Di dalam kamarnya yang hanya diterangi dengan sebuah lilin, Kania mengambil boneka yang sudah tertempel foto Rasti. Tanpa ampun, Kania menusuk bagian perut boneka itu berkali-kali.
"Rasakan itu, Rasti! Arga lebih pantas untukku!" ucap Kania dengan tawa bahagia.
Sejenak Kania terdiam mengingat kenangan manisnya bersama Arga, dan raut wajahnya kembali mengeras ketika dia mengingat kembali luka yang disebabkan oleh lelaki itu dan sahabatnya, Rasti.
"Arga, kamu adalah milikku! Selamanya tetap milikku! Hanya milikku!".
Tiba-tiba angin berhembus tak wajar ke dalam kamarnya yang tertutup rapat itu. Seketika tengkuk Kania meremang, dia semakin yakin dendamnya akan terbalaskan.
Kania benar-benar sudah tidak bisa berpikir jernih lagi, karena luka yang tergores dalam di hatinya.
Dalam benak Kania sekarang yang ada hanyalah mewujudkan keinginannya untuk membalaskan dendam, sakit hati, kecewa, malu, marah kepada pasangan suami istri tersebut.
Hembusan angin yang membawa aura dingin itu semakin mencekam dengan ditingkahi suara lolongan anjing di kejauhan.
Mantra demi mantra diucapkannya dan seakan menjawab keinginannya, tiba-tiba terdengar bisikan-bisikan tidak kasat mata yang seakan ingin mengatakan bahwa 'mereka' siap membantu Kania yang sudah terbakar api dendamnya.
****
"Rasti, kamu di mana, Sayang?" Arga berjalan menuju dapur mencari Rasti, istri yang sekarang sedang mengandung buah hati pertama mereka.
Mendengar suara suaminya, gegas Rasti bangun dan duduk di atas kasur springbed tempat peraduannya dengan suaminya tercinta. "Iya, Mas, aku sedang rebahan di kamar," jawab Rasti dari arah kamar.
"Kok tumben masih pagi gini kamu tidur?" tanya Arga keheranan melihat Rasti masih setia berada di atas springbed.
"Iya maaf, Mas, tadi aku nggak enak badan, jadi aku rebahan bentar. Mas lapar ya? Aku masak dulu ya, Mas." Rasti memasang kembali kerudung yang sempat dilepasnya tadi sebelum akhirnya berdiri dan beranjak ke dapur.
Mendadak dari arah dapur terdengar suara teriakan, "Mas ... aduh, Mas tolong! Perutku sakit banget, Mas!" teriak Rasti memanggil Arga, suaminya.
Arga yang baru saja bermaksud untuk berbaring mengistirahatkan tubuhnya yang penat, langsung meloncat dari ranjang demi mendengar suara teriakan istrinya dan berlari ke arah dapur, tetapi sial tak dapat ditolak, karena terburu-buru dan tidak melihat arah jalannya, kaki kanan Arga terantuk kaki lemari baju di kamarnya.
Gubrak!
'Aduh, sakit banget jempol kakiku, jangan-jangan keseleo lagi nih. Bener-bener deh, nggak tahu orang buru-buru. Pakai acara kesandung segala. Dasar ceroboh!' omel Arga dalam hatinya sambil mengelus jempolnya yang terasa sakit
Dengan menahan sakit di jempol kakinya yang terantuk kaki lemari tadi, gegas Arga bangkit dan kembali menuju dapur untuk mendatangi istrimya.
"Mas! Mas! Cepetan, Mas! Sini!" Terdengar kembali teriakan Rasti dari arah dapur.
"Iya! Bentar, Yang! Sabar! Jempol kakiku sakit nih, habis nabrak lemari!" balas Arga tidak kalah keras.
Masih dengan terpincang-pincang menahan rasa sakit, Arga melajukan jalannya menuruni anak-anak tangga dan menghampiri istrinya yang berada di dapur.
Terkejut melihat istrinya sudah dalam posisi jatuh terduduk, Arga pun gegas berlari mendatangi istrinya yang tengah memegang perutnya, "Ada apa, Beb. Kamu kenapa?" tanya Arga dengan wajah kebingungan.
