Kasihan Cindy ya???? 😌🤭
"Sementara kamu pilih cincin lain yang sesuai ukuranmu saja, ya? Aku akan pesan lagi sesuai ukuran jari kamu. Atau kamu simpan cincin ini. Siapa tahu akan muat di kemudian hari. Biasanya tubuh seorang wanita berubah setelah menikah nanti." Cindy terkesiap. Ada sedikit rasa bahagia di hatinya saat Rafka mengucapkan kalimat demi kalimatnya. "Kamu sudah nggak sabar mau menikah sama aku ya, Raf? Kamu so sweet sekali. Aku jadi makin cinta sama kamu." Rupanya Rafka salah bicara. Dan Cindy salah dalam mengartikan. Lelaki tampan itu hanya mampu tersenyum kecut. Entah bagaimana rasanya jika nanti Cindy tahu bahwa Rafka tidak menginginkan pernikahan itu. Apakah Cindy akan marah kepadanya? Atau bahkan meninggalkannya? "Jadi bagaimana?" tanya Rafka memastikan. "Aku mau cincin yang lain saja, Raf. Tidak apa-apa 'kan?" ungkap wanita itu. "Tentu saja," jawab Rafka singkat. Ia senang karena cincin itu memang niatnya akan dia berikan kepada Rania jika Cindy tidak menyukainya. Tapi entah kapan. Mu
Dewi dan Romi saling berpandangan. Tentu mereka tidak ingin membuat Rania kembali kecewa dan terluka. Kemudian lelaki paruh baya itu berucap dengan tenang. "Kami kapan-kapan juga bisa ke sana lagi, Ran. Nanti kalau kamu berhasil memperjuangkan cintamu, pasti akhirnya kamu tinggal di sana lagi 'kan?" ungkap Romi bernada semangat. Rania tersenyum tipis. "Do'akan saja ya, Pak. Bu ... semoga Rania masih ada jodoh dengan Rafka." "Tentu saja kami akan selalu mend'oakan untuk kebaikan kamu, Rania. Kamu tidak usah memikirkan kami. Kami akan baik-baik saja di sini. Yang penting itu kebahagiaan kamu." Ucapan Dewi membuat Rania merasa terharu. Ia merasa memiliki ibu yang paling baik dan pengertian sedunia. Wanita itu segera memeluk ibunya. Sebuah tindakan yang refleks selalu mereka berikan untuk sebuah kasih sayang dan rasa saling mendukung antara ibu dan anaknya. "Ya sudah, Bu. Ayo, berangkat sekarang," celetuk Rendi mengompori. Ia yang sedari tadi sudah tidak sabar untuk segera berangkat
Para lelaki itu tertawa terbahak-bahak. Mereka hendak menyentuh tubuh Rania tetapi segera ditangkis oleh Rendi. "Ren ... hati-hati," ucap Rania bernada cemas. "Siap, Bu Rania. Sebaiknya Ibu mencari bantuan." Rendi memberikan sebuah isyarat dan bisa dibaca dengan cepat oleh Rania. Lelaki itu sengaja menghadang semua penjahat agar melupakan sosok Rania. Rania menyelinap ke sebuah gang yang gelap lalu menyalakan bunyi sirine mobil polisi untuk mengelabuhi para penjahat. "Gawat bos! Ada polisi!" teriak salah satu anak buah si ketua penjahat. "Ayo, kita kabur saja!" Para penjahat itu meninggalkan Rendi yang sedikit terluka karena tonjokan dari mereka. Melihat para penjahat sudah pergi, Rania segera menghampiri Rendi kembali. "Ren, kamu tidak apa-apa 'kan?" Rania mendekati Rendi. Ia melihat darah di sudut bibir lelaki itu. Membuatnya refleks mengusap dengan jemarinya. Rendi jadi serba salah. Jantungnya tidak baik-baik saja. "Duh, Bu Rania jangan begitu. Hati saya jadi deg deg an ini
