Senyum Rasti mengembang seketika, saat sesosok pemuda itu mendatangi dan mencium kedua belah pipinya bergantian. Pemuda tampan dengan tinggi 189 itu adalah Andra, sahabat Rasti dari kecil.
Rasti merasa sangat antusias dengan kehadiran Andra, karena hanya Andra yang bisa membuatnya melupakan lukanya di masa lalu. Setiap kali rasa marah itu datang, seketika itu juga hilang saat lelaki itu datang dan berada di sisinya.
"Hai, Putri Tidur apa kabar lu? Udah lama banget kita nggak ketemu. Gue kangen banget tahu sama elu, elu itu kemana aja sih? Emak gue nanyain elu tuh, katanya mana calon mantu emak kok udah lama nggak pernah main ke sini lagi? Sampai-sampai emak gue ngira gue marahan sama elu. Padahal mah boro-boro marahan, ketemu juga nggak. Ya kan," cerocos pemuda tampan berhidung bangir itu.
Rasti yang mendengar cerocosan sahabat kecilnya itu hanya tersenyum geli dan memeluk Andra erat.
"Ndra, gue juga kangen banget sama elu, ibu, adik-adik elu, pokoknya semua deh. Gue nggak kemana-mana cuma memang setelah peristiwa yang bikin mama dan adik gue depresi itu, gue dan papa memilih pindah dari rumah lama kami dan sekarang setelah 2 tahun berlalu, gue mutusin buat ngebales dendam adik dan mama gue, Ndra," urai Rasti masih dengan posisi masih memeluk Andra.
"Ras, gue sayang elu, peduli sama elu. Gue nggak pengen elu nantinya terlilit dalam lingkaran dendam itu, Ras. Dendam itu nggak ada artinya, jadi gue minta sama elu urungin niat lu." Andra berusaha membujuk Rasti supaya mau membatalkan keinginan untuk balas dendam.
Mendengar perkataan Andra, Rasti hanya terdiam hingga akhirnya dia menggelengkan kepalanya sebagai tanda dia menolak permintaan Andra untuk tidak membalas dendam.
Andra yang merasa kasihan kepada gadis yang diam-diam dicintainya itu
hanya bisa memeluk dalam diam, dia memeluk Rasti dengan sangat lembut dan erat seakan ingin mengatakan bahwa dia tidak akan mengijinkan gadisnya itu disakiti oleh apa pun."Gue janji, bakalan ngelindungin elu sekuat tenaga gue meskipun harus kehilangan nyawa gue demi elu, gue rela karena sayang gue bukan kaleng-kaleng," bisik Andra di telinga gadis berkulit kuning langsat itu.
Rasti yang merasakan kehangatan dan ketulusan pelukan Andra semakin menyurukkan kepalanya di dada bidang pemuda beralis tebal itu dan aroma mint yang terhirup terasa sangat menenangkan.
Perlahan tetapi pasti Rasti menangis merasakan lelah yang luar biasa dalam jiwanya, ingin rasanya Rasti melepaskan semua beban yang selama ini menghimpit tetapi begitu ingatannya kembali kepada mama dan Sasti dengan secepat kilat dia menutup hatinya, mengenyahkan kata maaf dan rasa penyesalan, rahangnya mengeras dan tangannya pun ikut mengepal kuat.
'Menangislah, keluarin semua beban elu. Gue ada di sini buat elu, cuma buat elu.' Andra membatin dalam hati.
Setelah kurang lebih setengah jam Rasti menangis hingga matanya sembab, akhirnya Rasti bisa benar-benar tenang. Dia pun melepaskan pelukan Andra dan mengusap air matanya, kemudian dia mengajak Andra pergi dari Pub menuju sebuah tempat makan.
"Ndra, kita makan dulu yuk di luar, gue lapar," ajak Rasti kepada Andra.
