Sejak tadi memang Rania berusaha menyalakan handphonenya. Ia melarang Rafka untuk memperbaiki atau membawa benda itu ke konter.Dan setelah handphone itu menyala kembali, Rania segera memeriksa pemberitahuan yang masuk. Rupanya satu pesan dan beberapa panggilan tak terjawab dari Amar."Mas Amar menghubungiku semalam? Apakah dia mengkhawatirkan aku?" celoteh Rania seorang diri.Lagi-lagi Rania merasa bersalah dan hatinya merasa bimbang saat mengingat Amar yang sudah tiga tahun mendampinginya.Tok ! Tok ! Tok !Rania terkejut saat mendengar suara pintu kamarnya diketuk beberapa kali."Ran, kamu sudah siap? Sebaiknya kita segera sarapan. Aku sudah menyiapkannya untukmu," ucap Rafka dari balik pintu kamar.Lelaki itu sebenarnya khawatir kepada Rania karena tak kunjung keluar dari kamar sejak tadi. Sedangkan dirinya sudah selesai membuat menu sarapan yang spesial untuk kekasihnya."Iya, Raf. Tunggu sebentar. Lebih baik kamu duluan ke meja makan. Aku akan menyusulmu segera," balas Rania ber
Rosita kembali ke ruangan Amar. Ia sempat menangis di dalam toilet umum beberapa menit. Karena teringat Julio yang hanya seorang diri menjaga Amar, maka wanita paruh baya itu menyudahi kesedihannya."Aku tidak boleh lemah. Semua salah Rania. Bukan salahku."Julio menoleh cepat saat mendengar mamanya membuka pintu. Begitupun dengan Amar."Rania mana, Ma?" tanya Amar penasaran.Rosita menyuruh Julio duduk di kursi yang letaknya agak jauh dari mereka. Dan anak kecil itu menurut. Wanita paruh baya itu semakin mendekat ke arah putra pertamanya.""Dia sudah pergi," jawab Rosita datar."Apakah Mama mengusirnya? Amar ingin bicara sama Rania, Ma?" Lelaki itu terlihat gelisah. Ia masih merindukan kehadiran istrinya."Mama kecewa sama kamu, Amar. Kenapa kamu harus selingkuh di belakang Rania? Apa mau kamu, Amar?" cecar sang mama ingin tahu."Maafkan, Amar, Ma. Amar bisa hidup miskin. Amar sengaja memanfaatkan harta milik atasan Amar di kantor."Rosita geleng-geleng kepala. Ia tidak habis pikir d
Dengan semangat Tisa mengetuk pintu ruangan Amar. Kemudian masuk dan memperlihatkan senyuman termanisnya."Pagi Tante," sapanya kepada Rosita yang kini tengah memandanginya."Pagi, Tisa. Tante pikir kamu tidak datang hari ini," ucap Rosita.Tisa semakin berjalan mendekat. Sambil tersenyum ia berkata, "Mana mungkin Tisa nggak dateng Tante? Ini Tisa bawakan buah-buahan buat Mas Amar. Julio juga boleh makan yang banyak.""Terima kasih, ya? Kamu memang calon menantu idaman," ungkap Rosita sambil menepuk pelan pundak Tisa.Wanita itu tersenyum senang di dalam hatinya. Ia telah berhasil merebut hati calon mertua. Sebentar lagi pasti Amar juga akan jatuh di pelukannya."Tante bisa saja."Tisa melihat ke arah Amar. Lelaki itu hanya diam dan tak merespon apapun. Membuatnya sedikit kesal."Amar ... kamu kok diam saja sih? Ini Tisa sudah bela-belain datang ke sini demi kamu. Dia juga bawain buah-buahan. Tidak seperti Rania. Mengajak ngobrol kamu pun tidak. Istri macam apa dia?" Kepala Rosita mel
