Di tempat lain, di sebuah Pub tampak seorang gadis cantik duduk seorang diri menikmati kepulan asap yang lolos dari bibir seksinya. Dalam diam, gadis itu teringat kembali pada sebuah lembaran kenangan yang masih sangat terasa menyakitkan untuknya.
"Perempuan itu melabrakku, Kak. Dia menyebutku sebagai perempuan murahan, perempuan itu juga menyuruh seseorang untuk menyakiti dan memaksaku meninggalkan Mas Pras, padahal di antara kami nggak ada apa-apa. Aku takut papa dan Adi marah. Adi pasti ninggalin aku kalau tahu aku udah nggak perawan lagi gara-gara lelaki suruhan perempuan itu, Kak. Rasanya aku nggak sanggup bila harus hidup menanggung malu, Kak. Lebih baik aku mati," isak Sasti, adik perempuan kesayangannya kembali terngiang di telinga dan ingatannya.
'Aaarrggh! Bangsat! Sialan! Kakak akan membalaskan sakit hatimu sama mereka, Dek! Kakak janji, Kakak nggak akan lepasin mereka sebelum mereka merasakan penderitaan seumur hidup yang akan membuat mereka menyesal karena telah mencelakaimu!' desis Rasti geram.
Rasti menyeringai jahat sembari mengusap kasar air mata di sudut kedua matanya.
Seperti seorang psikopat profesional, dia sudah menyusun begitu banyak rencana di dalam otak dan semuanya sudah dia awali dengan mendekati kemudian menjadikan anak gadis perempuan itu sebagai sahabat dekatnya.
'Kamu tenang aja, Dek. Kakak sudah menyusun berbagai rencana untuk menghancurkan perempuan itu dan keluarganya. Mereka semua akan membayarnya!' gumam Rasti dengan geramnya.
Perempuan itu memang tidak tahu siapa Sasti Hendrawan sebenarnya. Roy Hendrawan, salah seorang pengusaha batu bara ternama itu adalah ayah Rasti dan Sasti Hendrawan.
Perempuan itu hanya tahu Sasti adalah sekretaris magang di perusahaan suaminya yang pada masa itu tengah di dekati diam-diam oleh suaminya.
'Sasti, jangan pernah kau bermimpi untuk merebut suamiku, karena aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku akan bermurah hati padamu dengan memberikan sebuah peringatan ringan saja agar kau menjauhi Mas Irvan,' gumam perempuan paruh baya yang masih kelihatan cantik di usianya itu.
Citra, perempuan itu pun kemudian memutuskan untuk menyewa jasa seorang detektif swasta untuk menyelidiki hal tersebut.
Detektif swasta itu diberinya tugas untuk menjauhkan Sasti dari suaminya dengan syarat tanpa melukai siapa pun.
[Halo, Pak Doni. Saya punya tugas yang harus bapak kerjakan sekarang!]
Perintah perempuan itu kepada Doni, detektif swasta yang dia sewa.
[Siap, Bu! Tugas apa yang harus saya kerjakan?]
Tanya Doni pada perempuan yang menyewanya.
[Saya minta tolong Pak Doni jauhkan perempuan muda di dalam foto ini dari suami saya.]
Ucap perempuan setengah baya itu sambil membuka-buka ponselnya mencari foto gadis muda yang dia maksud.
[Kalau dia mau uang, beri berapa pun yang dia mau, asal dia menjauh dari suami dan keluarga saya selamanya!]
Selanjutnya perempuan itu mengirim sebuah foto melalui aplikasi hijau kepada Doni.
[Baik, Bu! Siap, laksanakan!]
Tukas Doni menerima perintah dari bosnya itu.
[Bagus! Ingat! Kerjakan dengan rapi dan bersih! Jangan lukai siapa pun! Tarif Pak Doni akan saya transfer begitu semuanya beres.]
Ucap perempuan itu sebelum akhirnya dia menutup ponselnya dengan senyum sinis memandang foto Sasti sambil menggumam, 'menjauh dari suamiku, maka kau akan selamat setidaknya untuk saat ini.'
Drrt! Drrt! Drrt! Drrt!
