Akhirnya, bis yang kami tunggu menuju lokasi. Orang-orang di dalam bis sangat riuh. Mereka sangat membosankan. Huh! Apakah mereka tidak mengetahui kalau aku sangat sebal? Pagi yang menemani perjalanan, membuatku mengantuk. Aku ingin menyenderkan kepala di jendela, hanya sejenak saja.
Namun, aku teringat kembali akan nasihat Emak tempo lalu bahwa seorang anak gadis sangat pamali kalau tidur pagi hari. Orang-orang desaku masih percaya mengenai kepercayaan tersebut. Meskipun aku masih duduk di bangkus sekolah dasar, aku tidak mudah percaya begitu saja. Aku selalu mempertanyakan hal itu kepada Emak, tetapi tiada jawaban yang kuterima.
Beliau berlalu seolah-olah aku tidak pernah ada di sekitarnya. Aku pun tidak terbiasa bangun sepagi tadi. Biasanya, aku akan terbangun dan buru-buru berangkat sekolah pukul setengah 7 pagi, atau terkadang terlambat masuk ke kelas. Emak sendiri sering bingung dengan kelakuanku yang tidak disiplin.
Bahkan, Ayuk sering memberikanku nasihat memuakkan. Aku tidak suka dikasih nasihat. Aku merasa sudah dewasa dan mampu memutuskan semua pilihanku. Ketika kedua kelopak mata hendak menutup, seseorang menggoyangkan bahuku. Aku tersentak melihat sosoknya.
“Ayuk!” ketusku.
“Kamu jangan tidur, Ti! Masih pagi lho, ini.”
Sahabatku yang satu ini memang sangat menyebalkan. Apa yang salah jika aku tidur di waktu pagi? Apakah para monster dan hantu akan menggangguku? Apakah hal yang akan kulakukan sebuah kesalahan besar? Ia tidak memahami perasaanku.
“Aku beneran ngantuk.” Seketika mulutku manyun entah berapa senti.
“Ih dibilangin. Aku bisa kasih kamu arem-arem lagi biar nggak ngantuk.” Ia duduk di sampingku, karena kebetulan bangku tersebut kosong.
Aku mengucek kedua mataku, agar rasa kantuk segera hilang. Kuterima arem-arem pemberian Ayuk. Sepertinya, stok bekal makanannya memang masih banyak. Aku tak perlu khawatir menghabiskan makanan tersebut. Namun, rasa kasihan tetap bisa kurasakan kepada sahabatku yang satu ini. Ia memasak sendiri sehari sebelum keberangkatan ke tempat wisata.
Sesekali aku tersenyum semanis mungkin sambil memperhatikan Ayuk yang lebih banyak diam. Lalu, kedua pandanganku kualihkan untuk melihat keramaian di luar jendela bis. Tanpa kusadari, perjalanan sudah sampai di sekitar pelabuhan.
“Ayuk! Lihat, ada kapal besar,” seruku tanpa menoleh ke arah Ayuk. Sebagian teman-teman yang lain ikut bersorak atas pemandangan yang baru saja terlewat.
“Kapal? Mana?” tanya Ayuk yang baru ikut bergabung denganku.
“Kamu memang payah, ya. Pemandangan kapalnya udah lewat. Aku tadi juga lihat para nelayan mengambil ikan.”
Ayuk hanya mengedikkan kedua bahunya. Ia memang payah. Seharusnya, ia lebih berkosentrasi melihat pemandangan yang belum pernah kami temui sebelumnya. Aku hanya melihat kapal-kapal besar yang berlabuh di pelabuhan, pada tayangan televisi. Namun, beberapa menit yang lalu, aku melihatnya secara langsung.
Benar-benar keberuntungan yang besar bagiku. Ah, kelak jika aku sudah besar dan sukses. Barang tentu aku akan menaiki kapal yang mengelilingi lautan sambil melihat ombak yang meliuk-liuk. Mungkin saja aku akan menjadi satu-satunya Tuan Putri yang amat disayang oleh banyak orang. Bukan hanya itu, mungkin saja aku akan dilayani oleh para pelayan restoran yang berada di kapal tersebut.