"Raf ...." Rania menahan pergelangan tangan Rafka saat lelaki itu hendak pergi. Ia semakin merasa bersalah terhadap kekasih barunya itu."Tidak apa-apa, Ran. Anggap saja sebagai permohonan maafku."Rafka bergegas pergi ke dapur. Sementara Rania duduk di sofa dan mengecek ponselnya. Ia menemukan “SW” Tisa yang memperlihatkan kedekatannya dengan Amar, Julio, dan Rosita. Sahabatnya tersebut menulis caption di bawah gambar itu. “Akan segera menjadi keluarga bahagia.”"Mereka?" Rania mengamati foto itu. "Apa maksud dari ucapan Tisa? Apakah mereka akan segera menikah?"Rania mencoba untuk tetap tersenyum. Sebenci itukah Rosita kepadanya? Hingga lebih mendukung anaknya dengan Tisa, sahabatnya sendiri? Padahal jelas-jelas Amar belum resmi bercerai dengannya.Wanita itu tidak ingin pusing-pusing memikirkan tentang Tisa. Sahabat satu-satunya yang sangat ia percayai ternyata menyukai suaminya. Rania menyesal karena tidak pernah sadar akan hal itu.Rania memilih untuk meletakkan ponselnya. Lalu i
"Em, Raf ... sudah malam. Sebaiknya kita segera istirahat." Rania berlari melalui tangga. Ia berteriak dengan lantang. "Aku mencintaimu, Raf." Rania mengatakannya sambil tersenyum malu. Wanita itu langsung masuk ke dalam kamarnya.Sementara Rafka masih terbengong-bengong di tempatnya."Ran, ini maskernya gimana? Apa harus dibawa tidur sampai pagi?" Rafka garuk-garuk kepala. Ia memandangi kopi dan coklat panas buatannya yang justru dianggurin oleh Rania.Terpaksa lelaki itu menghabiskannya seorang diri. Karena masih terjaga, Rafka memeriksa beberapa email yang masuk melalui ponselnya.Ada beberapa masalah yang terjadi di kantor. Fariz menghubungi melalui email tersebut."Ada apa lagi ini? Besok aku harus datang ke kantor."Rafka mulai berpikir keras. Mencari ide dan mengatur strategi baru untuk perusahaannya. Meski lelaki itu terbilang sukses dan punya segalanya, namun ia tidak mau menunda-nunda masalah kecil sekalipun. Bisa jadi masalah kecil itu akan berakibat fatal di kemudian hari
Rania merasa tidak asing dengan wajah seorang lelaki yang kini berjalan mendekatinya, namun ia lupa siapa namanya."Rania, kamu lupa denganku?" Lelaki itu menepuk pelan pundak Rania. Membuat wanita itu merasa risih."Ini aku, Ran. Riko ...." Lelaki itu meraih tangan Rania dan menyalaminya. "Aku teman Rafka saat SMA."Rania mulai mengingat-ingat lagi. Ia kemudian yakin jika Riko adalah salah satu teman Rafka yang dulu sering ikut mengerjai dia."Oh ... jadi kamu teman Rafka ya? Iya, aku baru ingat maaf ya?" Wanita itu berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Riko."Kamu di sini ngapain?" Riko memperhatikan Rania dari atas sampai bawah. "Kamu cantik banget ya sekarang. Berisi lagi."Rania terlihat malu. Ia tidak suka diperhatikan seperti itu. Wanita itu berusaha mengalihkan pandangannya."Pertanyaanku belum dijawab, Ran. Mau jemput siapa?" tanya Riko lagi."Mau jemput adik saya. Adik ipar.""Adik ipar?" Riko terlihat terkejut."Kamu sendiri sedang apa di sini?" Rania balik bertanya.
