Gimana??????
Malam telah tiba. Rania tampil sempurna dengan gaun hitam. Sangat kontras dengan kulitnya yang putih, mulus, dan bersih. Ia menggunakan make up dari sebuah salon, atas rekomendasi dari Rafka. "Pilihan Rafka memang tidak pernah salah. Berkat dia penampilanku jadi terlihat anggun."Rania bercermin di kamarnya. Tersenyum tipis penuh perasaan bahagia. Setelah itu ia mulai mengabadikan momen itu dengan mengambil beberapa gambar dari ponselnya.Sesaat kemudian handphone yang ia bawa berdering. Sebuah panggilan dari seseorang yang telah siap menanti di depan rumah.Wanita itu dijemput Rendi dengan mobilnya. Dan itu adalah sebuah perintah dari Rafka untuk selalu menjaga pujaan hatinya. Lelaki itu sampai ternganga dan tak berkedip melihat penampilan spesial Rania. Sementara Rania merasa sangat malu. Ingin rasanya ia berganti pakaian dan pulang saja. Ia takut jika terlihat berlebihan. Bisa jadi orang-orang di sana akan merendahkannya."Ren, jangan memandangiku seperti itu," protes Rania yang m
Rendi setia mendampingi Rania. Ia mengikuti setiap langkah kaki Rania membawanya berkelana di acara pertunangan yang super mewah itu. Di saat memasuki area pertunangan Rafka dengan Cindy, hampir semua mata beralih menyaksikan Rania. Membuat wanita itu semakin merasa insecure. Ia tidak percaya diri dengan penampilannya yang sangat memukau. 'Kamu cantik sekali Ran,' batin Rafka mengungkapkan kekagumannya. Ia tanpa sadar memandangi Rania yang berdiri jauh di sana. Sementara Cindy tengah menunggu Rafka memasangkan cincin di jari manisnya. Wanita itu merasa curiga dengan gerak-gerik tunangannya yang mencurigakan. "Kamu kenapa sih, Raf?" lirih Cindy yang belum juga mendapatkan respon dari Rafka. "Rafka! Dengarkan aku!" Cindy sedikit membentak. Ia mulai merasa kesal dengan sikap Rafka yang terlihat cuek kepadanya. Seketika Rafka merasa terkejut. Ia baru sadar jika dirinya melamunkan Rania sejak tadi hingga tidak menghiraukan perempuan yang ada di dekatnya. Beberapa detik kemudian terde
Rafka terdiam sambil memperhatikan Rania yang sudah dibawa pergi oleh Rendi dan hendak masuk ke dalam mobil. "Tante, masak Rafka lebih membela Rania daripada aku?" rengek Cindy manja. "Cindy mendorong Rania, Ma. Rania sedang hamil," lirih Rafka merasa bersalah telah membiarkan Cindy bertindak sejauh itu. Rosita jadi serba salah. Karena dalam hal itu memang Cindy juga salah. Dia yang mengakibatkan Rania masuk kolam renang dan basah. Bahkan hampir pingsan. "Ya, sudah. Kamu segera ganti baju. Acara masih panjang," ujar Rosita. "Dan untuk kamu, Sayang. Nggak usah dipikirin. Walau bagaimanapun Rania pernah menjadi keluarga kami. Dia sangat baik. Sudah ya? Yuk, kembali ke sana untuk acara selanjutnya," ungkap Rosita menunjuk ke arah diselenggarakannya tukar cincin beberapa waktu yang lalu. Cindy hanya menurut saja. Tetapi ia masih penasaran mengapa Rania memakai cincin yang waktu itu tidak muat di jarinya. 'Enak sekali dia. Memakai cincin mewah tanpa rasa bersalah.' Julio yang menget
