Kudus, Akhir Tahun 2005
Masih terekam jelas ingatan tentang beliau; Pak Kasmirin. Aku sesekali menanyakan bagaimana isi surat yang diberikan Kalim kepada beliau. Jawabannya tetap sama, rahasia. Aku dan Ayuk mulai menggelitik Kalim. Kami memecahkan gelak tawa yang membuat Kalim mual. Namun, aku paham Kalim hanya pura-pura saja agar kami semakin tertawa lebar.
Seperti biasa, kelas belum ada kegiatan belajar. Rasanya waktu begitu cepat mengantarkan kami menuju gerbang baru. Sebentar lagi kami akan menginjak tahun baru dua ribu enam. Sebelum liburan sekolah, guru kami yang bernama Pak Bakir mengumumkan rencana wisata ke Yogyakarta.
Aku melihat isi lemari, ternyata bingung tidak memiliki baju bagus seperti teman-teman. Bagaimana aku mengatakan kepada emak kalau pergi ke luar kota harus mengenakan pakaian yang bagus? Sebal. Sebenarnya, Emakku sudah mengerti tentang rencana liburan kali ini. Wanita tuaku juga sudah mengerti kalau pergi liburan harus mengenakan baju baru. Namun, aku enggan meminta baju baru.
“Ada apa, Nduk Ti? Tadi kok ada suara benda jatuh?” tanya Emakku yang tiba-tiba menyembul dari balik pintu kamar.
“Nggak apa-apa, Mak. Kalau saja Siti punya baju bagus kayak teman-teman, mungkin nggak merasa malu.”
Aku keceplosan mengatakan keinginanku sambil melihat Emak mengembuskan napas kasar.
“Ti, dengarkan emak baik-baik. Kita bisa saja membeli baju bagus dan mahal di pasar, atau kalau mau yo di mal sekalian. Tapi, emak lihat yo bajumu sudah banyak yang bagus, kalau beli lagi semakin banyak juga yang nggak terpakai. Kalau baju-baju yang nggak pernah dipakai bisa bicara, pasti menangis.”
“Tapi, Mak, Siti sebenarnya terkadang malu harus memakai baju bekas yang diberikan tetangga.”
“Lho, kenapa harus malu? Baju-baju bekas tersebut masih bagus dan bisa dicuci bersih.”
“Siti pas memakainya kadang merasa nggak cocok.”
Sebenarnya itu hanya alasanku saja agar si Emak membelikan baju baru. Emakku malah tertawa yang memancing rasa sebalku. Namun, ocehan si Emak mampu menundukkan wajahku.
“Siti, kita seharusnya bersyukur masih diberikan rezeki melalui orang lain yang mau berbaik hati memberikan baju-baju bagus. Dulu yo, emak pernah bercanda minta baju bekas sama teman SMP yang kaya. Waktu itu, dia mengirim undangan pernikahan. Ternyata beneran dibawakan baju bekas milknya.”
“Terus, Mak?”
“Sampai rumah, emak coba baju tersebut. Sayang, baju bekas yang diberikan oleh teman emak, sebagiannya sudah robek.”
“Teman Emak ternyata jahat!”
“Ha ha ha. Mungkin saja teman emak nggak sadar sewaktu memberikan baju-bajunya itu. Siti, apapun yang diberikan oleh orang lain mau jelek atau bagus, kita harus bersyukur.”
Bersyukur. Seharusnya aku harus bersyukur apapun yang diberikan orang lain, termasuk baju bekas yang ada di lemari ini. Namun, maksudku bukan soal baju bekasnya jelek atau bagus. Aku ingin satu setel baju baru saja ketika berangkat wisata minggu depan. Dalam pikiran ini, ketika sudah sampai di tempat wisata–aku bisa berswafoto dengan gaya bebas mengenakan baju baru bak model professional.
“Iya Mak,” tukasku.
“Mak, minggu depan sudah berangkat wisata. Apa uang sakunya juga sudah ada?” sambungku.
