"Iya! Itu dia! Yang saya lihat mungkin sama persis dengan yang bapak lihat sekarang. Gedebog pisang!" tandas Pak Johan.
Pak Candra mengangguk-angguk dengan wajah pucat pasi, dia masih tidak mengerti bagaimana mungkin jenazah bisa tiba-tiba saja berubah menjadi gedebog pisang atau memang dari awal mereka semua telah tertipu tanpa mereka sadari.
Pak Candra dan Pak Johan saling menatap satu sama lain, mereka betul-betul tidak memahami kejadian yang menurut mereka sangat tidak masuk akal tersebut, perlahan tapi pasti bulu kuduk mereka meremang dan tubuh mereka bergidik perlahan.
Suasana pun menjadi mencekam walau pun saat itu matahari masih bersinar, aroma amis pun samar-samar merasuk ke dalam rongga hidung mereka masing-masing.
Pak RT yang kebetulan lewat, hendak mengambil air wudhu untuk mengerjakan salat fardhu kifayah dan kebetulan melihat ke dalam pun keheranan dengan tingkah Pak Johan dan Pak Candra yang di nilainya berbeda dengan biasanya.
"Assa
Mereka bertiga berdiskusi bagaimana sebaiknya, karena sangat tidak mungkin menyampaikan hal ini kepada keluarga besar Arga yang sedang berkabung saat ini. Akhirnya mereka memutuskan untuk mendatangi Ustadz Hasyim, ustadz yang merangkap sebagai salah satu imam di masjid di itu. Setibanya di kediaman ustadz, mereka menceritakan kejadian yang menimpa anak Arga. Tidak lupa mereka menceritakan juga perihal aroma amis darah yang mereka cium sewaktu akan mendatangi almarhum bayi Arga. "Baik, saya sudah paham dan mengerti dengan cerita bapak-bapak. Jadi sekarang saya kembalikan lagi, saat ini terserah bapak bertiga ini mau pulang atau terus mengantar hingga pemakaman," tawar Ustadz Hasyim kepada ketiga tamunya. Ketiga bapak-bapak itu saling tatap satu sama lain, tidak ada yang berani menjawab pertanyaan Ustadz Hasyim. Mereka tidak tahu harus bersikap bagaimana, sebab mereka adalah tetangga Indra paling dekat tetapi di lain
Kania menyeringai puas, dia merasa begitu bahagia melihat penderitaan Arga dan Rasti sudah di mulai. Dia menimang boneka jerami berbalut kafan dengan foto Rasti masih menempel erat di badannya. Bibirnya tersenyum smirk, membayangkan kehancuran Rasti, sahabat yang telah tega menusuknya dari belakang.'Ini baru permulaan, Rasti sayang. Selanjutnya, penderitaanmu akan lebih berat dan menyakitkan, bahkan lebih dari rasa sakit yang pernah kau tebarkan untuk keluargaku dulu, dan di saat-saat itu aku akan tertawa melihatmu tak berdaya. Hahaha,' desis Kania geram, 'dan kau Mas Arga ... kau akan menyesali keputusanmu untuk meninggalkan aku demi memilih perempuan sundal berlidah ular itu! Akan kubuat kau mengejar-ngejarku lagi dan melupakan perempuan sialan itu!'Mata Kania beralih ke cermin besar yang ada di dalam kamarnya. Dia melihat dirinya sekarang begitu kurus dan kusam tidak seperti saat dia masih bahagia bersama Arga. Rasa sakit itu telah merubah dirinya begitu jauh, ter
