Masa Sekarang
Satu setengah jam kemudian, Arga dan Rasti sampai di rumah sakit terdekat. Tergopoh-gopoh, Arga berlari kesana kemari sambil berteriak meminta brankar untuk mengangkat tubuh istrinya yang sudah tidak berdaya itu.
"Pak, tolong saya minta brankar! Keadaan istri saya sudah sangat kritis, saya mohon, Pak!" Arga berteriak histeris, tidak dipedulikannya beberapa pasang mata yang menatapnya heran.
"Awas! Permisi! Minggir! Ini Pak, brankar yang Bapak minta!" seru seorang petugas keamanan tengah mendorong sebuah brankar mendekati Arga.
Arga segera menyambut brankar yang diserahkan kepadanya. Bergegas dia mendorong brankar itu mendekati pintu kursi pemandu, dengan tergesa dia membuka pintu mobilnya dan mengangkat istrinya yang tengah hamil tujuh bulan itu untuk dibaringkan di atas brankar.
Kemudian dia meminta tolong kepada seorang petugas medis yang kebetulan lewat untu membantu mendorong brankar yang berisikan tubuh istrinya sementara dia mengambil duffel bag milik istrinya.
"Sus, tolong antarkan istri saya dulu. Saya mau ambil tas dan beberapa keperluan lainnya! Saya segera menyusul! Terima kasih, Sus," ucap Arga panik.
"Baik, Pak," jawab suster tersebut sambil mengambil alih brankar dari tangan Arga dan segera mendorongnya ke dalam, diiringi pandangan dan suara-suara bisikan beberapa orang yang berada di sekitar IGD.
Dengan terburu-buru, setelah mengambil duffel bag dan beberapa keperluan darurat lainnya, tanpa memperdulikan sekitarnya Arga segera berlari menghampiri brankar yang berisi istrinya dan berdiri menjauh ketika dokter jaga datang menangani istrinya.
Sementara itu, Rasti masih terus merintih sambil memegangi perutnya. Bagian bawah dasternya sudah tidak terlihat lagi warna asli, bahkan brankar yang berwarna hijau itu pun sudah berubah warna menjadi kekuningan, karena terkena darah Rasti.
"Dok, tolong saya. Tolong selamatkan bayi saya, Dok," pinta Rasti lirih nyaris tidak terdengar.
"Saya usahakan ya, Bu. Ibu tenang saja," ucap dokter itu mencoba menenangkan, kemudian menyuruh beberapa perawat dan asisten dokter untuk segera memasang infus lalu melakukan tindakan dan meminta Arga untuk menunggu di luar.
Dengan perasaan gelisah dan wajah nyaris menangis, Arga meninggalkan istrinya menuju ruang administrasi guna mengurus segala keperluan tindakan perawatan bagi istri dan anaknya, mulai dari tindakan di IGD, persiapan rawat inap dan lainnya.
Arga tidak pernah mengira sedikit pun kalau urusan yang selama ini dianggapnya sepele ternyata sangat menyita waktu dan tenaga.
Usai mengurus semua keperluan untuk administrasi, Arga segera kembali menuju ke ruang tunggu IGD, dia memutuskan untuk menunggu di sana. Arga mengambil sebuah tempat duduk untuk menaruh tasnya, ketika tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya diiringi petir dan kilat yang menyambar-nyambar, udara terasa dingin menembus kulit.
"Astaghfirullahaladzim! Kenapa mendadak turun hujan petir begini ya? Padahal cuaca sebelumnya sangat panas. Semoga bukan suatu pertanda buruk, Ya Allah," bisik Arga.
Satu persatu orang-orang yang tadinya berada di luar ruang IGD mulai beranjak pergi, sementara Arga tetap tak bergeming dari tempat duduk. Dalam kegelisahan, dia menguntai beragam doa yang diingatnya.
"Ya, Allah tolong anak dan istri hamba. Selamatkan mereka. Hamba bersedia menukar apa pun milik hamba, asalkan mereka selamat," doa Arga untuk Rasti, tanpa menyadari ada bahwa sesosok wanita sedang menatapnya tajam.
Tiba-tiba terdengar petir menggelegar memekakkan telinga, membuat listrik di rumah sakit padam seketika, Arga terlonjak karena merasa kaget dan dengan tergesa dia segera mengeluarkan ponselnya guna menyalakan senter.
Kepanikkan tergambar jelas di wajahnya, teringat akan istrinya yang sedang bertaruh nyawa di IGD, ketika tiba-tiba terdengar lolongan anjing bersahutan di kejauhan ditambah angin bertiup sangat kencang menimbulkan gemerisik di rumpun bambu yang berada di seberang ruang IGD. Hujan pun turun dengan lebatnya, menambah hening suasana.
'Subhanallah, kenapa mendadak hujan angin kaya gini ya? Mana ada suara anjing melolong lagi, bikin merinding. Hii.' Arga menyilangkan kedua tangannya di dadanya untuk mengusir ketakutannya dan rasa dingin yang terasa menusuk hingga ke dalam tulang.
