Kudus, Akhir Tahun 2005
“Ti, ingat ya jangan menyontek!”
Kalimat Ayuk tempo lalu selalu mengiang-ngiang di kepalaku. Aku tidak mencontek banyak jawaban ketika mengerjakan ujian kenaikan kelas. Sedikit saja. Soal matematika yang mengharuskan menghapal rumus, aku membawa catatan kecil di dalam saku. Beruntung, pengawas ujian tidak mengetahui aksi nakalku.
Sebenarnya, ada rasa menyesal sudah mengabaikan pesan dari Ayuk. Meskipun aku sudah berusaha menghapal rumus matematika. Tetap saja, ketika sudah berhadapan pada soal ujian matematika, tiba-tiba hapalan rumusku menghilang. Akhirnya, kuputuskan mencontek catatan kecil yang ada di dalam saku.
Entah bagaimana hasil nilai raporku nanti. Sepertinya, cita-citaku berada di peringkat tiga akan gagal. Kata emak, aku sudah berusaha maksimal mengerjakan ujian dengan sungguh-sungguh. Orang tuaku tidak mengerti kalau aku mengerjakan soal yang rumit itu dengan mencontek.
“Kenapa tiba-tiba menangis, Nduk?”
Emak meletakkan beberapa piring berisi makanan di lantai. Aku menggeleng dengan mengusap air mata lalu mengatakan baik-baik saja.
“Mungkin kamu merindukan bapakmu yo. Emak juga sama sangat merindukan bapakmu. Namanya hidup, kita harus kuat dan berusaha bertahan hidup. Mungkin, suatu saat ketika kamu sudah dewasa akan mengerti bagaimana cara kita bertahan hidup, meskipun sendirian merawat seorang anak. Emak selalu berdoa, semoga ketika kamu dewasa tidak pernah merasakan sendirian.”
“Mak ….” Lirihku.
“Yo wis, kamu makan dulu. Emak juga sudah memasak susu coklat kesukaanmu.”
Aku memang tidak begitu paham maksud emak mengatakan kelak ketika dewasa, aku akan mengerti. Ketika emak menyinggung soal bapak, aku mengerti kalau orang tuaku sangat merindukan suaminya. Bapak, apakah tidak merindukanku juga?
***
Aku melalui tiga pekan liburan sekolah dengan sangat gelisah. Memperbanyak doa dan restu kepada kedua orang tua. Apalagi kalau bukan agar naik kelas dengan nilai hasil ujian yang lebih baik. Sebenarnya, aku bukan murid pandai yang selalu mendapatkan peringkat tiga besar. Namun, selalu berharap hasil nilai raporku tidak membuat malu orang tua.
Sebentar lagi aku naik kelas lima. Tidak terasa usia semakin berkurang dan bertumbuh semakin besar. Ada mimpi yang harus ku capai, ada waktu yang harus ku lalui dengan penuh keyakinan. Konon, semakin usia seseorang dewasa, ia harus memiliki seribu cara untuk bertahan hidup.
“Ayuk, kamu deg-degan nggak sih?” tanyaku sambil menatap wajah Ayuk dan Kalim yang sedang melahap kuah soto.
“Iya sih Ti, tapi percaya aja sama usaha kita. Pasti dapat nilai memuaskan!” jawab Ayuk penuh percaya diri.
Sesekali ia menyeruput es sirup.
“Yah Siti, kamu nggak nanya sama aku nih?” Kalim menimpali dengan sedikit kesal.
“Ciee … Kalim ngambek. Ha ha ha.” Aku berusaha mencairkan suasana hati Kalim. Ia memang anak yang mudah cemburu saat tidak mendapatkan perhatian dari teman dekatnya.
Tawa pecah begitu aku dan Ayuk melihat wajah manja dari anak bernama Kalim. Bagai kawanan semut yang saling bekerja sama mengumpulkan makanan, begitulah persahabatan kami. Bukan bagai kepompong yang tumbuh menjadi kupu-kupu indah, karena ada sedikit keyakinan di hati. Kelak, saat dewasa persahabatan kami bukan lagi seperti masa anak-anak.
