Andra yang mengamati gerak-gerik Kania dari tadi pun menyuruh Kania memilih dan mencoba sepatu-sepatu dan sandal yang diinginkannya.
"Kamu pilih dan coba saja model-model sepatu dan sandal yang kamu suka, Kania," suruh Andra.
"Serius, Mas? Nggak usahlah, sepatu dan sandal di sini mahal-mahal semua, mana sanggup aku membayarnya nanti," tolak Kania sopan.
"Nggak usah mikirin itu, kamu ambil aja mana yang kamu suka, yang kamu mau. Nanti aku yang bayar, sebagai ganti sepatu yang rusak gara-gara kamu jatuh tadi." Setengah memaksa Andra menyuruh Kania untuk mengambil beberapa pasang sandal dan sepatu kesukaannya.
Kania yang memang ingin membalas sakit hatinya kepada semua orang yang telah menyakitinya itu pun menuruti perintah Andra, segera dengan lincahnya tangannya memilih dan mencoba beberapa pasang sandal dan sepatu yang memang dia incar.
"Ini, Mas aku pilih ini saja. Kasian Mas Andra kalau aku beli banyak-banyak, nanti uang Mas Andra habis," to
Kania mengeluarkan sebuah gelas bekas dipakai Andra minum direstoran tadi dan sebuah foto postcard dari dalam kotak, foto dirinya berdua dengan Andra yang tadi diambilnya waktu mereka makan siang di restoran milik Citra. Kania menerbitkan senyum smirk khasnya sambil membatin, 'nanti malam aku akan membuatmu tunduk padaku, dan setelah itu kita tunggu kehancuranmu.' Tengah malam, Kania memulai kembali ritualnya, kali ini sasarannya tidak hanya Andra. Kania juga menambahkan Arga sebagai sasaran tembaknya yang kedua. Dia akan membuat dua orang lelaki tampan itu tergila-tergila dan memperebutkan dirinya, bila perlu rela mati demi dirinya. 'Arga dan Andra ... hmm duet duo A yang menggairahkan, mulai malam ini akan aku buat kalian berdua menjadi budak cintaku, agar kalian tahu rasanya disakiti, hahaha,' desis Kania penuh angkara. Dupa dinyalakan dan wangi asap dupa mulai memenuhi ruangan berbaur dengan wangi bunga kantil yang baru dipetiknya. Harum wangi bun
Tok! Tok! Tok! Suara ketukan di pintu kamar mandi mengejutkan Arga yang tengah melamun, sehingga membuat dirinya terburu-buru menyelesaikan acara mandinya. Ketika keluar dari kamar mandi, dilihatnya Rasti sudah berdiri di depan pintu kamar mandi. "Lama amat mandinya, Mas. Aku sudah nunggu dari tadi mau mandi juga. Mas, nggak apa-apa 'kan? tanya Rasti mengkhawatirkan Arga yang menurutnya sudah terlalu lama di kamar mandi. "Iya, aku nggak apa-apa. Hanya saja tadi aku tiba-tiba agak sakit perut, jadi lama di kamar mandi. Ya udah, kamu cepetan sana mandi, lalu kita salat Subuh berjamaah, Yang," ajak Arga kepada istrinya, Rasti. "Iya, Mas," jawab Rasti lalu melangkah ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara menunggu Rasti mandi, Arga membuka Al-Qur'an dan berniat membaca salah satu surah, ketika angannya kembali kepada Kania. Ingatan saat dia memberi Kania mas kawin berupa seperangkat alat salat lengkap dan sebuah Al-Qur'an, yang lan
Setelah kurang lebih menempuh satu jam perjalanan, akhirnya Rasti sampai juga di pinggiran kota Jakarta, Rasti langsung menuju ke sebuah rumah sederhana milik seorang dukun yang terkenal ahli dalam hal pelet, sudah banyak orang yang meminta bantuan darinya termasuk Rasti yang sudah menjadi langganan Mbah Kromo, demikian biasa dia dipanggil. Tok! Tok! Tok! Perlahan Rasti mengetuk pintu rumah Mbah Kromo. "Masuk!" Terdengar perintah dari seorang laki-laki tua di dalam rumah. Ceklek! Kriet! Derit pintu rumah Mbah Kromo terdengar sangat nyaring di telinganya, sehingga membuatnya sedikit berjengit. "Permisi, Mbah," ucap Rasti meminta ijin masuk ke dalam rumah. "Masuk! Masuk! Langsung saja ke dalam! Mbah ada di tempat biasa!" perintah Mbah Kromo masih tanpa wujud. Mendengar perintah yang diberikan oleh Mbah Kromo itu, membuat Rasti bergegas mendatangi arah suara. Tanpa menemui kesulitan, Rasti bisa langsung menem
Di lain tempat di kota Jakarta, Arga tengah kesal dengan dirinya karena sejak malam tadi dia terus saja mengingat Kania, wanita yang sudah diceraikannya sejak beberapa tahun silam. Arga merasa geram karena bayang-bayang Kania seakan tak mau lepas begitu saja dari ingatannya, "aaarrgh! Kania! Kenapa mau harus hadir lagi dalam ingatanku! Kenapa!" Arga terus menjambaki rambutnya bahkan terkadang dia memukuli kepalanya demi menghilangkan bayang-bayang Kania. Namun, semakin keras Arga berusaha, maka terasa sulit baginya untuk melupakan Kania. "Kaniaaaa!" teriak Arga frustasi karena saat ini bukan hanya bayangan wajah Kania saja yang muncul dalam benaknya, wangi aroma tubuh perempuan itu pun sudah merangsek masuk ke dalam otaknya, seolah ingin membius jiwa Arga agar terus mengingat Kania. Dalam keadaan sudah setengah gila, Arga tiba-tiba teringat kenangan manis disaat dirinya menikahi Kania.