"Sakit, Mas ... perutku sakit banget!" rintih Rasti sambil memegangi perutnya yang sudah membesar, di antara kedua pahanya terlihat darah setengah kental mengalir membasahi daster yang sekarang sedang dipakainya.
"Beb, kamu kenapa? Ada apa sama kamu? Kamu kenapa bisa posisi kaya gini? Kamu jatuh duduk karena kepleset atau apa?" cecar Arga kepada istrinya yang tengah kesakitan.
Dengan menggigit bibirnya, Rasti, istri Arga hanya mampu menggelengkan kepalanya perlahan, menandakan dia tidak sanggup lagi bicara.
Rasti hanya bisa merintih lirih pertanda dia mulai lemah, dasternya semakin memerah oleh cairan kental yang terus keluar, "mas, tolong." tenaganya semakin terkuras akibat mulai kekurangan darah.
Dengan sigap, melupakan rasa sakit di jempol kakinya yang tadi sempat terantuk lemari, Arga menggendong istrinya untuk dibawa ke rumah sakit, tetapi sesampainya di depan pintu mobilnya dia menghembuskan nafas dengan kasar sambil menepuk dahinya keras-keras, karena lupa membawa kunci mobilnya.
"Ah ... dasar bodoh! Aku lupa bawa kunci!" gerutu Arga, kesal dengan dirinya sendiri yang begitu ceroboh dari tadi.
"Yang, kamu duduk di sini ya sebentar, aku ambil kunci mobil dulu. Kamu bertahan ya!" Setelah mendudukkan Rasti di kursi rotan yang ada di teras rumah, Arga bergegas mengambil kunci mobilnya yang tergantung di dekat pintu kamar mereka, kemudian berlari kembali ke depan lalu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit.
Arga tidak ingin kehilangan istri dan anak yang sudah sangat dinantinya, Arga berusaha keras untuk memfokuskan perhatiannya ke depan, walau pun hatinya teriris pilu mendengar rintihan istrinya menahan sakit yang semakin tak tertahankan.
"Mas, cepetan, Mas. Aku udah nggak tahan lagi. Sakit banget, Mas. Allahu Akbar." Rasti merintih kesakitan.
" Iya, Sayang. Ini aku juga udah berusaha cepet, tapi aku nggak berani terlalu ngebut, Yang. Nanti kalau kita kecelakaan malah lebih repot lagi. Kamu bertahan sebentar ya, Yang. Kita udah hampir sampai kok." Andra meyakinkan Rasti dan berusaha menguatkan istrinya dengan menggenggam erat tangan perempuan itu untuk menyalurkan sisa kekuatan dan semangat yang dimilikinya saat ini, walau pun sebenarnya dia sendiri sangat kebingungan dan takut terjadi sesuatu kepada anak dan istrinya.
Keinginan dan harapannya hanyalah menyelamatkan anak dan istrinya secepat mungkin.
