"Kamu sudah simpan semua datanya? Jangan sampai lambat gerak. Sesuai target kita, satu minggu harus kelar, Radit." Siska bicara serius di telpon. Dia berdiri di balik kaca dengan tirai tertutup, melihat ke arah rumah besar Herman. "Hmm, ayolah! Jadilah berguna. Aku urus masalah asmara Vio dan Ferry di sini," lanjut Siska. Kening Siska mengkerut. Sepertinya terjadi negosiasi yang alot dengan Raditya. "Aku tidak mau tahu. Aku punya target bulan depan Helios, Ardi, atau entah siapa namanya, aku mau segera terbongkar rahasianya. Herman tidak akan bisa mangkir kecuali mengusir dia dari sini." Siska makin tega bicara dengan emosi lebih tinggi. Klik. Panggilan dia akhiri. "Dasar manusia tak berguna! Setelah Herman, kamu yang aku akan habisi. Ingat itu, Radit," ujar Siska geram. Mata Siska masih memandang ke arah rumah besar Herman. Yang dia lihat di sana, Herman dan putra dadakannya itu tertawa gembira. Tidak tahan lagi Siska melihat semua itu. Tetapi tidak lama lagi jika kenyataan si
Kelas di akademi sudah tinggal beberapa kali pertemuan. Kelas-kelas terakhir bukan lagi mengenai materi, tetapi lebih banyak praktek dan mengerjakan proyek langsung untuk penilaian kelulusan.Suasana kelas lebih tegang dan tidak seceria hari-hari sebelumnya. Tekanan lebih terasa karena para pengajar dan mentor ingin semua lulus dengan hasil maksimal."Gila, tinggal satu minggu, laporan harus masuk. Banyak sekali yang harus disiapkan." Tony memelototi laptopnya. "Ya udah, fokus. Jangan mainan cewek dulu," sahut salah satu teman yang duduk di depan Tony."Sialan. Justru mereka yang ngasih aku energi ekstra," ucap Tony tak mau mengalah."Jangan nyesal aja, kalau kebanyakan perang di ranjang lalu otak kamu agak tumpul, hehehe," kata yang di sebelah kiri Tony.Helios yang mendengar gurauan sangar teman-temannya cuma tersenyum kecut. Ada rasa tidak enak juga yang muncul di hatinya. Salah satu yang jadi mainan Tony adalah mantan Helios."Oke, Class! You have twenty minutes left. Kerjakan de
Helios terkesiap. Dia terkejut tingkat dewa mendapat kecupan dari Donita!Saking kagetnya, Helios tak bisa bergerak. Yang jelas, wajahnya terasa panas, hingga ke dada. Dan ada desiran yang membuat perutnya campur aduk."Helios, aku ..." Donita masih memeluk Helios, dia tidak ada niat melepas pria tampan itu.Helios merasa ada yang bergejolak di dadanya. Mentor cantik itu, yang selama ini berjuang di sampingnya, dia ...Kembali kecupan lembut terasa di bibir Helios. Getaran terasa makin menguat di dada Tuan Muda. Sisi kejantanan Helios tak bisa mengelak pesona Donita dan suasana yang membuat dia mulai terhanyut.Tiba-tiba dering ponsel membuyarkan pergerakan yang mulai menguat di antara Helios dan Donita.Helios spontan melepas pelukan Donita. Kesadarannya segera kembali. Herman yang menghubunginya. "Halo, Pa?" Helios menyapa. "Oh, ya, sedikit lagi aku pulang. Ya, baik. Terima kasih, Pa." Selesai. Panggilan Herman berakhir, tetapi getaran dan debaran di dada Helios belum sepenuhnya s
Erma tahu Helios pasti merasa aneh dengan yang dia ceritakan. Tapi itu kenyatannya. Victor memang mencintai wanita yang unik, sedikit nyentrik, tapi sangat anggun dan cantik. "Kalau Tuan Muda bertemu langsung mungkin akan punya pikiran sama dengan saya," kata Erma lagi. Tangan Helios bergerak cepat. Dia buka galeri dan menunjukkan foto saat dia, Victor, dan Donita makan malam bersama. "Apakah ini orangnya?" tanya Helios. "Ah, benar. Ini wanita yang dicintai Tuan Victor. Jadi Tuan Muda juga kenal dengannya?" Erma cukup kaget mengetahui itu. "Ya, aku kenal dia." Helios kembali merasakan dadanya berdetak cepat. Tetapi debar yang kuat itu bukan karena Donita, melainkan karena Victor. Terbuka sudah kenyataan di depan Helios. Victor gelisah, bahkan sedikit marah pada Helios karena kedekatannya dengan Donita bukan persoalan perjanjian semata. Victor tahu gelagat Donita dan Helios lebih dari sekadar mentor dan anak bimbingnya. Dia pasti cemburu dan juga kecewa. Ah, malang benar pria itu
