Cari apaan ya, Rania??? đ¤
"Cari apa sih, Mbak? Mau dibantuin nyari?" Aluna penasaran.Sementara Rania masih celingukan mencari barangnya yang hilang."Ponsel mbak nggak ada Lun. Perasaan kemarin aku taruh di sebelahku.""Jangan-jangan Mbak lupa naruhnya ya?" Aluna ikut mencari sampai di kolong ranjang rumah sakit itu.Rania merasa kecewa. Bagaimana mungkin handphonenya bisa hilang? Padahal ia tidak membuangnya."Ya sudah lah, Mbak. Ikhlasin aja. Ini kasihan Ibu sudah nunggu lama."Rania pun mengangguk pasrah. Ia tidak rela kehilangan ponsel yang baginya sangat berharga. Banyak sekali kenangannya dengan Rafka melalui foto-foto yang sengaja mereka abadikan waktu itu.Meski sudah tidak mungkin untuk menjalin hubungan kembali dengan Rafka, tetapi Rania masih sangat merindukannya. Setidaknya ia bisa memandangi fotonya."Ayo, Mbak! Kok malah bengong," ujar Aluna yang mendapati kakaknya masih terdiam berdiri di tempatnya."Iâiya Lun. Maaf."Rania segera mengikuti langkah Aluna hingga ke ruangan ibunya. Di sana Dewi da
"Kalian mau apa?" ucap Rania mencoba bersikap tenang. Meski jantungnya sudah dah dig dug tidak karuan. "Serahkan tas kamu, cepat!" perintah lelaki yang berada di depan Rania. "Tidak, aku tidak mau." Rania berusaha mempertahankan tasnya. Barang itu adalah barang sangat berharga baginya. "Keras kepala sekali kamu!" Lelaki itu melihat ke arah temannya. "Burhan, rampas tasnya!" "Baik, Bos!" Lelaki itu berusaha merampas tas milik Rania tetapi Rania masih tidak mau mengalah. Hingga terjadi tarik-menarik di antara mereka dan akhirnya Rania terjatuh. Ia merasakan perutnya yang tiba-tiba terasa sangat sakit. "Aaaaah!" Rania meraung kesakitan sambil memegangi perutnya. "Bos, dia kenapa?" Penjahat itu ketakutan. "Sebaiknya kita segera pergi dari sini!" Dua lelaki itu hendak pergi, tetapi datang seorang lelaki menggunakan masker hitam yang langsung memukul mereka berdua. Dua lelaki itu terjatuh bersamaan dan tas Rania terlempar begitu saja yang langsung diambil oleh lelaki pemakai masker.
"Kak, aku malu. Tolong jangan tanyakan itu." Aluna mengalihkan pandangannya. Ia tidak suka ditanyai terus seperti itu."Ya, maaf. Aku khilaf. Aku tidak akan mengulanginya lagi," balas Riko dengan menatap lurus ke depan."Eh, Kak Riko nggak salah kok. Nggak perlu minta maaf. Sebenarnya akuâ"Gadis itu menghentikan ucapannya. Tidak mungkin ia berterus terang tentang perasaan yang sebenarnya ia rasakan."Kenapa Lun? Katakan saja. Aku tidak akan marah kok."Aluna meraih tangan Riko dan ia letakkan di dadanya. "Rasakanlah, Kak. Sejak tadi jantung Luna berdetak kencang. Luna tidak kuat untuk menahannya."Gadis itu justru tampak gelisah. Ada sesuatu yang ingin ia lepaskan saat itu juga. Perasaannya semakin aneh saat mengingat kejadian di kamar mandi yang belum terselesaikan dengan baik."Mau ke hotel?" bisik Riko mendekat ke arah telinga Aluna.Aluna terkesiap. Tentu ia tahu apa maksud dari ucapan Riko. Rupanya lelaki itu juga menginginkan hal yang sama dengannya.Mereka lupa bahwa niat dari