"Lu bisa laper juga, Ras? Kirain nggak pernah tahu gimana rasa laper lu, Ras" goda Andra.
Namun demi melihat mata Rasti yang sembab itu melotot ke arahnya Andra pun segera mengajak Rasti ke tempat makan kesukaan mereka sewaktu masih duduk di bangku SMA dulu.
Rasti yang tidak mengira akan diajak Andra ke tempat itu sempat terdiam sejenak, dia ingat dulu umereka sering duduk di tempat itu sepulang sekolah meski pun hanya sekedar minum es.
"Ndra, ini tempat favorit kita waktu SMA dulu kan? Tempat kita sering mampir tiap pulang sekolah dulu," tanya Rasti setengah tidak percaya.
"Yups, bener. Ternyata lu masih ingat sama tempat ini ya, gue kira lu udah lupa karena udah nggak pernah jalan bareng sama gue lagi," ujar Andra senang karena ternyata Rasti tidak melupakannya.
"Iyalah gue ingat, Ndra secara dulu kita hampir tiap pulang sekolah duduk di sini, makan atau cuma minum es berdua. Kenangan yang indah, apalagi saat itu adik sama mama masih ada dan sehat," kenang Rasti.
Melihat Rasti yang mulai bersedih, Andra segera memeluk dan mengajak Rasti masuk ke dalam kemudian memesankan es teler dan bakso super ndower level 15 kesukaan Rasti, sementara untuk dirinya sendiri Andra lebih memilih menu mie ayam favoritnya.
Rasti tercengang melihat bagaimana Andra masih ingat segala tentang dirinya hingga ke makanan dan minuman favoritnya.
Perubahan wajah Rasti ternyata sanggup membuat Andra tertawa terbahak-bahak, dia bisa menebak kalau Rasti pasti sangat kebingungan melihatnya masih mengingat semua tentang Rasti.
"Udah nggak usah bengong gitu. Makanlah itu bakso dan es kesukaanmu itu, nanti keburu dingin nggak enak. Gue juga mau makan, cacing di perut gue udah meronta-ronta dari tadi," celetuk Andra mengagetkan Rasti.
"Eh i ... iya, gue makan ya. Makasih banyak ya, Ndra," ucap Rasti sedikit tergagap.
Andra yang sudah sangat kelaparan hanya menjawab dengan anggukan kepalanya saja sambil terus menyuap makanan ke dalam mulutnya dan kembali memesan semangkuk mie ayam ketika mangkuk mie ayam di hadapannya sudah habis tidak bersisa.
Rasti yang melihat Andra begitu lahap memakan habis pesanannya hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya sambil sesekali memberikan minum atau tisu kepada Andra yang sesekali tampak kepedasan.
Setelah selesai makan, Andra dan Rasti memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kota, walau pun sudah larut malam tetapi taman kota itu tidak pernah sepi pengunjung apalagi seperti sabtu malam ini.
"Ras, gue seneng lihat lu udah bisa ketawa lagi. Lu jangan nangis lagi ya, jujur gue ikut sakit kalau elu sedih sampai nangis kaya gitu tadi. Kalau elu ada masalah, telepon aja gue. InsyaaAllah gue usahain ada di sisi elu," ucap Andra meyakinkan Rasti.
"Hmm, sebenernya gue ada sih yang bisa elu lakuin buat gue, Ndra tapi itu juga kalau elu mau nolongin gue sih," pinta Rasti kepada sahabatnya itu.
Andra hanya mengangguk dan membiarkan Rasti melanjutkan perkataannya, Andra ingin tahu apa yang akan Rasti minta darinya.
"Gue pengen elu deketin perempuan ini, Ndra. Bikin dia tertarik sama elu dan mau melepaskan tunangannya. Setelah itu terserah, mau elu apain dia gue nggak perduli," suruh Rasti sambil mengangsurkan selembar foto seorang gadis cantik berambut ikal, berkulit putih bersih.
