Pemandangan apa nih kira-kira???? ,😆
Rendi tertidur di lantai dan di atasnya ada Bu Titin. Tetapi mereka masih berpakaian lengkap. Dan ikut terkejut saat mengetahui keberadaan Rania. "Bu Rania?" ucap Rendi cemas. "Oh, maaf. Jika aku mengganggu." Rania mundur perlahan dan memilih untuk kembali ke rumahnya. "Adu, Bu Titin apa-apaan ini? Reputasi saya bisa hancur nih!" celetuk Rendi kesal. "Kamu sih, jalannya nggak hati-hati. Jadinya 'kan sama-sama jatuh kita." "Saya menyusul Bu Rania dulu ya, Bu. Nggak mau dia jadi salah paham." Rendi segera menyusul kepergian Rania. Ia tidak mau dianggap sebagai penggoda janda. Karena Bu Titin memang seorang janda yang terkenal kaya raya di daerah itu. Rendi mengetuk pintu terlebih dahulu meski tidak dikunci oleh Rania. Wanita itu duduk di kursi tetapi belum menyentuh makanannya. "Eh, Ren. Masuk saja," ucap Rania santai. "Bu Rania ... saya mau minta maaf," ungkap Rendi kemudian. "Duduklah, Ren. Kita sarapan sama-sama. Ini aku sengaja banyak masak makanan. Sayang sekali kalau tida
Rafka membalas tatapan Rania. Ia sedang menahan diri untuk tidak memperlihatkan kepeduliannya kepada wanita yang sangat ia cintai tersebut. "Dia yang memilih jalan seperti ini. Aku bisa apa?" ucap Rafka tenang. "Kamu yakin tidak mau menemuinya? Sepertinya dia ingin berbicara sesuatu dengan kamu, Raf!" bujuk Fariz mengompor-ngompori. Lelaki sebenarnya tidak rela jika sahabatnya menjalin hubungan yang lebih serius dengan Cindy. Bukan apa-apa, hanya saja Cindy adalah wanita yang sangat cengeng dan manja jika tidak dipenuhi keinginannya. Dan hari ini ia lebih mementingkan pekerjaannya daripada menemani Rafka. Meski hal itu menjadi sebuah keberuntungan bagi Fariz. "Aku akan menemuinya jika mau." Rafka menghabiskan minuman di hadapannya. Ia memilih untuk mengabaikan Rania yang hendak pergi. "Dia sendirian Raf. Apa kamu tega membiarkannya seorang diri dalam keadaan hamil seperti itu. Bukankah itu calon bayi kamu." Rafka refleks menegakkan tubuhnya. Ia menarik nafas kuat-kuat. "Kamu b
Tentu saja Julio berusaha untuk mengelak. Selama ini ia tidak pernah dekat dengan cewek manapun. Kalau ada belajar kelompok, kebanyakan satu tim cowok semua. "Eh, apaan sih Kak. Jio tidak ada ya, naksir-naksir sama cewek. Mending fokus belajar biar dapat juara. Ya nggak?" Julio menyugar rambutnya ke belakang. Bergaya layaknya seorang jagoan. Rania begitu gemas melihat tingkah Julio di hadapannya. "Kamu benar, Jio. Syukurlah, kalau kamu fokus untuk belajar dan sekolah." Julio pun merasa semakin percaya diri. Ia senang jika Rania mendukungnya. "Ya sudah, Kak. Ayo makan dulu. Malah ngobrol aja dari tadi. Hehehe." Rania pun tertawa mendengar ucapan polos dari Julio dan dibalas dengan sebuah tawa juga oleh adiknya tersebut. Akhirnya cowok itu benar-benar menyuapi sang kakak dengan sabar dan telaten. Ia juga menemani dan memastikan bahwa Rania minum obat setelah selesai menghabiskan makanannya. "Habis ini Kakak tiduran saja. Julio mau belajar dulu karena ada PR dari sekolahan." "Mau