Amar menarik nafas kuat-kuat. Mungkin memang sudah saatnya ia berterus terang kepada Rania dan meminta maaf."Itu semua memang benar, Ran. Sejak kehadiran Rafka, Mama dan Papaku mulai berubah. Mereka lebih sayang adikku. Aku merasa iri dan waktu itu mengetahui jika Rafka telah jatuh cinta. Dia sangat mencintaimu sejak dulu. Tetapi tidak pernah berani untuk mengungkapkan.""Apakah mungkin seorang kakak iri dan berbuat senekat itu kepada adik kandungnya sendiri?" Rania tidak habis pikir dengan pemikiran suaminya."Bagaimana jika aku mengatakan bahwa Rafka bukan adik kandungku?" Amar berucap dengan wajah serius.Rania semakin dibuat bingung sendiri. Pernyataan Amar sulit untuk dipercaya. "Kamu ngomong apa sih, Mas? Mas jangan mengada-ada."Rania melangkah pergi meninggalkan Amar sendirian. Wanita itu memilih duduk di tepi kolam renang yang ada di halaman belakang."Apa sih, maksud Mas Amar berbicara seperti itu? Jelas-jelas Rafka adalah adik kandungnya.""Kak Rania, kok ada di sini?" Per
"Tidak, Mas. Aku tidak mau."Amar memandangi wajah Rania lekat-lekat. Ia mendekatkan wajahnya."Kali ini aku akan membuatmu hamil, Ran. Aku tidak mau pisah sama kamu." Seringaian mengembang di bibir Amar. Sepertinya lelaki itu memiliki niat yang jahat. Tiba-tiba Rania menegang. Ia merasa ketakutan. Wanita itu sudah berjanji bahwa dirinya akan memberikan cinta yang ia miliki sepenuhnya hanya untuk Rafka."Jangan, Mas. Kamu tega." Air mata Rania luluh membahasi pipinya.Sedangkan Amar mempersulit gerakan istrinya dengan mencengkeram kedua tangan wanita itu dengan tangan kirinya dan ia letakkan di atas kepala Rania."Cukup, Mas! Hentikan!"Amar menggunakan tangan kanannya untuk mengeluarkan senjatanya. Bersamaan dengan itu terdengar bel pintu rumah berbunyi berkali-kali.Ting Tong !"Sial! Siapa itu. Mengganggu saja."Dengan cepat Rania menggigit lengan suaminya. Hingga Amar sedikit berteriak karena terkejut. Setelah itu Rania beranjak dari ranjang dan merapikan pakaiannya.Rania segera
Malam itu langit di atas rumah megah Rania dan Rafka penuh dengan bintang-bintang. Udara segar musim semi membawa aroma bunga yang mekar di taman mereka. Di dalam rumah suasana begitu tenang. Setelah anak bungsu mereka—Rafael berangkat kuliah ke luar negeri, rumah terasa lebih sepi. Namun kebersamaan mereka tetap hangat. Rania duduk di ruang keluarga. Ia sedang membaca buku favoritnya di bawah cahaya lampu yang lembut. Rafka yang baru saja pulang dari kantor, berjalan masuk dengan senyum lelah namun penuh cinta di wajahnya. Melihat istrinya yang tenang ia merasa bahagia meski suasana rumah kini lebih sunyi. “Rania, aku sudah pulang,” ucap Rafka lembut sambil meletakkan tas kerjanya di meja. Rania mengangkat wajahnya dari buku dan tersenyum hangat. “Selamat datang, Sayang. Bagaimana hari ini?” tanya Rania sambil menutup bukunya dan berdiri untuk menyambut suaminya. Rafka merangkul Rania dengan lembut. Lalu mencium keningnya dengan penuh kasih. “Hari yang panjang, tapi semua
Di pagi yang cerah. Sinar matahari menyusup lembut melalui jendela rumah sakit, menciptakan nuansa hangat dan damai di ruangan bersalin. Di luar burung-burung berkicau riang menyambut datangnya hari baru. Namun di dalam ruangan itu, suasana penuh dengan ketegangan dan harapan. Alsha dengan wajah yang berpeluh tengah berjuang melahirkan buah hati yang dinantikan. Dito berdiri di samping Alsha. Ia menggenggam erat tangan sang istri. Lelaki tampan itu memberikan dukungan tanpa henti. Wajah Dito tampak cemas. Namun ia merasakan kebahagiaan yang tak bisa terlukiskan. “Kamu bisa, Alsha. Aku ada di sini bersamamu,” bisiknya dengan suara lembut dan penuh kasih. Dengan napas yang terengah-engah, Alsha menguatkan diri. Setiap kontraksi membawa rasa sakit yang luar biasa, namun juga mendekatkannya pada momen yang paling dinantikan dalam hidupnya. Wajahnya menegang, tetapi ada kilauan tekad di matanya. “Sedikit lagi, Bu Alsha. Sedikit lagi,” ucap dokter dengan nada tenang dan men
