Teng! Teng! Teng!
Aku mendengar lonceng sekolah dipukul tiga kali oleh penjaga. Pertanda pelajaran sekolah selesai. Sudah hampir satu bulan aku belajar bersama teman-teman baru dengan sosok guru yang tidak akan pernah terlupakan. Selamanya. Semua menyenangkan, tanpa terkecuali. Selama itu pula, kebiasaan bangun siang menjadi berkurang.
Seluruh siswa sekolah dasar lima desa Karangrowo berhambur keluar menuju sebelah timur gapura. Di sana, tempat parkir sepeda para murid yang lama. Karena halaman sekolah cukup untuk menampung parkir kendaraan para staf pengajar.
“Hei Siti! Ora gowo sepeda? Ayo nek goncek!”[1] Seseorang menawarkan sebuah boncengan.
Ternyata Wanto. Beberapa hari ini, entah mengapa kami menjadi akrab. Apakah dewi kebaikan menaburkan sihirnya? Atau, doaku yang membumbung langit sudah dijawab oleh Allah? Sebelum pindah sekolah, aku selalu mengharap belas kasihan sama Allah, agar didekatkan orang-orang yang meyayangi denagan tulus. Mungkin, Wanto adalah salah satunya. Aish! Apa-apaan?
“Nggak usah, Wan. Aku bareng sama Ayuk!”
Ada gurat kecewa di wajahnya, namun aku menampakkan senyum. Memberikan kata yang hanya bisa diungkap lewat isyarat. Aku, Ayuk dan anak perempuan lainnya menapaki jalan pulang yang memang berlubang. Sedangkan Wahyu sudah menghilang bersama empat temannya mengayuh sepeda.
“Ayuk, anak perempuan yang di samping Wahyu namanya siapa? Kelihatannya nggak banget gitu,” bisikku ke telinganya.
“Anak perempuan yang berambut pendek itu? Namanya Halimah.”
“Oh. Halimah.”
Ayuk. Seorang anak perempuan Kristiani yang taat mau menjalin persahabatan denganku. Ia mengaku seorang yatim yang merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara. Semuanya perempuan. Rumahnya yang sederhana terletak beberapa meter di belakang gereja satu-satunya di desa ini. Baru dua kali ia mengajak bermain ke rumahnya.
Di samping rumahnya, ada aliran sungai kecil yang dimanfaatkan warga desa untuk membuang hajat. Bermodal dinding dari anyaman bambu atau daun pisang kering untuk membentuk sungai terpanjang di dunia, kami menyebutnya wot. Toilet legendaris sepanjang masa untuk anak yang lahir tahun 90-an.
Emaknya sudah cukup renta untuk dipaksakan menjadi tulang punggung keluarga. Untungnya, Ayuk mendapatkan bantuan beasiswa dari pihak gereja untuk menyelesaikan pendidikan. Ia selalu mengucap syukur dan meneteskan air mata setiap kali menceritakan pekerjaan emaknya sebagai buruh tani.
Setiap kali pulang sekolah, ia membantu orang tua mencari keong di sawah untuk dijualnya kembali. Sedangkan aku? Tinggal meminta uang kepada bapak langsung diberikan. Jika ingin membeli susu kaleng dengan merk tertentu, bapak akan membelikannya. Jika ingin buku, bapak akan membawakan buku yang sudah tidak digunakan dari perpustakaan sekolah lamaku.
***
Dari balik kaca jendela, seorang lelaki setengah baya membuang peluhnya di ladang depan rumah. Di tepi sungai yang mengalir jernih, membuat kicauan burung saling bersahutan.
“Maaf, Pak. Siti nggak bisa bantu bapak yang setiap sore di ladang.” Aku menyeka sudut netra yang basah.
Emak sebagai ibu rumah tangga, terkadang menyelesaikan pekerjaan sebagai petani padi. Jika musim hujan, saatnya para warga menanam padi dan melakukan tradisi tandur. Menurut kepercayaan, jika wanita tidak bisa tandur. Kelak, anak suami mau diberi makan apa? Aku selalu membantahnya, toh nasib perempuan yang berumah tangga tidak ditentukan dari keahlian menanam padi.