Citra memahami perasaan suaminya, sejak Irvan mengetahui perihal kehancuran rumah tangga putri mereka yang akhirnya membuatnya terkena stroke, Irvan seakan tidak ada keinginan untuk hidup karena bagi Irvan putri semata wayangnya itu adalah sebuah permata rapuh yang tidak boleh dihancurkan siapa pun juga."Ayah, mau video call nggak sama Kania? Ibu sambungkan ya," tawar Citra menghibur Irvan, suaminya.Citra lalu mengambil ponselnya kemudian menekan nomor putrinya untuk melakukan panggilan video melalui aplikasi hiijau di ponselnya.Tuuut! Tuuut! Tuuut! Klik!Terdengar nada sambung panggilan yang disusul dengan nada tombol panggilan diterima.[Assalamualaikum, Kania.] sapa Citra, ibu Kania mengawali panggilan.[Eh, ibu. Ibu dan ayah, apa kabar? Kania kangen, Bu.] tanya Kania, begitu tahu ibunya yang meneleponnya.[Baik, alhamdulillah baik, Nak. Kamu juga apa kabarnya di Jakarta, Sayang?] Citra menyatakan kabar putrinya yang sudah lama
Kania melirik pantulan wajahnya di layar ponsel yang masih digenggamnya, d noia melihat ada sesosok wanita tengah berdiri tepat di belakangnya, wanita itu tampak mengulurkan tangan kirinya yang pucat pasi dengan kuku-kuku runcingnya ingin memegang bahu kirinya.Deg!Detak jantung Kania terasa berhenti begitu saja, saat merasakan tangan dingin dan pucat itu menyentuh sedikit kulit lehernya. Bagaikan terhipnotis oleh sosok wanita itu, Kania menganggukkan kepalanya dan berkata bahwa dia akan melanjutkan permainan yang sudah dimulainya dan baru akan berhenti setelah dendamnya usai terbalaskan semua."Aku akan melanjutkan permainan kita, dan tidak akan berhenti hingga dendamku terbalaskan. Arga, Rasti tunggu pembalasanku berikutnya! Haha! Hahaha! Hahahaha!" Tawa Kania terdengar menggema keseluruh ruangan, tanpa dia sadari sosok wanita itu menampakkan senyum smirknya mendengar Kania begitu mudah masuk ke dalam perangkapnya.'Teruslah kau bermain, Kania! Terusla
Tiba-tiba angin dingin berhembus di dalam kamar Kania yang tertutup rapat, membuat tirai kamar dan hiasan yang bergantung di dinding kamarnya bergoyang-goyang tanpa ada yang menyentuh. Nyala api di lilin yang dinyalakan Kania pun meliuk-liuk seakan hendak padam, cermin besar di dinding kamarnya mulai berderak dan ... Kriet! Pintu kamar Kania terbuka sendiri, tidak terlihat siapa yang telah membukanya. Kemudian pintu itu menutup kembali dengan sendirinya tanpa ada satu sosok pun yang terlihat keluar atau pun masuk. Kembali tercium aroma amis yang mulai bersahabat dengan hidungnya. 'Ada apa kau memanggilku, Kania? Apa kau memerlukan bantuanku? Katakan saja apa maumu,' ucap sebuah suara parau yang mulai akrab di gendang telinganya. "Iya, aku memanggilmu. Aku ingin kamu ganggu perempuan ini di alam bawah sadarnya agar dia cepat terbangun dan kita mendapatkan musuh yang seimbang, tidak seperti sek
Ayah dan ibu Kania saling pandang lalu bersama-sama menggelengkan kepala, tanda mereka berdua tidak mengetahui apa yang dimaksud oleh Kania.Kania menghela nafas sebelum kembali meneruskan ceritanya, "dulu ... almarhum kakek pernah bilang pada Kania bila kepala kita kejatuhan cicak, maka kita akan mengalami kesialan selama tujuh turunan, Yah, Bu. Kania takut itu terjadi, Kania nggak sanggup membayangkan bagaimana bila itu benar-benar terjadi," lirih Kania sambil menatap manik kedua orang tuanya dengan takut-takut.Irvan dan Citra saling bertukar pandang sejenak sebelum akhirnya tawa mereka berdua meledak dengan kerasnya, "hahaha! Hahaha! Hahaha! Ya Allah, Kania. Jadi itu yang bikin kamu ketakutan sampai nggak tidur semalaman sehingga menciptakan mata panda ini. Hahaha! Hahaha!" canda ayah Kania sambil terus tertawa terbahak-bahak."Kania ... Kania, kamu itu lulusan terbaik dari universitas ternama, pendidikan agamamu juga lumayan tapi kenapa kamu masih percaya m
