Kring! Kring!
Dering suara telepon kembali terdengar, Bik Muna yang mendengar deringan telepon itu bergegas menuju ke ruang keluarga untuk mengangkat gagang telepon agar berhenti berdering.
[Halo. Assalamualaikum. Rumah keluarga Hendrawan di sini, ada yang bisa dibantu?] tanya Bik Muna kepada penelepon di seberang.
[W*'alaikumsalam. Saya dengan Indira, asisten dokter Jiwo. Bisa saya bicara dengan orang tua Sasti Hendrawan?] kembali seseorang di seberang bertanya kepada Bik Muna.
[Ditunggu sebentar, Bu Indira. Akan saya panggilkan tuan atau nyonya rumah saya dulu, ya.]
Pamit Bik Muna, kemudian menuju ke arah kamar utama di rumah itu.
Tok! Tok! Tok!
"Siapa? Tunggu sebentar," terdengar suara perempuan menyahut dari dalam kamar.
"Bik Muna, Nyonya. Ada telepon dari rumah sakit, dari asisten dokter Jiwo, Nya
"Sastiiiii ... apa yang terjadi, Nak? Kamu kenapa?" Rahayu histeris melihat keadaan Sasti yang tampak sangat kacau itu. "Mah, awas! Itu dokter mau menangani Sasti! Mama agak minggir ke sini!" Roy menarik bahu istrinya dan langsung ditepis dengan kasar oleh istrinya. "MAH!" hardik Roy kasar, membuat Rahayu tersentak dan menuruti suaminya untuk memberi jalan pada para tim medis. Para tim medis berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan Sasti, tetapi Tuhan berkehendak lain. Di antara suara peralatan monitoring yang berada di sisi ranjangnya, terdengar lirih suara Sasti untuk terakhir kalinya sebelum akhirnya suara itu menghilang bersama tarikan nafas terakhirnya, "Mah, Pah, Rasti ... ma ... af ... kan ... a ... ku. A ... llah ... u ... Ak ... bar." Tiiiiiiiitttt! Terdengar detikan panjang dari mesin monitoring, menandakan si empunya hidup telah mengambil kembali roh y
Hampir satu bulan setelah meninggalnya Sasti, Pak Dandi datang membawa berita bahwa kematian Sasti itu murni bunuh diri. Rupanya selama beberapa waktu, Sasti tidak benar-benar meminum obat-obatnya melainkan disimpannya ke dalam saku baju atau celananya, dan Sasti meminum obat-obatan tersebut untuk mengakhiri hidupnya setelah mengetahui Adi, lelaki yang dicintainya menikah dengan wanita lain karena mengira Sasti telah menikah lebih dulu dengan lelaki lain."Sasti, kenapa pendek sekali akalmu, Nak. Di mana imanmu, kenapa hanya karena seorang Adi kamu tega ninggalin mama seperti ini," ratap Rahayu."Sudah, Ma. Semua sudah terjadi, kita juga nggak bisa nyalahin siapa-siapa. Semua sudah kehendak Allah," Rasti mengingatkan mamanya agar bisa menerima keadaan.Namun, kesedihan Rahayu rupanya sudah tidak terbendung lagi. Setiap waktu, dia hanya melamun mengingat Sasti, hingga suatu hari Roy melihat suatu kejanggalan pada kejiwaan istrinya dan memutuskan untuk mengantarka
Rasti memandang jalan yang ditunjuk oleh nenek tua itu, dan kembali memalingkan wajahnya untuk mengucapkan terima kasih saat dilihatnya nenek tua itu sudah hilang dari pandangan matanya.Rasti mengusap-usap perlahan perutnya. Kempes! Perut itu sudah kosong sekarang! Tidak ada tanda-tanda bahwa dia sedang hamil! Sambil berjalan, Rasti memikirkan apa alasan yang akan dikatakan kepada Arga tentang calon anak mereka saat bertemu nanti.Rasti tidak sadar bahwa itu sebenarnya hanyalah tipu daya si iblis Kirana yang sesungguhnya telah mengambil anaknya tanpa dia sadari ketika proses operasi ceasar kemarin.'Apa yang nanti sebaiknya kukatakan pada Mas Arga tentang anak ini ya? Jelas nggak mungkin kalau aku bilang sudah menukar anak ini dengan jalan pulangku 'kan? Atau sebaiknya aku pura-pura keguguran saja? Ah ya, itu jauh lebih baik dan meyakinkan,' batin Rasti.Perlahan tetapi pasti, Rasti semakin lama semakin mendekati akhir jalan yang ditunjukkan oleh nenek t