“Heh, jangan melamun! Nanti kesambet setan gundul.”
“Selamet! Kamu mengagetkanku saja.”
Tiba-tiba, Selamet melongok dari tempat duduknya yang berada di belakangku.
“Melamun apaan, sih?” tanya Selamet sambil memiringkan kepalanya.
“Rahasia!”
Aku tidak mungkin memberitahukan sebuah mimpi yang baru saja mengusik imajinasiku. Cowok itu justru menjitak kepalaku cukup keras sampai aku mengaduh kesakitan. Mulutku kembali manyun sambil mengalihkan pandangan ke luar jendela bis. Perjalanan kami masih panjang.
***
Sama seperti perjalanan lainnya yang mengantarkan pada tujuan pertama. Kami sampai di Museum Ranggawarsita atau–atau yang lebih dikenal dengan nama Museum Jawa Tengah. Museum itu menyimpan sejarah Kota Lama Semarang sekaligus aneka ragam budaya sejak zaman pra-sejarah hingga sekarang. Ketika pertama kalinya aku menginjakkan kaki di tempat ini, rasanya sangat tidak asing.
Seolah-olah aku dipaksa untuk kembali menapaki jejak masa lalu. Lantas tiba-tiba kembali ke masa depan. Aku melihat bayanganku sendiri sedang menjelajahi sebuah tempat asing. Namun, aku tersadar kembali bahwa hal itu adalah kenangan masa lalu. Masa di mana aku masih SD.
Layaknya sebuah film yang sedang diputar, beberapa bayangan hitam berkelabatan di dalam memoriku. Aku masih ingat betul bagaimana pepohonan hijau tumbuh di halaman museum itu. Secara otomatis tubuh mungilku menari-nari menikmati kesejukan yang berbeda saat di desa. Bahkan, aku sempat tersesat di sebuah taman kecil di dalam museum.
Semuanya, akan kuceritakan pelan-pelan sebuah memori yang mengantarkanku pada kejadian yang membuat hidupku sekokoh akar sekarang ini. Aku selalu menyimpulkan bahwa dewasa ini, aku mengidap inner child karena ulah beberapa teman semasa SD dan rangkaian kejadian cukup mengerikan. Aku sesak, butuh bernapas. Aku hanya sedikit menyesal tidak melawan mereka dengan berani.
Rombongan kami langsung memasuki museum setelah mendengarkan instruksi dari guru. Aku hanya mengantongi beberapa lembar uang, sedangkan Ayuk mengenakan selempang tas kecil. Kalim justru menggendong tas ransel–yang katanya hasil meminjam dari tetangga. Aku dan Ayuk menahan senyum melihat kekesalan Kalim yang tidak menginginkan tas tersebut.
Namun, kami melanjutkan langkah kaki untuk memanjakan mata pada setiap koleksi yang terpajang. Ada sekitar dua puluh anak yang ikut study tour ini.
“Eh, gimana kalau kita membagi kelompok aja?” Anton, Si Ketua Kelas mengusulkan ide yang bagus. Sementara guru-guru tengah berdiskusi dengan pihak museum.
“Boleh juga, tuh,” sahut Selamet.
“Aku tentu aja harus satu kelompok sama Ayuk,” celetukku sambil melirik Ayuk agar ia mengangguk.
“Ti, kamu nggak mau satu kelompok sama aku?” Kalim bertanya sambil menaik-naikan alisnya.
“Eum, berarti nanti kamu harus nraktir aku. Gimana?” tawarku. Aku sebenarnya bercanda dengan kalimat tersebut. Namun, jika Kalim benar-benar menyetujuinya, aku bisa apa?
Ternyata benar. Kalim menyetujui tawaranku. Aku bisa menghemat uang saku selama berada di kota orang. Aku, Ayuk, Kalim, Anton si cowok berkacamata dan Selamet mulai menaiki anak tangga untuk menuju ke ruang koleksi satu. Tiba-tiba saja aku merasakan ada seseorang yang mendorong tubuhku hingga jatuh tersungkur.