“Kamu nggak perlu mikirin uang saku. Lagian kalau ke sana bawa uang dua ratus ribu sudah cukup. Makan, minum sudah ditanggung sama sekolahan, to? Paling juga ke toilet umum cuma bayar dua ribu rupiah. ”
Aku sebenarnya ingin mengatakan butuh banyak uang. Namun, sepertinya Emakku lebih memahami kebutuhan anaknya. Atau, aku sendiri yang tidak bisa memahami si Emak? Segera kutuliskan semua keinginan memiliki banyak uang pada buku. Aku tidak mungkin memaksa wanita yang telah melahirkanku untuk memberikan banyak uang.
***
Hari itu, aku masih mengingatnya dengan jelas detik-detik menjelang kenaikan kelas enam. Ada beberapa kenangan yang tidak pernah terlupakan hingga aku berusia 26 tahun sampai sekarang ini. Namun, sebelum keberangkatan ke tempat wisata. Para guru memastikan semua formasi sudah lengkap. Tentu saja semua perlengkapan yang dibawa oleh kami juga tidak ada yang tertinggal.
“Jangan lupa banyak membaca doa ya, Nduk,” pesan dari Emak selalu melekat dalam ingatanku. Aku hanya mengangguk pelan sembari mencium punggung tangannya.
Meskipun aku masih kecil, aku bisa merasakan tangan tua itu sudah begitu renta. Ya, sekitar pukul 05.00 WIB Emak mengantarkanku ke tempat pemberangkatan di kecamatan. Ternyata di sana sudah ada Ayuk dan Kalim yang saling bercanda. Aku langsung meminta izin kepada Emak untuk menghampiri teman-temanku.
Beliau hanya menampakkan senyum terindahnya. Udara pagi, apalagi setelah Subuh benar-benar membuatku menggigil. Aku menyadari sebuah jaket pemberian Emak sudah di dalam tas. Langsung saja kucomot begitu kulitku seperti memucat.
“Ayuk, kamu bawa bekal jajanan, nggak?” tanyaku antusias. Sebetulnya aku hanya bosa-basi membuka obrolan.
“Iya. Aku bawa apem, nagasari, sama arem-arem, Ti. Kamu mau?”
Makanan yang disebutkan oleh Ayuk merupakan camilan tradisional yang wajib ada ketika bepergian. Khususnya arem-arem yang mempunyai bahan dasar nasi yang dicampur santan dan rempah pilihan, dengan isiannya ada yang terbuat dari suwiran daging ayam, sambel goreng tahu, atau mi goreng dengan sedikit bumbu pedas. Bekal yang dibawa oleh Ayuk memang membuat perutku tiba-tiba membunyikan alarm kelaparan. Padahal aku sudah sarapan sepiring nasi, kerupuk, dengan gorengan tempe.
Entah kenapa, ketika aku melihat Kalim rasanya tidak suka. Aku seolah-olah melihat kebohongan yang memancar dari wajah kalemnya. Kalim alias Halimah, meskipun wajahnya kalem, tetapi ia sedikit tomboy. Atau lebih tepatnya sangat pemberani.
“Hei, Ti. Kamu nggak bertanya kepadaku juga?” Pertanyaan Kalim sungguh menyentakku.
“Eum, aku lagi malas aja. Maksudku, aku hanya ingin bertanya kepada Ayuk aja.”
“Padahal aku bawa sekotak telur dadar sama mi goreng. Aku malah bikin sendiri, lho.”
“Benarkah?” tanyaku seolah tidak percaya.
Namun, aku sudah mengetahui Kalim memang sosok yang serba bisa untuk urusan masak memasak. Ia hampir sama dengan Ayuk yang menyukai membantu pekerjaan rumah tangga orang tuanya. Kalim mengangguk pelan seraya membuka sekotak bekal yang dimaksud. Tiba-tiba saja aku penasaran bagaimana rasanya.