***
Sementara itu di dalam kamar sebuah rumah di kawasan Cempaka Putih, tampak Kania masih terus menusuk boneka Rasti dengan senyum jahatnya.'Kamu harus mati, Rasti! Kamu harus merasakan pembalasanku! Aku akan terus mengejarmu, ke neraka sekalipun.' desis Kania.Di kejauhan suara lolongan anjing semakin keras terdengar bersahut-sahutan dengan suara burung gagak, udara di kamarnya terasa dingin dan sangat pengap terasa seakan menusuk tulang, tirai-tirai di kamarnya berkibar-kibar. Bisikan tak kasat mata itu kembali terdengar di telinganya.'Bagus. Bagus sekali Kania, saudaraku. Minta apa pun kepadaku. Minta apa saja yang kau inginkan. Aku pasti akan mengabulkannya,' bisikan itu terdengar sangat lirih dan parau.Seringaian Kania semakin nyata terlihat di bibirnya. Keinginan untuk membalas dendam itu semakin kuat tertanam di dadanya. Kebencian itu semakin kuat mengakar.'Aku ingin perempuan dalam foto ini mati dengan perlahan-lahan, agar dia tahu b
Malam harinya usai menyelesaikan semua rangkaian kegiatan, Arga pun mengantarkan Kania, tunangannya pulang."Yang, aku pulang dulu ya. Habis ini, kamu langsung mandi terus istirahat. Jangan begadang, kita udah cukup capek hari ini. Besok pagi aku jemput kamu seperti biasa, begitu selesai bimbingan skripsi kita lanjutin lagi nyari souvenir dan undangan," pamit Arga pada Kania, kekasihnya."Iya, Sayang. Kamu juga sampai di rumah nanti langsung mandi, makan dan istirahat ya. Jangan lupa salat dulu." ujar Kania dengan tatapan mesra pada Arga."Siap, Jenderal! Kamu juga jangan lupa makan dan salat ya. Makasih udah selalu diingetin. I love you, Kania Andarini Prasetyo."Arga mengangkat tangan kanannya, bersikap hormat pada Kania. Kania merasa gemas sekaligus malu karena melihat sikap calon suaminya yang selalu saja menggodanya di setiap kesempatan."Ish, apaan sih Arga. Udah kewajiban aku buat ngingetin calon imamku, biar semakin istiqomah nanti kalau ud
Sementara itu di sebuah rumah mewah di kawasan Permata Hijau, Arga baru saja keluar dari kamar mandi ketika terdengar suara dering dari ponselnya. Sedikit tergesa, Arga mencari-cari di mana ponselnya tadi disimpan."Ish, mana lagi tu ponsel! Pakai acara ngumpet segala lagi!" gerutu Arga sambil terus mencari. "Nah, ini dia. Ketemu juga akhirnya," sambung Arga setelah menemukan ponselnya di bawah tumpukan baju kotornya yang masih berserakan di atas karpet kamarnya.Arga bermaksud mengecek siapa yang baru saja meneleponnya ketika suara dering ponselnya kembali terdengar, sekilas dilihatnya nama MAMI tertera di layar ponsel berlogo apel digigit itu.[Assalamualaikum, Mami. Mami, Papi apa kabarnya? Kapan mami sama papi pulang dari Dubai? Arga kangen mami papi!]Sapa Arga setelah panggilan video dengan maminya terhubung.[Waalaikumsalam, Ga. Ya ampun, Arga kalau mau tanya satu-satu dong. Pelan-pelan ngomongnya, mami jadi bingung nih mau jawab yang
Di tempat lain, di sebuah Pub tampak seorang gadis cantik duduk seorang diri menikmati kepulan asap yang lolos dari bibir seksinya. Dalam diam, gadis itu teringat kembali pada sebuah lembaran kenangan yang masih sangat terasa menyakitkan untuknya."Perempuan itu melabrakku, Kak. Dia menyebutku sebagai perempuan murahan, perempuan itu juga menyuruh seseorang untuk menyakiti dan memaksaku meninggalkan Mas Pras, padahal di antara kami nggak ada apa-apa. Aku takut papa dan Adi marah. Adi pasti ninggalin aku kalau tahu aku udah nggak perawan lagi gara-gara lelaki suruhan perempuan itu, Kak. Rasanya aku nggak sanggup bila harus hidup menanggung malu, Kak. Lebih baik aku mati," isak Sasti, adik perempuan kesayangannya kembali terngiang di telinga dan ingatannya.'Aaarrggh! Bangsat! Sialan! Kakak akan membalaskan sakit hatimu sama mereka, Dek! Kakak janji, Kakak nggak akan lepasin mereka sebelum mereka merasakan penderitaan seumur hidup yang akan membuat mereka menyesal karena
