Senyum Rasti mengembang seketika, saat sesosok pemuda itu mendatangi dan mencium kedua belah pipinya bergantian. Pemuda tampan dengan tinggi 189 itu adalah Andra, sahabat Rasti dari kecil.
Rasti merasa sangat antusias dengan kehadiran Andra, karena hanya Andra yang bisa membuatnya melupakan lukanya di masa lalu. Setiap kali rasa marah itu datang, seketika itu juga hilang saat lelaki itu datang dan berada di sisinya.
"Hai, Putri Tidur apa kabar lu? Udah lama banget kita nggak ketemu. Gue kangen banget tahu sama elu, elu itu kemana aja sih? Emak gue nanyain elu tuh, katanya mana calon mantu emak kok udah lama nggak pernah main ke sini lagi? Sampai-sampai emak gue ngira gue marahan sama elu. Padahal mah boro-boro marahan, ketemu juga nggak. Ya kan," cerocos pemuda tampan berhidung bangir itu.
Rasti yang mendengar cerocosan sahabat kecilnya itu hanya tersenyum geli dan memeluk Andra erat.
"Ndra, gue juga kangen banget sama elu, ibu, adik-adik elu, pokoknya semua deh. Gue nggak kemana-mana cuma memang setelah peristiwa yang bikin mama dan adik gue depresi itu, gue dan papa memilih pindah dari rumah lama kami dan sekarang setelah 2 tahun berlalu, gue mutusin buat ngebales dendam adik dan mama gue, Ndra," urai Rasti masih dengan posisi masih memeluk Andra.
"Ras, gue sayang elu, peduli sama elu. Gue nggak pengen elu nantinya terlilit dalam lingkaran dendam itu, Ras. Dendam itu nggak ada artinya, jadi gue minta sama elu urungin niat lu." Andra berusaha membujuk Rasti supaya mau membatalkan keinginan untuk balas dendam.
Mendengar perkataan Andra, Rasti hanya terdiam hingga akhirnya dia menggelengkan kepalanya sebagai tanda dia menolak permintaan Andra untuk tidak membalas dendam.
Andra yang merasa kasihan kepada gadis yang diam-diam dicintainya itu
hanya bisa memeluk dalam diam, dia memeluk Rasti dengan sangat lembut dan erat seakan ingin mengatakan bahwa dia tidak akan mengijinkan gadisnya itu disakiti oleh apa pun."Gue janji, bakalan ngelindungin elu sekuat tenaga gue meskipun harus kehilangan nyawa gue demi elu, gue rela karena sayang gue bukan kaleng-kaleng," bisik Andra di telinga gadis berkulit kuning langsat itu.
Rasti yang merasakan kehangatan dan ketulusan pelukan Andra semakin menyurukkan kepalanya di dada bidang pemuda beralis tebal itu dan aroma mint yang terhirup terasa sangat menenangkan.
Perlahan tetapi pasti Rasti menangis merasakan lelah yang luar biasa dalam jiwanya, ingin rasanya Rasti melepaskan semua beban yang selama ini menghimpit tetapi begitu ingatannya kembali kepada mama dan Sasti dengan secepat kilat dia menutup hatinya, mengenyahkan kata maaf dan rasa penyesalan, rahangnya mengeras dan tangannya pun ikut mengepal kuat.
'Menangislah, keluarin semua beban elu. Gue ada di sini buat elu, cuma buat elu.' Andra membatin dalam hati.
Setelah kurang lebih setengah jam Rasti menangis hingga matanya sembab, akhirnya Rasti bisa benar-benar tenang. Dia pun melepaskan pelukan Andra dan mengusap air matanya, kemudian dia mengajak Andra pergi dari Pub menuju sebuah tempat makan.
"Ndra, kita makan dulu yuk di luar, gue lapar," ajak Rasti kepada Andra.
"Lu bisa laper juga, Ras? Kirain nggak pernah tahu gimana rasa laper lu, Ras" goda Andra.
Namun demi melihat mata Rasti yang sembab itu melotot ke arahnya Andra pun segera mengajak Rasti ke tempat makan kesukaan mereka sewaktu masih duduk di bangku SMA dulu.
Rasti yang tidak mengira akan diajak Andra ke tempat itu sempat terdiam sejenak, dia ingat dulu umereka sering duduk di tempat itu sepulang sekolah meski pun hanya sekedar minum es.