"Memang dia siapa, Ras? Kenapa elu pengen dia ninggalin tunangannya? Sepertinya elu pengen dia menderita, ada apa di antara kalian? Bisa nggak elu jelasin ke gue." Dengan rasa ingin tahu, Andra bertanya perihal permintaan Rasti yang dirasanya aneh.
Rasti yang sudah menduga bahwa Andra pasti akan menanyakan hal itu kepadanya, hanya menyerahkan ponselnya. Di dalam ponsel itu ada sebuah artikel tentang kejadian 2 tahun lalu yang sengaja disimpan sejak kejadian itu terjadi.
Andra membaca artikel itu sambil mengerutkan keningnya, dia tampak kebingungan dengan artikel yang tengah dibacanya itu, kemudian dengan wajah kebingungan dia menatap Rasti meminta penjelasan.
"Gadis dalam artikel itu Sasti, Ndra. Lu inget Sasti, adek gue kan? Dia memang bunuh diri setelah sempat dirawat di rumah sakit jiwa karena depresi berat akibat perkosaan yang pernah dialaminya beberapa tahun lalu, dan mama ... mama juga akhirnya masuk rumah sakit jiwa yang sama beberapa minggu setelah kematian Sasti, dan foto gadis yang gue tunjukkin tadi adalah anak dari perempuan yang sudah bikin kami sekeluarga berantakan seperti ini. Gue pengen elu ngebantu gue buat ngebalesin sakit hati Sasti, dendam keluarga kami. Elu mau kan, Ndra?" terang Rasti panjang lebar kepada Andra.
Andra yang memang dari awal tidak mengetahui peristiwa pemerkosaan yang dialami Sasti hanya terdiam, dia merasa bimbang antar menerima permintaan untuk menolong gadis yang dicintainya itu atau menolaknya.
Rasti yang mengetahui kebimbangan Andra itu melanjutkan ceritanya, dia ceritakan bagaimana awal mula Sasti diterima sebagai sekretaris magang di KL Group hingga akhirnya Rasti mengetahui siapa penyebab utama terjadinya depresi yang dialami Sasti.
"Gue udah ceritain semua yang gue tahu tentang kejadian itu, sekarang terserah elu mau bantu gue atau nggak. Gue nggak akan minta lebih dari elu, Ndra, gue cuma minta supaya elu pisahin gadis itu dari tunangannya dan urusan berikutnya biar gue yang lanjutin sampai selesai," pungkas Rasti mengakhiri cerita dan berdiri bersiap meninggalkan Andra yang masih berpikir.
"Oke, gue bantu elu. Cuma gue minta satu hal sama elu, jangan ngelakuin hal yang bikin elu celaka. Kasihan papa elu, sekarang tinggal elu satu-satunya harapan buat bantuin dia nyembuhin mama. Elu mau kan nurut apa kata gue!" tegas Andra memberi syarat kepada Rasti.
"Gue nggak janji tapi gue usahain. Ya udah, sekarang kita pulang yuk. Makasih ya, Ndra," tukas Rasti.
Sambil bergandengan tangan mereka menuju ke mobil masing-masing dan Andra memutuskan untuk mengikuti mobil Rasti dari belakang untuk memastikan Rasti sampai di rumah dengan selamat.
Sementara itu di dalam mobilnya Rasti menyeringai membayangkan bahwa sebentar lagi rencana balas dendamnya akan berjalan lancar sesuai dengan yang dia rencanakan dan kau ... kupastikan kau dan keluargamu akan menderita lebih dari penderitaan yang kami rasakan."
