Gimana ini gaes? Riko ini beneran tulus apa modus ya? 🤔
Setelah masuk ke dalam mobil, Aryan segera menghubungi seseorang. Ia harus memberi kabar. "Lapor, Pak. Ibu Rania sudah sampai rumah dengan selamat." Aryan menunggu jawaban dengan sabar. Takut jika dirinya mengecewakan karena sedari tadi ucapannya bisa didengar dengan bantuan handsfree kecil pada telinganya. "Bagus. Nama kamu Aryan? Itu terlalu bagus untukmu, Ren." Lelaki itu terkekeh pelan dari balik teleponnya. "Kalau begini Ibu Rania bisa jatuh cinta sama saya, Pak?!" Rendi yang berpura-pura sebagai Aryan merasa percaya diri. Ia justru sengaja membuat lawan bicaranya merasa cemburu. "Kamu mau macam-macam sama saya?" geram lelaki itu. "Saya hanya bercanda. Ampun, Pak Rafka." Rafka geleng-geleng kepala di tempatnya meski tidak dapat terlihat. Ia menghembuskan nafas beratnya. "Apakah dia ada rasa curiga kepadamu?" Rafka ingin tahu. "Hampir saja. Saya selalu keceplosan, Pak. Sepertinya Ibu Rania tahu jika yang menolongnya di pasar tadi adalah Bapak. Saya juga sempat melihatnya m
Rania hanya diam. Ia memandangi jendela kamarnya yang mengarah ke samping rumah. Wanita itu sepertinya sedang memikirkan hal tersulit yang tak bisa ia capai. "Ran, kamu ngapain? Jangan melamun terus," ungkap Romi merasa prihatin dengan keadaan putrinya. Romi duduk di tepi ranjang di samping Rania. Ia berusaha menghibur Rania agar tidak stres. "Bapak mengerti perasaanmu, Ran. Kamu harus sabar." Rania menoleh ke arah Bapaknya. Seketika itu Romi segera merengkuh tubuh sang putri ke dalam pelukannya. Rania menangis sejadi-jadinya. Walau bagaimanapun ia juga merindukan sosok seorang ayah. "Kita do'akan agar ibumu dilembutkan hatinya. Supaya mau merestui hubungan kamu dengan Rafka." "Apa Bapak tidak marah?" tanya Rania pelan. "Rania hanya buat malu keluarga, Pak. Rania seperti tidak punya harga diri lagi." "Seorang ayah pasti kecewa jika anaknya melakukan tindakan yang yang tidak terpuji. Seharusnya kamu tidak selingkuh, Rania. Sekarang kamu diceraikan saat berbadan dua." Ra
"Ibu serius, Ran. Kamu bisa menghubungi Rafka kembali." Rania segera memeluk ibunya. Ia sangat bahagia mendapatkan restu dari Dewi. ***Siang itu, ada dua buah mobil yang datang ke rumah Dewi. Satu berisi barang-barang milik Rania. Dan satu lagi mobil yang waktu itu pernah dijanjikan Rafka akan diberikan kepadanya. "Ran, itu ada yang mencari kamu di luar!" ucap Romi yang baru pulang dari sawah. Sementara Rania masih merapikan tempat tidurnya yang sedikit berantakan. "Memangnya siapa yang datang, Pak?" tanya Rania heran dari balik pintu. Wanita itu segera keluar dari kamarnya. "Tidak tahu, Ran. Orangnya tidak mau disuruh masuk ke rumah." Dewi pun ikut keluar dari kamarnya. Ia juga merasa penasaran. "Ada apa sih, Pak? Sepertinya serius sekali." "Itu, Bu. Di luar ada dua mobil mahal. Ada dua orang lelaki yang mencari Rania." Dewi menatap heran ke arah putrinya. Takut jika Rania sedang terlilit hutang atau terkena masalah lainnya. "Rania juga tidak tahu, Bu." "Ya, sudah. Sekarang
"Kalian berdua sama-sama cantik," jawab Amar tidak bisa memberikan jawaban yang tepat. Ia tidak mau membohongi perasaannya jika Rania lebih cantik. Tapi ia juga tidak mau membuat Tisa kecewa. Mendengar ucapan dari Amar membuat Tisa terdiam cukup lama. Ia mencari sebuah kebohongan pada kedua mata milik Amar. Wanita itu mengerucutkan bibirnya. Sebenarnya ia tidak puas dengan jawaban Amar. Tetapi dirinya merasa maklum karena Rania memang tak kalah cantik dari dia. Hanya saja Tisa butuh pengakuan dari calon suaminya. "Jadi begitu. Sangat mengecewakan jawaban kamu, Mas!" Tisa mengalihkan pandangannya. Sengaja bersikap cuek agar Amar mau membujuknya. "Maaf, aku tidak bisa berbohong. Kamu cantik, Tisa. Tapi Rania juga tidak jelek." Amar menambahi. Ia jadi merasa bersalah karena bersikap plin-plan. "Nggak pa-pa kok, Mas. Yang penting Mas janji tidak akan membatalkan pernikahan kita. Kita juga harus mengundang Rania agar datang ke acara pesta pernikahan kita nanti. Aku ingin berterima kas
Lelaki itu berteriak kesakitan dan mengucap kata maaf kepada Rania sambil menutupi bagian kepala dengan kedua tangannya tanpa menatap wajah Rania. "Sakit, ampun!" rintihnya. Rania seperti mengenali suara itu. Ia menghentikan pukulannya. Dan memastikan bahwa lelaki itu masih baik-baik saja. "Kamu? Ngapain di sini? Kamu penguntit ya? Ayo, ngaku atau mau saya pukul lagi!" Rania menyuruh lelaki itu berjalan ke arah depan rumah. Walau bagaimanapun juga dia ingin tahu apa maksud tujuan lelaki itu datang ke rumahnya. "Maafkan, saya." Lelaki itu memelas. "Saya boleh duduk 'kan ya?" Rania pun ikut duduk di sebelahnya. Lalu membuang muka ke sembarang arah. "Kenapa Pak Aryan datang ke sini? Sejak kapan Bapak masih berkeliaran di daerah sini? Bukankah Bapak aslinya orang kota ya?" Deretan pertanyaan dari Rania membuat lelaki itu terdiam. Ia kebingungan harus menjawab pertanyaan yang mana dulu. "Saya tadi malam habis ke sini mengawasi rumah ini. Terus sampai rumah saya kehilangan handphone.
