Jadi anak saya meninggal, dok. Innalillahi w* inna ilaihi rajiun, terima kasih untuk usaha yang sudah dokter dan tim berikan untuk anak dan istri saya. Saya sangat menghargainya, saya permisi mau ke bagian pemulasaraan jenazah dulu, dok" pamit Arga kepada dokter Indri.
Dengan langkah gontai dan mata berkaca-kaca, Arga melangkahkan kakinya ke ruang pemulasaraan jenazah untuk melihat jenazah bayinya ketika tiba-tiba ponselnya berdering dan tertera tulisan PAPI, gegas di angkatnya telepon dari papinya.
[Assalamualaikum, Pi.] salam Arga begitu mengangkat telepon papinya.
[W*'alaikumsalam, Arga. Ga, maaf papi dan mami baru aja sampai di rumah sakit, tadi kami terjebak macet karena hujan angin ribut. Semoga istri dan anak kamu bisa tertolong, ya.] Indra, papi Arga menjelaskan alasan keterlambatan mereka kepada Arga.
[Iya, nggak apa-apa, Pi. Rasti, alhamdulillah selamat, tapi anak Arga ....] Arga me
"Arga, papa dan mama minta maaf karena datang terlambat. Sebenarnya kami tadi langsung berangkat setelah menerima telepon darimu, tapi nggak tahu kenapa mobil papa tiba-tiba saja mogok dan nggak mau dinyalakan lagi mesinnya. Jadi kami terpaksa harus menunggu tukang bengkel langganan kita untuk datang mengambil mobil papa dan menelepon taksi untuk melanjutkan perjalanan ke sini," papar Roy."Ya, nggak apa-apa, Pa, Ma. Papi dan mami juga baru datang kok, karena tadi mereka kejebak hujan angin ribut dan nggak berani nerusin perjalanan karena jarak pandang terlalu dekat," jelas Arga kepada Roy."Oh, oke. Sekarang beritahu pada kami, bagaimana keadaan istri dan calon anak kalian? Mereka selamat 'kan?" Risa bertanya kepada Arga mewakili suami dan kedua besannya.Wajah Arga semakin murung. Tanpa suara, Arga menggamit tangan mamanya dan meminta mereka semua untuk mengikuti dirinya menuju ke ruang pemulasaraan jenazah.Wajah ke empat orang tuanya terlihat tak meng
Sementara itu di kediaman Indra, papa Arga, para tetangga mulai berdatangan untuk membantu proses pemakaman anak Arga. Beberapa ibu, membantu memasak dan menyiapkan air minum serta camilan untuk para pelayat dan keluarga beserta beberapa penggali makam. Sementara itu para bapak bersiap untuk menyalatkan jenazah dan menyiapkan keranda untuk membawa jenazah ke makam, di masjid wakaf keluarga Indra Hartawan.Sekilas tidak ada yang aneh dari kegiatan itu, semua tampak wajar dan normal. Arga yang masih ingin bersama buah hatinya menolak memasukkan jenazah bayinya ke dalam keranda, dia ingin menggendong jenazah anaknya selama perjalanan hingga ke liang lahat."Bisa nggak, Pak kalau saya gendong anak saya saja mulai dari sini hingga ke makam. Ya, itung-itung gendongan pertama dan terakhir saya untuk dia, Pak," pinta Arga kepada beberapa tetangganya yang ikut mengurusi jenazah."Silahkan, Nak Arga. Nanti kalau Nak Arga sudah siap, kita langsung berangkat ya. Kasian kala
"Iya! Itu dia! Yang saya lihat mungkin sama persis dengan yang bapak lihat sekarang. Gedebog pisang!" tandas Pak Johan.Pak Candra mengangguk-angguk dengan wajah pucat pasi, dia masih tidak mengerti bagaimana mungkin jenazah bisa tiba-tiba saja berubah menjadi gedebog pisang atau memang dari awal mereka semua telah tertipu tanpa mereka sadari.Pak Candra dan Pak Johan saling menatap satu sama lain, mereka betul-betul tidak memahami kejadian yang menurut mereka sangat tidak masuk akal tersebut, perlahan tapi pasti bulu kuduk mereka meremang dan tubuh mereka bergidik perlahan.Suasana pun menjadi mencekam walau pun saat itu matahari masih bersinar, aroma amis pun samar-samar merasuk ke dalam rongga hidung mereka masing-masing.Pak RT yang kebetulan lewat, hendak mengambil air wudhu untuk mengerjakan salat fardhu kifayah dan kebetulan melihat ke dalam pun keheranan dengan tingkah Pak Johan dan Pak Candra yang di nilainya berbeda dengan biasanya."Assa
