Apa nih gaes, syaratnya?? đ¤
"Jika nanti kamu mau pulang, kamu harus memberitahu aku. Pokoknya harus aku yang mengantarkan kamu." Rania mendongakkan kepalanya. "Mana mungkin, Raf? "Bagaimana jika Cindy tahu? Dia pasti akan marah." Rafka mengusap lembut kepala Rania. "Aku tidak peduli, Ran. Bahkan jika perlu dia tidak hanya marah. Tetapi juga membatalkan pesananku dengannya." "Kamu yakin?" Rania memastikan. "Apa aku perlu membelah dadaku untukmu?" Rafka terkekeh pelan. Entah apa yang akan terjadi di kemudian hari, ia tak ingin terlalu merisaukannya. Yang terpenting malam ini dirinya bersama dengan Rania. Rania segera memukuli dada Rafka. "Tidak lucu, Rafka." Rafka mendekap tubuh Rania kembali. "Aku senang kamu datang ke sini. Kamu tidak takut kena marah Mama lagi?" ejek Rafka sengaja. "Biarkan saja, Raf. Nanti lama-kelamaan Tante Rosita pasti bisa menerimaku kembali." "Kamu sangat percaya diri, Sayang?" Rafka masih mengeratkan pelukannya. Rania tidak mempedulikan ucapan Rafka. Mungkin saat ini ia kalah, te
Tanpa sadar Rania terus memandangi Rosita. Membiarkan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya perlahan membasahi kedua pipi. Wanita itu membayangkan seandainya Rosita mau menganggapnya seperti anak kandung sendiri. Pasti wanita itu akan merasa sangat bahagia. "Ran, kenapa kamu menangis?" Rupanya Rosita sadar akan perubahan suasana hati Rania. Jemarinya bergerak mengusap air mata di pipi Rania. "Em, maaf, Tante." Rania menundukkan kepalanya. Ia takut jika Rosita mengetahui isi hatinya. "Kamu boleh memeluk Tante Rania," lirih Rosita bernada serius. Tanpa berkata-kata lagi, Rania segera mendekap wanita paruh baya itu. Keduanya saling berpelukan cukup lama. Dari kejauhan Rafka memandangi suasana penuh haru tersebut. Kedua matanya ikut basah menyaksikan kemesraan Rania dengan sang mama. Lelaki tampan itu memejamkan kedua matanya. "Ya Tuhan, lembutkanlah hati Mamaku. Buatlah dia agar mau menerima Rania, anak kami, dan hubungan ini." Rosita merenggangkan pelukannya. Lalu ia
"RâRania ... memangnya kamu sudah selesai mandinya?" tanya Rafka masih terlihat gugup. Ia takut jika wanita itu mengetahui perbuatannya.Rania memandangi wajah mantan kekasihnya, jemarinya bergerak melepaskan satu persatu pakaian yang masih melekat pada tubuh kekar lelaki tampan itu. Wanita itu tidak terlalu mempedulikan ekspresi wajah milih Rafka."Ran, apa yang kamu lakukan?" Meski gugup, Rafka hanya mampu berucap tanpa menghindar dari Rania.Rania tersenyum tipis. Ia menyangka jika Rafka gugup karena sikap agresifnya."Bagaimana jika kita sama-sama mandi, Raf?" lirih Rania semakin menggoda. Kerinduannya membuat wanita itu lupa akan segala-galanya. Ia telah dibutakan oleh cintanya kepada Rafka."Taâtapi, Ran. Aku tidak perlu mandi."Rafka cukup terkejut. Lelaki tampan itu sampai kesulitan untuk bernafas. Ia tidak pernah menyangka jika Rania akan melakukan hal itu kepadanya. Setelah melihat Rafka dengan tubuh polosnya, tentu saja Rania semakin menginginkan tubuh lelaki tampan itu. Ia
Malam telah tiba. Rania tampil sempurna dengan gaun hitam. Sangat kontras dengan kulitnya yang putih, mulus, dan bersih. Ia menggunakan make up dari sebuah salon, atas rekomendasi dari Rafka. "Pilihan Rafka memang tidak pernah salah. Berkat dia penampilanku jadi terlihat anggun."Rania bercermin di kamarnya. Tersenyum tipis penuh perasaan bahagia. Setelah itu ia mulai mengabadikan momen itu dengan mengambil beberapa gambar dari ponselnya.Sesaat kemudian handphone yang ia bawa berdering. Sebuah panggilan dari seseorang yang telah siap menanti di depan rumah.Wanita itu dijemput Rendi dengan mobilnya. Dan itu adalah sebuah perintah dari Rafka untuk selalu menjaga pujaan hatinya. Lelaki itu sampai ternganga dan tak berkedip melihat penampilan spesial Rania. Sementara Rania merasa sangat malu. Ingin rasanya ia berganti pakaian dan pulang saja. Ia takut jika terlihat berlebihan. Bisa jadi orang-orang di sana akan merendahkannya."Ren, jangan memandangiku seperti itu," protes Rania yang m
