Berangkat gak nih, si Rania? 🤭
Dewi dan Romi saling berpandangan. Tentu mereka tidak ingin membuat Rania kembali kecewa dan terluka. Kemudian lelaki paruh baya itu berucap dengan tenang. "Kami kapan-kapan juga bisa ke sana lagi, Ran. Nanti kalau kamu berhasil memperjuangkan cintamu, pasti akhirnya kamu tinggal di sana lagi 'kan?" ungkap Romi bernada semangat. Rania tersenyum tipis. "Do'akan saja ya, Pak. Bu ... semoga Rania masih ada jodoh dengan Rafka." "Tentu saja kami akan selalu mend'oakan untuk kebaikan kamu, Rania. Kamu tidak usah memikirkan kami. Kami akan baik-baik saja di sini. Yang penting itu kebahagiaan kamu." Ucapan Dewi membuat Rania merasa terharu. Ia merasa memiliki ibu yang paling baik dan pengertian sedunia. Wanita itu segera memeluk ibunya. Sebuah tindakan yang refleks selalu mereka berikan untuk sebuah kasih sayang dan rasa saling mendukung antara ibu dan anaknya. "Ya sudah, Bu. Ayo, berangkat sekarang," celetuk Rendi mengompori. Ia yang sedari tadi sudah tidak sabar untuk segera berangkat
Para lelaki itu tertawa terbahak-bahak. Mereka hendak menyentuh tubuh Rania tetapi segera ditangkis oleh Rendi. "Ren ... hati-hati," ucap Rania bernada cemas. "Siap, Bu Rania. Sebaiknya Ibu mencari bantuan." Rendi memberikan sebuah isyarat dan bisa dibaca dengan cepat oleh Rania. Lelaki itu sengaja menghadang semua penjahat agar melupakan sosok Rania. Rania menyelinap ke sebuah gang yang gelap lalu menyalakan bunyi sirine mobil polisi untuk mengelabuhi para penjahat. "Gawat bos! Ada polisi!" teriak salah satu anak buah si ketua penjahat. "Ayo, kita kabur saja!" Para penjahat itu meninggalkan Rendi yang sedikit terluka karena tonjokan dari mereka. Melihat para penjahat sudah pergi, Rania segera menghampiri Rendi kembali. "Ren, kamu tidak apa-apa 'kan?" Rania mendekati Rendi. Ia melihat darah di sudut bibir lelaki itu. Membuatnya refleks mengusap dengan jemarinya. Rendi jadi serba salah. Jantungnya tidak baik-baik saja. "Duh, Bu Rania jangan begitu. Hati saya jadi deg deg an ini
"Em ... nggak pa-pa, Ren. Mungkin lain kali saja ya aku kenalkan sama Aluna. Terus ini ponsel kamu belum ketemu ya?" tanya Rania ikut bersedih. Tentu ia tahu rasanya tidak memegang handphone. Apalagi sampai hilang dan belum ketemu. "Nanti minta bos! Haha!" jawab Rendi sambil tertawa. "Jadi kamu mau menemui Rafka di rumahnya? Sebenarnya aku ingin bertemu dengannya. Tapi aku takut." Rania terdiam seketika. Apakah perlu ia ke rumah Rafka malam ini juga? Tapi keluarga mantan mertuanya pasti sedang sibuk semua. Begitu pikir Rania detik itu juga. Ia mengurungkan niatnya untuk menemui pujaan hatinya. "Takut kenapa Bu Rania? Saya juga belum pasti ini ke rumah Pak Rafka atau tidak. Mungkin orang-orang sibuk di acara pernikahan Pak Amar." "Kamu betul, Ren. Sebaiknya kita segera cari rumah kos yang dekat dengan tempat pernikahan Tisa ya? Biar tidak telat datang besok." Beruntung Rania sudah menyiapkan sebuah kado untuk sahabatnya. Jika tidak, pasti ia sangat kesulitan untuk pergi ke luar m
Rendi tertidur di lantai dan di atasnya ada Bu Titin. Tetapi mereka masih berpakaian lengkap. Dan ikut terkejut saat mengetahui keberadaan Rania. "Bu Rania?" ucap Rendi cemas. "Oh, maaf. Jika aku mengganggu." Rania mundur perlahan dan memilih untuk kembali ke rumahnya. "Adu, Bu Titin apa-apaan ini? Reputasi saya bisa hancur nih!" celetuk Rendi kesal. "Kamu sih, jalannya nggak hati-hati. Jadinya 'kan sama-sama jatuh kita." "Saya menyusul Bu Rania dulu ya, Bu. Nggak mau dia jadi salah paham." Rendi segera menyusul kepergian Rania. Ia tidak mau dianggap sebagai penggoda janda. Karena Bu Titin memang seorang janda yang terkenal kaya raya di daerah itu. Rendi mengetuk pintu terlebih dahulu meski tidak dikunci oleh Rania. Wanita itu duduk di kursi tetapi belum menyentuh makanannya. "Eh, Ren. Masuk saja," ucap Rania santai. "Bu Rania ... saya mau minta maaf," ungkap Rendi kemudian. "Duduklah, Ren. Kita sarapan sama-sama. Ini aku sengaja banyak masak makanan. Sayang sekali kalau tida