Benar saja, rasa mi goreng buatan Kalim memang tidak kalah lezat dengan arem-arem milik Ayuk. Bagiku tetap saja, masakan Ayuk jauh lebih enak. Aku berusaha memuji masakan Kalim, meskipun perasaan tidak suka yang muncul membuatku sedikit tidak nyaman.
“Ngomong-ngomong nanti wisatanya ke mana aja sih, Ti? Bisnya juga belum datang,” celetuk Ayuk tiba-tiba.
“Bukannya ke Yogyakarta, ya?” sahut Kalim sambil mengunyah apem yang diberikan oleh Ayuk. Aku hanya diam memperhatikan sambil memakan apem yang sama.
“Iya. Maksudku, objek wisatanya ke mana aja?” Ayuk menekankan sekali lagi.
“Aku ingat!” seruku sambil menghentikan kunyahan terakhir. “Kita akan pergi ke Pantai Selatan, Museum Dirgantara Indonesia, sama Candi Borobudor,” lanjutku.
“Lho, bukannya tempat wisata itu masih ditutup gara-gara kemarin mengalami bencana gempa bumi, ya? Bukannya ada abu vulkanik?” sahut Kalim.
“Aku tanya dulu sama Pak Bakir, aku lupa.” Tanpa menghiraukan Kalim dan Ayuk, aku bergegas menemui Pak Bakir. Apalagi jika bukan menanyakan perihal lokasi wisata yang sebenarnya. Aku kembali bersama Kalim dan Ayuk.
“Teman-teman, ternyata nanti kita akan pergi ke Semarang. Katanya, ke Museum Ronggowarsito, Kyai Langgeng, sama Candi Borobudor.”
“Wah gitu ya, Ti. Yaaah. Aku tadi udah rencana mau beli topi pantai di sana. Apalagi kata kakakku yang pernah ke Pantai Selatan, harga topi di sana tuh murah-murah. Ditambah, kita nggak boleh pakai baju warna ijo.” Penjelasan Ayuk membuatku sedikit penasaran. “Memangnya kenapa nggak boleh pakai baju warna ijo?”
“Iya, kenapa?” Kalim bertanya hal yang sama.
“Aku nggak tahu. Kakakku nggak pernah ngasih tahu alasannya.”
Sebetulnya aku gemas dengan sikap Ayuk yang tiba-tiba seperti orang hilang ingatan. Namun, aku bisa apa? Aku tidak boleh memaksa orang lain untuk hal apapun, bukan? Bahkan, aku sendiri sudah tidak peduli dengan kabar cukup mengerikan yang disampaikan oleh Ayuk. Aku harus bahagia di mana pun tempat wisatanya, itu yang terpenting.
***
Akhirnya, bis yang kami tunggu menuju lokasi. Orang-orang di dalam bis sangat riuh. Mereka sangat membosankan. Huh! Apakah mereka tidak mengetahui kalau aku sangat sebal? Pagi yang menemani perjalanan, membuatku mengantuk. Aku ingin menyenderkan kepala di jendela, hanya sejenak saja.Namun, aku teringat kembali akan nasihat Emak tempo lalu bahwa seorang anak gadis sangat pamali kalau tidur pagi hari. Orang-orang desaku masih percaya mengenai kepercayaan tersebut. Meskipun aku masih duduk di bangkus sekolah dasar, aku tidak mudah percaya begitu saja. Aku selalu mempertanyakan hal itu kepada Emak, tetapi tiada jawaban yang kuterima.Beliau berlalu seolah-olah aku tidak pernah ada di sekitarnya. Aku pun tidak terbiasa bangun sepagi tadi. Biasanya, aku akan terbangun dan buru-buru berangkat sekolah pukul setengah 7 pagi, atau terkadang terlambat masuk ke kelas. Emak sendiri sering bingung dengan kelakuanku yang tidak disiplin.Bahkan, Ayuk sering memberikanku nasiha