***
Masa Sekarang Satu setengah jam kemudian, Arga dan Rasti sampai di rumah sakit terdekat. Tergopoh-gopoh, Arga berlari kesana kemari sambil berteriak meminta brankar untuk mengangkat tubuh istrinya yang sudah tidak berdaya itu. "Pak, tolong saya minta brankar! Keadaan istri saya sudah sangat kritis, saya mohon, Pak!" Arga berteriak histeris, tidak dipedulikannya beberapa pasang mata yang menatapnya heran. "Awas! Permisi! Minggir! Ini Pak, brankar yang Bapak minta!" seru seorang petugas keamanan tengah mendorong sebuah brankar mendekati Arga. Arga segera menyambut brankar yang diserahkan kepadanya. Bergegas dia mendorong brankar itu mendekati pintu kursi pemandu, dengan tergesa dia membuka pintu mobilnya dan mengangkat istrinya yang tengah hamil tujuh bulan itu untuk dibaringkan di atas brankar. Kemudian dia meminta tolong kepada seorang petugas medis yang kebetulan lewat untu membantu mendorong brankar yang berisikan tubuh istrinya sement
Sementara itu di dalam ruang IGD, para dokter jaga, perawat, bidan sibuk dengan urusannya masing-masing, begitu juga dengan dokter, perawat dan bidan yang menangani Rasti. "Sus, kita harus operasi sekarang karena pasien mengalami banyak kehilangan darah. Tolong kamu siapkan ruang OK dan periksa ketersediaan stok darah golongan AB sekarang! Saya akan keluar menemui keluarganya untuk meminta persetujuan," perintah dokter Indri, Sp.Og kepada semua tim yang membantunya. Gegas dokter Indri keluar mencari keluarga Rasti dan mendapati Arga yang tengah duduk sendirian berusaha mengusir rasa mual dan dingin yang dirasakannya, "Maaf, apa Bapak keluarga pasien yang bernama Rasti?" tanya dokter Indri. Dokter Indri tidak segera menjawab pertanyaan yang dilontarkan Arga karena didatangi oleh salah satu asistennya yang memberitahukan bahwa di bank darah rumah sakit saat ini hanya tersedia dua kantong golongan darah AB dari lima kantong yang mereka perlukan untuk prose
Trash! Kuku-kuku panjang itu berhasil merobek sesuatu di dalam sana dan senyum lebar, lebih tepatnya seringaian karena yang tampak di dalam mulut wanita itu adalah gigi-gigi runcing yang siap menyobek apa pun menjadi serpihan. Dengan sekali tarikan keras, tangan itu keluar dengan membawa sesuatu yang memang sudah diincarnya sedari tadi. Sesuatu itu tampak berdarah-darah dan terdapat lubang sobekan memanjang dari atas hingga ke bawah, seakan hendak membelah sesuatu itu menjadi dua bagian sama besar. "Hahaha! Akhirnya aku dapat memakan kembali makanan kesukaanku ini setelah sekian lama. Aku suka!" Tawa seram sosok itu terdengar keras dan melengking, seketika itu juga suasana di dalam ruang OK terasa semakin mencekam. Para tenaga medis yang tengah berjuang menolong Rasti serentak menghentikan pekerjaan mereka karena terkejut, beberapa di antara mereka terutama para tenaga co-assistent merasa ketakutan karena tidak pernah mengalami fenomena seperti
Jadi anak saya meninggal, dok. Innalillahi w* inna ilaihi rajiun, terima kasih untuk usaha yang sudah dokter dan tim berikan untuk anak dan istri saya. Saya sangat menghargainya, saya permisi mau ke bagian pemulasaraan jenazah dulu, dok" pamit Arga kepada dokter Indri. Dengan langkah gontai dan mata berkaca-kaca, Arga melangkahkan kakinya ke ruang pemulasaraan jenazah untuk melihat jenazah bayinya ketika tiba-tiba ponselnya berdering dan tertera tulisan PAPI, gegas di angkatnya telepon dari papinya. [Assalamualaikum, Pi.] salam Arga begitu mengangkat telepon papinya. [W*'alaikumsalam, Arga. Ga, maaf papi dan mami baru aja sampai di rumah sakit, tadi kami terjebak macet karena hujan angin ribut. Semoga istri dan anak kamu bisa tertolong, ya.] Indra, papi Arga menjelaskan alasan keterlambatan mereka kepada Arga. [Iya, nggak apa-apa, Pi. Rasti, alhamdulillah selamat, tapi anak Arga ....] Arga me