Dewi dan Romi sejak tadi merasa khawatir. Aluna dan Riko belum ada kabar sama sekali. Begitupun dengan Rania yang belum juga kembali. "Ini gimana, Pak? Anak kita dua-duanya malah belum balik. Ini sudah malam." Dewi mondar-mandir tidak karuan. Tadi ia terpaksa membeli sayur matang di warung agar bisa makan dengan suaminya. "Sabar, Wi. Pasti sebentar lagi mereka akan pulang," ungkap Romi menenangkan istrinya. Beberapa saat kemudian terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Seketika Dewi dan Romi merasa penasaran. "Itu pasti mereka Wi," ujar Romi cepat. Sementara Rania masih tertidur, Aryan segera membangunkannya. "Ibu Rania. Kita sudah sampai," ucap Aryan bernada biasa. Namun tidak ada tanda-tanda Rania membuka kedua matanya. Membuat Aryan menaikkan nada suaranya. Rania pun kaget. Ia gelagapan di tempatnya. Wanita itu melihat ke kanan dan ke kiri kebingungan. Takut jika Aryan menculik dan membawanya ke suatu tempat. "Bagaimana Bapak bisa tahu rumah Ibu saya?" tanya Rania m
Setelah masuk ke dalam mobil, Aryan segera menghubungi seseorang. Ia harus memberi kabar. "Lapor, Pak. Ibu Rania sudah sampai rumah dengan selamat." Aryan menunggu jawaban dengan sabar. Takut jika dirinya mengecewakan karena sedari tadi ucapannya bisa didengar dengan bantuan handsfree kecil pada telinganya. "Bagus. Nama kamu Aryan? Itu terlalu bagus untukmu, Ren." Lelaki itu terkekeh pelan dari balik teleponnya. "Kalau begini Ibu Rania bisa jatuh cinta sama saya, Pak?!" Rendi yang berpura-pura sebagai Aryan merasa percaya diri. Ia justru sengaja membuat lawan bicaranya merasa cemburu. "Kamu mau macam-macam sama saya?" geram lelaki itu. "Saya hanya bercanda. Ampun, Pak Rafka." Rafka geleng-geleng kepala di tempatnya meski tidak dapat terlihat. Ia menghembuskan nafas beratnya. "Apakah dia ada rasa curiga kepadamu?" Rafka ingin tahu. "Hampir saja. Saya selalu keceplosan, Pak. Sepertinya Ibu Rania tahu jika yang menolongnya di pasar tadi adalah Bapak. Saya juga sempat melihatnya m
Rania hanya diam. Ia memandangi jendela kamarnya yang mengarah ke samping rumah. Wanita itu sepertinya sedang memikirkan hal tersulit yang tak bisa ia capai. "Ran, kamu ngapain? Jangan melamun terus," ungkap Romi merasa prihatin dengan keadaan putrinya. Romi duduk di tepi ranjang di samping Rania. Ia berusaha menghibur Rania agar tidak stres. "Bapak mengerti perasaanmu, Ran. Kamu harus sabar." Rania menoleh ke arah Bapaknya. Seketika itu Romi segera merengkuh tubuh sang putri ke dalam pelukannya. Rania menangis sejadi-jadinya. Walau bagaimanapun ia juga merindukan sosok seorang ayah. "Kita do'akan agar ibumu dilembutkan hatinya. Supaya mau merestui hubungan kamu dengan Rafka." "Apa Bapak tidak marah?" tanya Rania pelan. "Rania hanya buat malu keluarga, Pak. Rania seperti tidak punya harga diri lagi." "Seorang ayah pasti kecewa jika anaknya melakukan tindakan yang yang tidak terpuji. Seharusnya kamu tidak selingkuh, Rania. Sekarang kamu diceraikan saat berbadan dua." Ra
"Ibu serius, Ran. Kamu bisa menghubungi Rafka kembali." Rania segera memeluk ibunya. Ia sangat bahagia mendapatkan restu dari Dewi. ***Siang itu, ada dua buah mobil yang datang ke rumah Dewi. Satu berisi barang-barang milik Rania. Dan satu lagi mobil yang waktu itu pernah dijanjikan Rafka akan diberikan kepadanya. "Ran, itu ada yang mencari kamu di luar!" ucap Romi yang baru pulang dari sawah. Sementara Rania masih merapikan tempat tidurnya yang sedikit berantakan. "Memangnya siapa yang datang, Pak?" tanya Rania heran dari balik pintu. Wanita itu segera keluar dari kamarnya. "Tidak tahu, Ran. Orangnya tidak mau disuruh masuk ke rumah." Dewi pun ikut keluar dari kamarnya. Ia juga merasa penasaran. "Ada apa sih, Pak? Sepertinya serius sekali." "Itu, Bu. Di luar ada dua mobil mahal. Ada dua orang lelaki yang mencari Rania." Dewi menatap heran ke arah putrinya. Takut jika Rania sedang terlilit hutang atau terkena masalah lainnya. "Rania juga tidak tahu, Bu." "Ya, sudah. Sekarang