Rafka berjalan dengan pasti. Ia menghampiri Rania yang terlihat ketakutan saat melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Lelaki tampan itu mengunci pergerakan Rania. Kemudian menatapnya dengan pandangan penuh ambisi. "Untuk apa kamu datang ke sini? Mau membuat pertunanganku dengan Cindy batal?" tegas Rafka berbicara dengan penuh penekanan kepada Rania. Rania berusaha membalas tatapan mata Rafka meski tampak berbeda. Ia melihat kilatan amarah pada kedua kelopak mata indah milik mantan kekasihnya. Wanita itu menggeleng pelan. "A–aku tidak bermaksud seperti itu, Raf. Aku tidak tahu jika kamu akan bertunangan dengan Cindy." Rania berusaha menjelaskan yang sebenarnya. Lagipula ia mau ke rumah Rosita karena merasa tidak enak hati dengan Julio. Rafka tersenyum miring. Andai saja Rania tahu, jika lelaki itu masih sangat mengharapkannya. Betapa hari itu ia sangat membuat hati Rafka berantakan. "Sangat lugu dan polos," lirih Rafka. Sejak tadi lelaki tampan itu harus menahan diri dan berusaha
"Jio, Sayang ... kakak sudah sehat kok. Maaf ya kalau kakak banyak merepotkan kamu hari ini. Tapi sekarang kakak harus pulang." Rania berbicara selembut mungkin kepada Julio. Tetapi batinnya merasakan sesak yang mendalam. Sebenarnya wanita itu masih menginginkan tinggal di rumah Rosita untuk menemani Julio. Meski kenyataannya dia sakit hati karena diusir dan tidak berhubungan lagi dengan Rafka. "Kakak Rania tidak merepotkan. Katanya besok mau bareng-bareng ke acara Kak Rafka." Julio terlihat sedih. Ia tidak ingin berpisah dengan Rania secepat itu. Rosita yang mendengarnya menjadi geram. Ia berjalan menghampiri Julio. Wanita paruh baya itu tidak mau jika anak terakhirnya tersebut selalu mengharapkan kehadiran Rania di sisinya. "Kak Rania besok bakalan datang, kok. Sekarang dia lagi ada urusan mendadak. Jadi harus pulang," ungkap Rosita mencari alasan yang tepat. Bukannya Julio mengerti, ia justru yakin jika mamanya yang memaksa Rania untuk pulang seorang diri. "Mama bohong. Mama p
"Tisa, apa kamu sudah mendengar kabar terbaru tentang Rania? Katanya dia pingsan setelah pertemuan tadi?" tanya Amar yang kini tengah berada di sebuah ranjang kamar yang indah berhiaskan taburan bunga mawar. Sementara wanita yang diajak berbicara, masih sibuk mempercantik penampilannya di depan sang suami. "Sepertinya Mas Amar sangat khawatir dengan keadaan Rania," jawab Tisa sambil bercermin tanpa melihat ke arah Amar. Jujur saja Amar memang masih memikirkan Rania. Ia masih peduli dengan mantan istrinya tersebut. Apalagi tadi baru saja dipertemukan kembali. Dan Rania dalam keadaan tengah berbadan dua. Sama seperti Tisa yang kini telah menjadi istri sahnya. Tak ingin membuat Tisa kecewa, Amar berjalan perlahan menghampiri istrinya. Kemudian tangannya mulai menarik pinggang Tisa agar tubuhnya rapat dengannya. "Apakah kamu cemburu?" lirih Amar seraya menciumi bahu istrinya yang masih tertutupi kain tipis bernama lingerie itu. Tisa merasa kegelian. Tentu saja ia merasa cemburu meski
"Jika nanti kamu mau pulang, kamu harus memberitahu aku. Pokoknya harus aku yang mengantarkan kamu." Rania mendongakkan kepalanya. "Mana mungkin, Raf? "Bagaimana jika Cindy tahu? Dia pasti akan marah." Rafka mengusap lembut kepala Rania. "Aku tidak peduli, Ran. Bahkan jika perlu dia tidak hanya marah. Tetapi juga membatalkan pesananku dengannya." "Kamu yakin?" Rania memastikan. "Apa aku perlu membelah dadaku untukmu?" Rafka terkekeh pelan. Entah apa yang akan terjadi di kemudian hari, ia tak ingin terlalu merisaukannya. Yang terpenting malam ini dirinya bersama dengan Rania. Rania segera memukuli dada Rafka. "Tidak lucu, Rafka." Rafka mendekap tubuh Rania kembali. "Aku senang kamu datang ke sini. Kamu tidak takut kena marah Mama lagi?" ejek Rafka sengaja. "Biarkan saja, Raf. Nanti lama-kelamaan Tante Rosita pasti bisa menerimaku kembali." "Kamu sangat percaya diri, Sayang?" Rafka masih mengeratkan pelukannya. Rania tidak mempedulikan ucapan Rafka. Mungkin saat ini ia kalah, te