"Arga, papa dan mama minta maaf karena datang terlambat. Sebenarnya kami tadi langsung berangkat setelah menerima telepon darimu, tapi nggak tahu kenapa mobil papa tiba-tiba saja mogok dan nggak mau dinyalakan lagi mesinnya. Jadi kami terpaksa harus menunggu tukang bengkel langganan kita untuk datang mengambil mobil papa dan menelepon taksi untuk melanjutkan perjalanan ke sini," papar Roy."Ya, nggak apa-apa, Pa, Ma. Papi dan mami juga baru datang kok, karena tadi mereka kejebak hujan angin ribut dan nggak berani nerusin perjalanan karena jarak pandang terlalu dekat," jelas Arga kepada Roy."Oh, oke. Sekarang beritahu pada kami, bagaimana keadaan istri dan calon anak kalian? Mereka selamat 'kan?" Risa bertanya kepada Arga mewakili suami dan kedua besannya.Wajah Arga semakin murung. Tanpa suara, Arga menggamit tangan mamanya dan meminta mereka semua untuk mengikuti dirinya menuju ke ruang pemulasaraan jenazah.Wajah ke empat orang tuanya terlihat tak meng
Sementara itu di kediaman Indra, papa Arga, para tetangga mulai berdatangan untuk membantu proses pemakaman anak Arga. Beberapa ibu, membantu memasak dan menyiapkan air minum serta camilan untuk para pelayat dan keluarga beserta beberapa penggali makam. Sementara itu para bapak bersiap untuk menyalatkan jenazah dan menyiapkan keranda untuk membawa jenazah ke makam, di masjid wakaf keluarga Indra Hartawan.Sekilas tidak ada yang aneh dari kegiatan itu, semua tampak wajar dan normal. Arga yang masih ingin bersama buah hatinya menolak memasukkan jenazah bayinya ke dalam keranda, dia ingin menggendong jenazah anaknya selama perjalanan hingga ke liang lahat."Bisa nggak, Pak kalau saya gendong anak saya saja mulai dari sini hingga ke makam. Ya, itung-itung gendongan pertama dan terakhir saya untuk dia, Pak," pinta Arga kepada beberapa tetangganya yang ikut mengurusi jenazah."Silahkan, Nak Arga. Nanti kalau Nak Arga sudah siap, kita langsung berangkat ya. Kasian kala
"Iya! Itu dia! Yang saya lihat mungkin sama persis dengan yang bapak lihat sekarang. Gedebog pisang!" tandas Pak Johan.Pak Candra mengangguk-angguk dengan wajah pucat pasi, dia masih tidak mengerti bagaimana mungkin jenazah bisa tiba-tiba saja berubah menjadi gedebog pisang atau memang dari awal mereka semua telah tertipu tanpa mereka sadari.Pak Candra dan Pak Johan saling menatap satu sama lain, mereka betul-betul tidak memahami kejadian yang menurut mereka sangat tidak masuk akal tersebut, perlahan tapi pasti bulu kuduk mereka meremang dan tubuh mereka bergidik perlahan.Suasana pun menjadi mencekam walau pun saat itu matahari masih bersinar, aroma amis pun samar-samar merasuk ke dalam rongga hidung mereka masing-masing.Pak RT yang kebetulan lewat, hendak mengambil air wudhu untuk mengerjakan salat fardhu kifayah dan kebetulan melihat ke dalam pun keheranan dengan tingkah Pak Johan dan Pak Candra yang di nilainya berbeda dengan biasanya."Assa