"Kalian berdua sama-sama cantik," jawab Amar tidak bisa memberikan jawaban yang tepat. Ia tidak mau membohongi perasaannya jika Rania lebih cantik. Tapi ia juga tidak mau membuat Tisa kecewa. Mendengar ucapan dari Amar membuat Tisa terdiam cukup lama. Ia mencari sebuah kebohongan pada kedua mata milik Amar. Wanita itu mengerucutkan bibirnya. Sebenarnya ia tidak puas dengan jawaban Amar. Tetapi dirinya merasa maklum karena Rania memang tak kalah cantik dari dia. Hanya saja Tisa butuh pengakuan dari calon suaminya. "Jadi begitu. Sangat mengecewakan jawaban kamu, Mas!" Tisa mengalihkan pandangannya. Sengaja bersikap cuek agar Amar mau membujuknya. "Maaf, aku tidak bisa berbohong. Kamu cantik, Tisa. Tapi Rania juga tidak jelek." Amar menambahi. Ia jadi merasa bersalah karena bersikap plin-plan. "Nggak pa-pa kok, Mas. Yang penting Mas janji tidak akan membatalkan pernikahan kita. Kita juga harus mengundang Rania agar datang ke acara pesta pernikahan kita nanti. Aku ingin berterima kas
Malam itu langit di atas rumah megah Rania dan Rafka penuh dengan bintang-bintang. Udara segar musim semi membawa aroma bunga yang mekar di taman mereka. Di dalam rumah suasana begitu tenang. Setelah anak bungsu merekaâRafael berangkat kuliah ke luar negeri, rumah terasa lebih sepi. Namun kebersamaan mereka tetap hangat. Rania duduk di ruang keluarga. Ia sedang membaca buku favoritnya di bawah cahaya lampu yang lembut. Rafka yang baru saja pulang dari kantor, berjalan masuk dengan senyum lelah namun penuh cinta di wajahnya. Melihat istrinya yang tenang ia merasa bahagia meski suasana rumah kini lebih sunyi. âRania, aku sudah pulang,â ucap Rafka lembut sambil meletakkan tas kerjanya di meja. Rania mengangkat wajahnya dari buku dan tersenyum hangat. âSelamat datang, Sayang. Bagaimana hari ini?â tanya Rania sambil menutup bukunya dan berdiri untuk menyambut suaminya. Rafka merangkul Rania dengan lembut. Lalu mencium keningnya dengan penuh kasih. âHari yang panjang, tapi semua
Di pagi yang cerah. Sinar matahari menyusup lembut melalui jendela rumah sakit, menciptakan nuansa hangat dan damai di ruangan bersalin. Di luar burung-burung berkicau riang menyambut datangnya hari baru. Namun di dalam ruangan itu, suasana penuh dengan ketegangan dan harapan. Alsha dengan wajah yang berpeluh tengah berjuang melahirkan buah hati yang dinantikan. Dito berdiri di samping Alsha. Ia menggenggam erat tangan sang istri. Lelaki tampan itu memberikan dukungan tanpa henti. Wajah Dito tampak cemas. Namun ia merasakan kebahagiaan yang tak bisa terlukiskan. âKamu bisa, Alsha. Aku ada di sini bersamamu,â bisiknya dengan suara lembut dan penuh kasih. Dengan napas yang terengah-engah, Alsha menguatkan diri. Setiap kontraksi membawa rasa sakit yang luar biasa, namun juga mendekatkannya pada momen yang paling dinantikan dalam hidupnya. Wajahnya menegang, tetapi ada kilauan tekad di matanya. âSedikit lagi, Bu Alsha. Sedikit lagi,â ucap dokter dengan nada tenang dan men