Suatu hari di halaman belakang rumah Kalim, kami bertiga pernah membahas hal yang tiba-tiba meluncur dari mulut.
“Kelak, jika kita dewasa dan sudah menikah pasti nggak akan bisa berkumpul seperti ini dan seneng-seneng.”
“Iya sih. Aku melihat kakakku yang sudah menikah juga sudah nggak bisa main lagi sama sahabatnya,” ucap Ayuk dengan menekuk wajahnya.
“Tapi, rumah kita tetap di sini. Pasti masih bisa ketemu.” Kalim menyahut sambil tersenyum.
“Entahlah. Nggak ada yang tahu sama masa depan. Semoga aja.”
‘Suatu saat ingin sekali bisa melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi.’ Hatiku melangitkan doa untuk ke sekian kalinya.
Kami masih tenggelam dalam tawa yang menghanyutkan sekitar. Soto pesanan pun hampir habis. Kuputuskan mengoleskan kecap pada pipi Kalim. Ayuk lalu membalas olesan kecap ke pipiku. Mungkin memang benar, hal seremeh seperti itu tidak akan pernah terulang kembali saat kami dewasa kelak.
Entah seperti apa saat kami menjalani hari sebagai manusia dewasa. Siapakah diantara kami yang akan menikah terlebih dahulu? Ah, aku rasa terlalu dini jika memikirkan pernikahan di usia saat itu. Terlalu cepat pula memikirkan masa depan seperti apa. Mungkin, perlu merebahkan pikiran dari mimpi yang tidak pernah ku ketahui.
Biarlah, kami berjalan sesuai takdir yang tidak bisa terungkap oleh logika. Biarlah Sang Semesta memberikan jalan kepada makhluk yang masih menghirup napas.
***
Aku lupa, hari itu penerimaan rapor siswa. Aku lupa, apakah sebelumnya sudah memberitahu emak untuk mengambil rapor di sekolah? Aku memang pelupa dan mungkin perlu mendapatkan perawatan dari tenaga ahli untuk mengembalikan ingatan. Para wali murid berdatangan dan duduk di sebelah anak mereka.
Terutama, kakak perempuannya Ayuk memandangku penuh senyuman. Betapa senangnya Ayuk dan Kalim didampingi keluarga. Lagi-lagi kecerobohanku menunda pembagian rapor kepada murid bernama Siti Aminah, yaitu aku.
“Maaf, Pak. Mungkin emak sebentar lagi akan datang.” Aku asal bicara, agar Pak Kasim mau menunggu sebentar lagi.
Satu persatu nama murid terpanggil untuk mengambil rapor di meja pak guru. Setelahnya keluar dengan wajah penuh harapan. Berharap, sebuah keajaiban mengantar emakku ke kelas untuk mengambil rapor. Sesosok wanita berbadan tambun dengan wajah lelahnya duduk di bangku sebelahku yang kosong.
‘Emak. Akhirnya datang juga.’ Aku tersenyum memandangnya. Sepertinya, beliau memahami apa yang tengah ku rasakan.
“Siti Aminah.” Namaku dipanggil oleh Pak Kasim untuk terakhir kalinya, lantas emak melangkah ke asal suara itu untuk mengambil rapor.
Beberapa pengumuman dilontarkan oleh Pak Kasim mengenai liburan kenaikan kelas. Namun, aku asik berbisik kepada emak.
“Mak, kok telat sih datangnya?!” Sedikit sebal melihat emakku datang terlambat.
Yah, aku juga sebagai anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar, memiliki ingatan yang buruk. Syukurlah kalau aku sudah memberi tahu acara pengambilan rapor kenaikan kelas.
“Nganterin Si Mbahmu ngambil ayam di desa sebelah,” ungkapnya.
“Oh. Pantesan lama, Mak.”
“Iyo. Habis ini emak punya kejutan buat kamu.”
“Apa?”
Emak hanya memandangku dengan senyuman. Hm, semakin mencurigakan apa yang sedang orang tua rencanakan untuk anak semata wayangnya ini. Apakah akan diadakan syukuran dengan membagi-bagikan makanan ke tetangga? Atau, memberikanku sebuah hadiah berupa tas baru, sepatu, dan baju baru? Aku harus mengetahuinya, tetapi akan sia-sia jika mengetahui kejutannya.
