Siapa yang datang, readers....??? Pasti sudah tahu kan ya..... đ¤
Amar pulang dengan perasaan campur aduk. Dua wanita yang dekat dengannya sama-sama hamil. Tetapi mungkin Rania lebih dulu hamil. Hanya saja wanita itu belum pernah ke dokter. "Gimana, Mar? Kamu sudah menceraikan Rania?" Tiba-tiba suara sang mama kembali mengacaukan pikirannya. "Ma, tadi katanya mau ke butik?" balas Amar balik bertanya. "Iya, tapi sebentar saja. Kepala Mama pusing mikirin kamu." "Amar sudah menceraikan Rania, Ma. Ini buktinya." Amar memperlihatkan rekaman pada ponselnya. "Nah ... gitu dong, Mar. Harusnya sejak dulu kamu itu menceraikan Rania." "Tapi sekarang Rania juga hamil, Ma. Dia hamil anak Rafka." Rosita terkesiap mendengar pernyataan dari Amar. "Astaga, benar-benar tidak tahu malu, Rania itu. Mama akan mencarikan jodoh yang tepat untuk Rafka. Lihat saja nanti!" "Tapi, Ma? Kasihan Rania. Semua bukan salah dia, Ma. Selama ini aku yang tidak memperbolehkan Rania untuk hamil. Karena aku ingin memiliki rumah terlebih dahulu. Nyatanya sekarang semua telah hilang
Rafka benar-benar terkejut atas tindakan Cindy baru saja. Namun ia sudah tidak bisa mengelak. Lelaki itu langsung melihat ke arah Rania dan menggedikkan bahunya. Rania langsung mengerucutkan bibirnya. "Jahat banget kamu, Raf." Rania berbalik arah dan meninggalkan Rafka sendirian. Wanita itu menahan diri untuk tidak menangis. "Ternyata cemburu itu rasanya tidak enak," lirih Rania. "Rania, tunggu!" teriak Rafka. "Ternyata ibu hamil itu sensitif banget! Mati aku!" Rafka menepuk keningnya sendiri. Lalu segera mengejar kepergian Rania. Wanita itu tidak masuk ke dalam mobil lagi. Ia justru berjalan di tengah ramainya malam itu. Rafka berusaha mengejar sang kekasih hati dengan mobilnya. Berkali-kali ia membunyikan klakson mobilnya. "Ran, aku mohon. Masuk ke dalam mobil." Rania tidak menghiraukan apa kata Rafka. Ia masih terus berjalan sendiri tanpa arah tujuan. Tak ingin Rania kenapa-napa, Rafka segera turun dari mobil. Ia langsung menggendong tubuh Rania tanpa ijin. Rania m
"Sudah siap, Sayang?" tanya Rafka yang melihat Rania turun dari tangga. Rania mengangguk sambil tersenyum. Ia hanya membawa tas berisi vitamin dan obatnya. Rafka sengaja menyiapkan roti bakar saja agar mereka tetap bisa sarapan pagi bersama. "Makan roti dulu, Ran. Nanti di jalan kita makan lagi." "Terima kasih, Raf. Harusnya aku yang menyiapkan semua ini. Harusnya aku tidak bangun kesiangan." "Sudahlah, kamu tidak perlu meminta maaf. Kita harus segera menemui Ibu." "Terima kasih, Raf. Kamu sangat peduli dengan Ibu." "Ibumu akan menjadi ibuku juga, Ran." Rania tersenyum kecut. Entah mengapa perasaannya tidak tenang. Apakah mungkin ibunya nanti merestui hubungannya dengan Rafka? Hubungan yang diawali dengan malam panas terlarang. Setelah sama-sama menyelesaikan sarapan pagi itu, Rafka segera mengajak Rania untuk masuk ke dalam mobil. Mereka akan melakukan perjalanan menuju rumah Dewi seperti waktu itu. Sesuai ucapan Rafka, di tengah perjalanan, mereka makan lagi. Tentu Rafka me
Aluna sengaja tak menghiraukan ucapan Rafka. Ia sedang bercermin dan melepaskan pakaian atasannya. Gadis itu tersenyum sinis. "Em, sorry, Lun." Melihat kenyataan itu, Rafka segera ke luar kembali dan menutup pintu kamar Luna. Ia sungguh tak mengerti mengapa adik Rania tersebut tidak mengunci pintu kamarnya. Rafka memilih untuk duduk di ruang tamu. Menghabiskan minuman yang tadi sempat dibuatkan oleh Aluna. Tenggorokannya memang kering akibat perbuatannya kepada Rania beberapa waktu yang lalu. Sedikit merasa menyesal karena melakukan hal itu di saat suasana genting. Beruntung Romi tidak menyaksikannya. Rafka melihat Luna keluar dari kamarnya. Lelaki itu refleks berdiri. Namun Aluna hanya diam dan tak merespon sama sekali. Rafka pun memilih diam. Ia segera membukakan pintu mobilnya sementara menunggu Aluna mengunci pintu rumah. Di sepanjang perjalanan mereka saling diam. Namun tiba-tiba Aluna melontarkan sebuah pertanyaan kepada Rafka. "Apa benar Kak Rafka ada hubungan khusus den