Mereka bertiga berdiskusi bagaimana sebaiknya, karena sangat tidak mungkin menyampaikan hal ini kepada keluarga besar Arga yang sedang berkabung saat ini. Akhirnya mereka memutuskan untuk mendatangi Ustadz Hasyim, ustadz yang merangkap sebagai salah satu imam di masjid di itu. Setibanya di kediaman ustadz, mereka menceritakan kejadian yang menimpa anak Arga. Tidak lupa mereka menceritakan juga perihal aroma amis darah yang mereka cium sewaktu akan mendatangi almarhum bayi Arga. "Baik, saya sudah paham dan mengerti dengan cerita bapak-bapak. Jadi sekarang saya kembalikan lagi, saat ini terserah bapak bertiga ini mau pulang atau terus mengantar hingga pemakaman," tawar Ustadz Hasyim kepada ketiga tamunya. Ketiga bapak-bapak itu saling tatap satu sama lain, tidak ada yang berani menjawab pertanyaan Ustadz Hasyim. Mereka tidak tahu harus bersikap bagaimana, sebab mereka adalah tetangga Indra paling dekat tetapi di lain
Kania menyeringai puas, dia merasa begitu bahagia melihat penderitaan Arga dan Rasti sudah di mulai. Dia menimang boneka jerami berbalut kafan dengan foto Rasti masih menempel erat di badannya. Bibirnya tersenyum smirk, membayangkan kehancuran Rasti, sahabat yang telah tega menusuknya dari belakang.'Ini baru permulaan, Rasti sayang. Selanjutnya, penderitaanmu akan lebih berat dan menyakitkan, bahkan lebih dari rasa sakit yang pernah kau tebarkan untuk keluargaku dulu, dan di saat-saat itu aku akan tertawa melihatmu tak berdaya. Hahaha,' desis Kania geram, 'dan kau Mas Arga ... kau akan menyesali keputusanmu untuk meninggalkan aku demi memilih perempuan sundal berlidah ular itu! Akan kubuat kau mengejar-ngejarku lagi dan melupakan perempuan sialan itu!'Mata Kania beralih ke cermin besar yang ada di dalam kamarnya. Dia melihat dirinya sekarang begitu kurus dan kusam tidak seperti saat dia masih bahagia bersama Arga. Rasa sakit itu telah merubah dirinya begitu jauh, ter
Citra memahami perasaan suaminya, sejak Irvan mengetahui perihal kehancuran rumah tangga putri mereka yang akhirnya membuatnya terkena stroke, Irvan seakan tidak ada keinginan untuk hidup karena bagi Irvan putri semata wayangnya itu adalah sebuah permata rapuh yang tidak boleh dihancurkan siapa pun juga."Ayah, mau video call nggak sama Kania? Ibu sambungkan ya," tawar Citra menghibur Irvan, suaminya.Citra lalu mengambil ponselnya kemudian menekan nomor putrinya untuk melakukan panggilan video melalui aplikasi hiijau di ponselnya.Tuuut! Tuuut! Tuuut! Klik!Terdengar nada sambung panggilan yang disusul dengan nada tombol panggilan diterima.[Assalamualaikum, Kania.] sapa Citra, ibu Kania mengawali panggilan.[Eh, ibu. Ibu dan ayah, apa kabar? Kania kangen, Bu.] tanya Kania, begitu tahu ibunya yang meneleponnya.[Baik, alhamdulillah baik, Nak. Kamu juga apa kabarnya di Jakarta, Sayang?] Citra menyatakan kabar putrinya yang sudah lama