***
Merayakan kenaikan kelas kami sekelas mengadakan syukuran di kantin sekolah. Akan tetapi kulihat Wajah wanto murung, gelisah. Ia sedang memikirkan sesuatu. Aku menggeser kursi berdekatan dengan Wanto. Seperti biasa, teman-teman menggoda kami.
“Kenapa Wan?” Aku bertanya dengan nada hati-hati.
Ia masih menunduk. Tidak menjawab pertanyaanku. Tidak mengapa, mungkin saat ini tidak ingin diganggu oleh siapapun. Aku melanjutkan memakan bakso kuah yang menyegarkan tenggorokan. Mengenyangkan perut yang tadinya kosong.
“Tahu nggak teman-teman?” Wanto tiba-tiba mengangkat wajahnya yang masih tergurat kegelisahan.
Namun, ia kembali diam. Kami mendekatkan kursi dengan jarak tempat duduk Wanto. Mendengarkan apa yang akan ia sampaikan. Akan tetapi kalimatnya terhenti entah karena apa. Teman-teman yang lain menyorakinya dengan tawa yang menyebalkan.
Mereka kembali menghabiskan makanannya masing-masing dan saling melempar canda.
“Ayuk! Kalim!” Aku membisikki kedua sahabatku itu.
Mereka hanya mendekatkan telinga. Mendengarkan apa yang akan kusampaikan.
“Apa?” Ayuk membalasnya dengan setengah berbisik pula.
“Kalian tahu nggak hari ini Wanto kenapa?” Aku berbisik agar tidak terdengar oleh teman-teman yang lain.
“Maksudmu?” Kalim kembali bertanya dengan wajah tidak mengerti.
“Aku perhatikan dari tadi Wanto lagi mikirin sesuatu. Hawanya kok melamun terus.” Aku menjelaskan apa yang kulihat.
“Mungkin hari ini dia nggak dikasih uang saku.” Kalim menyahut.
“Ih! Sok tahu kamu, Lim!” Ayuk menimpalinya dengan sedikit kesal.
“Ya sudah habis ini kita tanyakan langsung saja sama dia.” Aku memberikan kesepakatan pada kedua sahabatku itu.
Mereka menyetujuinya. Saat membayar di kasir, ia menghampiri kami. Aku menatapnya, heran.
“Siti, Ayuk, Kalim aku ingin ngomong sama kalian.” Ia langsung duduk di sebelahku. “Liburan nanti aku pulang ke Sulawesi Tenggara sama keluargaku. Jadi kelas lima nanti aku nggak di sini lagi.”
Aku menghentikan sendok yang berisi kuah bakso yang hampir masuk ke dalam mulut. Wanto pulang ke Sulawesi? Tapi kenapa? Berulangkali kami bertanya alasan Wanto pulang ke tanah kelahirannya, pulau Sulawesi Tenggara. Akan tetapi, ia bungkam. Tanpa sepatah kata pun kalimat yang keluar dari mulutnya.