Dengan tergesa, Kania menyapukan make-up tipis dan natural ke wajahnya yang memang sudah cantik itu. Tidak sampai sepuluh menit, Kania sudah siap berangkat ke kantor. "Bu, Kania berangkat ke kantor dulu. Terima kasih untuk semuanya, Bu. I love you. Assalamualaikum," pamit Kania kepada ibunya sambil mencium tangan kemudian mencium kedua pipi wanita cantik itu. "Fii amanillah. Jangan ngebut! Jaga salat dan jangan lupa untuk makan nanti siang! W*'alaikumsalam," ucap Citra setengah berteriak mengingatkan Kania yang berlari begitu saja setelah menciumnya tadi. Tidak lama setelahnya terdengar suara mobil distarter, melaju membelah aspal meninggalkan rumah. Citra tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah laku anak perempuannya, "ck, sudah mau nikah tapi kelakuan masih kaya anak kecil aja. Dasar, Kania." "Siapa yang kaya anak kecil, Sayang?" tanya Irvan ti
Kring! Kring! Dering suara telepon kembali terdengar, Bik Muna yang mendengar deringan telepon itu bergegas menuju ke ruang keluarga untuk mengangkat gagang telepon agar berhenti berdering. [Halo. Assalamualaikum. Rumah keluarga Hendrawan di sini, ada yang bisa dibantu?] tanya Bik Muna kepada penelepon di seberang. [W*'alaikumsalam. Saya dengan Indira, asisten dokter Jiwo. Bisa saya bicara dengan orang tua Sasti Hendrawan?] kembali seseorang di seberang bertanya kepada Bik Muna. [Ditunggu sebentar, Bu Indira. Akan saya panggilkan tuan atau nyonya rumah saya dulu, ya.] Pamit Bik Muna, kemudian menuju ke arah kamar utama di rumah itu. Tok! Tok! Tok! "Siapa? Tunggu sebentar," terdengar suara perempuan menyahut dari dalam kamar. "Bik Muna, Nyonya. Ada telepon dari rumah sakit, dari asisten dokter Jiwo, Nya
“Lalu dia apa?” Arga menatap curiga. “Dia adalah Wangsa Jagal,” jawab Barda. “Makhluk yang lahir dari rasa dendam, kemarahan, dan rasa kehilangan yang mendalam."Arga menelan ludah. “Jadi... makhluk itu muncul karena…?”“Karena jiwa Rasti yang belum tenang,” Barda menatap mereka penuh makna. “Dan jika kalian tidak cepat bertindak… arwah Rasti yang asli akan terseret… menjadi bagian dari kegelapan itu.”Di balik bayang-bayang malam, sosok menyerupai Rasti berjongkok di tanah, mencakar-cakar bumi dengan jari-jarinya yang kurus dan hitam. “Aku akan kembali…” suaranya bergetar, penuh kebencian. “Aku akan membuat mereka merasakan rasa sakit yang sama…” Sosok itu menengadah, matanya bersinar merah membara. “Aku akan membuat mereka membayar… dengan nyawa mereka."Malam kembali turun, menyelimuti desa dengan keheningan yang mencekam. Kania dan Arga duduk di beranda rumah Barda, menunggu sang paranormal menyelesaikan persiapannya. Cahaya lampu minyak berkelip samar, menambah kesan mura
