Sementara itu di sebuah rumah mewah di kawasan Permata Hijau, Arga baru saja keluar dari kamar mandi ketika terdengar suara dering dari ponselnya. Sedikit tergesa, Arga mencari-cari di mana ponselnya tadi disimpan.
"Ish, mana lagi tu ponsel! Pakai acara ngumpet segala lagi!" gerutu Arga sambil terus mencari. "Nah, ini dia. Ketemu juga akhirnya," sambung Arga setelah menemukan ponselnya di bawah tumpukan baju kotornya yang masih berserakan di atas karpet kamarnya.
Arga bermaksud mengecek siapa yang baru saja meneleponnya ketika suara dering ponselnya kembali terdengar, sekilas dilihatnya nama MAMI tertera di layar ponsel berlogo apel digigit itu.
[Assalamualaikum, Mami. Mami, Papi apa kabarnya? Kapan mami sama papi pulang dari Dubai? Arga kangen mami papi!]
Sapa Arga setelah panggilan video dengan maminya terhubung.
[Waalaikumsalam, Ga. Ya ampun, Arga kalau mau tanya satu-satu dong. Pelan-pelan ngomongnya, mami jadi bingung nih mau jawab yang mana dulu.]
Mendengar maminya mengomel Arga hanya menyeringai salah tingkah. Mungkin karena merasa masih anak-anak, Arga menjadi manja pada maminya.
[Hehehe, iya, Mi. Maaf, habisnya Arga udah kangen banget sama mami dan papi.]
Terang Arga kepada wanita yang melahirkannya 22 tahun yang lalu itu masih dengan wajah salah tingkah karena malu.
[Ckckck, kamu itu dari dulu memang nggak berubah. Padahal sebentar lagi kamu udah mau nikah lo, Ga tapi kok ya masih aja manja sama mami!]
Arga hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal karena mendengar omelan maminya.
[Sudah, Mi jangan ngomel melulu. Nanti nambah lagi lo kerutan di wajah mami. Hahaha!]
Samar Arga mendengar suara papinya menggoda sang mami yang sedari tadi mengomel karena kemanjaannya.
[Ish, Papi kenapa ganti mami yang jadi sasaran sih? Ya, nanti kalau kerutan di wajah mami nambah lagi kan tinggal minta anter papi ke klinik langganan mami terus mami ambil perawatan wajah paling mahal deh.]
Jawab sang mami dengan nada seolah merajuk.
[Hahaha, udah ah. Papi mau nge-gym! Ga, papi keluar dulu. Kamu nggak usah ambil hati omelan mami kamu!]
Seru papi Arga berpamitan kepada Arga hendak ke fitness center yang berada dua lantai di atas lantai apartemen mereka di Dubai.
Arga hanya tertawa mendengar suara laki-laki yang disayanginya itu.
[Ga, cerita dong sama Mami, udah sejauh apa persiapan pernikahan kamu sama Kania?]
Tanya mami pada Arga tentang persiapan pernikahannya dengan Kania.
[Sejauh ini persiapan belum begitu banyak perubahan sih, Mi karena Kania dan aku lagi sama-sama sibuk ngajuin proposal skripsi. Kalau disetujui, insyaaAllah bulan depan paling cepet kami sidang, Mi. Mungkin setelah sidang itu baru kami berdua bisa bener-bener serius nyiapin semuanya. Doain semuanya lancar ya, Mi.]
Jawab Arga disertai helaan nafas panjang.
[Iya, Nak. Mami dan Papi selalu mendoakan kalian berdua. Kalian fokus dulu sama skripsi kalian nanti kalau sudah selesai sidang barulah kalian benar-benar fokus ke persiapan pernikahan, toh pernikahan kalian masih delapan bulan lagi kan. Mami dan Papi insyaaAllah tiga minggu lagi pulang ke Indonesia, urusan bisnis Papi tinggal sedikit lagi yang belum beres di sini.]