"Em ... nggak pa-pa, Ren. Mungkin lain kali saja ya aku kenalkan sama Aluna. Terus ini ponsel kamu belum ketemu ya?" tanya Rania ikut bersedih. Tentu ia tahu rasanya tidak memegang handphone. Apalagi sampai hilang dan belum ketemu. "Nanti minta bos! Haha!" jawab Rendi sambil tertawa. "Jadi kamu mau menemui Rafka di rumahnya? Sebenarnya aku ingin bertemu dengannya. Tapi aku takut." Rania terdiam seketika. Apakah perlu ia ke rumah Rafka malam ini juga? Tapi keluarga mantan mertuanya pasti sedang sibuk semua. Begitu pikir Rania detik itu juga. Ia mengurungkan niatnya untuk menemui pujaan hatinya. "Takut kenapa Bu Rania? Saya juga belum pasti ini ke rumah Pak Rafka atau tidak. Mungkin orang-orang sibuk di acara pernikahan Pak Amar." "Kamu betul, Ren. Sebaiknya kita segera cari rumah kos yang dekat dengan tempat pernikahan Tisa ya? Biar tidak telat datang besok." Beruntung Rania sudah menyiapkan sebuah kado untuk sahabatnya. Jika tidak, pasti ia sangat kesulitan untuk pergi ke luar m
Rendi tertidur di lantai dan di atasnya ada Bu Titin. Tetapi mereka masih berpakaian lengkap. Dan ikut terkejut saat mengetahui keberadaan Rania. "Bu Rania?" ucap Rendi cemas. "Oh, maaf. Jika aku mengganggu." Rania mundur perlahan dan memilih untuk kembali ke rumahnya. "Adu, Bu Titin apa-apaan ini? Reputasi saya bisa hancur nih!" celetuk Rendi kesal. "Kamu sih, jalannya nggak hati-hati. Jadinya 'kan sama-sama jatuh kita." "Saya menyusul Bu Rania dulu ya, Bu. Nggak mau dia jadi salah paham." Rendi segera menyusul kepergian Rania. Ia tidak mau dianggap sebagai penggoda janda. Karena Bu Titin memang seorang janda yang terkenal kaya raya di daerah itu. Rendi mengetuk pintu terlebih dahulu meski tidak dikunci oleh Rania. Wanita itu duduk di kursi tetapi belum menyentuh makanannya. "Eh, Ren. Masuk saja," ucap Rania santai. "Bu Rania ... saya mau minta maaf," ungkap Rendi kemudian. "Duduklah, Ren. Kita sarapan sama-sama. Ini aku sengaja banyak masak makanan. Sayang sekali kalau tida
Rafka membalas tatapan Rania. Ia sedang menahan diri untuk tidak memperlihatkan kepeduliannya kepada wanita yang sangat ia cintai tersebut. "Dia yang memilih jalan seperti ini. Aku bisa apa?" ucap Rafka tenang. "Kamu yakin tidak mau menemuinya? Sepertinya dia ingin berbicara sesuatu dengan kamu, Raf!" bujuk Fariz mengompor-ngompori. Lelaki sebenarnya tidak rela jika sahabatnya menjalin hubungan yang lebih serius dengan Cindy. Bukan apa-apa, hanya saja Cindy adalah wanita yang sangat cengeng dan manja jika tidak dipenuhi keinginannya. Dan hari ini ia lebih mementingkan pekerjaannya daripada menemani Rafka. Meski hal itu menjadi sebuah keberuntungan bagi Fariz. "Aku akan menemuinya jika mau." Rafka menghabiskan minuman di hadapannya. Ia memilih untuk mengabaikan Rania yang hendak pergi. "Dia sendirian Raf. Apa kamu tega membiarkannya seorang diri dalam keadaan hamil seperti itu. Bukankah itu calon bayi kamu." Rafka refleks menegakkan tubuhnya. Ia menarik nafas kuat-kuat. "Kamu b
Tentu saja Julio berusaha untuk mengelak. Selama ini ia tidak pernah dekat dengan cewek manapun. Kalau ada belajar kelompok, kebanyakan satu tim cowok semua. "Eh, apaan sih Kak. Jio tidak ada ya, naksir-naksir sama cewek. Mending fokus belajar biar dapat juara. Ya nggak?" Julio menyugar rambutnya ke belakang. Bergaya layaknya seorang jagoan. Rania begitu gemas melihat tingkah Julio di hadapannya. "Kamu benar, Jio. Syukurlah, kalau kamu fokus untuk belajar dan sekolah." Julio pun merasa semakin percaya diri. Ia senang jika Rania mendukungnya. "Ya sudah, Kak. Ayo makan dulu. Malah ngobrol aja dari tadi. Hehehe." Rania pun tertawa mendengar ucapan polos dari Julio dan dibalas dengan sebuah tawa juga oleh adiknya tersebut. Akhirnya cowok itu benar-benar menyuapi sang kakak dengan sabar dan telaten. Ia juga menemani dan memastikan bahwa Rania minum obat setelah selesai menghabiskan makanannya. "Habis ini Kakak tiduran saja. Julio mau belajar dulu karena ada PR dari sekolahan." "Mau