Sosok yang menyerupai Rasti melesat ke arah mereka dengan kecepatan yang tidak wajar. Nafas Rahayu terhenti, tubuhnya menegang dalam pelukan Roy. “Minggir!” bentak Kania. Dengan cepat, Kania mendorong Roy dan Rahayu ke samping. Bayangan mengerikan itu melesat melewati mereka, nyaris mencengkeram bahu Rahayu. Namun Kania lebih sigap. Dengan sejumput garam yang selama ini ia simpan di sakunya, ia menebarkannya ke arah bayangan itu. SRAAKK!Sosok yang menyerupai Rasti berteriak nyaring. Tubuhnya mengerut, kulit pucatnya mengelupas, memperlihatkan lapisan hitam berlendir di bawahnya. Matanya, yang tadinya bersinar merah, kini mendidih seperti darah mendidih. “Kau akan membayar ini…” desisnya sebelum menghilang dalam kabut kelam yang menyesakkan. Suasana mendadak senyap. Hanya suara napas Rahayu yang terdengar, tersengal-sengal seperti orang yang baru keluar dari mimpi buruk. Roy membantu Rahayu duduk di sofa. Tubuh istrinya gemetar hebat. “Sayang… tenang… tenang…” Roy
Malam semakin larut, tetapi tidak ada seorang pun yang benar-benar bisa tidur. Rahayu masih duduk di sofa, sesekali menggigil meskipun Roy sudah menyelimutinya. Tatapannya kosong, pikirannya penuh dengan suara yang tadi ia dengar—suara yang seharusnya tidak mungkin ada. Roy sendiri berusaha menenangkan dirinya. Sebagai seorang pria yang selalu berpikir logis, semua ini sulit ia terima. Tetapi ia tidak bisa menyangkal kenyataan. Mereka melihat sesuatu. Mereka mendengar sesuatu. Dan sekarang… mereka tidak tahu apakah itu akan kembali atau tidak. Di sudut ruangan, Kania berdiri sambil menatap langit malam di luar jendela. Ia tidak mengatakan apa-apa, tetapi ia bisa merasakan sesuatu di luar sana. Sesuatu yang belum pergi. Arga, yang sejak tadi diam, akhirnya bangkit dari duduknya. “Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Roy mengerutkan kening. “Maksudmu?” Arga menatap mereka semua. “Apa yang kita hadapi ini bukan sekadar arwah penasaran. Kalau memang Rasti masih
Keheningan yang mencekam menggantung di udara.Ruangan yang tadinya dipenuhi bisikan dan suara tawa menyeramkan kini terasa sunyi. Namun, hawa dingin yang menyelimuti mereka belum sepenuhnya pergi.Arga masih terduduk di lantai, merasakan sisa-sisa nyeri akibat hantaman keras tadi. Napasnya masih berat, pikirannya kacau. Ia mengalihkan pandangannya ke Kania, yang masih berdiri tegap dengan belati di tangannya.Kania tetap waspada, matanya mengitari ruangan, seakan mencari tanda-tanda keberadaan sosok tadi.Rahayu masih terisak di sudut ruangan, sementara Roy berdiri kaku di sampingnya. Wajahnya pucat, tangannya bergetar.Ia tidak pernah percaya pada hal-hal seperti ini sebelumnya. Tapi kini?**Ia baru saja melihat putrinya yang telah mati… atau sesuatu yang menyerupainya.**
Cahaya lilin kembali berkedip-kedip, menciptakan bayangan menari di dinding yang seakan hidup. Sosok itu masih berdiri di sana—diam, tetapi keberadaannya memenuhi ruangan dengan hawa dingin yang menyesakkan. Rahayu semakin erat mencengkeram lengan Roy, tubuhnya gemetar. “T-tidak… Ini tidak mungkin…” suaranya nyaris tak terdengar. Roy menelan ludah, otot-ototnya menegang. Ia ingin melindungi istrinya, tetapi tubuhnya terasa berat, seakan sesuatu menahannya. Arga masih terpaku di tempatnya. Matanya tidak bisa lepas dari sosok itu. Wujud itu memang terlihat seperti Rasti… tapi ada sesuatu yang sangat salah. Wajah itu. Saat masih hidup, Rasti memiliki tatapan tajam penuh emosi. Tapi yang berdiri di hadapan mereka sekarang hanya memiliki mata kosong, merah membara, seakan dipenuhi api neraka yang berpendar dalam kegelapan. "Kau pikir ini sudah berakhir, Arga?" Suara itu menggema, lebih berat, lebih dalam. Lalu… ia mulai melangkah. Bukan dengan cara manusia berjalan. Tetap