"Sementara kamu pilih cincin lain yang sesuai ukuranmu saja, ya? Aku akan pesan lagi sesuai ukuran jari kamu. Atau kamu simpan cincin ini. Siapa tahu akan muat di kemudian hari. Biasanya tubuh seorang wanita berubah setelah menikah nanti." Cindy terkesiap. Ada sedikit rasa bahagia di hatinya saat Rafka mengucapkan kalimat demi kalimatnya. "Kamu sudah nggak sabar mau menikah sama aku ya, Raf? Kamu so sweet sekali. Aku jadi makin cinta sama kamu." Rupanya Rafka salah bicara. Dan Cindy salah dalam mengartikan. Lelaki tampan itu hanya mampu tersenyum kecut. Entah bagaimana rasanya jika nanti Cindy tahu bahwa Rafka tidak menginginkan pernikahan itu. Apakah Cindy akan marah kepadanya? Atau bahkan meninggalkannya? "Jadi bagaimana?" tanya Rafka memastikan. "Aku mau cincin yang lain saja, Raf. Tidak apa-apa 'kan?" ungkap wanita itu. "Tentu saja," jawab Rafka singkat. Ia senang karena cincin itu memang niatnya akan dia berikan kepada Rania jika Cindy tidak menyukainya. Tapi entah kapan. Mu
Dewi dan Romi saling berpandangan. Tentu mereka tidak ingin membuat Rania kembali kecewa dan terluka. Kemudian lelaki paruh baya itu berucap dengan tenang. "Kami kapan-kapan juga bisa ke sana lagi, Ran. Nanti kalau kamu berhasil memperjuangkan cintamu, pasti akhirnya kamu tinggal di sana lagi 'kan?" ungkap Romi bernada semangat. Rania tersenyum tipis. "Do'akan saja ya, Pak. Bu ... semoga Rania masih ada jodoh dengan Rafka." "Tentu saja kami akan selalu mend'oakan untuk kebaikan kamu, Rania. Kamu tidak usah memikirkan kami. Kami akan baik-baik saja di sini. Yang penting itu kebahagiaan kamu." Ucapan Dewi membuat Rania merasa terharu. Ia merasa memiliki ibu yang paling baik dan pengertian sedunia. Wanita itu segera memeluk ibunya. Sebuah tindakan yang refleks selalu mereka berikan untuk sebuah kasih sayang dan rasa saling mendukung antara ibu dan anaknya. "Ya sudah, Bu. Ayo, berangkat sekarang," celetuk Rendi mengompori. Ia yang sedari tadi sudah tidak sabar untuk segera berangkat
Para lelaki itu tertawa terbahak-bahak. Mereka hendak menyentuh tubuh Rania tetapi segera ditangkis oleh Rendi. "Ren ... hati-hati," ucap Rania bernada cemas. "Siap, Bu Rania. Sebaiknya Ibu mencari bantuan." Rendi memberikan sebuah isyarat dan bisa dibaca dengan cepat oleh Rania. Lelaki itu sengaja menghadang semua penjahat agar melupakan sosok Rania. Rania menyelinap ke sebuah gang yang gelap lalu menyalakan bunyi sirine mobil polisi untuk mengelabuhi para penjahat. "Gawat bos! Ada polisi!" teriak salah satu anak buah si ketua penjahat. "Ayo, kita kabur saja!" Para penjahat itu meninggalkan Rendi yang sedikit terluka karena tonjokan dari mereka. Melihat para penjahat sudah pergi, Rania segera menghampiri Rendi kembali. "Ren, kamu tidak apa-apa 'kan?" Rania mendekati Rendi. Ia melihat darah di sudut bibir lelaki itu. Membuatnya refleks mengusap dengan jemarinya. Rendi jadi serba salah. Jantungnya tidak baik-baik saja. "Duh, Bu Rania jangan begitu. Hati saya jadi deg deg an ini