Share

Santet Pengantin
Santet Pengantin
Author: Maylafaisha

Part 1

Di dalam kamarnya yang hanya diterangi dengan sebuah lilin, Kania mengambil boneka yang sudah tertempel foto Rasti. Tanpa ampun, Kania menusuk bagian perut boneka itu berkali-kali. 

"Rasakan itu, Rasti! Arga lebih pantas untukku!" ucap Kania dengan tawa bahagia.

Sejenak Kania terdiam mengingat kenangan manisnya bersama Arga, dan raut wajahnya kembali mengeras ketika dia mengingat kembali luka yang disebabkan oleh lelaki itu dan sahabatnya, Rasti.

"Arga, kamu adalah milikku! Selamanya tetap milikku! Hanya milikku!".

Tiba-tiba angin berhembus tak wajar ke dalam kamarnya yang tertutup rapat itu. Seketika tengkuk Kania meremang, dia semakin yakin dendamnya akan terbalaskan.

Kania benar-benar sudah tidak bisa berpikir jernih lagi, karena luka yang tergores dalam di hatinya. 

Dalam benak Kania sekarang yang ada hanyalah mewujudkan keinginannya untuk membalaskan dendam, sakit hati, kecewa, malu, marah kepada pasangan suami istri tersebut.

Hembusan angin yang membawa aura dingin itu semakin mencekam dengan ditingkahi suara lolongan anjing di kejauhan.

Mantra demi mantra diucapkannya dan seakan menjawab keinginannya, tiba-tiba terdengar bisikan-bisikan tidak kasat mata yang seakan ingin mengatakan bahwa 'mereka' siap membantu Kania yang sudah terbakar api dendamnya.

****

"Rasti, kamu di mana, Sayang?" Arga berjalan menuju dapur mencari Rasti, istri yang sekarang sedang mengandung buah hati pertama mereka.

Mendengar suara suaminya, gegas Rasti bangun dan duduk di atas kasur springbed tempat peraduannya dengan suaminya tercinta. "Iya, Mas, aku sedang rebahan di kamar," jawab Rasti dari arah kamar.

"Kok tumben masih pagi gini kamu tidur?" tanya Arga keheranan melihat Rasti masih setia berada di atas springbed.

"Iya maaf, Mas, tadi aku nggak enak badan, jadi aku rebahan bentar. Mas lapar ya? Aku masak dulu ya, Mas." Rasti memasang kembali kerudung yang sempat dilepasnya tadi sebelum akhirnya berdiri dan beranjak ke dapur.

Mendadak dari arah dapur terdengar suara teriakan, "Mas ... aduh, Mas tolong! Perutku sakit banget, Mas!" teriak Rasti memanggil Arga, suaminya.

Arga yang baru saja bermaksud untuk berbaring mengistirahatkan tubuhnya yang penat, langsung meloncat dari ranjang demi mendengar suara teriakan istrinya dan berlari ke arah dapur, tetapi sial tak dapat ditolak, karena terburu-buru dan tidak melihat arah jalannya, kaki kanan Arga terantuk kaki lemari baju di kamarnya.

Gubrak!

'Aduh, sakit banget jempol kakiku, jangan-jangan keseleo lagi nih. Bener-bener deh, nggak tahu orang buru-buru. Pakai acara kesandung segala. Dasar ceroboh!' omel Arga dalam hatinya sambil mengelus jempolnya yang terasa sakit

Dengan menahan sakit di jempol kakinya yang terantuk kaki lemari tadi, gegas Arga bangkit dan kembali menuju dapur untuk mendatangi istrimya.

"Mas! Mas! Cepetan, Mas! Sini!" Terdengar kembali teriakan Rasti dari arah dapur.

"Iya! Bentar, Yang! Sabar! Jempol kakiku sakit nih, habis nabrak lemari!" balas Arga tidak kalah keras.

Masih dengan terpincang-pincang menahan rasa sakit, Arga melajukan jalannya menuruni anak-anak tangga dan menghampiri istrinya yang berada di dapur.

Terkejut melihat istrinya sudah dalam posisi jatuh terduduk, Arga pun gegas berlari mendatangi istrinya yang tengah  memegang perutnya, "Ada apa, Beb. Kamu kenapa?" tanya Arga dengan wajah kebingungan.

"Sakit, Mas ... perutku sakit banget!" rintih Rasti sambil memegangi perutnya yang sudah membesar, di antara kedua pahanya terlihat darah setengah kental mengalir membasahi daster yang sekarang sedang dipakainya.

"Beb, kamu kenapa? Ada apa sama kamu? Kamu kenapa bisa posisi kaya gini? Kamu jatuh duduk karena kepleset atau apa?" cecar Arga kepada istrinya yang tengah kesakitan.

Dengan menggigit bibirnya, Rasti, istri Arga hanya mampu menggelengkan kepalanya perlahan, menandakan dia tidak sanggup lagi bicara.

Rasti hanya bisa merintih lirih pertanda dia mulai lemah, dasternya semakin memerah oleh cairan kental yang terus keluar, "mas, tolong." tenaganya semakin terkuras akibat mulai kekurangan darah.

Dengan sigap, melupakan rasa sakit di jempol kakinya yang tadi sempat terantuk lemari, Arga menggendong istrinya untuk dibawa ke rumah sakit, tetapi sesampainya di depan pintu mobilnya dia menghembuskan nafas dengan kasar sambil menepuk dahinya keras-keras, karena lupa membawa kunci mobilnya.

"Ah ... dasar bodoh! Aku lupa bawa kunci!" gerutu Arga, kesal dengan dirinya sendiri yang begitu ceroboh dari tadi.

"Yang, kamu duduk di sini ya sebentar, aku ambil kunci mobil dulu. Kamu bertahan ya!" Setelah mendudukkan Rasti di kursi rotan yang ada di teras rumah, Arga bergegas mengambil kunci mobilnya yang tergantung di dekat pintu kamar mereka, kemudian berlari kembali ke depan lalu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit.

Arga tidak ingin kehilangan istri dan anak yang sudah sangat dinantinya, Arga berusaha keras untuk memfokuskan perhatiannya ke depan, walau pun hatinya teriris pilu mendengar rintihan istrinya menahan sakit yang semakin tak tertahankan.

"Mas, cepetan, Mas. Aku udah nggak tahan lagi. Sakit banget, Mas. Allahu Akbar." Rasti merintih kesakitan.

" Iya, Sayang. Ini aku juga udah berusaha cepet, tapi aku nggak berani terlalu ngebut, Yang. Nanti kalau kita kecelakaan malah lebih repot lagi. Kamu bertahan sebentar ya, Yang. Kita udah hampir sampai kok." Andra meyakinkan Rasti dan berusaha menguatkan istrinya dengan menggenggam erat tangan perempuan itu untuk menyalurkan sisa kekuatan dan semangat yang dimilikinya saat ini, walau pun sebenarnya dia sendiri sangat kebingungan dan takut terjadi sesuatu kepada anak dan istrinya.

Keinginan dan harapannya hanyalah menyelamatkan anak dan istrinya secepat mungkin.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status