Suasana di dalam rumah duka semakin terasa berat. Waktu seolah berhenti, meninggalkan hanya isak tangis yang menggema di antara dinding.Rahayu masih terisak, wajahnya basah oleh air mata, sementara Roy tetap duduk diam, menatap lantai dengan pandangan kosong.Arga tak mengatakan apa-apa lagi. Semua yang perlu ia sampaikan sudah keluar. Namun, di dalam dirinya, perasaan bersalah tetap menyelubungi.Kania masih berdiri di sudut ruangan, diam-diam memperhatikan ekspresi Arga. Ada sesuatu dalam tatapannya—sebuah kehampaan yang begitu dalam, seolah ia telah kehilangan lebih dari sekadar istri.Namun, ketegangan belum sepenuhnya reda.Sebuah suara lirih akhirnya keluar dari mulut Rahayu.“Jika Rasti memang sudah... pergi, kenapa aku masih bisa merasakannya?”Arga menoleh,
Langit kelabu seolah berduka, menurunkan gerimis yang tipis namun dingin. Angin membawa aroma tanah basah, menyelimuti pemakaman dengan kesunyian yang berat.Sejumlah orang berpakaian hitam berdiri di sekitar pusara yang masih merah, menundukkan kepala. Payung-payung terbuka, melindungi mereka dari hujan, tapi tidak bisa melindungi hati mereka dari luka yang menganga.Kania berdiri di antara mereka, tanpa payung, membiarkan hujan membasahi wajahnya yang sudah dipenuhi air mata.Di depannya, Arga berdiri kaku, tatapannya kosong. Ia tak berkedip saat tanah perlahan menutupi peti Lilian. Di sampingnya, Darma hanya terdiam, wajahnya mengeras seperti batu, tapi tangan yang mengepal menunjukkan emosi yang ia tahan mati-matian.Kania tidak bisa menatap mereka lama-lama. Terutama Darma.Ia tahu, di mata Darma, dirinya adalah penyebab semua ini.Ketika doa terakhir selesai dibacakan, satu per satu orang mulai beranjak pergi. Beberapa menyentuh bahu Arga dengan lembut, memberi dukungan dalam di
Darah membanjiri tanah.Tubuh Kania gemetar. Nafasnya tersengal. Luka di perutnya menganga, mengalirkan cairan merah yang tak henti-hentinya.Matanya kabur, kepalanya pening.Dia seharusnya mati.Seharusnya…Tapi, di depan matanya—Darma yang kini telah berubah menjadi makhluk kegelapan tengah menatapnya dengan senyum menyeramkan.Di sampingnya, Rasti berdiri penuh kemenangan.“Kau sudah selesai, Kania,” ujar Rasti dengan nada penuh kepuasan. “Terimalah takdirmu. Tak ada lagi yang bisa menolongmu.”Kania mengatupkan giginya.Tidak.Aku belum kalah.&nb
Lorong itu menjadi saksi keheningan yang mencekik.Sisa energi dari tubuh Lilian masih berpendar di udara, bercampur dengan bayangan yang kini berputar liar, seperti haus akan korban baru. Darma masih membeku, tangannya gemetar di atas lantai yang dingin."Lilian..." Namanya meluncur dari bibirnya seperti doa yang tertunda—sebuah panggilan yang tak akan pernah dijawab lagi. Arga mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Brengsek!"Matanya menatap Rasti—atau makhluk yang kini bersemayam dalam tubuh Rasti—dengan api amarah yang menyala-nyala.Tapi sebelum Arga bisa bergerak, Kania sudah lebih dulu maju.Wajahnya berubah. Bukan lagi ketakutan. Bukan lagi keraguan.Hanya dendam.Dan sesuatu yang lebih gelap dari itu. "Aku akan menghabisimu." Suara Kania lirih, tetapi menggetarkan udara di sekitar mereka. Makhluk dalam tubuh Rasti hanya menyeringai."Oh? Apa kau benar-benar yakin, Kania? Aku sudah mengambil satu. Kau mau jadi yang berikutnya?"DUARRR!!Kania tidak menjawab dengan