Telingaku menangkap ada benda jatuh yang tidak jauh dari dalam ruang koleksi satu. Aku bahkan tidak menyadari–sahabatku Si Ayuk pingsan. Salah satu teman lain yang melihat kejadiannya langsung mencari keberadaan para guru. Sementara Kalim hanya diam membantuku memindahkan Ayuk ke bangku yang berada di ruang koleksi.“Ayuk, bangun!” Aku mengguncang-guncangkan tubuhnya cukup keras, tetapi masih belum ada respon. Kalim memijit-mijit telapak kakinya Ayuk.“Kalim, kamu mijitnya yang bener, dong!” selorohku yang menyadari Kalim memijit telapak kakinya Ayuk dengan kurang wajar. Ia hanya menyentuh dengan jari telunjuknya sangat pelan. Wajahnya cukup pucat bagai mayat yang tergeletak di sudut ruangan.“Kalim, kamu baik-baik aja, kan? Apa kamu lapar? Duh, teman-teman yang lain ke mana, ya? Para guru juga ke mana?” Aku mengusap beberapa kali tengkuk leherku. Bukan lantaran merasakan merinding, karena ruang koleksi itu yang membuatk
Hidup. Terkadang, aku tidak mengetahui mengapa aku hidup. Ketika mengalami sebuah kekurangan, tetapi tidak menemukan solusinya, aku menyerah. Dewasa ini, kusadari banyak orang jahat yang mengincar sebuah kelebihan orang lain. Entah karena tidak bisa menjadi orang tersebut, atau ingin menjadi seorang pemenang satu-satunya.Satu-satunya jalan yang ku tempuh ialah berdoa. Lalu, ingatanku kembali ke masa di mana aku tetap berjalan. Lebih tepatnya tidak memedulikan siapa yang jahat dan orang yang benar-benar baik. Perjalanan menuju kedewasaan memang cukup panjang.Baiklah, sesampainya di tempat wisata kedua aku hanya melihat-lihat sekeliling. Tidak pernah terpikir untuk menikmati aneka permainan yang ada di sana. Objek wisata Kiai Langgeng. Akan kuceritakan sedikit mengenai tempat tersebut.Tentu saja Kiai Langgeng yang sekarang dengan yang dulu sedikit berbeda. Tempatnya memang sangat luas. Aku mengira tempat tersebut hanya sekadar area permainan untuk anak-anak. Te
Anehnya, bis yang kutumpangi ini, kosong. Hanya ada aku, Pak Sopir, dan Wawan. Lalu, ke mana perginya Ayuk, Kalim, Pak Bakir, dan teman-teman lainnya? Ada apa sebenarnya?“Wawan, kamu kenapa bisa ada di sini?” tanyaku penuh heran. Aku memang heran semua orang menghilang.Wawan tersenyum sangat manis. Anehnya, wajahnya tidak sepucat ketika aku bertemu dengannya di tempat penyewaan becak mini. Wajahnya lebih bersinar cerah. Kedua bola matanya sangat indah. Aku bisa melihat iris matanya yang kecoklatan. Buah bibirnya pun merah, seperti milik anak bayi yang baru lahir.“Siti, maafkan aku kalau mengikutimu hingga ke sini.”“A-a-apa maksudmu?”“Aku pernah bilang sama kamu, akan menjadi temanmu yang setia. Kamu setuju kita berteman. Makanya aku datang mengikutimu sampai sini.” Ia nyengir memperlihatkan gigi putihnya yang sangat rapi.“Ta-tapi, di mana teman-temanku yang lainnya? Ayuk sama Kalim
Napasku terasa sekali ngos-ngosan. Seolah-olah aku baru selesai berlari seratus kilometeran, atau habis dikejar oleh macan. Tidak keduanya. Aku memegang kepalaku sambil mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Kupandangi sekeliling, ternyata aku masih di dalam bis yang terus melaju.Kumenyibak-nyibak gorden bus, ternyata hari hampir tengah malam. Kurasakan telapak tanganku bau minyak yang tidak pernah asing.“Siti, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Ayuk sambil memegang minyak kayu putih.Aku tentu saja linglung. Tiba-tiba saja Ayuk mengajukan pertanyaan tersebut.“Memangnya ada apa? Aku baik-baik aja.”“Enggak, Ti. Hampir tiga jam kamu pingsan. Aku kira tidur, tapi kok kayak nggak bernapas. Aku manggil Pak Bakir buat bangunin, ternyata kamu pingsan. Apa kamu lapar jadinya pingsan?”“Perasaan tadi aku udah makan banyak, kok.”“Terus, apa kamu sakit? Apa yang kamu rasakan?”