Arga hanya mengangguk-anggukkan kepala mendengarkan penjelasan maminya, sesungguhnya dia merasa sangat kuwalahan mengurusi sendiri acara pernikahannya tanpa bantuan orang tuanya. Akan tetapi kesibukkan papi dan mami mengurusi bisnis keluarga membuatnya mau tidak mau
harus menerima dan memaklumi keadaan.Risa Hartawan, mami Arga bukannya tidak tahu kerepotan yang dialami anak lelakinya itu dalam mengurus pernikahan seorang diri. Risa sangat ingin membantu anak dan Kania, calon menantunya mengingat kedua calon besannya juga sama-sama sibuk seperti dirinya dan Indra Hartawan, suaminya. Akan tetapi keadaanlah yang membuat mereka harus meninggalkan Arga sementara waktu.
[Ga, mami sama papi minta maaf ya udah biarin kamu kesusahan ngurusin acara pernikahanmu sendiri, tapi mami janji begitu sampai Indonesia pasti bantuin kalian berdua mengurus semuanya!]
Risa meminta maaf akan ketidak hadirannya dalam membantu Arga mempersiapakan penikahan.
[Enggak apa-apa, Mi. Arga paham kok, udah mami sama papi fokus aja sama urusan mami papi di sana. Nanti kalau ada yang Arga nggak paham, aku telepon mami ya.]
Arga berusaha menenangkan maminya agar tidak terlalu merasa bersalah kepadanya.
[Iya, Sayang anak mami. Ya udah, kamu sekarang istirahat dulu, di Indo udah jam 10 malam kan. Mami mau nyiapin jus dulu buat papi. Jaga diri ya, Nak. Doakan urusan papi mami lancar, sukses dan cepet selesai. Salam mami papi untuk Kania dan ayah ibunya. Assalamualaikum.]
Pamit Risa sebelum mengakhiri sambungan telepon dengan Arga.
[Aamiin. Ya, Mi. Mami papi juga hati-hati selama di sana, jaga kesehatan. InsyaaAllah nanti Arga sampaikan, Mam. W*'alaikumsalam.]
Sahut Arga mengakhiri percakapan dengan maminya.
Selesai menerima telepon maminya, Arga memutuskan untuk mengirim pesan kepada Kania melalui aplikasi hijaunya, meminta maaf bahwa dia lupa menelepon Kania karena tengah asyik berteleponan dengan maminya.
Kania yang ternyata juga belum tidur segera membalas pesan Arga dan mengatakan bahwa dia tidak marah dan menanyakan kabar kedua calon mertuanya.
Setelah beberapa waktu saling berbalas pesan melalui aplikasi hijau, Arga pun mengakhiri percakapan mereka dengan mengatakan bahwa dirinya mau istirahat, dia pun tidak lupa menyuruh Kania beristirahat agar tidak sakit karena kelelahan.
'Hmm, chat sama Arga udah kelar. Mau nonton televisi nggak ada acara yang bagus. Mau lihat video juga males, ceritanya gitu-gitu aja. Enaknya ngapain ya? Apa aku salat Tahajud aja kali ya? Baru tidur,' gumam Kania seorang diri.
Usai menerima pesan terakhir dari Arga, Kania yang memang belum merasa mengantuk itu memutuskan untuk mengerjakan salat malam terlebih dahulu sebelum akhirnya beranjak ke kamar dan memutuskan untuk tidur.