Kania melirik pantulan wajahnya di layar ponsel yang masih digenggamnya, d noia melihat ada sesosok wanita tengah berdiri tepat di belakangnya, wanita itu tampak mengulurkan tangan kirinya yang pucat pasi dengan kuku-kuku runcingnya ingin memegang bahu kirinya.Deg!Detak jantung Kania terasa berhenti begitu saja, saat merasakan tangan dingin dan pucat itu menyentuh sedikit kulit lehernya. Bagaikan terhipnotis oleh sosok wanita itu, Kania menganggukkan kepalanya dan berkata bahwa dia akan melanjutkan permainan yang sudah dimulainya dan baru akan berhenti setelah dendamnya usai terbalaskan semua."Aku akan melanjutkan permainan kita, dan tidak akan berhenti hingga dendamku terbalaskan. Arga, Rasti tunggu pembalasanku berikutnya! Haha! Hahaha! Hahahaha!" Tawa Kania terdengar menggema keseluruh ruangan, tanpa dia sadari sosok wanita itu menampakkan senyum smirknya mendengar Kania begitu mudah masuk ke dalam perangkapnya.'Teruslah kau bermain, Kania! Terusla
Tiba-tiba angin dingin berhembus di dalam kamar Kania yang tertutup rapat, membuat tirai kamar dan hiasan yang bergantung di dinding kamarnya bergoyang-goyang tanpa ada yang menyentuh. Nyala api di lilin yang dinyalakan Kania pun meliuk-liuk seakan hendak padam, cermin besar di dinding kamarnya mulai berderak dan ... Kriet! Pintu kamar Kania terbuka sendiri, tidak terlihat siapa yang telah membukanya. Kemudian pintu itu menutup kembali dengan sendirinya tanpa ada satu sosok pun yang terlihat keluar atau pun masuk. Kembali tercium aroma amis yang mulai bersahabat dengan hidungnya. 'Ada apa kau memanggilku, Kania? Apa kau memerlukan bantuanku? Katakan saja apa maumu,' ucap sebuah suara parau yang mulai akrab di gendang telinganya. "Iya, aku memanggilmu. Aku ingin kamu ganggu perempuan ini di alam bawah sadarnya agar dia cepat terbangun dan kita mendapatkan musuh yang seimbang, tidak seperti sek
[Iya, Pak. Saya mau kali ini bapak awasi Rasti, menantu saya. Saya curiga dia melakukan hal yang tidak baik di belakang Arga, anak laki-laki saya yang juga adalah suaminya.]Perintah Risa kepada Dino, detektif swasta berusia tiga puluh lima tahun.[Baik, Bu. Saya akan kerjakan tugas dari Bu Hartawan, untuk bukti-buktinya akan saya kirim langsung ke pesan singkat di aplikasi hijau milik ibu.]Jawab Dino dengan nada tegas dan yakin.[Oke, saya tunggu hasilnya. Uang mukanya sebanyak lima puluh persen sudah saya kirim langsung ke nomor rekening Pak Dino, sisanya akan saya transfer setelah semua beres.]Tulis Risa dalam pesan singkatnya, dan mengakhiri pesannya kepada Dino.[Baik, Bu. Terima kasih.]Tutup Dino, kemudian membuka sebuah pesan singkat lainnya yang berisi sebuah pemberitahuan dari m-banking bahwa isi rekeningnya telah bertambah lima belas juta rupiah.Usai mengirim pesan singkat kepada Dino, Risa Hartawan membuka galeri
Laki-laki di seberang gagang telepon itu terus tertawa, masih dengan tawanya yang mengejek, dia menunjukkan bahwa dirinya telah berhasil melakukan transfer melalui m-banking ke nomor rekening Rasti yang dia peroleh dari salah satu temannya yang pernah memakai jasa Rasti.[Seratus juta, tidak kurang. Malam ini, aku tunggu kedatanganmu di Hotel Permana Buana, lantai empat, kamar lima kosong satu. Awas kalau kau tidak datang!]Tandas laki-laki berwajah tampan itu, lalu menyebutkan nama sebuah hotel dan kamar di mana Rasti harus mendatanginya malam ini.[Aku pasti akan datang, dan aku jamin kau tidak akan merasa kehilangan uang yang telah kau bayarkan, karena aku pasti akan memberikan kepuasan kepadamu.]Ucap Rasti memberikan sebuah janji pada laki-laki yang mengaku bernama Henry itu.[Oke, ku tunggu kau jam tujuh malam ini ya, Beb. Jangan kecewakan aku.]Ucap lelaki itu sebelum memutuskan untuk mengakhiri sambungan panggilan videonya dengan Ras