“Nduk Ti, cah ayu. Ketela rebusnya anterin ke bapakmu.”
“Inggih Mak,” lantas aku mengambil ketela yang masih hangat itu dari dalam dandhang. Sebuah kuali besar untuk mengukus atau merebus pangan.
Beberapa ketela rebus berhasil ku antar dengan selamat bersama sebotol air minum. Di ladang tepi sungai yang berada di depan rumah, selalu menjadi candu. Mampu menghilangkan segala tangisan yang tiba-tiba menderai. Setiap kali melihat ujung desa, aku tidak pernah menemukannya.
Hanya ada sekawanan burung yang melintasi rumah. Capung, kupu-kupu merupakan teman sepiku yang melesatkan ingatan ke masa depan. Apalagi, angin senja menerpa wajah yang berpeluh keringat karena sengatan matahari sore. Ranting yang patah seolah mengingatkan, bahwa hari akan berlalu begitu saja.
***
“Nduk, mandi! Terus berangkat ngaji ke masjid,” ucap Emak yang sedang menyiapkan makan malam di meja.
“Nggih, Mak!”
Waktu begitu cepat untuk menyelesaikan ritual belajar juz ‘ama di masjid terbesar sebelah utara balai desa. Masjid yang menjadi tempat penelitian para ilmuwan, karena berjarak sekitar 100 meter dari gereja tempat Ayuk membaktikan dirinya sebagai hamba Tuhan.
Sesampai di depan rumah Fauzia, teman sekelas sekaligus tetangga, aku merasakan angin dingin yang mengiggit kulit leher. Padahal, jilbab sudah menutup bagian aurat perempuan. Namun, tetap saja angin aneh itu membuat bulu kudu berdiri. Mempercepat langkah merupakan cara terbaik menghilangkan ketakutan.
Hingga, bayangan putih berkelebat di pekarangan kosong samping rumah Fauzia. Jelas, aku berteriak histeris sambil mengucap takbir. Napas ngos-ngosan sesampainya di rumah. Wajah Emak menampakkan raut curiga.
“Mak, tadi aku waktu melewati pekarangan rumahnya Fauzia, tiba-tiba merinding.”
“Nggak ada apa-apa,” sekembalinya emak dari dapur, ia membawakan segelas teh manis.
Aku hanya menyunggingkan senyum tipis yang tanpa arti. Dengan lantunan doa, aku kembali mengarungi lautan mimpi. Mimpi untuk masa depan yang lebih baik. Mungkin saja mimpi ini menjadikan orang tua menatap bangga kepada anaknya, sambil berkata,
“Bersyukur sekali memiliki anak sepertimu, Nduk. Terimakasih Ya Allah.”
[1] Hei Siti! Nggak bawa sepeda? Ayo bonceng aku.
Dari ufuk barat, cahaya kemerah-merahan agak ke-orange menelan sinar matahari untuk berganti malam. Dengan cepatnya akan kembali lagi bersama fajar, tanda siap untuk bertempur dengan pelajaran di sekolah. Senja yang membiaskan pesonanya pada gadis cilik sepertiku memang sangat adil. Toh, kenyataan ini membuat senyum kembali menyungging dengan hati penuh impian.“Ayuk, bentar lagi ulangan kenaikan kelas. Nggak terasa bakal kelas lima.” Kataku ketika istirahat sekolah. Sungguh, aku benar-benar bahagia.“Iyo Ti. Liburan sekolah jalan-jalan, yok!” ujar Ayuk.“Jalan-jalan ke mana?”“Ke rumah Halimah.”“Baiklah. Apakah nanti kita akan membawa bekal makanan?”“Eum … boleh aja. Aku pengen bawa nasi goreng.”“Mending bawa orek tempe, atau sambal goreng tahu.”“Ikan bakar sama saus kecap.”“Di tambah