Mereka bertiga berdiskusi bagaimana sebaiknya, karena sangat tidak mungkin menyampaikan hal ini kepada keluarga besar Arga yang sedang berkabung saat ini. Akhirnya mereka memutuskan untuk mendatangi Ustadz Hasyim, ustadz yang merangkap sebagai salah satu imam di masjid di itu. Setibanya di kediaman ustadz, mereka menceritakan kejadian yang menimpa anak Arga. Tidak lupa mereka menceritakan juga perihal aroma amis darah yang mereka cium sewaktu akan mendatangi almarhum bayi Arga. "Baik, saya sudah paham dan mengerti dengan cerita bapak-bapak. Jadi sekarang saya kembalikan lagi, saat ini terserah bapak bertiga ini mau pulang atau terus mengantar hingga pemakaman," tawar Ustadz Hasyim kepada ketiga tamunya. Ketiga bapak-bapak itu saling tatap satu sama lain, tidak ada yang berani menjawab pertanyaan Ustadz Hasyim. Mereka tidak tahu harus bersikap bagaimana, sebab mereka adalah tetangga Indra paling dekat tetapi di lain
Lorong itu bergetar, seolah merespons kehadiran mereka. Suara bisikan yang sebelumnya berlapis kini berubah menjadi jeritan melengking, memaksa mereka menutup telinga.Arga merapatkan genggamannya pada Rasti yang masih berdiri di ambang batas garam hitam. Kania bergerak ke samping, tubuhnya menegang, matanya tak lepas dari sosok yang kini menguasai tubuh Rasti.Darma menarik napas dalam, lalu menekan batu hitam di telapak tangannya. "Siapa sebenarnya kau?"Rasti, atau entitas di dalamnya, menundukkan kepala, lalu tertawa pelan. "Aku adalah penjaga. Aku adalah yang mereka panggil dengan berbagai nama. Tapi bagimu... aku adalah akhir."Tiba-tiba, tubuh Rasti mencelat ke depan, hampir menembus garis garam. Arga mundur dengan reflek, matanya melebar saat melihat bagaimana wajah Rasti berubah sesaat—matanya berputar putih, bibirnya merekah hingga menampilkan senyuman yang terlalu lebar untuk ukuran manusia.Lilian menjerit, tangannya mencengkeram erat lengan Darma. "Kita harus lakukan sesu
Keheningan di dalam ruangan kecil itu hanya bertahan sesaat sebelum suara napas mereka yang tersengal memenuhi udara. Lampu minyak di tengah ruangan berkedip pelan, menciptakan bayangan goyah di dinding yang seolah bergerak sendiri.Arga menatap Rasti yang masih terkulai di pelukannya. Dingin tubuhnya tak kunjung membaik. Ia menyentuh wajah Rasti, merasa ngeri melihat betapa pucatnya gadis itu.“Apa dia akan baik-baik saja?” tanya Lilian pelan.Darma mendekat, mengamati Rasti dengan sorot mata tajam. “Dia masih bernapas. Tapi… sesuatu telah mencengkeramnya.”Kania menegakkan tubuhnya, kedua tangannya mengepal. “Maksudmu makhluk itu?”Darma mengangguk, lalu menatap ke arah pintu yang baru saja ia tutup rapat. “Itu bukan roh biasa. Ia sesuatu yang lebih tua… dan lebih kuat.”Arga menghela napas berat, mencoba menenangkan dirinya. “Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan? Kita tidak bisa terus bersembunyi di sini.”Darma mengeluarkan sebuah kantong kain dari balik jasnya, membukanya, l
Hujan masih mengguyur deras ketika mereka berlari menembus lorong rumah sakit yang gelap. Arga menggendong Rasti erat dalam pelukannya, sementara Lilian dan Kania bergegas mengikuti di belakang. Darma melangkah cepat di depan mereka, seolah mengetahui setiap sudut tempat ini dengan baik."Ke mana kita pergi?" Arga bertanya, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh petir di luar.Darma tidak menjawab. Dia hanya terus melangkah dengan tegas, membawa mereka melewati pintu darurat menuju tangga darurat yang remang-remang. Begitu mereka sampai di lantai bawah, Darma berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum menatap mereka satu per satu."Kita tidak bisa bertahan lama di sini," katanya pelan. "Makhluk itu belum menunjukkan wujud aslinya. Jika kita tidak segera pergi, kita tidak akan punya kesempatan kedua."Kania menggigit bibirnya. "Apa yang sebenarnya kau tahu tentang semua ini?"