Suara lolongan anjing terdengar menyayat hati yang mendengar, membuat bulu kuduk meremang, ditambah aroma amis yang secara mendadak menyeruak masuk menerobos rongga pernafasan sehingga membuatnya mual seketika.
Hoek! Hoek!
Arga berusaha memuntahkan segala yang ada di dalam rongga perutnya setelah mencium aroma anyir yang luar biasa, tetapi tak ada apa pun yang keluar karena perutnya hanya terisi dengan seporsi crispy chicken sandwich dan segelas susu sejak berangkat kantor tadi pagi.
"Astaghfirullah, ada apa ini? Dari mana asal bau busuk ini, Ya Allah?" Reflek Arga menutup hidungnya dengan kedua tangan, tetapi aroma itu masih tercium bahkan semakin kuat.
Tidak hanya itu, Arga pun tiba-tiba merasa bulu kuduknya meremang. Akan tetapi Arga berusaha mengacuhkan hal itu. Tampak sesosok wanita dengan rambut terurai masai menutupi sebelah wajahnya, melayang memasuki ruang IGD.
Siapa dia dan apa tujuannya?
***
Sementara itu di dalam ruang IGD, para dokter jaga, perawat, bidan sibuk dengan urusannya masing-masing, begitu juga dengan dokter, perawat dan bidan yang menangani Rasti. "Sus, kita harus operasi sekarang karena pasien mengalami banyak kehilangan darah. Tolong kamu siapkan ruang OK dan periksa ketersediaan stok darah golongan AB sekarang! Saya akan keluar menemui keluarganya untuk meminta persetujuan," perintah dokter Indri, Sp.Og kepada semua tim yang membantunya. Gegas dokter Indri keluar mencari keluarga Rasti dan mendapati Arga yang tengah duduk sendirian berusaha mengusir rasa mual dan dingin yang dirasakannya, "Maaf, apa Bapak keluarga pasien yang bernama Rasti?" tanya dokter Indri. Dokter Indri tidak segera menjawab pertanyaan yang dilontarkan Arga karena didatangi oleh salah satu asistennya yang memberitahukan bahwa di bank darah rumah sakit saat ini hanya tersedia dua kantong golongan darah AB dari lima kantong yang mereka perlukan untuk prose
Trash! Kuku-kuku panjang itu berhasil merobek sesuatu di dalam sana dan senyum lebar, lebih tepatnya seringaian karena yang tampak di dalam mulut wanita itu adalah gigi-gigi runcing yang siap menyobek apa pun menjadi serpihan. Dengan sekali tarikan keras, tangan itu keluar dengan membawa sesuatu yang memang sudah diincarnya sedari tadi. Sesuatu itu tampak berdarah-darah dan terdapat lubang sobekan memanjang dari atas hingga ke bawah, seakan hendak membelah sesuatu itu menjadi dua bagian sama besar. "Hahaha! Akhirnya aku dapat memakan kembali makanan kesukaanku ini setelah sekian lama. Aku suka!" Tawa seram sosok itu terdengar keras dan melengking, seketika itu juga suasana di dalam ruang OK terasa semakin mencekam. Para tenaga medis yang tengah berjuang menolong Rasti serentak menghentikan pekerjaan mereka karena terkejut, beberapa di antara mereka terutama para tenaga co-assistent merasa ketakutan karena tidak pernah mengalami fenomena seperti
Jadi anak saya meninggal, dok. Innalillahi w* inna ilaihi rajiun, terima kasih untuk usaha yang sudah dokter dan tim berikan untuk anak dan istri saya. Saya sangat menghargainya, saya permisi mau ke bagian pemulasaraan jenazah dulu, dok" pamit Arga kepada dokter Indri. Dengan langkah gontai dan mata berkaca-kaca, Arga melangkahkan kakinya ke ruang pemulasaraan jenazah untuk melihat jenazah bayinya ketika tiba-tiba ponselnya berdering dan tertera tulisan PAPI, gegas di angkatnya telepon dari papinya. [Assalamualaikum, Pi.] salam Arga begitu mengangkat telepon papinya. [W*'alaikumsalam, Arga. Ga, maaf papi dan mami baru aja sampai di rumah sakit, tadi kami terjebak macet karena hujan angin ribut. Semoga istri dan anak kamu bisa tertolong, ya.] Indra, papi Arga menjelaskan alasan keterlambatan mereka kepada Arga. [Iya, nggak apa-apa, Pi. Rasti, alhamdulillah selamat, tapi anak Arga ....] Arga me
"Arga, papa dan mama minta maaf karena datang terlambat. Sebenarnya kami tadi langsung berangkat setelah menerima telepon darimu, tapi nggak tahu kenapa mobil papa tiba-tiba saja mogok dan nggak mau dinyalakan lagi mesinnya. Jadi kami terpaksa harus menunggu tukang bengkel langganan kita untuk datang mengambil mobil papa dan menelepon taksi untuk melanjutkan perjalanan ke sini," papar Roy."Ya, nggak apa-apa, Pa, Ma. Papi dan mami juga baru datang kok, karena tadi mereka kejebak hujan angin ribut dan nggak berani nerusin perjalanan karena jarak pandang terlalu dekat," jelas Arga kepada Roy."Oh, oke. Sekarang beritahu pada kami, bagaimana keadaan istri dan calon anak kalian? Mereka selamat 'kan?" Risa bertanya kepada Arga mewakili suami dan kedua besannya.Wajah Arga semakin murung. Tanpa suara, Arga menggamit tangan mamanya dan meminta mereka semua untuk mengikuti dirinya menuju ke ruang pemulasaraan jenazah.Wajah ke empat orang tuanya terlihat tak meng