Lelaki itu berjalan mendekati Rania yang juga berjalan menuju ruangan ibunya. "Riko? Kamu ada di sini?" tanya Rania merasa heran. "Rania, aku selalu menghubungimu. Tetapi tidak pernah kau hiraukan. Kamu lupa, jika aku ada saudara di dekat sini? Lagipula aku mengenal Aluna." "Mengenal Aluna? Sekarang dia ada di mana?" tanya Rania lagi. Wanita itu tidak pernah tahu jika adiknya mengenal Riko. Yang ia tahu Aluna jarang bergaul dengan laki-laki. "Dia ada di dalam. Tadi aku juga sudah menjenguk Tante Dewi. Lebih baik kita duduk dulu di sana." Riko mengajak Rania duduk. Lelaki itu berusaha menenangkan hati Rania agar tidak terlalu sedih. Sementara Rafka bisa melihat mereka dari kejauhan. "Riko? Sejak kapan dia ada di sini? Kenapa dia bisa dekat dengan Rania?" Rafka memejamkan matanya. Sebenarnya ia merasa cemburu jika melihat Rania dekat dengan pria lain. Lelaki membuang tangannya ke udara. Ia merasa frustasi sendiri. "Semua sudah menjadi pilihan Rania. Aku tidak ada hak lagi untuk
"Cari apa sih, Mbak? Mau dibantuin nyari?" Aluna penasaran.Sementara Rania masih celingukan mencari barangnya yang hilang."Ponsel mbak nggak ada Lun. Perasaan kemarin aku taruh di sebelahku.""Jangan-jangan Mbak lupa naruhnya ya?" Aluna ikut mencari sampai di kolong ranjang rumah sakit itu.Rania merasa kecewa. Bagaimana mungkin handphonenya bisa hilang? Padahal ia tidak membuangnya."Ya sudah lah, Mbak. Ikhlasin aja. Ini kasihan Ibu sudah nunggu lama."Rania pun mengangguk pasrah. Ia tidak rela kehilangan ponsel yang baginya sangat berharga. Banyak sekali kenangannya dengan Rafka melalui foto-foto yang sengaja mereka abadikan waktu itu.Meski sudah tidak mungkin untuk menjalin hubungan kembali dengan Rafka, tetapi Rania masih sangat merindukannya. Setidaknya ia bisa memandangi fotonya."Ayo, Mbak! Kok malah bengong," ujar Aluna yang mendapati kakaknya masih terdiam berdiri di tempatnya."Iâiya Lun. Maaf."Rania segera mengikuti langkah Aluna hingga ke ruangan ibunya. Di sana Dewi da
"Kalian mau apa?" ucap Rania mencoba bersikap tenang. Meski jantungnya sudah dah dig dug tidak karuan. "Serahkan tas kamu, cepat!" perintah lelaki yang berada di depan Rania. "Tidak, aku tidak mau." Rania berusaha mempertahankan tasnya. Barang itu adalah barang sangat berharga baginya. "Keras kepala sekali kamu!" Lelaki itu melihat ke arah temannya. "Burhan, rampas tasnya!" "Baik, Bos!" Lelaki itu berusaha merampas tas milik Rania tetapi Rania masih tidak mau mengalah. Hingga terjadi tarik-menarik di antara mereka dan akhirnya Rania terjatuh. Ia merasakan perutnya yang tiba-tiba terasa sangat sakit. "Aaaaah!" Rania meraung kesakitan sambil memegangi perutnya. "Bos, dia kenapa?" Penjahat itu ketakutan. "Sebaiknya kita segera pergi dari sini!" Dua lelaki itu hendak pergi, tetapi datang seorang lelaki menggunakan masker hitam yang langsung memukul mereka berdua. Dua lelaki itu terjatuh bersamaan dan tas Rania terlempar begitu saja yang langsung diambil oleh lelaki pemakai masker.
"Kak, aku malu. Tolong jangan tanyakan itu." Aluna mengalihkan pandangannya. Ia tidak suka ditanyai terus seperti itu."Ya, maaf. Aku khilaf. Aku tidak akan mengulanginya lagi," balas Riko dengan menatap lurus ke depan."Eh, Kak Riko nggak salah kok. Nggak perlu minta maaf. Sebenarnya akuâ"Gadis itu menghentikan ucapannya. Tidak mungkin ia berterus terang tentang perasaan yang sebenarnya ia rasakan."Kenapa Lun? Katakan saja. Aku tidak akan marah kok."Aluna meraih tangan Riko dan ia letakkan di dadanya. "Rasakanlah, Kak. Sejak tadi jantung Luna berdetak kencang. Luna tidak kuat untuk menahannya."Gadis itu justru tampak gelisah. Ada sesuatu yang ingin ia lepaskan saat itu juga. Perasaannya semakin aneh saat mengingat kejadian di kamar mandi yang belum terselesaikan dengan baik."Mau ke hotel?" bisik Riko mendekat ke arah telinga Aluna.Aluna terkesiap. Tentu ia tahu apa maksud dari ucapan Riko. Rupanya lelaki itu juga menginginkan hal yang sama dengannya.Mereka lupa bahwa niat dari