"Tunggu sebentar, Raf. Ini Julio mengirimkan sebuah pesan." Rosita segera membaca pesan dari Julio yang mengatakan bahwa dirinya sudah dalam perjalanan pulang. "Bagaimana, Ma? Apa kata Jio?" tanya Rafka yang terlalu khawatir. Kini kepalanya semakin bertambah pusing. "Dia bilang sudah otw pulang. Kita nggak perlu khawatir katanya." "Aneh, sekali. Ke mana perginya? Kenapa tidak bilang-bilang." "Sudahlah, Raf. Sebaiknya kita segera pulang. Pasti kamu capek 'kan?" tanya Rosita kemudian. Rosita tahu jika putranya tersebut masih memikirkan Rania. Termasuk dirinya sendiri pun mengkhawatirkan mantan istri Amar tersebut. Entah mengapa wanita paruh baya itu seperti ada ikatan batin dengan calon bayi yang dikandung Rania. Ia tidak ingin kehilangannya. Rafka hanya mengangguk dan segera mengemudikan mobilnya. "Oh, iya, Raf. Tadi kamu ketemu sama Amar dan Tisa nggak? Sepertinya mereka tadi buru-buru." Rosita teringat akan Tisa yang katanya tidak enak badan. Kini pikirannya bercabang-cabang m
"Mana mungkin Ibu berbohong." Dewi mencubit pelan hidung putrinya. Ia heran kenapa Rania bertanya seperti itu kepadanya. Sementara Rania berusaha untuk percaya saja. Ia tidak memberitahu ibunya jika Aluna telah berbohong. Menyatakan jika akan menjemputnya malam itu, tetapi nyatanya tidak jadi datang. Bahkan tidak memberi kabar sama sekali setelah kejadian waktu itu. "Ya sudah. Kita tunggu saja ya, Bu." Kalimat itulah yang keluar dari mulut Rania. Ia mencoba mengalihkan tema pembicaraan. Wanita itu lebih menanyakan tentang keadaan di kampung. "Tenang saja, Ran. Bapak kamu sudah menyuruh orang untuk mengurus sawah beberapa hari selama kami ada di sini." "Kenapa Ibu dan Bapak nekat datang ke sini, sih? Terlalu merindukan Aluna, ya?" ledek Rania kemudian. Ujung-ujungnya pun membicarakan tentang Aluna kembali. "Sebenarnya bukan Ibu yang memaksa datang ke sini. Tapi Bapakmu itu. Ngebet banget pengen ke kota." Rania mengernyit heran. Ia merasakan jika Romi terlihat lain. Lelaki itu sepe
"Mama tidak tahu, Kak. Makanya Jio cepat-cepat pulang tadi. Dan Jio tidak sempat bertemu dengan Kak Rania," ungkap Julio sedih. Sesungguhnya ia ingin berjumpa dan mengobrol kembali dengan Rania. Rafka menepuk pelan bahu Julio. Kemudian merangkul adiknya tersebut dengan penuh rasa sayang. "Terima kasih, Jio. Kamu sangat peduli dengan Kak Rania. Bagaimana kalau besok kita menjenguknya?" usul Rafka. "Kakak tidak bisa tenang jika belum bertemu dengannya." "Julio besok ada ujian di sekolah, Kak. Tidak boleh bolos." Seketika Rafka menatap Julio dengan tatapan dalam. "Lalu kenapa kamu masih di sini? Belajar dulu, Jio. Setelah itu beristirahat." Sebenarnya Julio tidak bersemangat untuk belajar. Ia masih kepikiran dengan Rania. Tetapi apa boleh buat. Jika sampai nilai ujiannya jelek, pasti dia akan dimarahi Rosita. "Ayo, Kak. Kita masuk," ajak Julio kemudian. "Iya, nanti Kakak nyusul." Rafka mencoba meyakinkan Julio. Julio pun mengangguk dan segera melangkah pergi menuju ke kamarnya. Se
Rafka terlihat gelisah. Ia tidak mau Aluna tahu bahwa dirinya ada di tempat itu. Karena memang lelaki itu datang secara diam-diam."Raf, ada apa?" tanya Rania yang ikut gelisah. "Aluna tengah berjalan ke mari, Ran. Apa yang harus aku lakukan?" ucap Rafka dengan suara yang sangat lirih. "Kamu masuk ke toilet saja, Raf. Cepat!" ujar Rania. Ia menyuruh Rafka masuk ke toilet khusus pasien yang ada di dalam ruangan itu. Rafka mengangguk dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Ia segera mengunci pintunya dari dalam.Pintu ruangan Rania terbuka setelah beberapa detik Rafka berhasil masuk ke kamar mandi. Rupanya Aluna yang datang bersama Rendi."Mbak Rania, sudah bangun? Maaf ya,bak Rania malah Aluna tinggalin sendirian di sini. Habisnya Kak Rendi maksa Aluna buat nemenin dia," jelas Aluna panjang lebar. Ia tidak ingin Rania salah paham terhadapnya. Rania mencoba untuk tersenyum. "Tidak apa-apa, Luna. Mbak ngerti kok." Aluna memegangi perutnya. Tiba-tiba ia merasa ingin kencing. Gadis itu