Beruntungnya, tidak ada luka sama sekali. Namun, teman-teman lain yang melihatku terpleset malahan tertawa cukup keras. Termasuk Ayuk dan Kalim tidak bisa menahan tawa, lalu menolongku. Bagaimana rona wajahku ketika merasa malu? Aku tidak tahu.
Deg! Bahkan, aku tidak tahu tiba-tiba detak jantung bisa kurasakan lebih cepat dari biasanya.
“Ti, kamu nggak apa-apa?” Sesosok anak cowok berambut panjang dengan kepang unyu, mengulurkan tangannya. Aku meraih uluran tangannya sambil mengangguk pelan. Aku baik-baik aja, bisikku pada hati untuk menguatkan.
Kami berjalan seperti biasa menelusuri setiap jejak koleksi sejarah di dalam museum ini. Sampai pada akhirnya, kami sampai di ruang koleksi topeng Didi Nini Thowok.
“Kamu tahu nggak, Ti? Konon katanya, kalau kita menatap lama-lama topeng Dini Nini Thowok, kita bakal kena malapetaka.” Seorang anak cowok bernama Anton menjelaskan hal itu di depan kami.
“Benarkah?” tanyaku tak percaya.
“Kamu harus percaya, Ti. Lihat tuh, bentuk topengnya saja seram kayak gitu.” Ayuk meyakinkanku berulang kali sambil menunjuk-nunjuk topeng aneh itu.
Sebuah topeng berwajah manusia setengah perempuan dengan make-up dan setengah laki-laki memang seolah-olah hidup–yang terpajang di sudut ruangan. Benda itu persis di sebelah koleksi pakaian tradisional. Tiba-tiba saja punggung leherku merinding. Namun, aku tetap ingin mendekati topeng tersebut.
“Ti, kamu mau ke mana?” Ayuk menepuk pundakku. Aku tidak menghiraukan ocehan sahabatku. Beberapa temanku sudah berpencar melihat-lihat koleksi yang lainnya.
Aku benar-benar menatap wajah topeng itu. Seolah-olah benda mati itu tengah tersenyum kepadaku.
“Ayuk, mendingan kita pergi aja, deh. Topeng itu hidup! Topeng itu ada setannya!” teriakanku yang tiba-tiba histeris membuat beberapa teman meneriakkan ketakutan.
Telingaku menangkap ada benda jatuh yang tidak jauh dari dalam ruang koleksi satu. Aku bahkan tidak menyadari–sahabatku Si Ayuk pingsan. Salah satu teman lain yang melihat kejadiannya langsung mencari keberadaan para guru. Sementara Kalim hanya diam membantuku memindahkan Ayuk ke bangku yang berada di ruang koleksi.
Aku tidak mengetahui mengapa topeng Didi Nini Thowok bisa menyunggingkan senyum. Awalnya begitu manis, tetapi senyuman itu menjadi sangat menyeramkan. Apakah gara-gara selama perjalanan aku tidur pagi di dalam bis?