Sementara itu di kediaman Kania, tampak seorang gadis tengah bersiap pergi bekerja kembali. Hari ini dia menjadwalkan untuk singgah ke restoran milik mamanya untuk melakukan kunjungan mendadak terkait laporan adanya penurunan kinerja pada beberapa kru restoran.Dengan memakai atasan tunik berwarna hijau daun, celana palazzo hitam, stiletto hijau lumut dan kelly bag selaras dengan warna stiletto, Kania berangkat ke pabrik baja yang sekarang berada di bawah pengawasannya sepenuhnya.'Urusan di pabrik sudah beres, dua puluh menit lagi waktu makan siang, sebaiknya sekarang saja aku pergi ke restoran ibu,' gumam Kania.Namun sebelum pergi, Kania menelepon sekretaris pribadinya, untuk memberitahu bahwa dia akan ke luar pabrik dan tidak akan kembali lagi.[Selamat siang, Bu Kania. Ada yang bisa saya bantu.] sapa Sita, sekretaris pribadi yang sudah bekerja dari sembilan tahun lalu, sejak ayahnya masih memimpin di perusahaan ini.[Selamat siang, Mbak
Andra yang mengamati gerak-gerik Kania dari tadi pun menyuruh Kania memilih dan mencoba sepatu-sepatu dan sandal yang diinginkannya. "Kamu pilih dan coba saja model-model sepatu dan sandal yang kamu suka, Kania," suruh Andra. "Serius, Mas? Nggak usahlah, sepatu dan sandal di sini mahal-mahal semua, mana sanggup aku membayarnya nanti," tolak Kania sopan. "Nggak usah mikirin itu, kamu ambil aja mana yang kamu suka, yang kamu mau. Nanti aku yang bayar, sebagai ganti sepatu yang rusak gara-gara kamu jatuh tadi." Setengah memaksa Andra menyuruh Kania untuk mengambil beberapa pasang sandal dan sepatu kesukaannya. Kania yang memang ingin membalas sakit hatinya kepada semua orang yang telah menyakitinya itu pun menuruti perintah Andra, segera dengan lincahnya tangannya memilih dan mencoba beberapa pasang sandal dan sepatu yang memang dia incar. "Ini, Mas aku pilih ini saja. Kasian Mas Andra kalau aku beli banyak-banyak, nanti uang Mas Andra habis," to
Kania mengeluarkan sebuah gelas bekas dipakai Andra minum direstoran tadi dan sebuah foto postcard dari dalam kotak, foto dirinya berdua dengan Andra yang tadi diambilnya waktu mereka makan siang di restoran milik Citra. Kania menerbitkan senyum smirk khasnya sambil membatin, 'nanti malam aku akan membuatmu tunduk padaku, dan setelah itu kita tunggu kehancuranmu.' Tengah malam, Kania memulai kembali ritualnya, kali ini sasarannya tidak hanya Andra. Kania juga menambahkan Arga sebagai sasaran tembaknya yang kedua. Dia akan membuat dua orang lelaki tampan itu tergila-tergila dan memperebutkan dirinya, bila perlu rela mati demi dirinya. 'Arga dan Andra ... hmm duet duo A yang menggairahkan, mulai malam ini akan aku buat kalian berdua menjadi budak cintaku, agar kalian tahu rasanya disakiti, hahaha,' desis Kania penuh angkara. Dupa dinyalakan dan wangi asap dupa mulai memenuhi ruangan berbaur dengan wangi bunga kantil yang baru dipetiknya. Harum wangi bun