Helios dan Donita duduk berhadapan. Di kafe yang tak jauh dari akademi, tempat mereka pernah bertemu sebelumnya.Tidak ada yang bicara, belum tahu siapa yang akan mlemulai. Suasana akrab selama ini di antara mereka lenyap begitu saja. Rasa canggung yang menyelimuti keduanya."Kamu mau pesan makanan apa?" Akhirnya Donita membula suaranya."Aku tidak lapar. Aku mau minum saja," jawab Helios."Oke. Aku jus jeruk, kukira cukup." Donita pun tak ada niat memesan makanan."Aku mau lemon tea ice." Helios menyebutkan minuman yang dia mau.Pelayan datang dan menerima pesanan mereka.Tidak ada lagi percakapan lanjutan. Keduanya sibuk dengan benda pipih ajaib di tangan mereka."Doni""Helios"Keduanya saling menyebut nama."Silakan, Doni." Helios meminta Donita bicara lebih dulu."Well, aku mau minta maaf untuk tadi malam. Tapi, aku tidak menyesal semua yang telah terjadi." Donita membuka keheningan.Helios merasa debar-debar di dadanya bertambah."Mungkin aku terlalu cepat ingin menunjukkan pera
"Apa yang kamu mau lakukan?" Victor menatap Helios dengan wajah tegang."Aku? Aku hanya bicara," kata Helios sambil menunjukkan dirinya dengan telunjuk."Aku memandang kamu karena Tuan Herman. Aku lakukan semua juga karena Tuan Herman. Jangan paksa aku berbuat sebaliknya, Helios." Victor makin mendidih rasanya. Dia bahkan enggan menyebut Tuan Muda lagi.Helios cukup terkejut mendengar itu. Victor benar-benar marah padanya. Ini akan sangat tidak baik."Jangan sekalipun kamu ikut campur urusan hidupku. Aku, mau tidak mau, harus mengurus kamu. Jadi itu tidak bisa dibandingkan," kata Victor menegaskan."Aku tidak akan berbuat apapun. Aku juga tidak keberatan Bang Victor melihat aku sebagai orang biasa, bukan Tuan Muda. Karena itu diriku yang sebenarnya." Helios berusaha menekan rasa sedih dan kecewa yang akhirnya tak bisa dia elakkan meledak di dada.Victor membencinya dan itu gara-gara Donita. Persoalan wanita ternyata memang benar, bisa mengacaukan misi yang dia jalankan."Suka tidak su
"Kamu beneran ga bisa minta balik di Jakarta saja, Sayang?" Manja, Violetta bergelayut di dada Ferry."Ga semudah itu, Vio. Proyek belum selesai. Melihat progresnya malah bisa mundur. Tanggung jawab ga bisa ditinggal." Ferry mengusap lembut rambut lembut Violetta."Mundur? Makin lama kamu ninggalin aku? Ketemu sebulan atau dua bulan. Itu juga cuma dua tiga hari. Berat, Ferry." Violetta memeluk Ferry lebih kuat."Boleh aku jujur?" Ferry melepas pelukan dan memandang Violetta lebih lekat.Violetta mengangguk. Wajahnya sendu karena situasi dia dan Ferry yang belum bisa berjalan normal."Kalau bisa kita nikah besok, lalu aku bawa kamu ke sana. Kita ga akan pisah terus." Ferry mengatakan itu dengan serius."Aku juga mau kalau memang bisa secepat itu. Tapi buat ngurus surat-surat, persiapan wedding, butuh waktu. Kamu kapan mau ketemu mama sama papa mama kamu?" Violetta memandang Ferry.Ferry tidak segera menjawab. Dia menarik napas dalam perlahan, tidak mau terlihat gelisah."Terakhir aku bi
Helios merasa iba pada Violetta. Dia hanya ingin bahagia dengan pria yang dia cintai. Sayangnya, justru Siska, wanita yang melahirkan Violetta yang menjadi penghalang.Satu rasa kagum juga muncul di hati Helios terhadap Violetta. Meskipun dia dikelilingi harta berlimpah sejak bocah, dia tidak mengejar pria berkelas level atas.Ferry pria sederhana, tetapi pekerja keras dan tulus sayang pada Violetta. Mungkin itu memang yang Violetta perlukan. Pria yang penyayang dan sabar padanya. Karena Violetta tumbuh di lingkungan yang keras dan penuh kemunafikan."Bisa tidak kamu membantu aku, Hel?" Violetta memandang dengan tatapan menghiba.Helios menggeleng. "Apa yang aku punya semua bukan miliklu, Vio. Milik papa. Aku ga bisa sembarangan menggunakannya. Dan uang itu besar sekali jumlahnya.""Apa aku kawin lari saja? Diam-diam pergi dengan Ferry. Di sana kami menikah, lalu membangun keluarga bahagia sampai maut memisahkan." Violetta melihat ke langit-langit.Pikiran gadis itu memgembara terbawa