Sontak Rasti tersadar dari lamunannya ketika merasakan ponselnya kembali bergetar untuk kesekian kalinya, dilihatnya siapa yang meneleponnya dan seringaian kembali menghiasi bibirnya saat dia membaca nama Kania tertera di layar ponselnya.
[Halo, Kania. Tumben elu telepon gue malam-malam kaya gini, biasanya elu udah jadi putri tidur jam segini? Ada apa?]
Tanya Rasti dengan sedikit berteriak karena suara bising di Pub tempatnya berada sekarang.
[Assalamualaikum. Salam dulu dong Ras, jangan langsung tembak gitu, macam teroris aja lu.]
Protes Kania ketika mendengar Rasti menjawab teleponnya tanpa salam.
[Iya nih, Ras gue nggak bisa tidur. Tiba-tiba aja gue punya feeling nggak enak soal ayah sama ibu, mana mereka nggak bisa di telepon lagi dari tadi sore.]
Keluh Kania sedih karena mengingat kedua orang tuanya masih tidak bisa dihubungi sejak sore.
[Ish, iya-iya. W*'alaikumsalam, ribet amat lu, Kan. Udah elu nggak usah khawatir, mungkin ayah sama ibu elu emang lagi ribet sama urusan bisnis mereka, Kania.]
Urai Rasti sambil memutar bola matanya, malas.
[Elu doain aja, semoga mereka baik-baik aja, sehat, selamat sampai pulang lagi ke Jakarta. Ingat, jangan punya pikiran macam-macam kalau elu nggak mau itu semua bakal kejadian sama ayah dan ibu elu!]
Sambil berteriak Rasti menjawab telepon Kania.
Merasa terganggu dengan teriakan Rasti, Kania pun menjauhkan sedikit ponselnya dari telinga dan mengusap telinganya yang sedikit sakit akibat teriakan Rasti yang dirasanya terlalu keras di telinga.
[Iya gue tahu, Ras. Ya udah deh kalau gitu, gue mau coba telepon ayah ibu gue lagi. Makasih banyak, Ras. Elu jangan terlalu malam pulangnya. Assalamualaikum.]
Kata Kania sebelum mematikan ponsel dan mencoba menelepon ayah dan ibunya kembali.
[Iya, Bawel. W*'alaikumsalam.]
Sambil memasang tampang geram, Rasti mematikan ponselnya. Rasti tampak sangat tidak senang dengan teguran Kania.
"Elu boleh anggap gue sahabat sekarang, tapi tak lama lagi ... gue akan jadi musuh yang sangat nyata untuk elu dan keluarga lu, Kania!" tukas Rasti bermonolog dengan dirinya sendiri.
Namun kemarahannya berangsur hilang ketika dilihatnya sesosok laki-laki yang sangat dia kenal memasuki Pub dan mendatangi tempatnya duduk.
'Gue kira elu nggak bakalan datang, ternyata gue salah duga. Elu memang bener-bener peduli sama gue. Elu memang sahabat terbaik yang gue miliki dari dulu sampai nanti akhir hayat gue, Ndra.' batin Rasti senang.