***
Di tempat lain, di sebuah Pub tampak seorang gadis cantik duduk seorang diri menikmati kepulan asap yang lolos dari bibir seksinya. Dalam diam, gadis itu teringat kembali pada sebuah lembaran kenangan yang masih sangat terasa menyakitkan untuknya."Perempuan itu melabrakku, Kak. Dia menyebutku sebagai perempuan murahan, perempuan itu juga menyuruh seseorang untuk menyakiti dan memaksaku meninggalkan Mas Pras, padahal di antara kami nggak ada apa-apa. Aku takut papa dan Adi marah. Adi pasti ninggalin aku kalau tahu aku udah nggak perawan lagi gara-gara lelaki suruhan perempuan itu, Kak. Rasanya aku nggak sanggup bila harus hidup menanggung malu, Kak. Lebih baik aku mati," isak Sasti, adik perempuan kesayangannya kembali terngiang di telinga dan ingatannya.'Aaarrggh! Bangsat! Sialan! Kakak akan membalaskan sakit hatimu sama mereka, Dek! Kakak janji, Kakak nggak akan lepasin mereka sebelum mereka merasakan penderitaan seumur hidup yang akan membuat mereka menyesal karena
Senyum Rasti mengembang seketika, saat sesosok pemuda itu mendatangi dan mencium kedua belah pipinya bergantian. Pemuda tampan dengan tinggi 189 itu adalah Andra, sahabat Rasti dari kecil.Rasti merasa sangat antusias dengan kehadiran Andra, karena hanya Andra yang bisa membuatnya melupakan lukanya di masa lalu. Setiap kali rasa marah itu datang, seketika itu juga hilang saat lelaki itu datang dan berada di sisinya."Hai, Putri Tidur apa kabar lu? Udah lama banget kita nggak ketemu. Gue kangen banget tahu sama elu, elu itu kemana aja sih? Emak gue nanyain elu tuh, katanya mana calon mantu emak kok udah lama nggak pernah main ke sini lagi? Sampai-sampai emak gue ngira gue marahan sama elu. Padahal mah boro-boro marahan, ketemu juga nggak. Ya kan," cerocos pemuda tampan berhidung bangir itu.Rasti yang mendengar cerocosan sahabat kecilnya itu hanya tersenyum geli dan memeluk Andra erat."Ndra, gue juga kangen banget sama elu, ibu, adik-adik elu, pokoknya se
Masa Sekarang Satu setengah jam kemudian, Arga dan Rasti sampai di rumah sakit terdekat. Tergopoh-gopoh, Arga berlari kesana kemari sambil berteriak meminta brankar untuk mengangkat tubuh istrinya yang sudah tidak berdaya itu. "Pak, tolong saya minta brankar! Keadaan istri saya sudah sangat kritis, saya mohon, Pak!" Arga berteriak histeris, tidak dipedulikannya beberapa pasang mata yang menatapnya heran. "Awas! Permisi! Minggir! Ini Pak, brankar yang Bapak minta!" seru seorang petugas keamanan tengah mendorong sebuah brankar mendekati Arga. Arga segera menyambut brankar yang diserahkan kepadanya. Bergegas dia mendorong brankar itu mendekati pintu kursi pemandu, dengan tergesa dia membuka pintu mobilnya dan mengangkat istrinya yang tengah hamil tujuh bulan itu untuk dibaringkan di atas brankar. Kemudian dia meminta tolong kepada seorang petugas medis yang kebetulan lewat untu membantu mendorong brankar yang berisikan tubuh istrinya sement
Sementara itu di dalam ruang IGD, para dokter jaga, perawat, bidan sibuk dengan urusannya masing-masing, begitu juga dengan dokter, perawat dan bidan yang menangani Rasti. "Sus, kita harus operasi sekarang karena pasien mengalami banyak kehilangan darah. Tolong kamu siapkan ruang OK dan periksa ketersediaan stok darah golongan AB sekarang! Saya akan keluar menemui keluarganya untuk meminta persetujuan," perintah dokter Indri, Sp.Og kepada semua tim yang membantunya. Gegas dokter Indri keluar mencari keluarga Rasti dan mendapati Arga yang tengah duduk sendirian berusaha mengusir rasa mual dan dingin yang dirasakannya, "Maaf, apa Bapak keluarga pasien yang bernama Rasti?" tanya dokter Indri. Dokter Indri tidak segera menjawab pertanyaan yang dilontarkan Arga karena didatangi oleh salah satu asistennya yang memberitahukan bahwa di bank darah rumah sakit saat ini hanya tersedia dua kantong golongan darah AB dari lima kantong yang mereka perlukan untuk prose