Pagi itu matahari baru saja terbit dan sinarnya yang lembut menembus jendela kamar Alma dan Marco. Suara burung berkicau di luar rumah memberikan kesan damai dan menenangkan. Namun pagi itu terasa berbeda bagi Alma. Dia terbangun dengan perasaan yang aneh. Sesuatu yang tidak biasa. Alma mencoba mengabaikannya, tapi gejala-gejala yang dia rasakan semakin nyata. Alma duduk di tepi ranjang, memegang perutnya yang terasa aneh. Pusing, mual, dan perasaan lelah yang luar biasa menyelimuti dirinya. Ia mengingat kembali beberapa hari terakhir, mencoba mencari penjelasan. “Mungkinkah?” pikir Alma, hatinya berdebar-debar dengan harapan sekaligus kecemasan. Marco yang berada di dapur, sedang menyiapkan sarapan. Dia memperhatikan Alma yang keluar dari kamar dengan wajah pucat. “Kamu baik-baik saja, Alma?” tanya Marco dengan nada khawatir. Alma mencoba tersenyum. “Aku merasa sedikit tidak enak badan. Mungkin aku butuh istirahat lebih,” jawabnya sambil mencoba menyembunyikan kekhawati
Beberapa hari telah berlalu. Alsha memilih menyendiri di sebuah hotel kecil yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota. Ia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan hatinya yang kacau. Kamar hotel itu sederhana, tapi cukup nyaman untuk menjadi tempat perlindungan sementara. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela memberikan sedikit kehangatan di dalam ruangan yang sunyi itu. Di tepi ranjang Alsha duduk dengan tatapan kosong. Ia merenungkan semua yang telah terjadi. Di dalam hatinya ada campuran antara rasa sakit, kebingungan, dan ketidakpastian. Gadis itu mengelus perutnya yang masih rata. Membayangkan bayi yang sedang tumbuh di dalamnya. Bayangan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian membuatnya merasa sendirian. Ketukan lembut di pintu mengagetkannya dari lamunan. Dengan perlahan dan hati-hati Alsha bangkit lalu membuka pintu. Di sana berdiri seorang lelaki suruhan papanya yang akhirnya berhasil menemukan tempat persembunyian Alsha setelah berhari
Hari pernikahan yang dinanti-nanti pun tiba. Karena sebuah kesepakatan akhirnya pernikahan dilaksanakan di rumah Rania dan Rafka. Taman rumah yang luas telah disulap menjadi tempat pernikahan yang megah, dipenuhi dengan hiasan bunga-bunga berwarna pastel dan lilin-lilin yang memberikan cahaya hangat. Sebuah tenda besar dihiasi kain putih dan pita emas menjulang di tengah-tengah taman. Menambah kesan elegan dan mewah. Marco, Alma, dan Dito sudah berkumpul bersama keluarga dan tamu undangan. Semuanya terlihat anggun dalam balutan busana pernikahan yang memukau. Pak penghulu telah datang dan bersiap untuk memulai prosesi ijab kabul. Namun di antara keramaian dan kegembiraan itu ada satu hal yang mengganjal. “Ke mana Alsha?” tanya Rania dengan cemas. Ia memandang sekeliling mencari putrinya. “Tadi katanya ke toilet sebentar,” jawab Alma dengan sedikit gugup. Gadis itu mencoba menenangkan ibunya. Marco mulai merasa cemas. “Aku akan mencarinya,” ucapnya seraya bergegas menuju