'Kania, kamu boleh tertawa sekarang. Tapi nanti, aku akan membuatmu hancur begitu juga dengan keluargamu. Mereka semua akan hancur,' batin Rasti penuh kebencian. "Pengantin wanita, silahkan. Bisa dibawa keluar sekarang." Terdengar suara pak penghulu memanggil Kania untuk ikut bergabung bersama mereka. Mendengar suara penghulu memanggil, Citra dan Rasti mengajak Kania untuk menemui penghulu dan Arga di depan. Wajah Kania tampak semakin mempesona dengan semburat merah di pipinya, tampak semakin memancarkan aura kebahagiaan dari hatinya. Arga tampak begitu terpukau saat melihat Kania tampak begitu mempesona, kebaya putih berleher rendah yang hampir saja memperlihatkan belahan dadanya dipadu dengan sanggul modern dan hiasan bunga-bunga segar di kepalanya ditambah dengan make-up natural menambah kesan anggun dan ayu Kania. "Waduh, Mas Arga sampai lupa berkedip melihat Mbak Kania, sabar Mas ini masih terlalu pagi. Masih banyak waktu untuk kalian berduaan na
Sore itu Rasti mengundang Arga, Kania dan Andra menghadiri acara pengajian kirim doa untuk Sasti kembarannya yang sudah meninggal. Kania yang kebetulan hari itu pulang dari pabrik lebih awal memutuskan datang lebih dulu sepengetahuan Arga, suaminya yang kebetulan tidak bisa menghadiri undangan Rasti karena ada pertemuan dengan klien dari Amerika. "Hai! Kania, kok elu datang sendiri, mana Arga?" tanya Rasti ketika mendapati Kania datang ke rumahnya seorang diri. "Iya, Ras. Maaf ya, Arga nggak bisa datang. Dia ada meeting sama kliennya nanti habis makan malam, jadi gue sendirian deh ke sininya. Nggak apa-apa 'kan?" Kania balik bertanya kepada Rasti. "Nggak apa-apa. Yuk, masuk, sebentar lagi acara dimulai," ajak Rasti menggandeng tangan Kania masuk ke dalam. Baru saja mereka akan melangkahkan kaki melewati pintu depan, ketika terdengar suara bariton milik lelaki yang mereka kenal. "Jadi, gue nggak disambut nih sama tuan rumah?" tegur pemilik suar
"Hei, kalian berdua kenapa? Kalian sakit? Kok wajah kalian merah begitu?" tanya Rasti pura-pura tidak tahu. "Aku ... engh ... ahh." Kania berusaha keras menahan rasa yang ada, tetapi suaranya malah lebih mirip dengan desahan. Tatapan keduanya tampak kosong seperti manusia tidak bernyawa, bahkan mereka tidak bereaksi terhadap apa pun selain suara Rasti saja, dan itu membuat Rasti menyeringai puas, 'ternyata hebat juga sihir Mbah Kromo, mampu menghipnotis ahli ibadah seperti Kania, nggak sia-sia aku bayar dia mahal," batin Rasti senang. Rasti yang sudah menunggu hal itu segera mengantarkan mereka berdua masuk ke dalam kamarnya setelah memastikan papa dan mamanya sudah berada di kamar mereka. Di dalam kamarnya, rupanya Rasti sudah siap memasang sebuah kamera cctv dan sebuah lilin aprodisiak yang akan semakin menaikkan libido mereka berdua. Ketika syahwat sudah di ubun-ubun, tidak ada lagi logika dan etika selain rasa ingin segera menuntaskannya dalam per
Akan tetapi, Kania sudah tidak bisa lagi ditenangkan, dia merasa sangat terhina dengan apa yang telah dilakukan Andra kepadanya. Harga dirinya bagaikan diinjak dan dibenamkan di tempat sampah paling menjijikkan sepanjang hidupnya. "Apa! Bisa-bisanya kau menyuruh aku diam dan tenang! Di mana perasaanmu, hah! Kau sudah seenaknya menodaiku dan sekarang kau suruh aku diam dan tenang! Brengsek kamu, Ndra!" maki Kania semakin keras. Ceklek! Suara pintu kamar yang terbuka, sontak mereka berdua memalingkan kepalanya masing-masing. Seperti dua orang pencuri pencuri yang tertangkap basah, mereka menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil menyembunyikan ekspresi wajah masing-masing. 'Habis gue! Bakalan mati gue kalau sampai gue diseret keluar dan akhirnya dipukuli massa, walau pun gue nggak sepenuhnya bersalah,' rutuk Kania dalam hati. Sementara di sebelahnya, Andra melirik ke arah Kania, terlihat senyuman ... tidak ... bukan senyuman, lebih tepatnya sebua