan cepat. Persiapan pernikahan berjalan lancar. Namun, sebuah pertemuan tak terduga terjadi beberapa hari sebelum pernikahan. Alsha sedang berada di kafe dekat apartemen, menunggu Alma yang sedang membeli beberapa keperluan. Ketika ia sedang menikmati kopi, seseorang mendekatinya. “Alsha?” Suara yang familiar itu membuatnya mendongak. Di hadapannya berdiri Dito
Pagi itu Alsha bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasa lega bisa berkumpul kembali bersama orang tuanya setelah sekian lama. Aroma harum dari dapur menyambutnya saat dia keluar dari kamar. Saat memasuki ruang makan, dia melihat Rania, Rafka, dan adik laki-lakinya—Rafael sudah duduk di meja. “Selamat pagi Sayang,” sapa Rania sambil tersenyum hangat. “Sarapan sudah siap. Duduklah, kita sarapan bersama.” Alsha duduk di kursinya dan merasa nostalgia yang mendalam. Sudah lama sejak terakhir kali mereka semua berkumpul untuk sarapan seperti ini. Meja penuh dengan makanan favoritnya. Nasi goreng, telur dadar, dan berbagai macam lauk pauk. “Selamat pagi, Kak Alsha,” sapa Rafael yang duduk di sebelahnya. “Akhirnya kita bisa sarapan bareng.” Alsha tersenyum dan merangkul adik laki-lakinya. “Selamat pagi, Rafa. Bagaimana sekolahmu?” “Baik, Kak. Sedikit sibuk dengan tugas-tugas, tapi semuanya lancar,” balas Rafael sambil mengambil sepotong roti. Rafka tersenyum bangga. “Rafa i