"Hehe, aku bercanda Ran. Maaf, ya?" Rafka menarik tangan Rania yang sengaja Rania gunakan untuk menutupi wajahnya. "Maaf untuk apa, Raf?" Rania kembali dibuat heran oleh kekasihnya. Rafka meletakkan kedua tangannya pada bahu Rania. Kemudian menatapnya lekat-lekat. Ada sebuah kekhawatiran di wajahnya. "Maaf, karena aku belum bisa membahagiakanmu lahir dan batin. Aku tidak mau terjadi apa-apa sama calon bayi kita," ungkap Rafka mencoba untuk menggoda. Kali ini ia melirik ke arah perut Rania yang masih rata. Rani refleks mengusap perutnya sendiri. "Kamu percaya diri sekali, Raf. Ini belum ada satu bulan dari peristiwa malam itu." "Kamu masih mengingat hari dan tanggal kejadian waktu itu? Jangan-jangan kamu memang—" Rania langsung membekap mulut Rafka dengan tangannya. Ia malu karena ketahuan telah mengabadikan momen saat itu. Tentu saja wanita itu mengingatnya. Karena malam itu bertepatan dengan hari ulang tahun pernikahannya dengan Amar. Meski jika diingat-ingat, juga ada kesedihan
Rafka merasa senang karena dipuji tampan oleh Rania. Apalagi tatapan wanita itu yang terlihat tidak sedang bersandiwara. "Tara ... aku sudah menyiapkan ini." Dengan semangat Rania memperlihatkan sesuatu di tangannya. Membuat Rafka semakin merasa bahagia. "Oh, jadi kamu sudah menyiapkan itu? Aku jadi GR, nih!" "Ini tuh, aku beli dengan uangku sendiri saat masih bekerja dulu." "Oh, ya?" Rafka membelai rambut Rania. "Warnanya lucu. Cewek banget. Haha." Lelaki tampan itu tertawa cukup keras. Ia mengejek Rania karena memiliki kamera digital berwarna pink. "Nggak lucu ih, Raf. Kamu nyebelin." "Maaf, maaf, bercanda, Sayang. Lebih baik kita foto bareng yuk?" Rafka segera merangkul kekasihnya itu. Ia tidak mau kena marah lagi sama Rania. Rania pun tersenyum bahagia sembari mengangguk cepat. Mereka mengambil foto sepuasnya di dalam mobil itu. Setelah puas dengan sesi foto-foto, Rafka mengajak Rania berkeliling untuk jalan-jalan dan melihat-lihat pemandangan di dekat pegunungan. Merek
Pagi itu, Amar sangat terkejut ketika mendapati tubuhnya yang tak berbusana. Dan di sampingnya ada Tisa dengan kondisi yang juga sama seperti dirinya. Wanita itu menggeliatkan tubuhnya. Lalu membuka perlahan kedua matanya. "Tisa, apa yang terjadi? Tadi malam kita—" "Iya, Mas. Tadi malam kamu telah memaksaku. Kamu menganggap diriku adalah Rania." Perempuan itu menangis sesenggukan. Di dekatnya, di atas sprei terlihat noda merah bekas pertempuran mereka tadi malam. Pertanda bahwa Amar telah merenggut kesuciannya. Amar kebingungan melihat Tisa menangis. Ia merutuki kebodohannya tadi malam. Karena rasa bahagia mendapatkan sebuah pekerjaan, Amar minum sepuas-puasnya untuk mengimbangi Paman Danis. Akhirnya Amar memberanikan diri untuk menyentuh bahu Tisa dengan tangan kanannya. "Maafkan aku, Sa. Aku khilaf. Aku tidak sadar." "Kamu harus tanggung jawab, Mas. Kamu harus menikahiku," ucap Tisa di sela-sela isakkan tangisnya. Amar terdiam seketika. Mana mungkin ia menikahi Tisa di saat
Rania segera meletakkan gelasnya di atas meja. Ia memandangi Rafka dengan tatapan heran. Lelaki di sampingnya ini terlihat sangat menggemaskan. "Aku serius, Ran?" Rafka menaik-turunkan kedua alisnya sambil tersenyum menggoda. "Maaf, Raf. Aku masih belum siap. Aku tidak mau jika nanti kecewa." Rafka ikut meletakkan cangkirnya yang telah kosong di atas meja. "Tidak apa-apa. Aku tidak akan memaksa. Tetapi lebih cepat lebih baik, jika kita mengetahuinya. Kalau memang benar kamu hamil, maka makan dan minumnya harus hati-hati. Jangan seenaknya sendiri." Ucapan Rafka terdengar seperti sebuah sindiran untuk Rania. Wanita itu sangat menyukai makanan pedas dan manis. "Iya, Rafka, Sayang. Terima kasih ya, atas perhatiannya." Rania mengalungkan tangannya pada leher Rafka. Wanita itu memejamkan matanya saat wajah Rafka bergerak maju. Lelaki itu memiringkan kepalanya. Dan sekejap saja mereka telah saling bertukar saliva. Kalau saja keduanya tidak menjalin sebuah hubungan terlarang, pasti Raf