Tanpa sadar Rania terus memandangi Rosita. Membiarkan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya perlahan membasahi kedua pipi. Wanita itu membayangkan seandainya Rosita mau menganggapnya seperti anak kandung sendiri. Pasti wanita itu akan merasa sangat bahagia. "Ran, kenapa kamu menangis?" Rupanya Rosita sadar akan perubahan suasana hati Rania. Jemarinya bergerak mengusap air mata di pipi Rania. "Em, maaf, Tante." Rania menundukkan kepalanya. Ia takut jika Rosita mengetahui isi hatinya. "Kamu boleh memeluk Tante Rania," lirih Rosita bernada serius. Tanpa berkata-kata lagi, Rania segera mendekap wanita paruh baya itu. Keduanya saling berpelukan cukup lama. Dari kejauhan Rafka memandangi suasana penuh haru tersebut. Kedua matanya ikut basah menyaksikan kemesraan Rania dengan sang mama. Lelaki tampan itu memejamkan kedua matanya. "Ya Tuhan, lembutkanlah hati Mamaku. Buatlah dia agar mau menerima Rania, anak kami, dan hubungan ini." Rosita merenggangkan pelukannya. Lalu ia
Malam itu langit di atas rumah megah Rania dan Rafka penuh dengan bintang-bintang. Udara segar musim semi membawa aroma bunga yang mekar di taman mereka. Di dalam rumah suasana begitu tenang. Setelah anak bungsu mereka—Rafael berangkat kuliah ke luar negeri, rumah terasa lebih sepi. Namun kebersamaan mereka tetap hangat. Rania duduk di ruang keluarga. Ia sedang membaca buku favoritnya di bawah cahaya lampu yang lembut. Rafka yang baru saja pulang dari kantor, berjalan masuk dengan senyum lelah namun penuh cinta di wajahnya. Melihat istrinya yang tenang ia merasa bahagia meski suasana rumah kini lebih sunyi. “Rania, aku sudah pulang,” ucap Rafka lembut sambil meletakkan tas kerjanya di meja. Rania mengangkat wajahnya dari buku dan tersenyum hangat. “Selamat datang, Sayang. Bagaimana hari ini?” tanya Rania sambil menutup bukunya dan berdiri untuk menyambut suaminya. Rafka merangkul Rania dengan lembut. Lalu mencium keningnya dengan penuh kasih. “Hari yang panjang, tapi semua
Di pagi yang cerah. Sinar matahari menyusup lembut melalui jendela rumah sakit, menciptakan nuansa hangat dan damai di ruangan bersalin. Di luar burung-burung berkicau riang menyambut datangnya hari baru. Namun di dalam ruangan itu, suasana penuh dengan ketegangan dan harapan. Alsha dengan wajah yang berpeluh tengah berjuang melahirkan buah hati yang dinantikan. Dito berdiri di samping Alsha. Ia menggenggam erat tangan sang istri. Lelaki tampan itu memberikan dukungan tanpa henti. Wajah Dito tampak cemas. Namun ia merasakan kebahagiaan yang tak bisa terlukiskan. “Kamu bisa, Alsha. Aku ada di sini bersamamu,” bisiknya dengan suara lembut dan penuh kasih. Dengan napas yang terengah-engah, Alsha menguatkan diri. Setiap kontraksi membawa rasa sakit yang luar biasa, namun juga mendekatkannya pada momen yang paling dinantikan dalam hidupnya. Wajahnya menegang, tetapi ada kilauan tekad di matanya. “Sedikit lagi, Bu Alsha. Sedikit lagi,” ucap dokter dengan nada tenang dan men