Trash! Kuku-kuku panjang itu berhasil merobek sesuatu di dalam sana dan senyum lebar, lebih tepatnya seringaian karena yang tampak di dalam mulut wanita itu adalah gigi-gigi runcing yang siap menyobek apa pun menjadi serpihan. Dengan sekali tarikan keras, tangan itu keluar dengan membawa sesuatu yang memang sudah diincarnya sedari tadi. Sesuatu itu tampak berdarah-darah dan terdapat lubang sobekan memanjang dari atas hingga ke bawah, seakan hendak membelah sesuatu itu menjadi dua bagian sama besar. "Hahaha! Akhirnya aku dapat memakan kembali makanan kesukaanku ini setelah sekian lama. Aku suka!" Tawa seram sosok itu terdengar keras dan melengking, seketika itu juga suasana di dalam ruang OK terasa semakin mencekam. Para tenaga medis yang tengah berjuang menolong Rasti serentak menghentikan pekerjaan mereka karena terkejut, beberapa di antara mereka terutama para tenaga co-assistent merasa ketakutan karena tidak pernah mengalami fenomena seperti
Jadi anak saya meninggal, dok. Innalillahi w* inna ilaihi rajiun, terima kasih untuk usaha yang sudah dokter dan tim berikan untuk anak dan istri saya. Saya sangat menghargainya, saya permisi mau ke bagian pemulasaraan jenazah dulu, dok" pamit Arga kepada dokter Indri. Dengan langkah gontai dan mata berkaca-kaca, Arga melangkahkan kakinya ke ruang pemulasaraan jenazah untuk melihat jenazah bayinya ketika tiba-tiba ponselnya berdering dan tertera tulisan PAPI, gegas di angkatnya telepon dari papinya. [Assalamualaikum, Pi.] salam Arga begitu mengangkat telepon papinya. [W*'alaikumsalam, Arga. Ga, maaf papi dan mami baru aja sampai di rumah sakit, tadi kami terjebak macet karena hujan angin ribut. Semoga istri dan anak kamu bisa tertolong, ya.] Indra, papi Arga menjelaskan alasan keterlambatan mereka kepada Arga. [Iya, nggak apa-apa, Pi. Rasti, alhamdulillah selamat, tapi anak Arga ....] Arga me
"Arga, papa dan mama minta maaf karena datang terlambat. Sebenarnya kami tadi langsung berangkat setelah menerima telepon darimu, tapi nggak tahu kenapa mobil papa tiba-tiba saja mogok dan nggak mau dinyalakan lagi mesinnya. Jadi kami terpaksa harus menunggu tukang bengkel langganan kita untuk datang mengambil mobil papa dan menelepon taksi untuk melanjutkan perjalanan ke sini," papar Roy."Ya, nggak apa-apa, Pa, Ma. Papi dan mami juga baru datang kok, karena tadi mereka kejebak hujan angin ribut dan nggak berani nerusin perjalanan karena jarak pandang terlalu dekat," jelas Arga kepada Roy."Oh, oke. Sekarang beritahu pada kami, bagaimana keadaan istri dan calon anak kalian? Mereka selamat 'kan?" Risa bertanya kepada Arga mewakili suami dan kedua besannya.Wajah Arga semakin murung. Tanpa suara, Arga menggamit tangan mamanya dan meminta mereka semua untuk mengikuti dirinya menuju ke ruang pemulasaraan jenazah.Wajah ke empat orang tuanya terlihat tak meng
Sementara itu di kediaman Indra, papa Arga, para tetangga mulai berdatangan untuk membantu proses pemakaman anak Arga. Beberapa ibu, membantu memasak dan menyiapkan air minum serta camilan untuk para pelayat dan keluarga beserta beberapa penggali makam. Sementara itu para bapak bersiap untuk menyalatkan jenazah dan menyiapkan keranda untuk membawa jenazah ke makam, di masjid wakaf keluarga Indra Hartawan.Sekilas tidak ada yang aneh dari kegiatan itu, semua tampak wajar dan normal. Arga yang masih ingin bersama buah hatinya menolak memasukkan jenazah bayinya ke dalam keranda, dia ingin menggendong jenazah anaknya selama perjalanan hingga ke liang lahat."Bisa nggak, Pak kalau saya gendong anak saya saja mulai dari sini hingga ke makam. Ya, itung-itung gendongan pertama dan terakhir saya untuk dia, Pak," pinta Arga kepada beberapa tetangganya yang ikut mengurusi jenazah."Silahkan, Nak Arga. Nanti kalau Nak Arga sudah siap, kita langsung berangkat ya. Kasian kala