Rafka berjalan dengan pasti. Ia menghampiri Rania yang terlihat ketakutan saat melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Lelaki tampan itu mengunci pergerakan Rania. Kemudian menatapnya dengan pandangan penuh ambisi. "Untuk apa kamu datang ke sini? Mau membuat pertunanganku dengan Cindy batal?" tegas Rafka berbicara dengan penuh penekanan kepada Rania. Rania berusaha membalas tatapan mata Rafka meski tampak berbeda. Ia melihat kilatan amarah pada kedua kelopak mata indah milik mantan kekasihnya. Wanita itu menggeleng pelan. "A–aku tidak bermaksud seperti itu, Raf. Aku tidak tahu jika kamu akan bertunangan dengan Cindy." Rania berusaha menjelaskan yang sebenarnya. Lagipula ia mau ke rumah Rosita karena merasa tidak enak hati dengan Julio. Rafka tersenyum miring. Andai saja Rania tahu, jika lelaki itu masih sangat mengharapkannya. Betapa hari itu ia sangat membuat hati Rafka berantakan. "Sangat lugu dan polos," lirih Rafka. Sejak tadi lelaki tampan itu harus menahan diri dan berusaha
Malam itu langit di atas rumah megah Rania dan Rafka penuh dengan bintang-bintang. Udara segar musim semi membawa aroma bunga yang mekar di taman mereka. Di dalam rumah suasana begitu tenang. Setelah anak bungsu mereka—Rafael berangkat kuliah ke luar negeri, rumah terasa lebih sepi. Namun kebersamaan mereka tetap hangat. Rania duduk di ruang keluarga. Ia sedang membaca buku favoritnya di bawah cahaya lampu yang lembut. Rafka yang baru saja pulang dari kantor, berjalan masuk dengan senyum lelah namun penuh cinta di wajahnya. Melihat istrinya yang tenang ia merasa bahagia meski suasana rumah kini lebih sunyi. “Rania, aku sudah pulang,” ucap Rafka lembut sambil meletakkan tas kerjanya di meja. Rania mengangkat wajahnya dari buku dan tersenyum hangat. “Selamat datang, Sayang. Bagaimana hari ini?” tanya Rania sambil menutup bukunya dan berdiri untuk menyambut suaminya. Rafka merangkul Rania dengan lembut. Lalu mencium keningnya dengan penuh kasih. “Hari yang panjang, tapi semua
Di pagi yang cerah. Sinar matahari menyusup lembut melalui jendela rumah sakit, menciptakan nuansa hangat dan damai di ruangan bersalin. Di luar burung-burung berkicau riang menyambut datangnya hari baru. Namun di dalam ruangan itu, suasana penuh dengan ketegangan dan harapan. Alsha dengan wajah yang berpeluh tengah berjuang melahirkan buah hati yang dinantikan. Dito berdiri di samping Alsha. Ia menggenggam erat tangan sang istri. Lelaki tampan itu memberikan dukungan tanpa henti. Wajah Dito tampak cemas. Namun ia merasakan kebahagiaan yang tak bisa terlukiskan. “Kamu bisa, Alsha. Aku ada di sini bersamamu,” bisiknya dengan suara lembut dan penuh kasih. Dengan napas yang terengah-engah, Alsha menguatkan diri. Setiap kontraksi membawa rasa sakit yang luar biasa, namun juga mendekatkannya pada momen yang paling dinantikan dalam hidupnya. Wajahnya menegang, tetapi ada kilauan tekad di matanya. “Sedikit lagi, Bu Alsha. Sedikit lagi,” ucap dokter dengan nada tenang dan men