"Untuk sementara ini, sepertinya nggak, Bu. Kania masih nggak berminat untuk dekat dengan lelaki, mereka hanya bisa menuduh tanpa berusaha membuktikan. Kania malas dengan laki-laki seperti itu, lebih percaya orang lain daripada pasangan sendiri," jelas Kania.Irvan dan Citra saling menatap, sekarang mereka tahu bahwa luka hati Kania belum sembuh, bahkan mungkin akan memakan waktu yang lama untuk hilang tanpa bekas.Citra memegang tangan Kania, dia merasa prihatin pada anak perempuannya yang selalu berusaha kuat dan tegar menjalani semuanya sendirian. Sementara Irvan menepuk-nepuk bahu kiri Kania, berusaha kembali menguatkan anak tercintanya. Kania tersenyum bahagia dengan perhatian kedua orang tuanya. Orang tua yang selalu berusaha mendukungnya, menguatkannya apa pun yang terjadi.Ting!Suara microwave menyadarkan mereka bertiga, Citra menarik tangannya dari atas tangan Kania, lalu beranjak mengambil makanan yang sudah matang dari dalam microwave.
Seminggu kemudian.Pagi ini, Kania sedang menunggu giliran masuk ke dalam pesawat, ketika tiba-tiba ada sebuah suara seorang perempuan tanpa sosok yang menyuruhnya pergi ke Banyuwangi, di hari ke lima belas dia di Bali nanti.'Kania ... datanglah ke Banyuwangi tepat di hari ke lima belas kunjunganmu ke Bali. Kita akan segera memulai perjanjian kita,' bisik suara tak kasat mata itu berulang kali.'Baiklah, aku akan datang untuk memenuhi perintahmu,' jawab Kania melalui telepati.Bertepatan dengan itu terdengar panggilan dari pengeras suara yang meminta seluruh penumpang pesawat Rajawali Air tujuan ke Bali supaya naik ke pesawat.Kania pun segera berdiri dan melangkah menuju ke pintu keberangkatan, kemudian melangkah masuk ke dalam bis yang akan membawanya ke tempat parkir pesawat yang akan ditumpanginya ke Bali.Kurang lebih satu jam setengah, Kania menempuh perjalanan dari Jakarta ke Bali, akhirnya sampai juga dia di Bandara I Gusti Ngurah R
Kirana terbang ke rumpun bambu di depan rumah Lakeswari, dia menari-nari bahagia di sana."Sebentar lagi ... sebentar lagi, hihihihi." Kikikannya pecah menggelegar, menggema memekakkan telinga, membuat merinding siapa pun yang mendengar tawa kuntilanak merah itu.Kirana begitu gembira membayangkan bahwa dirinya nanti akan mendapatkan banyak tumbal segar dari Kania."Biarlah kali ini aku mengalah, meminum darah binatang pun tak mengapa untuk sementara waktu, karena sebentar lagi aku akan kembali merasakan segarnya darah dan enaknya daging makhluk-makhluk kecil yang ditumbalkan oleh Kania maupun oleh orang-orang yang meminta tolong padanya. Bersabarlah Kirana, semua akan berakhir tidak lama lagi. Hihihihi." Kembali terdengar suara kuntilanak merah itu mengikik keras di keheningan malam, meningkahi suara gemerisik daun-daun pucuk bambu yang saling bergesekkan menambah kengerian suasana malam itu.Sedetik kemudian tampak sekelebat satu bayangan merah terbang