Tok! Tok! Tok! Suara ketukan di pintu kamar mandi mengejutkan Arga yang tengah melamun, sehingga membuat dirinya terburu-buru menyelesaikan acara mandinya. Ketika keluar dari kamar mandi, dilihatnya Rasti sudah berdiri di depan pintu kamar mandi. "Lama amat mandinya, Mas. Aku sudah nunggu dari tadi mau mandi juga. Mas, nggak apa-apa 'kan? tanya Rasti mengkhawatirkan Arga yang menurutnya sudah terlalu lama di kamar mandi. "Iya, aku nggak apa-apa. Hanya saja tadi aku tiba-tiba agak sakit perut, jadi lama di kamar mandi. Ya udah, kamu cepetan sana mandi, lalu kita salat Subuh berjamaah, Yang," ajak Arga kepada istrinya, Rasti. "Iya, Mas," jawab Rasti lalu melangkah ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara menunggu Rasti mandi, Arga membuka Al-Qur'an dan berniat membaca salah satu surah, ketika angannya kembali kepada Kania. Ingatan saat dia memberi Kania mas kawin berupa seperangkat alat salat lengkap dan sebuah Al-Qur'an, yang lan
Setelah kurang lebih menempuh satu jam perjalanan, akhirnya Rasti sampai juga di pinggiran kota Jakarta, Rasti langsung menuju ke sebuah rumah sederhana milik seorang dukun yang terkenal ahli dalam hal pelet, sudah banyak orang yang meminta bantuan darinya termasuk Rasti yang sudah menjadi langganan Mbah Kromo, demikian biasa dia dipanggil. Tok! Tok! Tok! Perlahan Rasti mengetuk pintu rumah Mbah Kromo. "Masuk!" Terdengar perintah dari seorang laki-laki tua di dalam rumah. Ceklek! Kriet! Derit pintu rumah Mbah Kromo terdengar sangat nyaring di telinganya, sehingga membuatnya sedikit berjengit. "Permisi, Mbah," ucap Rasti meminta ijin masuk ke dalam rumah. "Masuk! Masuk! Langsung saja ke dalam! Mbah ada di tempat biasa!" perintah Mbah Kromo masih tanpa wujud. Mendengar perintah yang diberikan oleh Mbah Kromo itu, membuat Rasti bergegas mendatangi arah suara. Tanpa menemui kesulitan, Rasti bisa langsung menem
“Lalu dia apa?” Arga menatap curiga. “Dia adalah Wangsa Jagal,” jawab Barda. “Makhluk yang lahir dari rasa dendam, kemarahan, dan rasa kehilangan yang mendalam."Arga menelan ludah. “Jadi... makhluk itu muncul karena…?”“Karena jiwa Rasti yang belum tenang,” Barda menatap mereka penuh makna. “Dan jika kalian tidak cepat bertindak… arwah Rasti yang asli akan terseret… menjadi bagian dari kegelapan itu.”Di balik bayang-bayang malam, sosok menyerupai Rasti berjongkok di tanah, mencakar-cakar bumi dengan jari-jarinya yang kurus dan hitam. “Aku akan kembali…” suaranya bergetar, penuh kebencian. “Aku akan membuat mereka merasakan rasa sakit yang sama…” Sosok itu menengadah, matanya bersinar merah membara. “Aku akan membuat mereka membayar… dengan nyawa mereka."Malam kembali turun, menyelimuti desa dengan keheningan yang mencekam. Kania dan Arga duduk di beranda rumah Barda, menunggu sang paranormal menyelesaikan persiapannya. Cahaya lampu minyak berkelip samar, menambah kesan mura