Langkah-langkah berat menggema di lorong rumah sakit yang sunyi. Arga menatap lurus ke depan, napasnya masih tersengal setelah berlari menembus hujan deras.Di ujung koridor, Rasti terbaring lemah, wajahnya pucat, bibirnya membiru. Kilatan petir dari jendela membingkai tubuhnya yang nyaris tak bergerak, seakan membekukan waktu.Darah masih menodai ujung jari Arga. Bukan darahnya, tapi darah yang hampir merenggut nyawa Rasti. Ia menggenggam erat jemari istrinya, merasakan denyut nadi yang lemah namun tetap bertahan."Aku tidak akan membiarkanmu pergi," bisik Arga, suaranya serak.Lilian berdiri di sudut ruangan, matanya berkaca-kaca. Di dekat pintu, dalam diam sosok Kania menyaksikan pemandangan itu dengan tatapan kosong.Dendam yang ia pupuk bertahun-tahun kini berhadapan dengan sesuatu yang lebih kuat—sebuah pengorbanan.Di luar, hujan terus mengguyur, membawa bisikan dari dunia yang tak terlihat. Sesuatu telah berubah.Malam i
Rasti terjatuh ke lantai, tubuhnya bergetar hebat. Suara tawaan Kania yang menggema di dalam kamar membuat bulu kuduknya berdiri.Lampu kamar berkelap-kelip liar, bayangan di dinding bergerak sendiri, melesat dari satu sudut ke sudut lain seperti makhluk tak kasatmata yang mengepungnya."Berhenti! BERHENTI!!" teriak Rasti sambil menutup telinganya.Namun, suara itu semakin keras, menggetarkan udara di sekitarnya.Tiba-tiba, sesuatu yang dingin menyentuh lehernya. Rasti terperanjat, napasnya tersengal. Tangannya gemetar saat mencoba menyentuh area itu—dan matanya membelalak ketakutan.Ada bekas jari hitam yang mencekik kulitnya.Lalu, dari cermin yang retak, sesuatu mulai keluar.Sebuah tangan—pucat, kurus, dengan kuku panjang yang menghitam—merangkak keluar dari permukaan kaca yang kini tampak seperti genangan air berwarna pekat.Rasti berusaha bangkit, tetapi tubuhnya terasa lumpuh.Dari balik cermin, sesosok wanita muncul. Rambutnya panjang berantakan, gaun putihnya kotor dengan noda
Lampu di kamar hotel terus berkedip-kedip, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding. Suhu ruangan mendadak turun drastis, seolah udara tersedot oleh kekuatan yang tak kasat mata.Arga berdiri membeku di ambang pintu, jantungnya berdetak kencang seperti genderang perang. Dino di sampingnya, menelan ludah, tangan meraba-raba pinggangnya, mencari pistol yang selalu dibawanya untuk jaga-jaga.Di tengah kamar, Rasti berdiri dengan tubuh kaku. Mata hitam pekatnya menatap Arga tanpa berkedip, bibirnya bergerak pelan, menggumam sesuatu yang tidak bisa dimengerti.Sementara itu, pria paruh baya di belakangnya menyeringai, wajahnya samar tertutup bayangan yang seolah bergerak sendiri."Siapa kau? Apa yang kau lakukan pada istriku?!" suara Arga bergetar, tetapi ada kemarahan yang tertahan di dalamnya.Pria itu melangkah mendekat. Setiap langkah yang diambilnya terasa berat, seperti ada kekuatan yang menarik lantai di bawahnya."Aku?" Pria itu tertawa pelan. "Aku hanyalah perantara...