Kudus, Akhir Tahun 2005“Ti, ingat ya jangan menyontek!”Kalimat Ayuk tempo lalu selalu mengiang-ngiang di kepalaku. Aku tidak mencontek banyak jawaban ketika mengerjakan ujian kenaikan kelas. Sedikit saja. Soal matematika yang mengharuskan menghapal rumus, aku membawa catatan kecil di dalam saku. Beruntung, pengawas ujian tidak mengetahui aksi nakalku.Sebenarnya, ada rasa menyesal sudah mengabaikan pesan dari Ayuk. Meskipun aku sudah berusaha menghapal rumus matematika. Tetap saja, ketika sudah berhadapan pada soal ujian matematika, tiba-tiba hapalan rumusku menghilang. Akhirnya, kuputuskan mencontek catatan kecil yang ada di dalam saku.Entah bagaimana hasil nilai raporku nanti. Sepertinya, cita-citaku berada di peringkat tiga akan gagal. Kata emak, aku sudah berusaha maksimal mengerjakan ujian dengan sungguh-sungguh. Orang tuaku tidak mengerti kalau aku mengerjakan soal yang rumit itu dengan mencontek.“Kenapa tiba-tiba menang
Mengenang Lagu Hymne GuruSepanjang liburan kenaikan kelas selama dua minggu, aku bermain bersama teman-teman di rumah. Bersama Selamet, Kokom, dan Yuni, Ulum. Mereka tetangga sebelah rumahku. Di belakang rumah adalah pekarangan yang masih tertanam pohon pisang dan tanaman mangkuk. Aku mendirikan gubuk, kayu kutancapkan ke dalam tanah dengan kokoh.Menerapkan karung beras bekas sebagai lapisan dinding. Daun pisang yang kering kujadikan atap gubuk. Sempurna! Tinggal mencari alas duduk untuk lantainya. Aku kembali ke rumah, mencari tikar atau karung bekas.“Nyari apa to, Nduk?”“Tikarnya dimana, Mak?”“Buat apa?”Aku menggaruk kepala, lalu membuang napas pelan sambil berkata, “Buat alas lantai di gubuk buatanku, Mak.”“Jangan pakai tikar! Di gudang samping rumah ada karung beras bekas, pakai saja karungnya, setelah itu dibakar sama sampah-sampah yang ada, ya!” tuk
Kudus, Akhir Tahun 2005Masih terekam jelas ingatan tentang beliau; Pak Kasmirin. Aku sesekali menanyakan bagaimana isi surat yang diberikan Kalim kepada beliau. Jawabannya tetap sama, rahasia. Aku dan Ayuk mulai menggelitik Kalim. Kami memecahkan gelak tawa yang membuat Kalim mual. Namun, aku paham Kalim hanya pura-pura saja agar kami semakin tertawa lebar.Seperti biasa, kelas belum ada kegiatan belajar. Rasanya waktu begitu cepat mengantarkan kami menuju gerbang baru. Sebentar lagi kami akan menginjak tahun baru dua ribu enam. Sebelum liburan sekolah, guru kami yang bernama Pak Bakir mengumumkan rencana wisata ke Yogyakarta.Aku melihat isi lemari, ternyata bingung tidak memiliki baju bagus seperti teman-teman. Bagaimana aku mengatakan kepada emak kalau pergi ke luar kota harus mengenakan pakaian yang bagus? Sebal. Sebenarnya, Emakku sudah mengerti tentang rencana liburan kali ini. Wanita tuaku juga sudah mengerti kalau pergi liburan harus mengenakan baju bar
Akhirnya, bis yang kami tunggu menuju lokasi. Orang-orang di dalam bis sangat riuh. Mereka sangat membosankan. Huh! Apakah mereka tidak mengetahui kalau aku sangat sebal? Pagi yang menemani perjalanan, membuatku mengantuk. Aku ingin menyenderkan kepala di jendela, hanya sejenak saja.Namun, aku teringat kembali akan nasihat Emak tempo lalu bahwa seorang anak gadis sangat pamali kalau tidur pagi hari. Orang-orang desaku masih percaya mengenai kepercayaan tersebut. Meskipun aku masih duduk di bangkus sekolah dasar, aku tidak mudah percaya begitu saja. Aku selalu mempertanyakan hal itu kepada Emak, tetapi tiada jawaban yang kuterima.Beliau berlalu seolah-olah aku tidak pernah ada di sekitarnya. Aku pun tidak terbiasa bangun sepagi tadi. Biasanya, aku akan terbangun dan buru-buru berangkat sekolah pukul setengah 7 pagi, atau terkadang terlambat masuk ke kelas. Emak sendiri sering bingung dengan kelakuanku yang tidak disiplin.Bahkan, Ayuk sering memberikanku nasiha