"Ndra, ini tempat favorit kita waktu SMA dulu kan? Tempat kita sering mampir tiap pulang sekolah dulu," tanya Rasti setengah tidak percaya.
"Yups, bener. Ternyata lu masih ingat sama tempat ini ya, gue kira lu udah lupa karena udah nggak pernah jalan bareng sama gue lagi," ujar Andra senang karena ternyata Rasti tidak melupakannya.
"Iyalah gue ingat, Ndra secara dulu kita hampir tiap pulang sekolah duduk di sini, makan atau cuma minum es berdua. Kenangan yang indah, apalagi saat itu adik sama mama masih ada dan sehat," kenang Rasti.
Melihat Rasti yang mulai bersedih, Andra segera memeluk dan mengajak Rasti masuk ke dalam kemudian memesankan es teler dan bakso super ndower level 15 kesukaan Rasti, sementara untuk dirinya sendiri Andra lebih memilih menu mie ayam favoritnya.
Rasti tercengang melihat bagaimana Andra masih ingat segala tentang dirinya hingga ke makanan dan minuman favoritnya.
Perubahan wajah Rasti ternyata sanggup membuat Andra tertawa terbahak-bahak, dia bisa menebak kalau Rasti pasti sangat kebingungan melihatnya masih mengingat semua tentang Rasti.
"Udah nggak usah bengong gitu. Makanlah itu bakso dan es kesukaanmu itu, nanti keburu dingin nggak enak. Gue juga mau makan, cacing di perut gue udah meronta-ronta dari tadi," celetuk Andra mengagetkan Rasti.
"Eh i ... iya, gue makan ya. Makasih banyak ya, Ndra," ucap Rasti sedikit tergagap.
Andra yang sudah sangat kelaparan hanya menjawab dengan anggukan kepalanya saja sambil terus menyuap makanan ke dalam mulutnya dan kembali memesan semangkuk mie ayam ketika mangkuk mie ayam di hadapannya sudah habis tidak bersisa.
Rasti yang melihat Andra begitu lahap memakan habis pesanannya hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya sambil sesekali memberikan minum atau tisu kepada Andra yang sesekali tampak kepedasan.
Setelah selesai makan, Andra dan Rasti memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kota, walau pun sudah larut malam tetapi taman kota itu tidak pernah sepi pengunjung apalagi seperti sabtu malam ini.
"Ras, gue seneng lihat lu udah bisa ketawa lagi. Lu jangan nangis lagi ya, jujur gue ikut sakit kalau elu sedih sampai nangis kaya gitu tadi. Kalau elu ada masalah, telepon aja gue. InsyaaAllah gue usahain ada di sisi elu," ucap Andra meyakinkan Rasti.
"Hmm, sebenernya gue ada sih yang bisa elu lakuin buat gue, Ndra tapi itu juga kalau elu mau nolongin gue sih," pinta Rasti kepada sahabatnya itu.
Andra hanya mengangguk dan membiarkan Rasti melanjutkan perkataannya, Andra ingin tahu apa yang akan Rasti minta darinya.
"Gue pengen elu deketin perempuan ini, Ndra. Bikin dia tertarik sama elu dan mau melepaskan tunangannya. Setelah itu terserah, mau elu apain dia gue nggak perduli," suruh Rasti sambil mengangsurkan selembar foto seorang gadis cantik berambut ikal, berkulit putih bersih.
"Memang dia siapa, Ras? Kenapa elu pengen dia ninggalin tunangannya? Sepertinya elu pengen dia menderita, ada apa di antara kalian? Bisa nggak elu jelasin ke gue." Dengan rasa ingin tahu, Andra bertanya perihal permintaan Rasti yang dirasanya aneh.
Rasti yang sudah menduga bahwa Andra pasti akan menanyakan hal itu kepadanya, hanya menyerahkan ponselnya. Di dalam ponsel itu ada sebuah artikel tentang kejadian 2 tahun lalu yang sengaja disimpan sejak kejadian itu terjadi.
Andra membaca artikel itu sambil mengerutkan keningnya, dia tampak kebingungan dengan artikel yang tengah dibacanya itu, kemudian dengan wajah kebingungan dia menatap Rasti meminta penjelasan.