Sebenarnya, perjalananku ke tempat wisata terakhir yaitu Candi Borobudur, tidak ada yang menarik. Aku bersama beberapa teman lainnya memang berada di samping Stupa Candi sambil menikmati hamparan bukit yang memukau. Lalu berbincang dengan sok bahasa inggris dengan salah satu wisatawan mancanegera–yang ternyata turis asing itu bisa berbahasa Indonesia. Kami hanya tertawa menyadari kekonyolan yang dibuat-buat oleh salah satu temanku.Mengenai sosok Si Hantu Wawan, anehnya tidak terlihat sepanjang aku menelusuri area candi. Aku hanya membeli beberapa souvenir berupa kalung manik-manik, miniature Candi Borobudur warna putih yang terbuat dari gypsum, miniature patung, dan beberapa camilan. Sementara Ayuk membeli baju-baju kecil bersablon candi, Magelang, Jogja, dan sekitarnya. Jika aku menceritakan apa yang dibeli Kalim, sungguh sangat membuatku geleng-geleng kepala.Ia hanya membeli cilok? Sebenarnya aku tidak percaya ia yang doyan
Setelah Sang Mama Tiri membuang bungkusan hitam yang berisi mayat si Wawan ke pembuangan sampah massal. Wanita itu pulang ke rumah dengan tangisan palsu. Ia mengambil banyak air minum dari dispenser. Lalu menyiapkan makan siang untuk sang Suami, Sosrodiningrat. “Ternyata kamu sudah pulang. Tumben cepat sekali. Gimana pekerjaanmu di Sekolah Rakyat?” ucap Santi, Sang Mama Tiri sambil menata piring di meja makan. “Iya. Tadi teman-teman kantor ada rapat sebentar.” “Baguslah. Hari ini aku masakin kamu tahu bacem sama tumis kangkung. Aku pikir in makanan kesukaanmu.” Setelah Santi menuangkan nasi dan sayuran ke piring, ia memijit-mijit pundak suaminya. Ia memahami bahwa bekerja sebagai guru di Sekolah Rakyat pasti membuatnya lelah. “Kamu memang istri yang sangat mengerti kondisi suaminya.” “Tentu saja aku akan menjadi satu-satunya istri yang bisa membuatmu sangat puas,” ucap Santi dengan senyum menyeringai. Sosrodiningrat hanya membal
Aku sebenarnya tidak mengetahui secara pasti mengapa Sang Putri sepertiku bisa jatuh cinta kepada sosok hantu? Hal ini sangat aneh. Aku sangat berharap kalau sahabatku bernama Ayuk tidak pernah mengetahui perasaan aneh ini kepada seorang hantu. Namun, sampai kapan aku harus menyimpan rahasia besar ini? Hingga semua rambutku sudah memutih dan kulit wajahku keriput? Sangat mustahil! Aku terus saja teringat akan sosok hantu Wawan yang pernah menciumku. Hal itu merupakan ciuman pertama dan mungkin … terakhir. “Sitiii! Ah, kamu melamun saja. Memangnya kenapa, hayooo.” Lamunanku buyar gara-gara disinggung oleh Ayuk. Ia memang perusak suasana hatiku. “Nggak apa-apa, Ayuk. Ya sudah tidur lagi. Perjalanan pulang masih lumayan panjang!” celetukku sedikit kesal. Kulihat, sahabatku yang menyebalkan itu pun mengalah. Ayuk kembali tidur. Kusibakkan tirai jendela bus untuk melihat malam yang semakin gelap. Kini, usai sudah perjalananku di tempat-tempat wisata itu. A