Aluna terperanjat dan seketika menjauhkan tubuhnya dari samping Bayu. Ia malu karena kepergok teman baiknya tersebut. "Eh, iya nih. Kak Riko ngirim pesan. Katanya mau ajak aku ke acara pesta temannya. Pasti seru, ya?" ujar Aluna riang gembira. Raut wajah Bayu berubah serius. Ia kembali merapatkan tubuhnya agar lebih dekat dengan Luna. "Kalau saran aku sih, Lun. Sebaiknya kamu tidak usah datang. Perasaanku nggak enak. Takut kamu kenapa-napa." "Kok kamu gitu sih, Bay?! Nggak sejalan banget otak kita." "Lun ... sejak awal kamu kenalin Kak Riko, aku pikir dia bukan lelaki baik-baik. Percayalah. Aku khawatir sama kamu." "Udahlah, Bay. Aku jadi bete, nih. Aku mau ke toilet dulu." *** Siang harinya Romi membawa berita baik untuk Rania dan Dewi. Wanita itu sudah diperbolehkan pulang di sore hari. "Aku mau ke luar sebentar ya, Wi." Tiba-tiba Romi izin pergi setelah mengabarkan berita baik itu kepada istri dan anaknya. "Mau ke mana, Pak?" tanya Dewi penasaran. "Ada urusan sebentar. T
Malam itu langit di atas rumah megah Rania dan Rafka penuh dengan bintang-bintang. Udara segar musim semi membawa aroma bunga yang mekar di taman mereka. Di dalam rumah suasana begitu tenang. Setelah anak bungsu mereka—Rafael berangkat kuliah ke luar negeri, rumah terasa lebih sepi. Namun kebersamaan mereka tetap hangat. Rania duduk di ruang keluarga. Ia sedang membaca buku favoritnya di bawah cahaya lampu yang lembut. Rafka yang baru saja pulang dari kantor, berjalan masuk dengan senyum lelah namun penuh cinta di wajahnya. Melihat istrinya yang tenang ia merasa bahagia meski suasana rumah kini lebih sunyi. “Rania, aku sudah pulang,” ucap Rafka lembut sambil meletakkan tas kerjanya di meja. Rania mengangkat wajahnya dari buku dan tersenyum hangat. “Selamat datang, Sayang. Bagaimana hari ini?” tanya Rania sambil menutup bukunya dan berdiri untuk menyambut suaminya. Rafka merangkul Rania dengan lembut. Lalu mencium keningnya dengan penuh kasih. “Hari yang panjang, tapi semua
Di pagi yang cerah. Sinar matahari menyusup lembut melalui jendela rumah sakit, menciptakan nuansa hangat dan damai di ruangan bersalin. Di luar burung-burung berkicau riang menyambut datangnya hari baru. Namun di dalam ruangan itu, suasana penuh dengan ketegangan dan harapan. Alsha dengan wajah yang berpeluh tengah berjuang melahirkan buah hati yang dinantikan. Dito berdiri di samping Alsha. Ia menggenggam erat tangan sang istri. Lelaki tampan itu memberikan dukungan tanpa henti. Wajah Dito tampak cemas. Namun ia merasakan kebahagiaan yang tak bisa terlukiskan. “Kamu bisa, Alsha. Aku ada di sini bersamamu,” bisiknya dengan suara lembut dan penuh kasih. Dengan napas yang terengah-engah, Alsha menguatkan diri. Setiap kontraksi membawa rasa sakit yang luar biasa, namun juga mendekatkannya pada momen yang paling dinantikan dalam hidupnya. Wajahnya menegang, tetapi ada kilauan tekad di matanya. “Sedikit lagi, Bu Alsha. Sedikit lagi,” ucap dokter dengan nada tenang dan men