Pagi itu matahari baru saja terbit dan sinarnya yang lembut menembus jendela kamar Alma dan Marco. Suara burung berkicau di luar rumah memberikan kesan damai dan menenangkan. Namun pagi itu terasa berbeda bagi Alma. Dia terbangun dengan perasaan yang aneh. Sesuatu yang tidak biasa. Alma mencoba mengabaikannya, tapi gejala-gejala yang dia rasakan semakin nyata. Alma duduk di tepi ranjang, memegang perutnya yang terasa aneh. Pusing, mual, dan perasaan lelah yang luar biasa menyelimuti dirinya. Ia mengingat kembali beberapa hari terakhir, mencoba mencari penjelasan. “Mungkinkah?” pikir Alma, hatinya berdebar-debar dengan harapan sekaligus kecemasan. Marco yang berada di dapur, sedang menyiapkan sarapan. Dia memperhatikan Alma yang keluar dari kamar dengan wajah pucat. “Kamu baik-baik saja, Alma?” tanya Marco dengan nada khawatir. Alma mencoba tersenyum. “Aku merasa sedikit tidak enak badan. Mungkin aku butuh istirahat lebih,” jawabnya sambil mencoba menyembunyikan kekhawati
Beberapa hari telah berlalu. Alsha memilih menyendiri di sebuah hotel kecil yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota. Ia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan hatinya yang kacau. Kamar hotel itu sederhana, tapi cukup nyaman untuk menjadi tempat perlindungan sementara. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela memberikan sedikit kehangatan di dalam ruangan yang sunyi itu. Di tepi ranjang Alsha duduk dengan tatapan kosong. Ia merenungkan semua yang telah terjadi. Di dalam hatinya ada campuran antara rasa sakit, kebingungan, dan ketidakpastian. Gadis itu mengelus perutnya yang masih rata. Membayangkan bayi yang sedang tumbuh di dalamnya. Bayangan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian membuatnya merasa sendirian. Ketukan lembut di pintu mengagetkannya dari lamunan. Dengan perlahan dan hati-hati Alsha bangkit lalu membuka pintu. Di sana berdiri seorang lelaki suruhan papanya yang akhirnya berhasil menemukan tempat persembunyian Alsha setelah berhari
Hari pernikahan yang dinanti-nanti pun tiba. Karena sebuah kesepakatan akhirnya pernikahan dilaksanakan di rumah Rania dan Rafka. Taman rumah yang luas telah disulap menjadi tempat pernikahan yang megah, dipenuhi dengan hiasan bunga-bunga berwarna pastel dan lilin-lilin yang memberikan cahaya hangat. Sebuah tenda besar dihiasi kain putih dan pita emas menjulang di tengah-tengah taman. Menambah kesan elegan dan mewah. Marco, Alma, dan Dito sudah berkumpul bersama keluarga dan tamu undangan. Semuanya terlihat anggun dalam balutan busana pernikahan yang memukau. Pak penghulu telah datang dan bersiap untuk memulai prosesi ijab kabul. Namun di antara keramaian dan kegembiraan itu ada satu hal yang mengganjal. “Ke mana Alsha?” tanya Rania dengan cemas. Ia memandang sekeliling mencari putrinya. “Tadi katanya ke toilet sebentar,” jawab Alma dengan sedikit gugup. Gadis itu mencoba menenangkan ibunya. Marco mulai merasa cemas. “Aku akan mencarinya,” ucapnya seraya bergegas menuju
Tanpa terasa hari pernikahan semakin dekat. Segala persiapan sudah selesai. Malam sebelum pernikahan, Alsha duduk sendirian di balkon apartemen. Ia merenung tentang semua yang telah terjadi. Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya, membawa kedamaian yang sementara. Tiba-tiba pintu balkon terbuka dan Alma ke luar. “Hei!” Alma menyapa sambil mendekati Alsha. “Kenapa kamu di sini sendirian?” “Alsha hanya merenung, Kak. Besok adalah hari besar kita,” jawab Alsha dengan senyum tipis. “Iya, besok kita akan memulai babak baru dalam hidup kita. Kamu sudah siap?” tanya Alma dengan lembut. “Sejujurnya, Alsha sedikit gugup. Tapi Alsha yakin ini adalah langkah yang benar,” jawab Alsha kemudian. “Semua akan baik-baik saja, Alsha!” Alma berbicara dengan yakin sambil merangkul kembarannya itu. Mereka duduk bersama dalam keheningan sejenak. Menikmati kebersamaan yang tenang di malam yang penuh bintang. Suara kota yang jauh terdengar seperti bisikan lembut, memberikan latar belakang yang m