"Gadis dalam artikel itu Sasti, Ndra. Lu inget Sasti, adek gue kan? Dia memang bunuh diri setelah sempat dirawat di rumah sakit jiwa karena depresi berat akibat perkosaan yang pernah dialaminya beberapa tahun lalu, dan mama ... mama juga akhirnya masuk rumah sakit jiwa yang sama beberapa minggu setelah kematian Sasti, dan foto gadis yang gue tunjukkin tadi adalah anak dari perempuan yang sudah bikin kami sekeluarga berantakan seperti ini. Gue pengen elu ngebantu gue buat ngebalesin sakit hati Sasti, dendam keluarga kami. Elu mau kan, Ndra?" terang Rasti panjang lebar kepada Andra.
Andra yang memang dari awal tidak mengetahui peristiwa pemerkosaan yang dialami Sasti hanya terdiam, dia merasa bimbang antar menerima permintaan untuk menolong gadis yang dicintainya itu atau menolaknya.
Rasti yang mengetahui kebimbangan Andra itu melanjutkan ceritanya, dia ceritakan bagaimana awal mula Sasti diterima sebagai sekretaris magang di KL Group hingga akhirnya Rasti mengetahui siapa penyebab utama terjadinya depresi yang dialami Sasti.
"Gue udah ceritain semua yang gue tahu tentang kejadian itu, sekarang terserah elu mau bantu gue atau nggak. Gue nggak akan minta lebih dari elu, Ndra, gue cuma minta supaya elu pisahin gadis itu dari tunangannya dan urusan berikutnya biar gue yang lanjutin sampai selesai," pungkas Rasti mengakhiri cerita dan berdiri bersiap meninggalkan Andra yang masih berpikir.
"Oke, gue bantu elu. Cuma gue minta satu hal sama elu, jangan ngelakuin hal yang bikin elu celaka. Kasihan papa elu, sekarang tinggal elu satu-satunya harapan buat bantuin dia nyembuhin mama. Elu mau kan nurut apa kata gue!" tegas Andra memberi syarat kepada Rasti.
"Gue nggak janji tapi gue usahain. Ya udah, sekarang kita pulang yuk. Makasih ya, Ndra," tukas Rasti.
Sambil bergandengan tangan mereka menuju ke mobil masing-masing dan Andra memutuskan untuk mengikuti mobil Rasti dari belakang untuk memastikan Rasti sampai di rumah dengan selamat.
Sementara itu di dalam mobilnya Rasti menyeringai membayangkan bahwa sebentar lagi rencana balas dendamnya akan berjalan lancar sesuai dengan yang dia rencanakan dan kau ... kupastikan kau dan keluargamu akan menderita lebih dari penderitaan yang kami rasakan."
***
Masa Sekarang Satu setengah jam kemudian, Arga dan Rasti sampai di rumah sakit terdekat. Tergopoh-gopoh, Arga berlari kesana kemari sambil berteriak meminta brankar untuk mengangkat tubuh istrinya yang sudah tidak berdaya itu. "Pak, tolong saya minta brankar! Keadaan istri saya sudah sangat kritis, saya mohon, Pak!" Arga berteriak histeris, tidak dipedulikannya beberapa pasang mata yang menatapnya heran. "Awas! Permisi! Minggir! Ini Pak, brankar yang Bapak minta!" seru seorang petugas keamanan tengah mendorong sebuah brankar mendekati Arga. Arga segera menyambut brankar yang diserahkan kepadanya. Bergegas dia mendorong brankar itu mendekati pintu kursi pemandu, dengan tergesa dia membuka pintu mobilnya dan mengangkat istrinya yang tengah hamil tujuh bulan itu untuk dibaringkan di atas brankar. Kemudian dia meminta tolong kepada seorang petugas medis yang kebetulan lewat untu membantu mendorong brankar yang berisikan tubuh istrinya sement