***
Mengenang Lagu Hymne GuruSepanjang liburan kenaikan kelas selama dua minggu, aku bermain bersama teman-teman di rumah. Bersama Selamet, Kokom, dan Yuni, Ulum. Mereka tetangga sebelah rumahku. Di belakang rumah adalah pekarangan yang masih tertanam pohon pisang dan tanaman mangkuk. Aku mendirikan gubuk, kayu kutancapkan ke dalam tanah dengan kokoh.Menerapkan karung beras bekas sebagai lapisan dinding. Daun pisang yang kering kujadikan atap gubuk. Sempurna! Tinggal mencari alas duduk untuk lantainya. Aku kembali ke rumah, mencari tikar atau karung bekas.“Nyari apa to, Nduk?”“Tikarnya dimana, Mak?”“Buat apa?”Aku menggaruk kepala, lalu membuang napas pelan sambil berkata, “Buat alas lantai di gubuk buatanku, Mak.”“Jangan pakai tikar! Di gudang samping rumah ada karung beras bekas, pakai saja karungnya, setelah itu dibakar sama sampah-sampah yang ada, ya!” tuk
Kudus, Akhir Tahun 2005Masih terekam jelas ingatan tentang beliau; Pak Kasmirin. Aku sesekali menanyakan bagaimana isi surat yang diberikan Kalim kepada beliau. Jawabannya tetap sama, rahasia. Aku dan Ayuk mulai menggelitik Kalim. Kami memecahkan gelak tawa yang membuat Kalim mual. Namun, aku paham Kalim hanya pura-pura saja agar kami semakin tertawa lebar.Seperti biasa, kelas belum ada kegiatan belajar. Rasanya waktu begitu cepat mengantarkan kami menuju gerbang baru. Sebentar lagi kami akan menginjak tahun baru dua ribu enam. Sebelum liburan sekolah, guru kami yang bernama Pak Bakir mengumumkan rencana wisata ke Yogyakarta.Aku melihat isi lemari, ternyata bingung tidak memiliki baju bagus seperti teman-teman. Bagaimana aku mengatakan kepada emak kalau pergi ke luar kota harus mengenakan pakaian yang bagus? Sebal. Sebenarnya, Emakku sudah mengerti tentang rencana liburan kali ini. Wanita tuaku juga sudah mengerti kalau pergi liburan harus mengenakan baju bar
Akhirnya, bis yang kami tunggu menuju lokasi. Orang-orang di dalam bis sangat riuh. Mereka sangat membosankan. Huh! Apakah mereka tidak mengetahui kalau aku sangat sebal? Pagi yang menemani perjalanan, membuatku mengantuk. Aku ingin menyenderkan kepala di jendela, hanya sejenak saja.Namun, aku teringat kembali akan nasihat Emak tempo lalu bahwa seorang anak gadis sangat pamali kalau tidur pagi hari. Orang-orang desaku masih percaya mengenai kepercayaan tersebut. Meskipun aku masih duduk di bangkus sekolah dasar, aku tidak mudah percaya begitu saja. Aku selalu mempertanyakan hal itu kepada Emak, tetapi tiada jawaban yang kuterima.Beliau berlalu seolah-olah aku tidak pernah ada di sekitarnya. Aku pun tidak terbiasa bangun sepagi tadi. Biasanya, aku akan terbangun dan buru-buru berangkat sekolah pukul setengah 7 pagi, atau terkadang terlambat masuk ke kelas. Emak sendiri sering bingung dengan kelakuanku yang tidak disiplin.Bahkan, Ayuk sering memberikanku nasiha
Telingaku menangkap ada benda jatuh yang tidak jauh dari dalam ruang koleksi satu. Aku bahkan tidak menyadari–sahabatku Si Ayuk pingsan. Salah satu teman lain yang melihat kejadiannya langsung mencari keberadaan para guru. Sementara Kalim hanya diam membantuku memindahkan Ayuk ke bangku yang berada di ruang koleksi.“Ayuk, bangun!” Aku mengguncang-guncangkan tubuhnya cukup keras, tetapi masih belum ada respon. Kalim memijit-mijit telapak kakinya Ayuk.“Kalim, kamu mijitnya yang bener, dong!” selorohku yang menyadari Kalim memijit telapak kakinya Ayuk dengan kurang wajar. Ia hanya menyentuh dengan jari telunjuknya sangat pelan. Wajahnya cukup pucat bagai mayat yang tergeletak di sudut ruangan.“Kalim, kamu baik-baik aja, kan? Apa kamu lapar? Duh, teman-teman yang lain ke mana, ya? Para guru juga ke mana?” Aku mengusap beberapa kali tengkuk leherku. Bukan lantaran merasakan merinding, karena ruang koleksi itu yang membuatk