Tanpa terasa hari pernikahan semakin dekat. Segala persiapan sudah selesai. Malam sebelum pernikahan, Alsha duduk sendirian di balkon apartemen. Ia merenung tentang semua yang telah terjadi. Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya, membawa kedamaian yang sementara. Tiba-tiba pintu balkon terbuka dan Alma ke luar. “Hei!” Alma menyapa sambil mendekati Alsha. “Kenapa kamu di sini sendirian?” “Alsha hanya merenung, Kak. Besok adalah hari besar kita,” jawab Alsha dengan senyum tipis. “Iya, besok kita akan memulai babak baru dalam hidup kita. Kamu sudah siap?” tanya Alma dengan lembut. “Sejujurnya, Alsha sedikit gugup. Tapi Alsha yakin ini adalah langkah yang benar,” jawab Alsha kemudian. “Semua akan baik-baik saja, Alsha!” Alma berbicara dengan yakin sambil merangkul kembarannya itu. Mereka duduk bersama dalam keheningan sejenak. Menikmati kebersamaan yang tenang di malam yang penuh bintang. Suara kota yang jauh terdengar seperti bisikan lembut, memberikan latar belakang yang m
“Ngapain di sini sendirian, Alsha?” Suara itu milik Marco yang tampak khawatir melihatnya. Alsha menghela napas lega meskipun masih ada sedikit rasa takut yang tertinggal. “Kok kamu tahu aku di sini, Marco?” tanyanya dengan suara yang masih bergetar. Marco tersenyum tipis. Ia mencoba menenangkan Alsha. “Aku khawatir padamu. Saat aku ke apartemen dan tidak menemukanmu, aku memutuskan untuk mencarimu. Aku ingat kamu pernah bercerita tentang tempat ini, jadi aku datang ke sini.” Alsha mengangguk, merasa sedikit tenang dengan kehadiran Marco. “Aku hanya butuh waktu sendirian untuk berpikir. Tapi aku takut Marco. Aku merasa tadi ada yang mengikutiku.” “Apakah kamu yakin?” Marco segera membawa tubuh Alsha ke dalam dekapannya. “Kamu tidak perlu takut. Ada aku di sini untukmu.” Alsha tak menolak meski ia tidak membalas pelukan Marco. Hatinya masih belum bisa sepenuhnya menerima Marco. “Terima kasih, Marco. Aku hanya merasa gugup menjelang pernikahan kita.” Marco mengangguk mengerti. “
“Tidak. Aku tidak peduli.” Alsha berusaha untuk mengabaikan pesan tersebut. Ia juga memblokir nomor baru yang masuk. Berapapun banyaknya nomor itu Alsha tidak akan peduli. Setelah merasa cukup tenang, Alsha segera memejamkan kedua matanya. Pagi harinya Alsha menjalani kehidupan seperti biasanya. Ia mencoba menghilangkan segala kegelisahan hati dengan rajin memasak. Gadis itu juga memilih untuk bekerja online dari ponselnya. Sebenarnya Marco tidak melarang jika setelah menikah nanti Alsha akan bekerja, tetapi lelaki itu akan sangat bahagia jika Alsha lebih fokus melayani sang suami saja. Tanpa terasa hari-hari berlalu dengan cepat. Persiapan pernikahan berjalan lancar. Namun, sebuah pertemuan tak terduga terjadi beberapa hari sebelum pernikahan. Alsha sedang berada di kafe dekat apartemen, menunggu Alma yang sedang membeli beberapa keperluan. Ketika ia sedang menikmati kopi, seseorang mendekatinya. “Alsha?” Suara yang familiar itu membuatnya mendongak. Di hadapannya berdiri Dito
Pagi itu Alsha bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasa lega bisa berkumpul kembali bersama orang tuanya setelah sekian lama. Aroma harum dari dapur menyambutnya saat dia keluar dari kamar. Saat memasuki ruang makan, dia melihat Rania, Rafka, dan adik laki-lakinya—Rafael sudah duduk di meja. “Selamat pagi Sayang,” sapa Rania sambil tersenyum hangat. “Sarapan sudah siap. Duduklah, kita sarapan bersama.” Alsha duduk di kursinya dan merasa nostalgia yang mendalam. Sudah lama sejak terakhir kali mereka semua berkumpul untuk sarapan seperti ini. Meja penuh dengan makanan favoritnya. Nasi goreng, telur dadar, dan berbagai macam lauk pauk. “Selamat pagi, Kak Alsha,” sapa Rafael yang duduk di sebelahnya. “Akhirnya kita bisa sarapan bareng.” Alsha tersenyum dan merangkul adik laki-lakinya. “Selamat pagi, Rafa. Bagaimana sekolahmu?” “Baik, Kak. Sedikit sibuk dengan tugas-tugas, tapi semuanya lancar,” balas Rafael sambil mengambil sepotong roti. Rafka tersenyum bangga. “Rafa i