Rafka membalas tatapan Rania. Ia sedang menahan diri untuk tidak memperlihatkan kepeduliannya kepada wanita yang sangat ia cintai tersebut. "Dia yang memilih jalan seperti ini. Aku bisa apa?" ucap Rafka tenang. "Kamu yakin tidak mau menemuinya? Sepertinya dia ingin berbicara sesuatu dengan kamu, Raf!" bujuk Fariz mengompor-ngompori. Lelaki sebenarnya tidak rela jika sahabatnya menjalin hubungan yang lebih serius dengan Cindy. Bukan apa-apa, hanya saja Cindy adalah wanita yang sangat cengeng dan manja jika tidak dipenuhi keinginannya. Dan hari ini ia lebih mementingkan pekerjaannya daripada menemani Rafka. Meski hal itu menjadi sebuah keberuntungan bagi Fariz. "Aku akan menemuinya jika mau." Rafka menghabiskan minuman di hadapannya. Ia memilih untuk mengabaikan Rania yang hendak pergi. "Dia sendirian Raf. Apa kamu tega membiarkannya seorang diri dalam keadaan hamil seperti itu. Bukankah itu calon bayi kamu." Rafka refleks menegakkan tubuhnya. Ia menarik nafas kuat-kuat. "Kamu b
Tentu saja Julio berusaha untuk mengelak. Selama ini ia tidak pernah dekat dengan cewek manapun. Kalau ada belajar kelompok, kebanyakan satu tim cowok semua. "Eh, apaan sih Kak. Jio tidak ada ya, naksir-naksir sama cewek. Mending fokus belajar biar dapat juara. Ya nggak?" Julio menyugar rambutnya ke belakang. Bergaya layaknya seorang jagoan. Rania begitu gemas melihat tingkah Julio di hadapannya. "Kamu benar, Jio. Syukurlah, kalau kamu fokus untuk belajar dan sekolah." Julio pun merasa semakin percaya diri. Ia senang jika Rania mendukungnya. "Ya sudah, Kak. Ayo makan dulu. Malah ngobrol aja dari tadi. Hehehe." Rania pun tertawa mendengar ucapan polos dari Julio dan dibalas dengan sebuah tawa juga oleh adiknya tersebut. Akhirnya cowok itu benar-benar menyuapi sang kakak dengan sabar dan telaten. Ia juga menemani dan memastikan bahwa Rania minum obat setelah selesai menghabiskan makanannya. "Habis ini Kakak tiduran saja. Julio mau belajar dulu karena ada PR dari sekolahan." "Mau
Rafka berjalan dengan pasti. Ia menghampiri Rania yang terlihat ketakutan saat melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Lelaki tampan itu mengunci pergerakan Rania. Kemudian menatapnya dengan pandangan penuh ambisi. "Untuk apa kamu datang ke sini? Mau membuat pertunanganku dengan Cindy batal?" tegas Rafka berbicara dengan penuh penekanan kepada Rania. Rania berusaha membalas tatapan mata Rafka meski tampak berbeda. Ia melihat kilatan amarah pada kedua kelopak mata indah milik mantan kekasihnya. Wanita itu menggeleng pelan. "A–aku tidak bermaksud seperti itu, Raf. Aku tidak tahu jika kamu akan bertunangan dengan Cindy." Rania berusaha menjelaskan yang sebenarnya. Lagipula ia mau ke rumah Rosita karena merasa tidak enak hati dengan Julio. Rafka tersenyum miring. Andai saja Rania tahu, jika lelaki itu masih sangat mengharapkannya. Betapa hari itu ia sangat membuat hati Rafka berantakan. "Sangat lugu dan polos," lirih Rafka. Sejak tadi lelaki tampan itu harus menahan diri dan berusaha
"Jio, Sayang ... kakak sudah sehat kok. Maaf ya kalau kakak banyak merepotkan kamu hari ini. Tapi sekarang kakak harus pulang." Rania berbicara selembut mungkin kepada Julio. Tetapi batinnya merasakan sesak yang mendalam. Sebenarnya wanita itu masih menginginkan tinggal di rumah Rosita untuk menemani Julio. Meski kenyataannya dia sakit hati karena diusir dan tidak berhubungan lagi dengan Rafka. "Kakak Rania tidak merepotkan. Katanya besok mau bareng-bareng ke acara Kak Rafka." Julio terlihat sedih. Ia tidak ingin berpisah dengan Rania secepat itu. Rosita yang mendengarnya menjadi geram. Ia berjalan menghampiri Julio. Wanita paruh baya itu tidak mau jika anak terakhirnya tersebut selalu mengharapkan kehadiran Rania di sisinya. "Kak Rania besok bakalan datang, kok. Sekarang dia lagi ada urusan mendadak. Jadi harus pulang," ungkap Rosita mencari alasan yang tepat. Bukannya Julio mengerti, ia justru yakin jika mamanya yang memaksa Rania untuk pulang seorang diri. "Mama bohong. Mama p