***
Telingaku menangkap ada benda jatuh yang tidak jauh dari dalam ruang koleksi satu. Aku bahkan tidak menyadari–sahabatku Si Ayuk pingsan. Salah satu teman lain yang melihat kejadiannya langsung mencari keberadaan para guru. Sementara Kalim hanya diam membantuku memindahkan Ayuk ke bangku yang berada di ruang koleksi.“Ayuk, bangun!” Aku mengguncang-guncangkan tubuhnya cukup keras, tetapi masih belum ada respon. Kalim memijit-mijit telapak kakinya Ayuk.“Kalim, kamu mijitnya yang bener, dong!” selorohku yang menyadari Kalim memijit telapak kakinya Ayuk dengan kurang wajar. Ia hanya menyentuh dengan jari telunjuknya sangat pelan. Wajahnya cukup pucat bagai mayat yang tergeletak di sudut ruangan.“Kalim, kamu baik-baik aja, kan? Apa kamu lapar? Duh, teman-teman yang lain ke mana, ya? Para guru juga ke mana?” Aku mengusap beberapa kali tengkuk leherku. Bukan lantaran merasakan merinding, karena ruang koleksi itu yang membuatk
Hidup. Terkadang, aku tidak mengetahui mengapa aku hidup. Ketika mengalami sebuah kekurangan, tetapi tidak menemukan solusinya, aku menyerah. Dewasa ini, kusadari banyak orang jahat yang mengincar sebuah kelebihan orang lain. Entah karena tidak bisa menjadi orang tersebut, atau ingin menjadi seorang pemenang satu-satunya.Satu-satunya jalan yang ku tempuh ialah berdoa. Lalu, ingatanku kembali ke masa di mana aku tetap berjalan. Lebih tepatnya tidak memedulikan siapa yang jahat dan orang yang benar-benar baik. Perjalanan menuju kedewasaan memang cukup panjang.Baiklah, sesampainya di tempat wisata kedua aku hanya melihat-lihat sekeliling. Tidak pernah terpikir untuk menikmati aneka permainan yang ada di sana. Objek wisata Kiai Langgeng. Akan kuceritakan sedikit mengenai tempat tersebut.Tentu saja Kiai Langgeng yang sekarang dengan yang dulu sedikit berbeda. Tempatnya memang sangat luas. Aku mengira tempat tersebut hanya sekadar area permainan untuk anak-anak. Te
Anehnya, bis yang kutumpangi ini, kosong. Hanya ada aku, Pak Sopir, dan Wawan. Lalu, ke mana perginya Ayuk, Kalim, Pak Bakir, dan teman-teman lainnya? Ada apa sebenarnya?“Wawan, kamu kenapa bisa ada di sini?” tanyaku penuh heran. Aku memang heran semua orang menghilang.Wawan tersenyum sangat manis. Anehnya, wajahnya tidak sepucat ketika aku bertemu dengannya di tempat penyewaan becak mini. Wajahnya lebih bersinar cerah. Kedua bola matanya sangat indah. Aku bisa melihat iris matanya yang kecoklatan. Buah bibirnya pun merah, seperti milik anak bayi yang baru lahir.“Siti, maafkan aku kalau mengikutimu hingga ke sini.”“A-a-apa maksudmu?”“Aku pernah bilang sama kamu, akan menjadi temanmu yang setia. Kamu setuju kita berteman. Makanya aku datang mengikutimu sampai sini.” Ia nyengir memperlihatkan gigi putihnya yang sangat rapi.“Ta-tapi, di mana teman-temanku yang lainnya? Ayuk sama Kalim
Napasku terasa sekali ngos-ngosan. Seolah-olah aku baru selesai berlari seratus kilometeran, atau habis dikejar oleh macan. Tidak keduanya. Aku memegang kepalaku sambil mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Kupandangi sekeliling, ternyata aku masih di dalam bis yang terus melaju.Kumenyibak-nyibak gorden bus, ternyata hari hampir tengah malam. Kurasakan telapak tanganku bau minyak yang tidak pernah asing.“Siti, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Ayuk sambil memegang minyak kayu putih.Aku tentu saja linglung. Tiba-tiba saja Ayuk mengajukan pertanyaan tersebut.“Memangnya ada apa? Aku baik-baik aja.”“Enggak, Ti. Hampir tiga jam kamu pingsan. Aku kira tidur, tapi kok kayak nggak bernapas. Aku manggil Pak Bakir buat bangunin, ternyata kamu pingsan. Apa kamu lapar jadinya pingsan?”“Perasaan tadi aku udah makan banyak, kok.”“Terus, apa kamu sakit? Apa yang kamu rasakan?”