Pagi itu matahari baru saja terbit dan sinarnya yang lembut menembus jendela kamar Alma dan Marco. Suara burung berkicau di luar rumah memberikan kesan damai dan menenangkan. Namun pagi itu terasa berbeda bagi Alma. Dia terbangun dengan perasaan yang aneh. Sesuatu yang tidak biasa. Alma mencoba mengabaikannya, tapi gejala-gejala yang dia rasakan semakin nyata. Alma duduk di tepi ranjang, memegang perutnya yang terasa aneh. Pusing, mual, dan perasaan lelah yang luar biasa menyelimuti dirinya. Ia mengingat kembali beberapa hari terakhir, mencoba mencari penjelasan. âMungkinkah?â pikir Alma, hatinya berdebar-debar dengan harapan sekaligus kecemasan. Marco yang berada di dapur, sedang menyiapkan sarapan. Dia memperhatikan Alma yang keluar dari kamar dengan wajah pucat. âKamu baik-baik saja, Alma?â tanya Marco dengan nada khawatir. Alma mencoba tersenyum. âAku merasa sedikit tidak enak badan. Mungkin aku butuh istirahat lebih,â jawabnya sambil mencoba menyembunyikan kekhawati
Beberapa hari telah berlalu. Alsha memilih menyendiri di sebuah hotel kecil yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota. Ia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan hatinya yang kacau. Kamar hotel itu sederhana, tapi cukup nyaman untuk menjadi tempat perlindungan sementara. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela memberikan sedikit kehangatan di dalam ruangan yang sunyi itu. Di tepi ranjang Alsha duduk dengan tatapan kosong. Ia merenungkan semua yang telah terjadi. Di dalam hatinya ada campuran antara rasa sakit, kebingungan, dan ketidakpastian. Gadis itu mengelus perutnya yang masih rata. Membayangkan bayi yang sedang tumbuh di dalamnya. Bayangan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian membuatnya merasa sendirian. Ketukan lembut di pintu mengagetkannya dari lamunan. Dengan perlahan dan hati-hati Alsha bangkit lalu membuka pintu. Di sana berdiri seorang lelaki suruhan papanya yang akhirnya berhasil menemukan tempat persembunyian Alsha setelah berhari
Hari pernikahan yang dinanti-nanti pun tiba. Karena sebuah kesepakatan akhirnya pernikahan dilaksanakan di rumah Rania dan Rafka. Taman rumah yang luas telah disulap menjadi tempat pernikahan yang megah, dipenuhi dengan hiasan bunga-bunga berwarna pastel dan lilin-lilin yang memberikan cahaya hangat. Sebuah tenda besar dihiasi kain putih dan pita emas menjulang di tengah-tengah taman. Menambah kesan elegan dan mewah. Marco, Alma, dan Dito sudah berkumpul bersama keluarga dan tamu undangan. Semuanya terlihat anggun dalam balutan busana pernikahan yang memukau. Pak penghulu telah datang dan bersiap untuk memulai prosesi ijab kabul. Namun di antara keramaian dan kegembiraan itu ada satu hal yang mengganjal. âKe mana Alsha?â tanya Rania dengan cemas. Ia memandang sekeliling mencari putrinya. âTadi katanya ke toilet sebentar,â jawab Alma dengan sedikit gugup. Gadis itu mencoba menenangkan ibunya. Marco mulai merasa cemas. âAku akan mencarinya,â ucapnya seraya bergegas menuju
Tanpa terasa hari pernikahan semakin dekat. Segala persiapan sudah selesai. Malam sebelum pernikahan, Alsha duduk sendirian di balkon apartemen. Ia merenung tentang semua yang telah terjadi. Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya, membawa kedamaian yang sementara. Tiba-tiba pintu balkon terbuka dan Alma ke luar. âHei!â Alma menyapa sambil mendekati Alsha. âKenapa kamu di sini sendirian?â âAlsha hanya merenung, Kak. Besok adalah hari besar kita,â jawab Alsha dengan senyum tipis. âIya, besok kita akan memulai babak baru dalam hidup kita. Kamu sudah siap?â tanya Alma dengan lembut. âSejujurnya, Alsha sedikit gugup. Tapi Alsha yakin ini adalah langkah yang benar,â jawab Alsha kemudian. âSemua akan baik-baik saja, Alsha!â Alma berbicara dengan yakin sambil merangkul kembarannya itu. Mereka duduk bersama dalam keheningan sejenak. Menikmati kebersamaan yang tenang di malam yang penuh bintang. Suara kota yang jauh terdengar seperti bisikan lembut, memberikan latar belakang yang m