Sosok yang menyerupai Rasti melesat ke arah mereka dengan kecepatan yang tidak wajar. Nafas Rahayu terhenti, tubuhnya menegang dalam pelukan Roy. “Minggir!” bentak Kania. Dengan cepat, Kania mendorong Roy dan Rahayu ke samping. Bayangan mengerikan itu melesat melewati mereka, nyaris mencengkeram bahu Rahayu. Namun Kania lebih sigap. Dengan sejumput garam yang selama ini ia simpan di sakunya, ia menebarkannya ke arah bayangan itu. SRAAKK!Sosok yang menyerupai Rasti berteriak nyaring. Tubuhnya mengerut, kulit pucatnya mengelupas, memperlihatkan lapisan hitam berlendir di bawahnya. Matanya, yang tadinya bersinar merah, kini mendidih seperti darah mendidih. “Kau akan membayar ini…” desisnya sebelum menghilang dalam kabut kelam yang menyesakkan. Suasana mendadak senyap. Hanya suara napas Rahayu yang terdengar, tersengal-sengal seperti orang yang baru keluar dari mimpi buruk. Roy membantu Rahayu duduk di sofa. Tubuh istrinya gemetar hebat. “Sayang… tenang… tenang…” Roy
Malam semakin larut, tetapi tidak ada seorang pun yang benar-benar bisa tidur. Rahayu masih duduk di sofa, sesekali menggigil meskipun Roy sudah menyelimutinya. Tatapannya kosong, pikirannya penuh dengan suara yang tadi ia dengar—suara yang seharusnya tidak mungkin ada. Roy sendiri berusaha menenangkan dirinya. Sebagai seorang pria yang selalu berpikir logis, semua ini sulit ia terima. Tetapi ia tidak bisa menyangkal kenyataan. Mereka melihat sesuatu. Mereka mendengar sesuatu. Dan sekarang… mereka tidak tahu apakah itu akan kembali atau tidak. Di sudut ruangan, Kania berdiri sambil menatap langit malam di luar jendela. Ia tidak mengatakan apa-apa, tetapi ia bisa merasakan sesuatu di luar sana. Sesuatu yang belum pergi. Arga, yang sejak tadi diam, akhirnya bangkit dari duduknya. “Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Roy mengerutkan kening. “Maksudmu?” Arga menatap mereka semua. “Apa yang kita hadapi ini bukan sekadar arwah penasaran. Kalau memang Rasti masih
Keheningan yang mencekam menggantung di udara.Ruangan yang tadinya dipenuhi bisikan dan suara tawa menyeramkan kini terasa sunyi. Namun, hawa dingin yang menyelimuti mereka belum sepenuhnya pergi.Arga masih terduduk di lantai, merasakan sisa-sisa nyeri akibat hantaman keras tadi. Napasnya masih berat, pikirannya kacau. Ia mengalihkan pandangannya ke Kania, yang masih berdiri tegap dengan belati di tangannya.Kania tetap waspada, matanya mengitari ruangan, seakan mencari tanda-tanda keberadaan sosok tadi.Rahayu masih terisak di sudut ruangan, sementara Roy berdiri kaku di sampingnya. Wajahnya pucat, tangannya bergetar.Ia tidak pernah percaya pada hal-hal seperti ini sebelumnya. Tapi kini?**Ia baru saja melihat putrinya yang telah mati… atau sesuatu yang menyerupainya.**
Cahaya lilin kembali berkedip-kedip, menciptakan bayangan menari di dinding yang seakan hidup. Sosok itu masih berdiri di sana—diam, tetapi keberadaannya memenuhi ruangan dengan hawa dingin yang menyesakkan. Rahayu semakin erat mencengkeram lengan Roy, tubuhnya gemetar. “T-tidak… Ini tidak mungkin…” suaranya nyaris tak terdengar. Roy menelan ludah, otot-ototnya menegang. Ia ingin melindungi istrinya, tetapi tubuhnya terasa berat, seakan sesuatu menahannya. Arga masih terpaku di tempatnya. Matanya tidak bisa lepas dari sosok itu. Wujud itu memang terlihat seperti Rasti… tapi ada sesuatu yang sangat salah. Wajah itu. Saat masih hidup, Rasti memiliki tatapan tajam penuh emosi. Tapi yang berdiri di hadapan mereka sekarang hanya memiliki mata kosong, merah membara, seakan dipenuhi api neraka yang berpendar dalam kegelapan. "Kau pikir ini sudah berakhir, Arga?" Suara itu menggema, lebih berat, lebih dalam. Lalu… ia mulai melangkah. Bukan dengan cara manusia berjalan. Tetap