***
Senyum Rasti mengembang seketika, saat sesosok pemuda itu mendatangi dan mencium kedua belah pipinya bergantian. Pemuda tampan dengan tinggi 189 itu adalah Andra, sahabat Rasti dari kecil.Rasti merasa sangat antusias dengan kehadiran Andra, karena hanya Andra yang bisa membuatnya melupakan lukanya di masa lalu. Setiap kali rasa marah itu datang, seketika itu juga hilang saat lelaki itu datang dan berada di sisinya."Hai, Putri Tidur apa kabar lu? Udah lama banget kita nggak ketemu. Gue kangen banget tahu sama elu, elu itu kemana aja sih? Emak gue nanyain elu tuh, katanya mana calon mantu emak kok udah lama nggak pernah main ke sini lagi? Sampai-sampai emak gue ngira gue marahan sama elu. Padahal mah boro-boro marahan, ketemu juga nggak. Ya kan," cerocos pemuda tampan berhidung bangir itu.Rasti yang mendengar cerocosan sahabat kecilnya itu hanya tersenyum geli dan memeluk Andra erat."Ndra, gue juga kangen banget sama elu, ibu, adik-adik elu, pokoknya se
Masa Sekarang Satu setengah jam kemudian, Arga dan Rasti sampai di rumah sakit terdekat. Tergopoh-gopoh, Arga berlari kesana kemari sambil berteriak meminta brankar untuk mengangkat tubuh istrinya yang sudah tidak berdaya itu. "Pak, tolong saya minta brankar! Keadaan istri saya sudah sangat kritis, saya mohon, Pak!" Arga berteriak histeris, tidak dipedulikannya beberapa pasang mata yang menatapnya heran. "Awas! Permisi! Minggir! Ini Pak, brankar yang Bapak minta!" seru seorang petugas keamanan tengah mendorong sebuah brankar mendekati Arga. Arga segera menyambut brankar yang diserahkan kepadanya. Bergegas dia mendorong brankar itu mendekati pintu kursi pemandu, dengan tergesa dia membuka pintu mobilnya dan mengangkat istrinya yang tengah hamil tujuh bulan itu untuk dibaringkan di atas brankar. Kemudian dia meminta tolong kepada seorang petugas medis yang kebetulan lewat untu membantu mendorong brankar yang berisikan tubuh istrinya sement
Sementara itu di dalam ruang IGD, para dokter jaga, perawat, bidan sibuk dengan urusannya masing-masing, begitu juga dengan dokter, perawat dan bidan yang menangani Rasti. "Sus, kita harus operasi sekarang karena pasien mengalami banyak kehilangan darah. Tolong kamu siapkan ruang OK dan periksa ketersediaan stok darah golongan AB sekarang! Saya akan keluar menemui keluarganya untuk meminta persetujuan," perintah dokter Indri, Sp.Og kepada semua tim yang membantunya. Gegas dokter Indri keluar mencari keluarga Rasti dan mendapati Arga yang tengah duduk sendirian berusaha mengusir rasa mual dan dingin yang dirasakannya, "Maaf, apa Bapak keluarga pasien yang bernama Rasti?" tanya dokter Indri. Dokter Indri tidak segera menjawab pertanyaan yang dilontarkan Arga karena didatangi oleh salah satu asistennya yang memberitahukan bahwa di bank darah rumah sakit saat ini hanya tersedia dua kantong golongan darah AB dari lima kantong yang mereka perlukan untuk prose
Trash! Kuku-kuku panjang itu berhasil merobek sesuatu di dalam sana dan senyum lebar, lebih tepatnya seringaian karena yang tampak di dalam mulut wanita itu adalah gigi-gigi runcing yang siap menyobek apa pun menjadi serpihan. Dengan sekali tarikan keras, tangan itu keluar dengan membawa sesuatu yang memang sudah diincarnya sedari tadi. Sesuatu itu tampak berdarah-darah dan terdapat lubang sobekan memanjang dari atas hingga ke bawah, seakan hendak membelah sesuatu itu menjadi dua bagian sama besar. "Hahaha! Akhirnya aku dapat memakan kembali makanan kesukaanku ini setelah sekian lama. Aku suka!" Tawa seram sosok itu terdengar keras dan melengking, seketika itu juga suasana di dalam ruang OK terasa semakin mencekam. Para tenaga medis yang tengah berjuang menolong Rasti serentak menghentikan pekerjaan mereka karena terkejut, beberapa di antara mereka terutama para tenaga co-assistent merasa ketakutan karena tidak pernah mengalami fenomena seperti