âNgapain di sini sendirian, Alsha?â Suara itu milik Marco yang tampak khawatir melihatnya. Alsha menghela napas lega meskipun masih ada sedikit rasa takut yang tertinggal. âKok kamu tahu aku di sini, Marco?â tanyanya dengan suara yang masih bergetar. Marco tersenyum tipis. Ia mencoba menenangkan Alsha. âAku khawatir padamu. Saat aku ke apartemen dan tidak menemukanmu, aku memutuskan untuk mencarimu. Aku ingat kamu pernah bercerita tentang tempat ini, jadi aku datang ke sini.â Alsha mengangguk, merasa sedikit tenang dengan kehadiran Marco. âAku hanya butuh waktu sendirian untuk berpikir. Tapi aku takut Marco. Aku merasa tadi ada yang mengikutiku.â âApakah kamu yakin?â Marco segera membawa tubuh Alsha ke dalam dekapannya. âKamu tidak perlu takut. Ada aku di sini untukmu.â Alsha tak menolak meski ia tidak membalas pelukan Marco. Hatinya masih belum bisa sepenuhnya menerima Marco. âTerima kasih, Marco. Aku hanya merasa gugup menjelang pernikahan kita.â Marco mengangguk mengerti. â
âTidak. Aku tidak peduli.â Alsha berusaha untuk mengabaikan pesan tersebut. Ia juga memblokir nomor baru yang masuk. Berapapun banyaknya nomor itu Alsha tidak akan peduli. Setelah merasa cukup tenang, Alsha segera memejamkan kedua matanya. Pagi harinya Alsha menjalani kehidupan seperti biasanya. Ia mencoba menghilangkan segala kegelisahan hati dengan rajin memasak. Gadis itu juga memilih untuk bekerja online dari ponselnya. Sebenarnya Marco tidak melarang jika setelah menikah nanti Alsha akan bekerja, tetapi lelaki itu akan sangat bahagia jika Alsha lebih fokus melayani sang suami saja. Tanpa terasa hari-hari berlalu dengan cepat. Persiapan pernikahan berjalan lancar. Namun, sebuah pertemuan tak terduga terjadi beberapa hari sebelum pernikahan. Alsha sedang berada di kafe dekat apartemen, menunggu Alma yang sedang membeli beberapa keperluan. Ketika ia sedang menikmati kopi, seseorang mendekatinya. âAlsha?â Suara yang familiar itu membuatnya mendongak. Di hadapannya berdiri Dito
Pagi itu Alsha bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasa lega bisa berkumpul kembali bersama orang tuanya setelah sekian lama. Aroma harum dari dapur menyambutnya saat dia keluar dari kamar. Saat memasuki ruang makan, dia melihat Rania, Rafka, dan adik laki-lakinyaâRafael sudah duduk di meja. âSelamat pagi Sayang,â sapa Rania sambil tersenyum hangat. âSarapan sudah siap. Duduklah, kita sarapan bersama.â Alsha duduk di kursinya dan merasa nostalgia yang mendalam. Sudah lama sejak terakhir kali mereka semua berkumpul untuk sarapan seperti ini. Meja penuh dengan makanan favoritnya. Nasi goreng, telur dadar, dan berbagai macam lauk pauk. âSelamat pagi, Kak Alsha,â sapa Rafael yang duduk di sebelahnya. âAkhirnya kita bisa sarapan bareng.â Alsha tersenyum dan merangkul adik laki-lakinya. âSelamat pagi, Rafa. Bagaimana sekolahmu?â âBaik, Kak. Sedikit sibuk dengan tugas-tugas, tapi semuanya lancar,â balas Rafael sambil mengambil sepotong roti. Rafka tersenyum bangga. âRafa i