Sementara itu di dalam ruang IGD, para dokter jaga, perawat, bidan sibuk dengan urusannya masing-masing, begitu juga dengan dokter, perawat dan bidan yang menangani Rasti. "Sus, kita harus operasi sekarang karena pasien mengalami banyak kehilangan darah. Tolong kamu siapkan ruang OK dan periksa ketersediaan stok darah golongan AB sekarang! Saya akan keluar menemui keluarganya untuk meminta persetujuan," perintah dokter Indri, Sp.Og kepada semua tim yang membantunya. Gegas dokter Indri keluar mencari keluarga Rasti dan mendapati Arga yang tengah duduk sendirian berusaha mengusir rasa mual dan dingin yang dirasakannya, "Maaf, apa Bapak keluarga pasien yang bernama Rasti?" tanya dokter Indri. Dokter Indri tidak segera menjawab pertanyaan yang dilontarkan Arga karena didatangi oleh salah satu asistennya yang memberitahukan bahwa di bank darah rumah sakit saat ini hanya tersedia dua kantong golongan darah AB dari lima kantong yang mereka perlukan untuk prose
Trash! Kuku-kuku panjang itu berhasil merobek sesuatu di dalam sana dan senyum lebar, lebih tepatnya seringaian karena yang tampak di dalam mulut wanita itu adalah gigi-gigi runcing yang siap menyobek apa pun menjadi serpihan. Dengan sekali tarikan keras, tangan itu keluar dengan membawa sesuatu yang memang sudah diincarnya sedari tadi. Sesuatu itu tampak berdarah-darah dan terdapat lubang sobekan memanjang dari atas hingga ke bawah, seakan hendak membelah sesuatu itu menjadi dua bagian sama besar. "Hahaha! Akhirnya aku dapat memakan kembali makanan kesukaanku ini setelah sekian lama. Aku suka!" Tawa seram sosok itu terdengar keras dan melengking, seketika itu juga suasana di dalam ruang OK terasa semakin mencekam. Para tenaga medis yang tengah berjuang menolong Rasti serentak menghentikan pekerjaan mereka karena terkejut, beberapa di antara mereka terutama para tenaga co-assistent merasa ketakutan karena tidak pernah mengalami fenomena seperti
Jadi anak saya meninggal, dok. Innalillahi w* inna ilaihi rajiun, terima kasih untuk usaha yang sudah dokter dan tim berikan untuk anak dan istri saya. Saya sangat menghargainya, saya permisi mau ke bagian pemulasaraan jenazah dulu, dok" pamit Arga kepada dokter Indri. Dengan langkah gontai dan mata berkaca-kaca, Arga melangkahkan kakinya ke ruang pemulasaraan jenazah untuk melihat jenazah bayinya ketika tiba-tiba ponselnya berdering dan tertera tulisan PAPI, gegas di angkatnya telepon dari papinya. [Assalamualaikum, Pi.] salam Arga begitu mengangkat telepon papinya. [W*'alaikumsalam, Arga. Ga, maaf papi dan mami baru aja sampai di rumah sakit, tadi kami terjebak macet karena hujan angin ribut. Semoga istri dan anak kamu bisa tertolong, ya.] Indra, papi Arga menjelaskan alasan keterlambatan mereka kepada Arga. [Iya, nggak apa-apa, Pi. Rasti, alhamdulillah selamat, tapi anak Arga ....] Arga me
"Arga, papa dan mama minta maaf karena datang terlambat. Sebenarnya kami tadi langsung berangkat setelah menerima telepon darimu, tapi nggak tahu kenapa mobil papa tiba-tiba saja mogok dan nggak mau dinyalakan lagi mesinnya. Jadi kami terpaksa harus menunggu tukang bengkel langganan kita untuk datang mengambil mobil papa dan menelepon taksi untuk melanjutkan perjalanan ke sini," papar Roy."Ya, nggak apa-apa, Pa, Ma. Papi dan mami juga baru datang kok, karena tadi mereka kejebak hujan angin ribut dan nggak berani nerusin perjalanan karena jarak pandang terlalu dekat," jelas Arga kepada Roy."Oh, oke. Sekarang beritahu pada kami, bagaimana keadaan istri dan calon anak kalian? Mereka selamat 'kan?" Risa bertanya kepada Arga mewakili suami dan kedua besannya.Wajah Arga semakin murung. Tanpa suara, Arga menggamit tangan mamanya dan meminta mereka semua untuk mengikuti dirinya menuju ke ruang pemulasaraan jenazah.Wajah ke empat orang tuanya terlihat tak meng