Sebenarnya, perjalananku ke tempat wisata terakhir yaitu Candi Borobudur, tidak ada yang menarik. Aku bersama beberapa teman lainnya memang berada di samping Stupa Candi sambil menikmati hamparan bukit yang memukau. Lalu berbincang dengan sok bahasa inggris dengan salah satu wisatawan mancanegera–yang ternyata turis asing itu bisa berbahasa Indonesia. Kami hanya tertawa menyadari kekonyolan yang dibuat-buat oleh salah satu temanku.Mengenai sosok Si Hantu Wawan, anehnya tidak terlihat sepanjang aku menelusuri area candi. Aku hanya membeli beberapa souvenir berupa kalung manik-manik, miniature Candi Borobudur warna putih yang terbuat dari gypsum, miniature patung, dan beberapa camilan. Sementara Ayuk membeli baju-baju kecil bersablon candi, Magelang, Jogja, dan sekitarnya. Jika aku menceritakan apa yang dibeli Kalim, sungguh sangat membuatku geleng-geleng kepala.Ia hanya membeli cilok? Sebenarnya aku tidak percaya ia yang doyan
Setelah Sang Mama Tiri membuang bungkusan hitam yang berisi mayat si Wawan ke pembuangan sampah massal. Wanita itu pulang ke rumah dengan tangisan palsu. Ia mengambil banyak air minum dari dispenser. Lalu menyiapkan makan siang untuk sang Suami, Sosrodiningrat. “Ternyata kamu sudah pulang. Tumben cepat sekali. Gimana pekerjaanmu di Sekolah Rakyat?” ucap Santi, Sang Mama Tiri sambil menata piring di meja makan. “Iya. Tadi teman-teman kantor ada rapat sebentar.” “Baguslah. Hari ini aku masakin kamu tahu bacem sama tumis kangkung. Aku pikir in makanan kesukaanmu.” Setelah Santi menuangkan nasi dan sayuran ke piring, ia memijit-mijit pundak suaminya. Ia memahami bahwa bekerja sebagai guru di Sekolah Rakyat pasti membuatnya lelah. “Kamu memang istri yang sangat mengerti kondisi suaminya.” “Tentu saja aku akan menjadi satu-satunya istri yang bisa membuatmu sangat puas,” ucap Santi dengan senyum menyeringai. Sosrodiningrat hanya membal
Aku sebenarnya tidak mengetahui secara pasti mengapa Sang Putri sepertiku bisa jatuh cinta kepada sosok hantu? Hal ini sangat aneh. Aku sangat berharap kalau sahabatku bernama Ayuk tidak pernah mengetahui perasaan aneh ini kepada seorang hantu. Namun, sampai kapan aku harus menyimpan rahasia besar ini? Hingga semua rambutku sudah memutih dan kulit wajahku keriput? Sangat mustahil! Aku terus saja teringat akan sosok hantu Wawan yang pernah menciumku. Hal itu merupakan ciuman pertama dan mungkin … terakhir. “Sitiii! Ah, kamu melamun saja. Memangnya kenapa, hayooo.” Lamunanku buyar gara-gara disinggung oleh Ayuk. Ia memang perusak suasana hatiku. “Nggak apa-apa, Ayuk. Ya sudah tidur lagi. Perjalanan pulang masih lumayan panjang!” celetukku sedikit kesal. Kulihat, sahabatku yang menyebalkan itu pun mengalah. Ayuk kembali tidur. Kusibakkan tirai jendela bus untuk melihat malam yang semakin gelap. Kini, usai sudah perjalananku di tempat-tempat wisata itu. A
“Siti, apakah kamu menyukai pantai ini?” tanya Wawan sambil berhenti menyeruput minuman. “Aku ….” Aku menundukan kepala, karena tidak memiliki jawaban yang tepat. “Jawablah tanpa keraguan,” ucap Wawan sekali lagi. “Aku menyukai tempat ini, tapi aku nggak tahu di mana ini. Memangnya … tempat ini di mana?” “Sebenarnya, aku mengajakmu jalan-jalan sebentar di tempat ini. Aku akan mengatakan. Sebelumnya, aku memintamu untuk menutup kedua bola mata.” “Memangnya ada apa?” Aku mengernyitkan dahi. Tiba-tiba saja salah satu tangannya menyentuh punggung tanganku. Terasa dingin. Kumiringkan kepala untuk melihat sinar dari bola matanya yang kian aneh. Bukan aneh menyeramkan, tetapi sinar bening bak mutiara yang membuat perasaanku semakin kagum. “Hey! Jangan melamun!” Lagi-lagi Wawan mengganggu kosentrasiku. Dasar Si Hantu payah! Si Hantu Wawan sama sekali tidak mengerti bahwa aku hanya memperhatikan sinar yang keluar dari kedua bola matanya. Sekara