Pagi itu matahari baru saja terbit dan sinarnya yang lembut menembus jendela kamar Alma dan Marco. Suara burung berkicau di luar rumah memberikan kesan damai dan menenangkan. Namun pagi itu terasa berbeda bagi Alma. Dia terbangun dengan perasaan yang aneh. Sesuatu yang tidak biasa. Alma mencoba mengabaikannya, tapi gejala-gejala yang dia rasakan semakin nyata. Alma duduk di tepi ranjang, memegang perutnya yang terasa aneh. Pusing, mual, dan perasaan lelah yang luar biasa menyelimuti dirinya. Ia mengingat kembali beberapa hari terakhir, mencoba mencari penjelasan. “Mungkinkah?” pikir Alma, hatinya berdebar-debar dengan harapan sekaligus kecemasan. Marco yang berada di dapur, sedang menyiapkan sarapan. Dia memperhatikan Alma yang keluar dari kamar dengan wajah pucat. “Kamu baik-baik saja, Alma?” tanya Marco dengan nada khawatir. Alma mencoba tersenyum. “Aku merasa sedikit tidak enak badan. Mungkin aku butuh istirahat lebih,” jawabnya sambil mencoba menyembunyikan kekhawati
Beberapa hari telah berlalu. Alsha memilih menyendiri di sebuah hotel kecil yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota. Ia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan hatinya yang kacau. Kamar hotel itu sederhana, tapi cukup nyaman untuk menjadi tempat perlindungan sementara. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela memberikan sedikit kehangatan di dalam ruangan yang sunyi itu. Di tepi ranjang Alsha duduk dengan tatapan kosong. Ia merenungkan semua yang telah terjadi. Di dalam hatinya ada campuran antara rasa sakit, kebingungan, dan ketidakpastian. Gadis itu mengelus perutnya yang masih rata. Membayangkan bayi yang sedang tumbuh di dalamnya. Bayangan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian membuatnya merasa sendirian. Ketukan lembut di pintu mengagetkannya dari lamunan. Dengan perlahan dan hati-hati Alsha bangkit lalu membuka pintu. Di sana berdiri seorang lelaki suruhan papanya yang akhirnya berhasil menemukan tempat persembunyian Alsha setelah berhari
Hari pernikahan yang dinanti-nanti pun tiba. Karena sebuah kesepakatan akhirnya pernikahan dilaksanakan di rumah Rania dan Rafka. Taman rumah yang luas telah disulap menjadi tempat pernikahan yang megah, dipenuhi dengan hiasan bunga-bunga berwarna pastel dan lilin-lilin yang memberikan cahaya hangat. Sebuah tenda besar dihiasi kain putih dan pita emas menjulang di tengah-tengah taman. Menambah kesan elegan dan mewah. Marco, Alma, dan Dito sudah berkumpul bersama keluarga dan tamu undangan. Semuanya terlihat anggun dalam balutan busana pernikahan yang memukau. Pak penghulu telah datang dan bersiap untuk memulai prosesi ijab kabul. Namun di antara keramaian dan kegembiraan itu ada satu hal yang mengganjal. “Ke mana Alsha?” tanya Rania dengan cemas. Ia memandang sekeliling mencari putrinya. “Tadi katanya ke toilet sebentar,” jawab Alma dengan sedikit gugup. Gadis itu mencoba menenangkan ibunya. Marco mulai merasa cemas. “Aku akan mencarinya,” ucapnya seraya bergegas menuju
Tanpa terasa hari pernikahan semakin dekat. Segala persiapan sudah selesai. Malam sebelum pernikahan, Alsha duduk sendirian di balkon apartemen. Ia merenung tentang semua yang telah terjadi. Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya, membawa kedamaian yang sementara. Tiba-tiba pintu balkon terbuka dan Alma ke luar. “Hei!” Alma menyapa sambil mendekati Alsha. “Kenapa kamu di sini sendirian?” “Alsha hanya merenung, Kak. Besok adalah hari besar kita,” jawab Alsha dengan senyum tipis. “Iya, besok kita akan memulai babak baru dalam hidup kita. Kamu sudah siap?” tanya Alma dengan lembut. “Sejujurnya, Alsha sedikit gugup. Tapi Alsha yakin ini adalah langkah yang benar,” jawab Alsha kemudian. “Semua akan baik-baik saja, Alsha!” Alma berbicara dengan yakin sambil merangkul kembarannya itu. Mereka duduk bersama dalam keheningan sejenak. Menikmati kebersamaan yang tenang di malam yang penuh bintang. Suara kota yang jauh terdengar seperti bisikan lembut, memberikan latar belakang yang m