Sementara itu di kediaman Indra, papa Arga, para tetangga mulai berdatangan untuk membantu proses pemakaman anak Arga. Beberapa ibu, membantu memasak dan menyiapkan air minum serta camilan untuk para pelayat dan keluarga beserta beberapa penggali makam. Sementara itu para bapak bersiap untuk menyalatkan jenazah dan menyiapkan keranda untuk membawa jenazah ke makam, di masjid wakaf keluarga Indra Hartawan.Sekilas tidak ada yang aneh dari kegiatan itu, semua tampak wajar dan normal. Arga yang masih ingin bersama buah hatinya menolak memasukkan jenazah bayinya ke dalam keranda, dia ingin menggendong jenazah anaknya selama perjalanan hingga ke liang lahat."Bisa nggak, Pak kalau saya gendong anak saya saja mulai dari sini hingga ke makam. Ya, itung-itung gendongan pertama dan terakhir saya untuk dia, Pak," pinta Arga kepada beberapa tetangganya yang ikut mengurusi jenazah."Silahkan, Nak Arga. Nanti kalau Nak Arga sudah siap, kita langsung berangkat ya. Kasian kala
"Iya! Itu dia! Yang saya lihat mungkin sama persis dengan yang bapak lihat sekarang. Gedebog pisang!" tandas Pak Johan.Pak Candra mengangguk-angguk dengan wajah pucat pasi, dia masih tidak mengerti bagaimana mungkin jenazah bisa tiba-tiba saja berubah menjadi gedebog pisang atau memang dari awal mereka semua telah tertipu tanpa mereka sadari.Pak Candra dan Pak Johan saling menatap satu sama lain, mereka betul-betul tidak memahami kejadian yang menurut mereka sangat tidak masuk akal tersebut, perlahan tapi pasti bulu kuduk mereka meremang dan tubuh mereka bergidik perlahan.Suasana pun menjadi mencekam walau pun saat itu matahari masih bersinar, aroma amis pun samar-samar merasuk ke dalam rongga hidung mereka masing-masing.Pak RT yang kebetulan lewat, hendak mengambil air wudhu untuk mengerjakan salat fardhu kifayah dan kebetulan melihat ke dalam pun keheranan dengan tingkah Pak Johan dan Pak Candra yang di nilainya berbeda dengan biasanya."Assa
Mereka bertiga berdiskusi bagaimana sebaiknya, karena sangat tidak mungkin menyampaikan hal ini kepada keluarga besar Arga yang sedang berkabung saat ini. Akhirnya mereka memutuskan untuk mendatangi Ustadz Hasyim, ustadz yang merangkap sebagai salah satu imam di masjid di itu. Setibanya di kediaman ustadz, mereka menceritakan kejadian yang menimpa anak Arga. Tidak lupa mereka menceritakan juga perihal aroma amis darah yang mereka cium sewaktu akan mendatangi almarhum bayi Arga. "Baik, saya sudah paham dan mengerti dengan cerita bapak-bapak. Jadi sekarang saya kembalikan lagi, saat ini terserah bapak bertiga ini mau pulang atau terus mengantar hingga pemakaman," tawar Ustadz Hasyim kepada ketiga tamunya. Ketiga bapak-bapak itu saling tatap satu sama lain, tidak ada yang berani menjawab pertanyaan Ustadz Hasyim. Mereka tidak tahu harus bersikap bagaimana, sebab mereka adalah tetangga Indra paling dekat tetapi di lain
“Lalu dia apa?” Arga menatap curiga. “Dia adalah Wangsa Jagal,” jawab Barda. “Makhluk yang lahir dari rasa dendam, kemarahan, dan rasa kehilangan yang mendalam."Arga menelan ludah. “Jadi... makhluk itu muncul karena…?”“Karena jiwa Rasti yang belum tenang,” Barda menatap mereka penuh makna. “Dan jika kalian tidak cepat bertindak… arwah Rasti yang asli akan terseret… menjadi bagian dari kegelapan itu.”Di balik bayang-bayang malam, sosok menyerupai Rasti berjongkok di tanah, mencakar-cakar bumi dengan jari-jarinya yang kurus dan hitam. “Aku akan kembali…” suaranya bergetar, penuh kebencian. “Aku akan membuat mereka merasakan rasa sakit yang sama…” Sosok itu menengadah, matanya bersinar merah membara. “Aku akan membuat mereka membayar… dengan nyawa mereka."Malam kembali turun, menyelimuti desa dengan keheningan yang mencekam. Kania dan Arga duduk di beranda rumah Barda, menunggu sang paranormal menyelesaikan persiapannya. Cahaya lampu minyak berkelip samar, menambah kesan mura