Pagi itu matahari baru saja terbit dan sinarnya yang lembut menembus jendela kamar Alma dan Marco. Suara burung berkicau di luar rumah memberikan kesan damai dan menenangkan. Namun pagi itu terasa berbeda bagi Alma. Dia terbangun dengan perasaan yang aneh. Sesuatu yang tidak biasa. Alma mencoba mengabaikannya, tapi gejala-gejala yang dia rasakan semakin nyata. Alma duduk di tepi ranjang, memegang perutnya yang terasa aneh. Pusing, mual, dan perasaan lelah yang luar biasa menyelimuti dirinya. Ia mengingat kembali beberapa hari terakhir, mencoba mencari penjelasan. “Mungkinkah?” pikir Alma, hatinya berdebar-debar dengan harapan sekaligus kecemasan. Marco yang berada di dapur, sedang menyiapkan sarapan. Dia memperhatikan Alma yang keluar dari kamar dengan wajah pucat. “Kamu baik-baik saja, Alma?” tanya Marco dengan nada khawatir. Alma mencoba tersenyum. “Aku merasa sedikit tidak enak badan. Mungkin aku butuh istirahat lebih,” jawabnya sambil mencoba menyembunyikan kekhawati
Beberapa hari telah berlalu. Alsha memilih menyendiri di sebuah hotel kecil yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota. Ia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan hatinya yang kacau. Kamar hotel itu sederhana, tapi cukup nyaman untuk menjadi tempat perlindungan sementara. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela memberikan sedikit kehangatan di dalam ruangan yang sunyi itu. Di tepi ranjang Alsha duduk dengan tatapan kosong. Ia merenungkan semua yang telah terjadi. Di dalam hatinya ada campuran antara rasa sakit, kebingungan, dan ketidakpastian. Gadis itu mengelus perutnya yang masih rata. Membayangkan bayi yang sedang tumbuh di dalamnya. Bayangan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian membuatnya merasa sendirian. Ketukan lembut di pintu mengagetkannya dari lamunan. Dengan perlahan dan hati-hati Alsha bangkit lalu membuka pintu. Di sana berdiri seorang lelaki suruhan papanya yang akhirnya berhasil menemukan tempat persembunyian Alsha setelah berhari
Hari pernikahan yang dinanti-nanti pun tiba. Karena sebuah kesepakatan akhirnya pernikahan dilaksanakan di rumah Rania dan Rafka. Taman rumah yang luas telah disulap menjadi tempat pernikahan yang megah, dipenuhi dengan hiasan bunga-bunga berwarna pastel dan lilin-lilin yang memberikan cahaya hangat. Sebuah tenda besar dihiasi kain putih dan pita emas menjulang di tengah-tengah taman. Menambah kesan elegan dan mewah. Marco, Alma, dan Dito sudah berkumpul bersama keluarga dan tamu undangan. Semuanya terlihat anggun dalam balutan busana pernikahan yang memukau. Pak penghulu telah datang dan bersiap untuk memulai prosesi ijab kabul. Namun di antara keramaian dan kegembiraan itu ada satu hal yang mengganjal. “Ke mana Alsha?” tanya Rania dengan cemas. Ia memandang sekeliling mencari putrinya. “Tadi katanya ke toilet sebentar,” jawab Alma dengan sedikit gugup. Gadis itu mencoba menenangkan ibunya. Marco mulai merasa cemas. “Aku akan mencarinya,” ucapnya seraya bergegas menuju
Tanpa terasa hari pernikahan semakin dekat. Segala persiapan sudah selesai. Malam sebelum pernikahan, Alsha duduk sendirian di balkon apartemen. Ia merenung tentang semua yang telah terjadi. Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya, membawa kedamaian yang sementara. Tiba-tiba pintu balkon terbuka dan Alma ke luar. “Hei!” Alma menyapa sambil mendekati Alsha. “Kenapa kamu di sini sendirian?” “Alsha hanya merenung, Kak. Besok adalah hari besar kita,” jawab Alsha dengan senyum tipis. “Iya, besok kita akan memulai babak baru dalam hidup kita. Kamu sudah siap?” tanya Alma dengan lembut. “Sejujurnya, Alsha sedikit gugup. Tapi Alsha yakin ini adalah langkah yang benar,” jawab Alsha kemudian. “Semua akan baik-baik saja, Alsha!” Alma berbicara dengan yakin sambil merangkul kembarannya itu. Mereka duduk bersama dalam keheningan sejenak. Menikmati kebersamaan yang tenang di malam yang penuh bintang. Suara kota yang jauh terdengar seperti bisikan lembut, memberikan latar belakang yang m