Sesampainya di kantor, Kania menyuruh Sita mengecek semua agenda pertemuan dengan klien maupun calon kliennya dalam beberapa waktu yang akan datang.Kania bermaksud meninggalkan semua keributan di Jakarta untuk menemui kedua orang tuanya di Bali.Setelah memastikan bahwa agendanya aman dan bisa dialih tugaskan kepada wakilnya, serta mengagenda ulang semua pertemuan yang tidak bisa ditinggalkannya dengan online meeting mulai minggu depan, Kania bergegas menyelesaikan semua pekerjaan yang menumpuk di meja.[Sita, semua dokumen yang memerlukan persetujuan dariku sudah kutanda tangani.Ambil semuanya nanti di meja. Kalau ada lagi dokumen penting yang memerlukan persetujuanku, segera bawa ke sini.]Kania memerintahkan agar Sita membawa semua dokumen yang perlu persetujuan darinya untuk segera dibawa ke ruangan kerjanya supaya bisa diselesaikan sebelum dia cuti.[Baik, Bu.]Jawab Sita lalu mempersiapkan semua dokumen penting yang di minta ole
Sementara itu di sebuah kamar di rumah mewah Perumahan Permata Hijau, tampak Arga sedang gundah. Dia masih mengingat pertemuannya dengan Kania.Hati kecil Arga terus berbisik bahwa Kania, mantan istrinya itu tidak bersalah, Kania hanya berada di waktu dan tempat yang tak semestinya saat itu.'Benarkah seperti itu? Benarkah Kania tidak bersalah? Jika benar, lalu siapa yang telah merencanakan semua kejahatan ini?' Kata hati Arga terus bergejolak, merangkai tanya yang belum ada jawabnya.Wajah tampan Arga tampak begitu kacau setelah pertemuannya dengan Kania, hati kecilnya terus memberontak tetapi Arga tetap berusaha menyangkalnya.'Nggak ... nggak mungkin kalau semua itu hanya kebetulan saja, pasti Kania sudah merencanakan itu semua. Jangan-jangan Kania dan laki-laki itu sudah berhubungan dari sebelum peristiwa itu?' Arga terus saja berusaha menyangkal kata hatinya.Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk dari luar, dengan sedik
Sesampainya di kantor, Kania menyuruh Sita mengecek semua agenda pertemuan dengan klien maupun calon kliennya dalam beberapa waktu yang akan datang.Kania bermaksud meninggalkan semua keributan di Jakarta untuk menemui kedua orang tuanya di Bali.Setelah memastikan bahwa agendanya aman dan bisa dialih tugaskan kepada wakilnya, serta mengagenda ulang semua pertemuan yang tidak bisa ditinggalkannya dengan online meeting mulai minggu depan, Kania bergegas menyelesaikan semua pekerjaan yang menumpuk di meja.[Sita, semua dokumen yang memerlukan persetujuan dariku sudah kutanda tangani.Ambil semuanya nanti di meja. Kalau ada lagi dokumen penting yang memerlukan persetujuanku, segera bawa ke sini.]Kania memerintahkan agar Sita membawa semua dokumen yang perlu persetujuan darinya untuk segera dibawa ke ruangan kerjanya supaya bisa diselesaikan sebelum dia cuti.[Baik, Bu.]Jawab Sita lalu mempersiapkan semua dokumen penting yang di minta ole
Sambil memikirkan langkah-langkah yang akan dia ambil untuk menyelidiki Rasti nantinya, Risa bergegas menyelesaikan pekerjaannya menyiapkan makan siang lalu menelepon suaminya.Tut! Tut! Tut!Suara nada sambung dari ponsel Risa terdengar jelas di ruang makan yang hanya diisinya sendirian. Tidak lama terdengar suara sambungan teleponnya tersambung dengan suaminya.[Assalamualaikum, Mi. Ada apa? Kangen sama papi ya?"]Goda Indra Hartawan pada istri tercintanya Risa Hartawan itu.[Wa'alaikumsalam, Pi. Ish, papi nih, seneng bener ngusilin mami. Papi mau pulang jam berapa? Ini makan siang udah siap semua, dan kali ini juga ada tamu istimewa yang akan ikut kita makan siang, Pi.]Ucap Risa Hartawan sambil mengupas buah jeruk untuk dirinya sendiri.[Hahaha, tapi mami suka 'kan diusilin sama papi? Iya, sebentar lagi papi pulang, Mi. Papi masih harus nyelesaiin dokumen yang harus segera diperiksa dan ditandatangani hari ini juga soalnya. Ya uda