Malam semakin larut. Angin dingin berdesir di balik jendela kamar Arga. Dia duduk di tepi ranjang dengan ponsel di tangan, menatap layar yang menampilkan pesan dari Dino.[Pak Arga, saya sudah mulai mengikuti Bu Rasti sejak tadi sore. Ada sesuatu yang aneh. Dia tidak langsung pulang ke rumah setelah dari salon. Dia justru menuju sebuah kafe di daerah Menteng dan bertemu seorang pria. Saya akan coba mendekat dan mengambil gambar.]Arga menggertakkan giginya. Tangannya mengepal kuat. "Jadi benar, Rasti... Apa yang kamu lakukan di belakangku?"Dia menarik napas panjang. Belum sempat membalas pesan Dino, tiba-tiba listrik di rumahnya berkedip-kedip. Televisi yang menyala mendadak mati sendiri. Suasana berubah senyap. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar.Arga merasakan bulu kuduknya meremang. Dadanya mulai sesak oleh firasat buruk. Dia melirik sekeliling kamar, mencari sesuatu yang terasa ganjil.Tok! Tok! Tok!Tiga ketukan pelan terdengar dari jendela kamarnya. Padahal, kamar Arg
[Iya, Pak. Saya mau kali ini bapak awasi Rasti, menantu saya. Saya curiga dia melakukan hal yang tidak baik di belakang Arga, anak laki-laki saya yang juga adalah suaminya.]Perintah Risa kepada Dino, detektif swasta berusia tiga puluh lima tahun.[Baik, Bu. Saya akan kerjakan tugas dari Bu Hartawan, untuk bukti-buktinya akan saya kirim langsung ke pesan singkat di aplikasi hijau milik ibu.]Jawab Dino dengan nada tegas dan yakin.[Oke, saya tunggu hasilnya. Uang mukanya sebanyak lima puluh persen sudah saya kirim langsung ke nomor rekening Pak Dino, sisanya akan saya transfer setelah semua beres.]Tulis Risa dalam pesan singkatnya, dan mengakhiri pesannya kepada Dino.[Baik, Bu. Terima kasih.]Tutup Dino, kemudian membuka sebuah pesan singkat lainnya yang berisi sebuah pemberitahuan dari m-banking bahwa isi rekeningnya telah bertambah lima belas juta rupiah.Usai mengirim pesan singkat kepada Dino, Risa Hartawan membuka galeri fotonya, di sana terpampang foto Rasti, menantunya yang se
Laki-laki di seberang gagang telepon itu terus tertawa, masih dengan tawanya yang mengejek, dia menunjukkan bahwa dirinya telah berhasil melakukan transfer melalui m-banking ke nomor rekening Rasti yang dia peroleh dari salah satu temannya yang pernah memakai jasa Rasti.[Seratus juta, tidak kurang. Malam ini, aku tunggu kedatanganmu di Hotel Permana Buana, lantai empat, kamar lima kosong satu. Awas kalau kau tidak datang!]Tandas laki-laki berwajah tampan itu, lalu menyebutkan nama sebuah hotel dan kamar di mana Rasti harus mendatanginya malam ini.[Aku pasti akan datang, dan aku jamin kau tidak akan merasa kehilangan uang yang telah kau bayarkan, karena aku pasti akan memberikan kepuasan kepadamu.]Ucap Rasti memberikan sebuah janji pada laki-laki yang mengaku bernama Henry itu.[Oke, ku tunggu kau jam tujuh malam ini ya, Beb. Jangan kecewakan aku.]Ucap lelaki itu sebelum memutuskan untuk mengakhiri sambungan panggilan videonya dengan Ras