“Ngapain di sini sendirian, Alsha?” Suara itu milik Marco yang tampak khawatir melihatnya. Alsha menghela napas lega meskipun masih ada sedikit rasa takut yang tertinggal. “Kok kamu tahu aku di sini, Marco?” tanyanya dengan suara yang masih bergetar. Marco tersenyum tipis. Ia mencoba menenangkan Alsha. “Aku khawatir padamu. Saat aku ke apartemen dan tidak menemukanmu, aku memutuskan untuk mencarimu. Aku ingat kamu pernah bercerita tentang tempat ini, jadi aku datang ke sini.” Alsha mengangguk, merasa sedikit tenang dengan kehadiran Marco. “Aku hanya butuh waktu sendirian untuk berpikir. Tapi aku takut Marco. Aku merasa tadi ada yang mengikutiku.” “Apakah kamu yakin?” Marco segera membawa tubuh Alsha ke dalam dekapannya. “Kamu tidak perlu takut. Ada aku di sini untukmu.” Alsha tak menolak meski ia tidak membalas pelukan Marco. Hatinya masih belum bisa sepenuhnya menerima Marco. “Terima kasih, Marco. Aku hanya merasa gugup menjelang pernikahan kita.” Marco mengangguk mengerti. “
“Tidak. Aku tidak peduli.” Alsha berusaha untuk mengabaikan pesan tersebut. Ia juga memblokir nomor baru yang masuk. Berapapun banyaknya nomor itu Alsha tidak akan peduli. Setelah merasa cukup tenang, Alsha segera memejamkan kedua matanya. Pagi harinya Alsha menjalani kehidupan seperti biasanya. Ia mencoba menghilangkan segala kegelisahan hati dengan rajin memasak. Gadis itu juga memilih untuk bekerja online dari ponselnya. Sebenarnya Marco tidak melarang jika setelah menikah nanti Alsha akan bekerja, tetapi lelaki itu akan sangat bahagia jika Alsha lebih fokus melayani sang suami saja. Tanpa terasa hari-hari berlalu dengan cepat. Persiapan pernikahan berjalan lancar. Namun, sebuah pertemuan tak terduga terjadi beberapa hari sebelum pernikahan. Alsha sedang berada di kafe dekat apartemen, menunggu Alma yang sedang membeli beberapa keperluan. Ketika ia sedang menikmati kopi, seseorang mendekatinya. “Alsha?” Suara yang familiar itu membuatnya mendongak. Di hadapannya berdiri Dito
Pagi itu Alsha bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasa lega bisa berkumpul kembali bersama orang tuanya setelah sekian lama. Aroma harum dari dapur menyambutnya saat dia keluar dari kamar. Saat memasuki ruang makan, dia melihat Rania, Rafka, dan adik laki-lakinya—Rafael sudah duduk di meja. “Selamat pagi Sayang,” sapa Rania sambil tersenyum hangat. “Sarapan sudah siap. Duduklah, kita sarapan bersama.” Alsha duduk di kursinya dan merasa nostalgia yang mendalam. Sudah lama sejak terakhir kali mereka semua berkumpul untuk sarapan seperti ini. Meja penuh dengan makanan favoritnya. Nasi goreng, telur dadar, dan berbagai macam lauk pauk. “Selamat pagi, Kak Alsha,” sapa Rafael yang duduk di sebelahnya. “Akhirnya kita bisa sarapan bareng.” Alsha tersenyum dan merangkul adik laki-lakinya. “Selamat pagi, Rafa. Bagaimana sekolahmu?” “Baik, Kak. Sedikit sibuk dengan tugas-tugas, tapi semuanya lancar,” balas Rafael sambil mengambil sepotong roti. Rafka tersenyum bangga. “Rafa i