Hidup. Terkadang, aku tidak mengetahui mengapa aku hidup. Ketika mengalami sebuah kekurangan, tetapi tidak menemukan solusinya, aku menyerah. Dewasa ini, kusadari banyak orang jahat yang mengincar sebuah kelebihan orang lain. Entah karena tidak bisa menjadi orang tersebut, atau ingin menjadi seorang pemenang satu-satunya.Satu-satunya jalan yang ku tempuh ialah berdoa. Lalu, ingatanku kembali ke masa di mana aku tetap berjalan. Lebih tepatnya tidak memedulikan siapa yang jahat dan orang yang benar-benar baik. Perjalanan menuju kedewasaan memang cukup panjang.Baiklah, sesampainya di tempat wisata kedua aku hanya melihat-lihat sekeliling. Tidak pernah terpikir untuk menikmati aneka permainan yang ada di sana. Objek wisata Kiai Langgeng. Akan kuceritakan sedikit mengenai tempat tersebut.Tentu saja Kiai Langgeng yang sekarang dengan yang dulu sedikit berbeda. Tempatnya memang sangat luas. Aku mengira tempat tersebut hanya sekadar area permainan untuk anak-anak. Te
Anehnya, bis yang kutumpangi ini, kosong. Hanya ada aku, Pak Sopir, dan Wawan. Lalu, ke mana perginya Ayuk, Kalim, Pak Bakir, dan teman-teman lainnya? Ada apa sebenarnya?“Wawan, kamu kenapa bisa ada di sini?” tanyaku penuh heran. Aku memang heran semua orang menghilang.Wawan tersenyum sangat manis. Anehnya, wajahnya tidak sepucat ketika aku bertemu dengannya di tempat penyewaan becak mini. Wajahnya lebih bersinar cerah. Kedua bola matanya sangat indah. Aku bisa melihat iris matanya yang kecoklatan. Buah bibirnya pun merah, seperti milik anak bayi yang baru lahir.“Siti, maafkan aku kalau mengikutimu hingga ke sini.”“A-a-apa maksudmu?”“Aku pernah bilang sama kamu, akan menjadi temanmu yang setia. Kamu setuju kita berteman. Makanya aku datang mengikutimu sampai sini.” Ia nyengir memperlihatkan gigi putihnya yang sangat rapi.“Ta-tapi, di mana teman-temanku yang lainnya? Ayuk sama Kalim
Napasku terasa sekali ngos-ngosan. Seolah-olah aku baru selesai berlari seratus kilometeran, atau habis dikejar oleh macan. Tidak keduanya. Aku memegang kepalaku sambil mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Kupandangi sekeliling, ternyata aku masih di dalam bis yang terus melaju.Kumenyibak-nyibak gorden bus, ternyata hari hampir tengah malam. Kurasakan telapak tanganku bau minyak yang tidak pernah asing.“Siti, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Ayuk sambil memegang minyak kayu putih.Aku tentu saja linglung. Tiba-tiba saja Ayuk mengajukan pertanyaan tersebut.“Memangnya ada apa? Aku baik-baik aja.”“Enggak, Ti. Hampir tiga jam kamu pingsan. Aku kira tidur, tapi kok kayak nggak bernapas. Aku manggil Pak Bakir buat bangunin, ternyata kamu pingsan. Apa kamu lapar jadinya pingsan?”“Perasaan tadi aku udah makan banyak, kok.”“Terus, apa kamu sakit? Apa yang kamu rasakan?”
Sebenarnya, perjalananku ke tempat wisata terakhir yaitu Candi Borobudur, tidak ada yang menarik. Aku bersama beberapa teman lainnya memang berada di samping Stupa Candi sambil menikmati hamparan bukit yang memukau. Lalu berbincang dengan sok bahasa inggris dengan salah satu wisatawan mancanegera–yang ternyata turis asing itu bisa berbahasa Indonesia. Kami hanya tertawa menyadari kekonyolan yang dibuat-buat oleh salah satu temanku.Mengenai sosok Si Hantu Wawan, anehnya tidak terlihat sepanjang aku menelusuri area candi. Aku hanya membeli beberapa souvenir berupa kalung manik-manik, miniature Candi Borobudur warna putih yang terbuat dari gypsum, miniature patung, dan beberapa camilan. Sementara Ayuk membeli baju-baju kecil bersablon candi, Magelang, Jogja, dan sekitarnya. Jika aku menceritakan apa yang dibeli Kalim, sungguh sangat membuatku geleng-geleng kepala.Ia hanya membeli cilok? Sebenarnya aku tidak percaya ia yang doyan