Sosok yang menyerupai Rasti melesat ke arah mereka dengan kecepatan yang tidak wajar. Nafas Rahayu terhenti, tubuhnya menegang dalam pelukan Roy. “Minggir!” bentak Kania. Dengan cepat, Kania mendorong Roy dan Rahayu ke samping. Bayangan mengerikan itu melesat melewati mereka, nyaris mencengkeram bahu Rahayu. Namun Kania lebih sigap. Dengan sejumput garam yang selama ini ia simpan di sakunya, ia menebarkannya ke arah bayangan itu. SRAAKK!Sosok yang menyerupai Rasti berteriak nyaring. Tubuhnya mengerut, kulit pucatnya mengelupas, memperlihatkan lapisan hitam berlendir di bawahnya. Matanya, yang tadinya bersinar merah, kini mendidih seperti darah mendidih. “Kau akan membayar ini…” desisnya sebelum menghilang dalam kabut kelam yang menyesakkan. Suasana mendadak senyap. Hanya suara napas Rahayu yang terdengar, tersengal-sengal seperti orang yang baru keluar dari mimpi buruk. Roy membantu Rahayu duduk di sofa. Tubuh istrinya gemetar hebat. “Sayang… tenang… tenang…” Roy
Malam semakin larut, tetapi tidak ada seorang pun yang benar-benar bisa tidur. Rahayu masih duduk di sofa, sesekali menggigil meskipun Roy sudah menyelimutinya. Tatapannya kosong, pikirannya penuh dengan suara yang tadi ia dengar—suara yang seharusnya tidak mungkin ada. Roy sendiri berusaha menenangkan dirinya. Sebagai seorang pria yang selalu berpikir logis, semua ini sulit ia terima. Tetapi ia tidak bisa menyangkal kenyataan. Mereka melihat sesuatu. Mereka mendengar sesuatu. Dan sekarang… mereka tidak tahu apakah itu akan kembali atau tidak. Di sudut ruangan, Kania berdiri sambil menatap langit malam di luar jendela. Ia tidak mengatakan apa-apa, tetapi ia bisa merasakan sesuatu di luar sana. Sesuatu yang belum pergi. Arga, yang sejak tadi diam, akhirnya bangkit dari duduknya. “Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Roy mengerutkan kening. “Maksudmu?” Arga menatap mereka semua. “Apa yang kita hadapi ini bukan sekadar arwah penasaran. Kalau memang Rasti masih
Keheningan yang mencekam menggantung di udara.Ruangan yang tadinya dipenuhi bisikan dan suara tawa menyeramkan kini terasa sunyi. Namun, hawa dingin yang menyelimuti mereka belum sepenuhnya pergi.Arga masih terduduk di lantai, merasakan sisa-sisa nyeri akibat hantaman keras tadi. Napasnya masih berat, pikirannya kacau. Ia mengalihkan pandangannya ke Kania, yang masih berdiri tegap dengan belati di tangannya.Kania tetap waspada, matanya mengitari ruangan, seakan mencari tanda-tanda keberadaan sosok tadi.Rahayu masih terisak di sudut ruangan, sementara Roy berdiri kaku di sampingnya. Wajahnya pucat, tangannya bergetar.Ia tidak pernah percaya pada hal-hal seperti ini sebelumnya. Tapi kini?**Ia baru saja melihat putrinya yang telah mati… atau sesuatu yang menyerupainya.**
Cahaya lilin kembali berkedip-kedip, menciptakan bayangan menari di dinding yang seakan hidup. Sosok itu masih berdiri di sana—diam, tetapi keberadaannya memenuhi ruangan dengan hawa dingin yang menyesakkan. Rahayu semakin erat mencengkeram lengan Roy, tubuhnya gemetar. “T-tidak… Ini tidak mungkin…” suaranya nyaris tak terdengar. Roy menelan ludah, otot-ototnya menegang. Ia ingin melindungi istrinya, tetapi tubuhnya terasa berat, seakan sesuatu menahannya. Arga masih terpaku di tempatnya. Matanya tidak bisa lepas dari sosok itu. Wujud itu memang terlihat seperti Rasti… tapi ada sesuatu yang sangat salah. Wajah itu. Saat masih hidup, Rasti memiliki tatapan tajam penuh emosi. Tapi yang berdiri di hadapan mereka sekarang hanya memiliki mata kosong, merah membara, seakan dipenuhi api neraka yang berpendar dalam kegelapan. "Kau pikir ini sudah berakhir, Arga?" Suara itu menggema, lebih berat, lebih dalam. Lalu… ia mulai melangkah. Bukan dengan cara manusia berjalan. Tetap