Suasana di dalam rumah duka semakin terasa berat. Waktu seolah berhenti, meninggalkan hanya isak tangis yang menggema di antara dinding.Rahayu masih terisak, wajahnya basah oleh air mata, sementara Roy tetap duduk diam, menatap lantai dengan pandangan kosong.Arga tak mengatakan apa-apa lagi. Semua yang perlu ia sampaikan sudah keluar. Namun, di dalam dirinya, perasaan bersalah tetap menyelubungi.Kania masih berdiri di sudut ruangan, diam-diam memperhatikan ekspresi Arga. Ada sesuatu dalam tatapannya—sebuah kehampaan yang begitu dalam, seolah ia telah kehilangan lebih dari sekadar istri.Namun, ketegangan belum sepenuhnya reda.Sebuah suara lirih akhirnya keluar dari mulut Rahayu.“Jika Rasti memang sudah... pergi, kenapa aku masih bisa merasakannya?”Arga menoleh,
Langit kelabu seolah berduka, menurunkan gerimis yang tipis namun dingin. Angin membawa aroma tanah basah, menyelimuti pemakaman dengan kesunyian yang berat.Sejumlah orang berpakaian hitam berdiri di sekitar pusara yang masih merah, menundukkan kepala. Payung-payung terbuka, melindungi mereka dari hujan, tapi tidak bisa melindungi hati mereka dari luka yang menganga.Kania berdiri di antara mereka, tanpa payung, membiarkan hujan membasahi wajahnya yang sudah dipenuhi air mata.Di depannya, Arga berdiri kaku, tatapannya kosong. Ia tak berkedip saat tanah perlahan menutupi peti Lilian. Di sampingnya, Darma hanya terdiam, wajahnya mengeras seperti batu, tapi tangan yang mengepal menunjukkan emosi yang ia tahan mati-matian.Kania tidak bisa menatap mereka lama-lama. Terutama Darma.Ia tahu, di mata Darma, dirinya adalah penyebab semua ini.Ketika doa terakhir selesai dibacakan, satu per satu orang mulai beranjak pergi. Beberapa menyentuh bahu Arga dengan lembut, memberi dukungan dalam di
Darah membanjiri tanah.Tubuh Kania gemetar. Nafasnya tersengal. Luka di perutnya menganga, mengalirkan cairan merah yang tak henti-hentinya.Matanya kabur, kepalanya pening.Dia seharusnya mati.Seharusnya…Tapi, di depan matanya—Darma yang kini telah berubah menjadi makhluk kegelapan tengah menatapnya dengan senyum menyeramkan.Di sampingnya, Rasti berdiri penuh kemenangan.“Kau sudah selesai, Kania,” ujar Rasti dengan nada penuh kepuasan. “Terimalah takdirmu. Tak ada lagi yang bisa menolongmu.”Kania mengatupkan giginya.Tidak.Aku belum kalah.&nb
Lorong itu menjadi saksi keheningan yang mencekik.Sisa energi dari tubuh Lilian masih berpendar di udara, bercampur dengan bayangan yang kini berputar liar, seperti haus akan korban baru. Darma masih membeku, tangannya gemetar di atas lantai yang dingin."Lilian..." Namanya meluncur dari bibirnya seperti doa yang tertunda—sebuah panggilan yang tak akan pernah dijawab lagi. Arga mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Brengsek!"Matanya menatap Rasti—atau makhluk yang kini bersemayam dalam tubuh Rasti—dengan api amarah yang menyala-nyala.Tapi sebelum Arga bisa bergerak, Kania sudah lebih dulu maju.Wajahnya berubah. Bukan lagi ketakutan. Bukan lagi keraguan.Hanya dendam.Dan sesuatu yang lebih gelap dari itu. "Aku akan menghabisimu." Suara Kania lirih, tetapi menggetarkan udara di sekitar mereka. Makhluk dalam tubuh Rasti hanya menyeringai."Oh? Apa kau benar-benar yakin, Kania? Aku sudah mengambil satu. Kau mau jadi yang berikutnya?"DUARRR!!Kania tidak menjawab dengan