“Ngapain di sini sendirian, Alsha?” Suara itu milik Marco yang tampak khawatir melihatnya. Alsha menghela napas lega meskipun masih ada sedikit rasa takut yang tertinggal. “Kok kamu tahu aku di sini, Marco?” tanyanya dengan suara yang masih bergetar. Marco tersenyum tipis. Ia mencoba menenangkan Alsha. “Aku khawatir padamu. Saat aku ke apartemen dan tidak menemukanmu, aku memutuskan untuk mencarimu. Aku ingat kamu pernah bercerita tentang tempat ini, jadi aku datang ke sini.” Alsha mengangguk, merasa sedikit tenang dengan kehadiran Marco. “Aku hanya butuh waktu sendirian untuk berpikir. Tapi aku takut Marco. Aku merasa tadi ada yang mengikutiku.” “Apakah kamu yakin?” Marco segera membawa tubuh Alsha ke dalam dekapannya. “Kamu tidak perlu takut. Ada aku di sini untukmu.” Alsha tak menolak meski ia tidak membalas pelukan Marco. Hatinya masih belum bisa sepenuhnya menerima Marco. “Terima kasih, Marco. Aku hanya merasa gugup menjelang pernikahan kita.” Marco mengangguk mengerti. “
“Tidak. Aku tidak peduli.” Alsha berusaha untuk mengabaikan pesan tersebut. Ia juga memblokir nomor baru yang masuk. Berapapun banyaknya nomor itu Alsha tidak akan peduli. Setelah merasa cukup tenang, Alsha segera memejamkan kedua matanya. Pagi harinya Alsha menjalani kehidupan seperti biasanya. Ia mencoba menghilangkan segala kegelisahan hati dengan rajin memasak. Gadis itu juga memilih untuk bekerja online dari ponselnya. Sebenarnya Marco tidak melarang jika setelah menikah nanti Alsha akan bekerja, tetapi lelaki itu akan sangat bahagia jika Alsha lebih fokus melayani sang suami saja. Tanpa terasa hari-hari berlalu dengan cepat. Persiapan pernikahan berjalan lancar. Namun, sebuah pertemuan tak terduga terjadi beberapa hari sebelum pernikahan. Alsha sedang berada di kafe dekat apartemen, menunggu Alma yang sedang membeli beberapa keperluan. Ketika ia sedang menikmati kopi, seseorang mendekatinya. “Alsha?” Suara yang familiar itu membuatnya mendongak. Di hadapannya berdiri Dito
Pagi itu Alsha bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasa lega bisa berkumpul kembali bersama orang tuanya setelah sekian lama. Aroma harum dari dapur menyambutnya saat dia keluar dari kamar. Saat memasuki ruang makan, dia melihat Rania, Rafka, dan adik laki-lakinya—Rafael sudah duduk di meja. “Selamat pagi Sayang,” sapa Rania sambil tersenyum hangat. “Sarapan sudah siap. Duduklah, kita sarapan bersama.” Alsha duduk di kursinya dan merasa nostalgia yang mendalam. Sudah lama sejak terakhir kali mereka semua berkumpul untuk sarapan seperti ini. Meja penuh dengan makanan favoritnya. Nasi goreng, telur dadar, dan berbagai macam lauk pauk. “Selamat pagi, Kak Alsha,” sapa Rafael yang duduk di sebelahnya. “Akhirnya kita bisa sarapan bareng.” Alsha tersenyum dan merangkul adik laki-lakinya. “Selamat pagi, Rafa. Bagaimana sekolahmu?” “Baik, Kak. Sedikit sibuk dengan tugas-tugas, tapi semuanya lancar,” balas Rafael sambil mengambil sepotong roti. Rafka tersenyum bangga. “Rafa i