“Ngapain di sini sendirian, Alsha?” Suara itu milik Marco yang tampak khawatir melihatnya. Alsha menghela napas lega meskipun masih ada sedikit rasa takut yang tertinggal. “Kok kamu tahu aku di sini, Marco?” tanyanya dengan suara yang masih bergetar. Marco tersenyum tipis. Ia mencoba menenangkan Alsha. “Aku khawatir padamu. Saat aku ke apartemen dan tidak menemukanmu, aku memutuskan untuk mencarimu. Aku ingat kamu pernah bercerita tentang tempat ini, jadi aku datang ke sini.” Alsha mengangguk, merasa sedikit tenang dengan kehadiran Marco. “Aku hanya butuh waktu sendirian untuk berpikir. Tapi aku takut Marco. Aku merasa tadi ada yang mengikutiku.” “Apakah kamu yakin?” Marco segera membawa tubuh Alsha ke dalam dekapannya. “Kamu tidak perlu takut. Ada aku di sini untukmu.” Alsha tak menolak meski ia tidak membalas pelukan Marco. Hatinya masih belum bisa sepenuhnya menerima Marco. “Terima kasih, Marco. Aku hanya merasa gugup menjelang pernikahan kita.” Marco mengangguk mengerti. “
“Tidak. Aku tidak peduli.” Alsha berusaha untuk mengabaikan pesan tersebut. Ia juga memblokir nomor baru yang masuk. Berapapun banyaknya nomor itu Alsha tidak akan peduli. Setelah merasa cukup tenang, Alsha segera memejamkan kedua matanya. Pagi harinya Alsha menjalani kehidupan seperti biasanya. Ia mencoba menghilangkan segala kegelisahan hati dengan rajin memasak. Gadis itu juga memilih untuk bekerja online dari ponselnya. Sebenarnya Marco tidak melarang jika setelah menikah nanti Alsha akan bekerja, tetapi lelaki itu akan sangat bahagia jika Alsha lebih fokus melayani sang suami saja. Tanpa terasa hari-hari berlalu dengan cepat. Persiapan pernikahan berjalan lancar. Namun, sebuah pertemuan tak terduga terjadi beberapa hari sebelum pernikahan. Alsha sedang berada di kafe dekat apartemen, menunggu Alma yang sedang membeli beberapa keperluan. Ketika ia sedang menikmati kopi, seseorang mendekatinya. “Alsha?” Suara yang familiar itu membuatnya mendongak. Di hadapannya berdiri Dito
Pagi itu Alsha bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasa lega bisa berkumpul kembali bersama orang tuanya setelah sekian lama. Aroma harum dari dapur menyambutnya saat dia keluar dari kamar. Saat memasuki ruang makan, dia melihat Rania, Rafka, dan adik laki-lakinya—Rafael sudah duduk di meja. “Selamat pagi Sayang,” sapa Rania sambil tersenyum hangat. “Sarapan sudah siap. Duduklah, kita sarapan bersama.” Alsha duduk di kursinya dan merasa nostalgia yang mendalam. Sudah lama sejak terakhir kali mereka semua berkumpul untuk sarapan seperti ini. Meja penuh dengan makanan favoritnya. Nasi goreng, telur dadar, dan berbagai macam lauk pauk. “Selamat pagi, Kak Alsha,” sapa Rafael yang duduk di sebelahnya. “Akhirnya kita bisa sarapan bareng.” Alsha tersenyum dan merangkul adik laki-lakinya. “Selamat pagi, Rafa. Bagaimana sekolahmu?” “Baik, Kak. Sedikit sibuk dengan tugas-tugas, tapi semuanya lancar,” balas Rafael sambil mengambil sepotong roti. Rafka tersenyum bangga. “Rafa i