Telingaku menangkap ada benda jatuh yang tidak jauh dari dalam ruang koleksi satu. Aku bahkan tidak menyadari–sahabatku Si Ayuk pingsan. Salah satu teman lain yang melihat kejadiannya langsung mencari keberadaan para guru. Sementara Kalim hanya diam membantuku memindahkan Ayuk ke bangku yang berada di ruang koleksi.“Ayuk, bangun!” Aku mengguncang-guncangkan tubuhnya cukup keras, tetapi masih belum ada respon. Kalim memijit-mijit telapak kakinya Ayuk.“Kalim, kamu mijitnya yang bener, dong!” selorohku yang menyadari Kalim memijit telapak kakinya Ayuk dengan kurang wajar. Ia hanya menyentuh dengan jari telunjuknya sangat pelan. Wajahnya cukup pucat bagai mayat yang tergeletak di sudut ruangan.“Kalim, kamu baik-baik aja, kan? Apa kamu lapar? Duh, teman-teman yang lain ke mana, ya? Para guru juga ke mana?” Aku mengusap beberapa kali tengkuk leherku. Bukan lantaran merasakan merinding, karena ruang koleksi itu yang membuatk
Hidup. Terkadang, aku tidak mengetahui mengapa aku hidup. Ketika mengalami sebuah kekurangan, tetapi tidak menemukan solusinya, aku menyerah. Dewasa ini, kusadari banyak orang jahat yang mengincar sebuah kelebihan orang lain. Entah karena tidak bisa menjadi orang tersebut, atau ingin menjadi seorang pemenang satu-satunya.Satu-satunya jalan yang ku tempuh ialah berdoa. Lalu, ingatanku kembali ke masa di mana aku tetap berjalan. Lebih tepatnya tidak memedulikan siapa yang jahat dan orang yang benar-benar baik. Perjalanan menuju kedewasaan memang cukup panjang.Baiklah, sesampainya di tempat wisata kedua aku hanya melihat-lihat sekeliling. Tidak pernah terpikir untuk menikmati aneka permainan yang ada di sana. Objek wisata Kiai Langgeng. Akan kuceritakan sedikit mengenai tempat tersebut.Tentu saja Kiai Langgeng yang sekarang dengan yang dulu sedikit berbeda. Tempatnya memang sangat luas. Aku mengira tempat tersebut hanya sekadar area permainan untuk anak-anak. Te
Anehnya, bis yang kutumpangi ini, kosong. Hanya ada aku, Pak Sopir, dan Wawan. Lalu, ke mana perginya Ayuk, Kalim, Pak Bakir, dan teman-teman lainnya? Ada apa sebenarnya?“Wawan, kamu kenapa bisa ada di sini?” tanyaku penuh heran. Aku memang heran semua orang menghilang.Wawan tersenyum sangat manis. Anehnya, wajahnya tidak sepucat ketika aku bertemu dengannya di tempat penyewaan becak mini. Wajahnya lebih bersinar cerah. Kedua bola matanya sangat indah. Aku bisa melihat iris matanya yang kecoklatan. Buah bibirnya pun merah, seperti milik anak bayi yang baru lahir.“Siti, maafkan aku kalau mengikutimu hingga ke sini.”“A-a-apa maksudmu?”“Aku pernah bilang sama kamu, akan menjadi temanmu yang setia. Kamu setuju kita berteman. Makanya aku datang mengikutimu sampai sini.” Ia nyengir memperlihatkan gigi putihnya yang sangat rapi.“Ta-tapi, di mana teman-temanku yang lainnya? Ayuk sama Kalim