Senyum Rasti mengembang seketika, saat sesosok pemuda itu mendatangi dan mencium kedua belah pipinya bergantian. Pemuda tampan dengan tinggi 189 itu adalah Andra, sahabat Rasti dari kecil.Rasti merasa sangat antusias dengan kehadiran Andra, karena hanya Andra yang bisa membuatnya melupakan lukanya di masa lalu. Setiap kali rasa marah itu datang, seketika itu juga hilang saat lelaki itu datang dan berada di sisinya."Hai, Putri Tidur apa kabar lu? Udah lama banget kita nggak ketemu. Gue kangen banget tahu sama elu, elu itu kemana aja sih? Emak gue nanyain elu tuh, katanya mana calon mantu emak kok udah lama nggak pernah main ke sini lagi? Sampai-sampai emak gue ngira gue marahan sama elu. Padahal mah boro-boro marahan, ketemu juga nggak. Ya kan," cerocos pemuda tampan berhidung bangir itu.Rasti yang mendengar cerocosan sahabat kecilnya itu hanya tersenyum geli dan memeluk Andra erat."Ndra, gue juga kangen banget sama elu, ibu, adik-adik elu, pokoknya se
Masa Sekarang Satu setengah jam kemudian, Arga dan Rasti sampai di rumah sakit terdekat. Tergopoh-gopoh, Arga berlari kesana kemari sambil berteriak meminta brankar untuk mengangkat tubuh istrinya yang sudah tidak berdaya itu. "Pak, tolong saya minta brankar! Keadaan istri saya sudah sangat kritis, saya mohon, Pak!" Arga berteriak histeris, tidak dipedulikannya beberapa pasang mata yang menatapnya heran. "Awas! Permisi! Minggir! Ini Pak, brankar yang Bapak minta!" seru seorang petugas keamanan tengah mendorong sebuah brankar mendekati Arga. Arga segera menyambut brankar yang diserahkan kepadanya. Bergegas dia mendorong brankar itu mendekati pintu kursi pemandu, dengan tergesa dia membuka pintu mobilnya dan mengangkat istrinya yang tengah hamil tujuh bulan itu untuk dibaringkan di atas brankar. Kemudian dia meminta tolong kepada seorang petugas medis yang kebetulan lewat untu membantu mendorong brankar yang berisikan tubuh istrinya sement
Sementara itu di dalam ruang IGD, para dokter jaga, perawat, bidan sibuk dengan urusannya masing-masing, begitu juga dengan dokter, perawat dan bidan yang menangani Rasti. "Sus, kita harus operasi sekarang karena pasien mengalami banyak kehilangan darah. Tolong kamu siapkan ruang OK dan periksa ketersediaan stok darah golongan AB sekarang! Saya akan keluar menemui keluarganya untuk meminta persetujuan," perintah dokter Indri, Sp.Og kepada semua tim yang membantunya. Gegas dokter Indri keluar mencari keluarga Rasti dan mendapati Arga yang tengah duduk sendirian berusaha mengusir rasa mual dan dingin yang dirasakannya, "Maaf, apa Bapak keluarga pasien yang bernama Rasti?" tanya dokter Indri. Dokter Indri tidak segera menjawab pertanyaan yang dilontarkan Arga karena didatangi oleh salah satu asistennya yang memberitahukan bahwa di bank darah rumah sakit saat ini hanya tersedia dua kantong golongan darah AB dari lima kantong yang mereka perlukan untuk prose
Trash! Kuku-kuku panjang itu berhasil merobek sesuatu di dalam sana dan senyum lebar, lebih tepatnya seringaian karena yang tampak di dalam mulut wanita itu adalah gigi-gigi runcing yang siap menyobek apa pun menjadi serpihan. Dengan sekali tarikan keras, tangan itu keluar dengan membawa sesuatu yang memang sudah diincarnya sedari tadi. Sesuatu itu tampak berdarah-darah dan terdapat lubang sobekan memanjang dari atas hingga ke bawah, seakan hendak membelah sesuatu itu menjadi dua bagian sama besar. "Hahaha! Akhirnya aku dapat memakan kembali makanan kesukaanku ini setelah sekian lama. Aku suka!" Tawa seram sosok itu terdengar keras dan melengking, seketika itu juga suasana di dalam ruang OK terasa semakin mencekam. Para tenaga medis yang tengah berjuang menolong Rasti serentak menghentikan pekerjaan mereka karena terkejut, beberapa di antara mereka terutama para tenaga co-assistent merasa ketakutan karena tidak pernah mengalami fenomena seperti