Rendi setia mendampingi Rania. Ia mengikuti setiap langkah kaki Rania membawanya berkelana di acara pertunangan yang super mewah itu. Di saat memasuki area pertunangan Rafka dengan Cindy, hampir semua mata beralih menyaksikan Rania. Membuat wanita itu semakin merasa insecure. Ia tidak percaya diri dengan penampilannya yang sangat memukau. 'Kamu cantik sekali Ran,' batin Rafka mengungkapkan kekagumannya. Ia tanpa sadar memandangi Rania yang berdiri jauh di sana. Sementara Cindy tengah menunggu Rafka memasangkan cincin di jari manisnya. Wanita itu merasa curiga dengan gerak-gerik tunangannya yang mencurigakan. "Kamu kenapa sih, Raf?" lirih Cindy yang belum juga mendapatkan respon dari Rafka. "Rafka! Dengarkan aku!" Cindy sedikit membentak. Ia mulai merasa kesal dengan sikap Rafka yang terlihat cuek kepadanya. Seketika Rafka merasa terkejut. Ia baru sadar jika dirinya melamunkan Rania sejak tadi hingga tidak menghiraukan perempuan yang ada di dekatnya. Beberapa detik kemudian terde
Rafka terdiam sambil memperhatikan Rania yang sudah dibawa pergi oleh Rendi dan hendak masuk ke dalam mobil. "Tante, masak Rafka lebih membela Rania daripada aku?" rengek Cindy manja. "Cindy mendorong Rania, Ma. Rania sedang hamil," lirih Rafka merasa bersalah telah membiarkan Cindy bertindak sejauh itu. Rosita jadi serba salah. Karena dalam hal itu memang Cindy juga salah. Dia yang mengakibatkan Rania masuk kolam renang dan basah. Bahkan hampir pingsan. "Ya, sudah. Kamu segera ganti baju. Acara masih panjang," ujar Rosita. "Dan untuk kamu, Sayang. Nggak usah dipikirin. Walau bagaimanapun Rania pernah menjadi keluarga kami. Dia sangat baik. Sudah ya? Yuk, kembali ke sana untuk acara selanjutnya," ungkap Rosita menunjuk ke arah diselenggarakannya tukar cincin beberapa waktu yang lalu. Cindy hanya menurut saja. Tetapi ia masih penasaran mengapa Rania memakai cincin yang waktu itu tidak muat di jarinya. 'Enak sekali dia. Memakai cincin mewah tanpa rasa bersalah.' Julio yang menget
"Tunggu sebentar, Raf. Ini Julio mengirimkan sebuah pesan." Rosita segera membaca pesan dari Julio yang mengatakan bahwa dirinya sudah dalam perjalanan pulang. "Bagaimana, Ma? Apa kata Jio?" tanya Rafka yang terlalu khawatir. Kini kepalanya semakin bertambah pusing. "Dia bilang sudah otw pulang. Kita nggak perlu khawatir katanya." "Aneh, sekali. Ke mana perginya? Kenapa tidak bilang-bilang." "Sudahlah, Raf. Sebaiknya kita segera pulang. Pasti kamu capek 'kan?" tanya Rosita kemudian. Rosita tahu jika putranya tersebut masih memikirkan Rania. Termasuk dirinya sendiri pun mengkhawatirkan mantan istri Amar tersebut. Entah mengapa wanita paruh baya itu seperti ada ikatan batin dengan calon bayi yang dikandung Rania. Ia tidak ingin kehilangannya. Rafka hanya mengangguk dan segera mengemudikan mobilnya. "Oh, iya, Raf. Tadi kamu ketemu sama Amar dan Tisa nggak? Sepertinya mereka tadi buru-buru." Rosita teringat akan Tisa yang katanya tidak enak badan. Kini pikirannya bercabang-cabang m
"Mana mungkin Ibu berbohong." Dewi mencubit pelan hidung putrinya. Ia heran kenapa Rania bertanya seperti itu kepadanya. Sementara Rania berusaha untuk percaya saja. Ia tidak memberitahu ibunya jika Aluna telah berbohong. Menyatakan jika akan menjemputnya malam itu, tetapi nyatanya tidak jadi datang. Bahkan tidak memberi kabar sama sekali setelah kejadian waktu itu. "Ya sudah. Kita tunggu saja ya, Bu." Kalimat itulah yang keluar dari mulut Rania. Ia mencoba mengalihkan tema pembicaraan. Wanita itu lebih menanyakan tentang keadaan di kampung. "Tenang saja, Ran. Bapak kamu sudah menyuruh orang untuk mengurus sawah beberapa hari selama kami ada di sini." "Kenapa Ibu dan Bapak nekat datang ke sini, sih? Terlalu merindukan Aluna, ya?" ledek Rania kemudian. Ujung-ujungnya pun membicarakan tentang Aluna kembali. "Sebenarnya bukan Ibu yang memaksa datang ke sini. Tapi Bapakmu itu. Ngebet banget pengen ke kota." Rania mengernyit heran. Ia merasakan jika Romi terlihat lain. Lelaki itu sepe