Jadi anak saya meninggal, dok. Innalillahi w* inna ilaihi rajiun, terima kasih untuk usaha yang sudah dokter dan tim berikan untuk anak dan istri saya. Saya sangat menghargainya, saya permisi mau ke bagian pemulasaraan jenazah dulu, dok" pamit Arga kepada dokter Indri. Dengan langkah gontai dan mata berkaca-kaca, Arga melangkahkan kakinya ke ruang pemulasaraan jenazah untuk melihat jenazah bayinya ketika tiba-tiba ponselnya berdering dan tertera tulisan PAPI, gegas di angkatnya telepon dari papinya. [Assalamualaikum, Pi.] salam Arga begitu mengangkat telepon papinya. [W*'alaikumsalam, Arga. Ga, maaf papi dan mami baru aja sampai di rumah sakit, tadi kami terjebak macet karena hujan angin ribut. Semoga istri dan anak kamu bisa tertolong, ya.] Indra, papi Arga menjelaskan alasan keterlambatan mereka kepada Arga. [Iya, nggak apa-apa, Pi. Rasti, alhamdulillah selamat, tapi anak Arga ....] Arga me
"Arga, papa dan mama minta maaf karena datang terlambat. Sebenarnya kami tadi langsung berangkat setelah menerima telepon darimu, tapi nggak tahu kenapa mobil papa tiba-tiba saja mogok dan nggak mau dinyalakan lagi mesinnya. Jadi kami terpaksa harus menunggu tukang bengkel langganan kita untuk datang mengambil mobil papa dan menelepon taksi untuk melanjutkan perjalanan ke sini," papar Roy."Ya, nggak apa-apa, Pa, Ma. Papi dan mami juga baru datang kok, karena tadi mereka kejebak hujan angin ribut dan nggak berani nerusin perjalanan karena jarak pandang terlalu dekat," jelas Arga kepada Roy."Oh, oke. Sekarang beritahu pada kami, bagaimana keadaan istri dan calon anak kalian? Mereka selamat 'kan?" Risa bertanya kepada Arga mewakili suami dan kedua besannya.Wajah Arga semakin murung. Tanpa suara, Arga menggamit tangan mamanya dan meminta mereka semua untuk mengikuti dirinya menuju ke ruang pemulasaraan jenazah.Wajah ke empat orang tuanya terlihat tak meng
Sementara itu di kediaman Indra, papa Arga, para tetangga mulai berdatangan untuk membantu proses pemakaman anak Arga. Beberapa ibu, membantu memasak dan menyiapkan air minum serta camilan untuk para pelayat dan keluarga beserta beberapa penggali makam. Sementara itu para bapak bersiap untuk menyalatkan jenazah dan menyiapkan keranda untuk membawa jenazah ke makam, di masjid wakaf keluarga Indra Hartawan.Sekilas tidak ada yang aneh dari kegiatan itu, semua tampak wajar dan normal. Arga yang masih ingin bersama buah hatinya menolak memasukkan jenazah bayinya ke dalam keranda, dia ingin menggendong jenazah anaknya selama perjalanan hingga ke liang lahat."Bisa nggak, Pak kalau saya gendong anak saya saja mulai dari sini hingga ke makam. Ya, itung-itung gendongan pertama dan terakhir saya untuk dia, Pak," pinta Arga kepada beberapa tetangganya yang ikut mengurusi jenazah."Silahkan, Nak Arga. Nanti kalau Nak Arga sudah siap, kita langsung berangkat ya. Kasian kala
"Iya! Itu dia! Yang saya lihat mungkin sama persis dengan yang bapak lihat sekarang. Gedebog pisang!" tandas Pak Johan.Pak Candra mengangguk-angguk dengan wajah pucat pasi, dia masih tidak mengerti bagaimana mungkin jenazah bisa tiba-tiba saja berubah menjadi gedebog pisang atau memang dari awal mereka semua telah tertipu tanpa mereka sadari.Pak Candra dan Pak Johan saling menatap satu sama lain, mereka betul-betul tidak memahami kejadian yang menurut mereka sangat tidak masuk akal tersebut, perlahan tapi pasti bulu kuduk mereka meremang dan tubuh mereka bergidik perlahan.Suasana pun menjadi mencekam walau pun saat itu matahari masih bersinar, aroma amis pun samar-samar merasuk ke dalam rongga hidung mereka masing-masing.Pak RT yang kebetulan lewat, hendak mengambil air wudhu untuk mengerjakan salat fardhu kifayah dan kebetulan melihat ke dalam pun keheranan dengan tingkah Pak Johan dan Pak Candra yang di nilainya berbeda dengan biasanya."Assa