Sementara itu di kediaman Indra, papa Arga, para tetangga mulai berdatangan untuk membantu proses pemakaman anak Arga. Beberapa ibu, membantu memasak dan menyiapkan air minum serta camilan untuk para pelayat dan keluarga beserta beberapa penggali makam. Sementara itu para bapak bersiap untuk menyalatkan jenazah dan menyiapkan keranda untuk membawa jenazah ke makam, di masjid wakaf keluarga Indra Hartawan.Sekilas tidak ada yang aneh dari kegiatan itu, semua tampak wajar dan normal. Arga yang masih ingin bersama buah hatinya menolak memasukkan jenazah bayinya ke dalam keranda, dia ingin menggendong jenazah anaknya selama perjalanan hingga ke liang lahat."Bisa nggak, Pak kalau saya gendong anak saya saja mulai dari sini hingga ke makam. Ya, itung-itung gendongan pertama dan terakhir saya untuk dia, Pak," pinta Arga kepada beberapa tetangganya yang ikut mengurusi jenazah."Silahkan, Nak Arga. Nanti kalau Nak Arga sudah siap, kita langsung berangkat ya. Kasian kala
"Iya! Itu dia! Yang saya lihat mungkin sama persis dengan yang bapak lihat sekarang. Gedebog pisang!" tandas Pak Johan.Pak Candra mengangguk-angguk dengan wajah pucat pasi, dia masih tidak mengerti bagaimana mungkin jenazah bisa tiba-tiba saja berubah menjadi gedebog pisang atau memang dari awal mereka semua telah tertipu tanpa mereka sadari.Pak Candra dan Pak Johan saling menatap satu sama lain, mereka betul-betul tidak memahami kejadian yang menurut mereka sangat tidak masuk akal tersebut, perlahan tapi pasti bulu kuduk mereka meremang dan tubuh mereka bergidik perlahan.Suasana pun menjadi mencekam walau pun saat itu matahari masih bersinar, aroma amis pun samar-samar merasuk ke dalam rongga hidung mereka masing-masing.Pak RT yang kebetulan lewat, hendak mengambil air wudhu untuk mengerjakan salat fardhu kifayah dan kebetulan melihat ke dalam pun keheranan dengan tingkah Pak Johan dan Pak Candra yang di nilainya berbeda dengan biasanya."Assa
Mereka bertiga berdiskusi bagaimana sebaiknya, karena sangat tidak mungkin menyampaikan hal ini kepada keluarga besar Arga yang sedang berkabung saat ini. Akhirnya mereka memutuskan untuk mendatangi Ustadz Hasyim, ustadz yang merangkap sebagai salah satu imam di masjid di itu. Setibanya di kediaman ustadz, mereka menceritakan kejadian yang menimpa anak Arga. Tidak lupa mereka menceritakan juga perihal aroma amis darah yang mereka cium sewaktu akan mendatangi almarhum bayi Arga. "Baik, saya sudah paham dan mengerti dengan cerita bapak-bapak. Jadi sekarang saya kembalikan lagi, saat ini terserah bapak bertiga ini mau pulang atau terus mengantar hingga pemakaman," tawar Ustadz Hasyim kepada ketiga tamunya. Ketiga bapak-bapak itu saling tatap satu sama lain, tidak ada yang berani menjawab pertanyaan Ustadz Hasyim. Mereka tidak tahu harus bersikap bagaimana, sebab mereka adalah tetangga Indra paling dekat tetapi di lain
Kania menyeringai puas, dia merasa begitu bahagia melihat penderitaan Arga dan Rasti sudah di mulai. Dia menimang boneka jerami berbalut kafan dengan foto Rasti masih menempel erat di badannya. Bibirnya tersenyum smirk, membayangkan kehancuran Rasti, sahabat yang telah tega menusuknya dari belakang.'Ini baru permulaan, Rasti sayang. Selanjutnya, penderitaanmu akan lebih berat dan menyakitkan, bahkan lebih dari rasa sakit yang pernah kau tebarkan untuk keluargaku dulu, dan di saat-saat itu aku akan tertawa melihatmu tak berdaya. Hahaha,' desis Kania geram, 'dan kau Mas Arga ... kau akan menyesali keputusanmu untuk meninggalkan aku demi memilih perempuan sundal berlidah ular itu! Akan kubuat kau mengejar-ngejarku lagi dan melupakan perempuan sialan itu!'Mata Kania beralih ke cermin besar yang ada di dalam kamarnya. Dia melihat dirinya sekarang begitu kurus dan kusam tidak seperti saat dia masih bahagia bersama Arga. Rasa sakit itu telah merubah dirinya begitu jauh, ter