Amar mengumpulkan semua kekuatannya. Mengerahkan segala tenaga agar mampu mengatakan cerai kepada Rania. "Aku mau bicara sama kamu, Rania. Sesuatu hal yang sangat penting." "Em, katakan saja, Mas. Aku siap mendengarnya. Mungkin Mas Amar mau duduk dulu. Atau dibuatkan minuman?" Mendadak Rania jadi gugup. Kedua tangannya masih tersembunyi di belakang tubuhnya. "Tidak perlu, Ran. Secara sadar aku mengatakan. Mulai sekarang kita sudah bukan lagi suami istri. Aku talak tiga kamu, Rania Larasati. Mulai detik ini kita bercerai." DUARRR ! Seperti ada petir yang menggelegar di siang hari. Entah mengapa tubuh Rania mendadak terasa lemas. Tangan itu tak mampu lagi untuk memegang dengan kuat. Tiga buah testpack jatuh ke lantai. Rania kebingungan sendiri. Kedua mata Amar langsung tertuju ke lantai. Tangannya mengambil ketiga buah benda bergaris dua itu. "Rania ... kamu hamil?" Tiba-tiba kedua mata Amar tampak berkaca-kaca. Harusnya ia senang karena istrinya hamil. Namun sayangnya ia baru sa
Amar pulang dengan perasaan campur aduk. Dua wanita yang dekat dengannya sama-sama hamil. Tetapi mungkin Rania lebih dulu hamil. Hanya saja wanita itu belum pernah ke dokter. "Gimana, Mar? Kamu sudah menceraikan Rania?" Tiba-tiba suara sang mama kembali mengacaukan pikirannya. "Ma, tadi katanya mau ke butik?" balas Amar balik bertanya. "Iya, tapi sebentar saja. Kepala Mama pusing mikirin kamu." "Amar sudah menceraikan Rania, Ma. Ini buktinya." Amar memperlihatkan rekaman pada ponselnya. "Nah ... gitu dong, Mar. Harusnya sejak dulu kamu itu menceraikan Rania." "Tapi sekarang Rania juga hamil, Ma. Dia hamil anak Rafka." Rosita terkesiap mendengar pernyataan dari Amar. "Astaga, benar-benar tidak tahu malu, Rania itu. Mama akan mencarikan jodoh yang tepat untuk Rafka. Lihat saja nanti!" "Tapi, Ma? Kasihan Rania. Semua bukan salah dia, Ma. Selama ini aku yang tidak memperbolehkan Rania untuk hamil. Karena aku ingin memiliki rumah terlebih dahulu. Nyatanya sekarang semua telah hilang
Rafka benar-benar terkejut atas tindakan Cindy baru saja. Namun ia sudah tidak bisa mengelak. Lelaki itu langsung melihat ke arah Rania dan menggedikkan bahunya. Rania langsung mengerucutkan bibirnya. "Jahat banget kamu, Raf." Rania berbalik arah dan meninggalkan Rafka sendirian. Wanita itu menahan diri untuk tidak menangis. "Ternyata cemburu itu rasanya tidak enak," lirih Rania. "Rania, tunggu!" teriak Rafka. "Ternyata ibu hamil itu sensitif banget! Mati aku!" Rafka menepuk keningnya sendiri. Lalu segera mengejar kepergian Rania. Wanita itu tidak masuk ke dalam mobil lagi. Ia justru berjalan di tengah ramainya malam itu. Rafka berusaha mengejar sang kekasih hati dengan mobilnya. Berkali-kali ia membunyikan klakson mobilnya. "Ran, aku mohon. Masuk ke dalam mobil." Rania tidak menghiraukan apa kata Rafka. Ia masih terus berjalan sendiri tanpa arah tujuan. Tak ingin Rania kenapa-napa, Rafka segera turun dari mobil. Ia langsung menggendong tubuh Rania tanpa ijin. Rania m
"Sudah siap, Sayang?" tanya Rafka yang melihat Rania turun dari tangga. Rania mengangguk sambil tersenyum. Ia hanya membawa tas berisi vitamin dan obatnya. Rafka sengaja menyiapkan roti bakar saja agar mereka tetap bisa sarapan pagi bersama. "Makan roti dulu, Ran. Nanti di jalan kita makan lagi." "Terima kasih, Raf. Harusnya aku yang menyiapkan semua ini. Harusnya aku tidak bangun kesiangan." "Sudahlah, kamu tidak perlu meminta maaf. Kita harus segera menemui Ibu." "Terima kasih, Raf. Kamu sangat peduli dengan Ibu." "Ibumu akan menjadi ibuku juga, Ran." Rania tersenyum kecut. Entah mengapa perasaannya tidak tenang. Apakah mungkin ibunya nanti merestui hubungannya dengan Rafka? Hubungan yang diawali dengan malam panas terlarang. Setelah sama-sama menyelesaikan sarapan pagi itu, Rafka segera mengajak Rania untuk masuk ke dalam mobil. Mereka akan melakukan perjalanan menuju rumah Dewi seperti waktu itu. Sesuai ucapan Rafka, di tengah perjalanan, mereka makan lagi. Tentu Rafka me