Suasana di dalam rumah duka semakin terasa berat. Waktu seolah berhenti, meninggalkan hanya isak tangis yang menggema di antara dinding.Rahayu masih terisak, wajahnya basah oleh air mata, sementara Roy tetap duduk diam, menatap lantai dengan pandangan kosong.Arga tak mengatakan apa-apa lagi. Semua yang perlu ia sampaikan sudah keluar. Namun, di dalam dirinya, perasaan bersalah tetap menyelubungi.Kania masih berdiri di sudut ruangan, diam-diam memperhatikan ekspresi Arga. Ada sesuatu dalam tatapannya—sebuah kehampaan yang begitu dalam, seolah ia telah kehilangan lebih dari sekadar istri.Namun, ketegangan belum sepenuhnya reda.Sebuah suara lirih akhirnya keluar dari mulut Rahayu.“Jika Rasti memang sudah... pergi, kenapa aku masih bisa merasakannya?”Arga menoleh,
Langit kelabu seolah berduka, menurunkan gerimis yang tipis namun dingin. Angin membawa aroma tanah basah, menyelimuti pemakaman dengan kesunyian yang berat.Sejumlah orang berpakaian hitam berdiri di sekitar pusara yang masih merah, menundukkan kepala. Payung-payung terbuka, melindungi mereka dari hujan, tapi tidak bisa melindungi hati mereka dari luka yang menganga.Kania berdiri di antara mereka, tanpa payung, membiarkan hujan membasahi wajahnya yang sudah dipenuhi air mata.Di depannya, Arga berdiri kaku, tatapannya kosong. Ia tak berkedip saat tanah perlahan menutupi peti Lilian. Di sampingnya, Darma hanya terdiam, wajahnya mengeras seperti batu, tapi tangan yang mengepal menunjukkan emosi yang ia tahan mati-matian.Kania tidak bisa menatap mereka lama-lama. Terutama Darma.Ia tahu, di mata Darma, dirinya adalah penyebab semua ini.Ketika doa terakhir selesai dibacakan, satu per satu orang mulai beranjak pergi. Beberapa menyentuh bahu Arga dengan lembut, memberi dukungan dalam di
Darah membanjiri tanah.Tubuh Kania gemetar. Nafasnya tersengal. Luka di perutnya menganga, mengalirkan cairan merah yang tak henti-hentinya.Matanya kabur, kepalanya pening.Dia seharusnya mati.Seharusnya…Tapi, di depan matanya—Darma yang kini telah berubah menjadi makhluk kegelapan tengah menatapnya dengan senyum menyeramkan.Di sampingnya, Rasti berdiri penuh kemenangan.“Kau sudah selesai, Kania,” ujar Rasti dengan nada penuh kepuasan. “Terimalah takdirmu. Tak ada lagi yang bisa menolongmu.”Kania mengatupkan giginya.Tidak.Aku belum kalah.&nb
Lorong itu menjadi saksi keheningan yang mencekik.Sisa energi dari tubuh Lilian masih berpendar di udara, bercampur dengan bayangan yang kini berputar liar, seperti haus akan korban baru. Darma masih membeku, tangannya gemetar di atas lantai yang dingin."Lilian..." Namanya meluncur dari bibirnya seperti doa yang tertunda—sebuah panggilan yang tak akan pernah dijawab lagi. Arga mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Brengsek!"Matanya menatap Rasti—atau makhluk yang kini bersemayam dalam tubuh Rasti—dengan api amarah yang menyala-nyala.Tapi sebelum Arga bisa bergerak, Kania sudah lebih dulu maju.Wajahnya berubah. Bukan lagi ketakutan. Bukan lagi keraguan.Hanya dendam.Dan sesuatu yang lebih gelap dari itu. "Aku akan menghabisimu." Suara Kania lirih, tetapi menggetarkan udara di sekitar mereka. Makhluk dalam tubuh Rasti hanya menyeringai."Oh? Apa kau benar-benar yakin, Kania? Aku sudah mengambil satu. Kau mau jadi yang berikutnya?"DUARRR!!Kania tidak menjawab dengan