Telingaku menangkap ada benda jatuh yang tidak jauh dari dalam ruang koleksi satu. Aku bahkan tidak menyadari–sahabatku Si Ayuk pingsan. Salah satu teman lain yang melihat kejadiannya langsung mencari keberadaan para guru. Sementara Kalim hanya diam membantuku memindahkan Ayuk ke bangku yang berada di ruang koleksi.
“Ayuk, bangun!” Aku mengguncang-guncangkan tubuhnya cukup keras, tetapi masih belum ada respon. Kalim memijit-mijit telapak kakinya Ayuk.
“Kalim, kamu mijitnya yang bener, dong!” selorohku yang menyadari Kalim memijit telapak kakinya Ayuk dengan kurang wajar. Ia hanya menyentuh dengan jari telunjuknya sangat pelan. Wajahnya cukup pucat bagai mayat yang tergeletak di sudut ruangan.
“Kalim, kamu baik-baik aja, kan? Apa kamu lapar? Duh, teman-teman yang lain ke mana, ya? Para guru juga ke mana?” Aku mengusap beberapa kali tengkuk leherku. Bukan lantaran merasakan merinding, karena ruang koleksi itu yang membuatku memperhatikan sekeliling. Namun, aku tidak tahan AC yang kurasakan semakin dingin temperaturnya.
Aku tidak mungkin meninggalkan Ayuk yang setengah sekarat. Lalu sekarang? Kalim semakin aneh saja.
“Kalim,” ucapku pelan. Aku benar-benar memastikan keadaan sahabatku yang masih waras ini dalam keadaan baik-baik saja.
Tiba-tiba, anak cewek yang berada di depanku ini berteriak histeris. Aku secara reflek berdiri untuk menghindari amukan dari Kalim.
“Pak Bakiiir. Selameeet! Antooon! Di mana kalian? Hiks, hiks, hiks.”
Pada akhirnya tangisku pecah melihat segala keanehan yang terjadi. Aku pun merasakan sepi yang luar biasa di ruangan yang lebih mirip seperti penjara. Kalim berteriak-teriak tidak jelas. Ayuk masih belum bangun dari pingsan. Semua teman-teman yang lainnya tiba-tiba menghilang seperti diterbangkan oleh angin.
Aku tertunduk lesu. Kedua telapak tanganku menutup wajah yang sudah basah oleh lelehan air mata. Tiba-tiba ….
“Sitiii! Surprise! Happy birthday to you. Happy birthday to you. Happy birthday, Happy birthday, Happy birthday to youuu.”
Para guru dan teman-teman lainnya yang sempat menghilang, hadir sambil membawa nampan berisi kue tart dengan lilin merah muda di atasnya. Ayuk tersenyum sambil terbangun dari pingsannya. Mungkin lebih tepatnya pura-pura pingsan. Sementara Kalim terlihat normal sambil menyungging senyum sedikit sinis kepadaku.
“Kalian jahat! Kalian semua jahat!” Aku kembali menangis. Kali ini tangisku merupakan tangisan kemarahan. Mereka bisa-bisanya menipuku dengan cara seperti ini. Aku merasa semua ini tidak adil.
Gema nyanyian ulang tahun atas namaku masih menyeru.
“Tiup lilinnya. Tiup lilinnya.”
Meskipun perasaanku sangat dongkol, tetapi aku harus menghargai jerih payah mereka. Aku meniup lilin itu.
“Siti, kami minta maaf sudah membuat kejutan yang kayak gini. Kami nggak bermaksud membuatmu takut.” Penjelasan dari Ayuk cukup membuatku lega.
“Iya betul Nak Siti. Semua ini sudah kami persiapkan jauh-jauh hari. Sebenarnya ibu Nak Siti yang memberikan amanah tersebut.” Pak Bakir menjelaskan secara pelan sambil meletakkan kue tart di bangku.
Aku mulai melemah. Tangisanku mulai berhenti pelan. Pak Bakir, Ayuk, Kalim dan teman-teman lainnya selalu menjelaskan dengan lembut. Ketika semua mulai mereda, kami kembali tertawa sambil menghabiskan kue tart yang sangat menggoda.
Namun, aku masih memiliki satu pertanyaan yang cukup ganjil. Jika semua yang terjadi merupakan bagian dari rencana mereka, lalu mengapa topeng Didi Ninik Thowok seolah-olah tersenyum? Apakah aku salah lihat? Mengenai topeng yang kuanggap topeng setan, aku tidak berani menanyakan hal itu kepada Pak Bakir atau teman-teman lainnya.
Aku cukup menyimpannya dalam ingatan.
“Ayuk, perasaanmu gimana setelah pura-pura pingsan? Kalim juga gitu. Apakah setan yang di dalam dirimu sudah menghilang, Lim?” tanyaku kepada dua orang itu yang memasang muka sedikit menyebalkan, “ayo jawab!” lanjutku sambil berkacak pinggang.
Ayuk dan Kalim saling berpandangan. Mereka justru saling menahan tawa.
“Dasaarr ya kalian. Awas aja nanti kalau udah berada di tempat wisata yang kedua. Aku bakal ngebales!” sungutku.
“Ehem.” Deheman dari Pak Bakir membuatku kembali normal, lebih tepatnya pura-pura menjadi anak yang manis.
“Anak-anak, jika kalian sudah selesai makan tart, kita lanjutkan berkeliling, ya. Tapi, kali ini kita jadikan satu rombongan saja, ya. Bapak juga akan menemani perjalanan kalian di museum ini.”
Syukurlah, Pak Bakir memutuskan hal yang sangat tepat. Aku tidak akan merasakan ketakutan lagi. Aku yakin, selama ada Pak Bakir dan teman-teman yang lain, bayang-bayang hantu akibat dari tidur pagiku tidak akan menjadi kenyataan. Aku selalu memasang wajah semanis mungkin di depan Pak Bakir.
Ruangan demi ruangan berhasil kami lalui dengan aneka macam jokes yang menggelikan. Pak Bakir memang sangat pandai membuat lelucon untuk kami, anak-anak didiknya. Sepanjang beliau mengajar memang tidak pernah terlontar sedikit pun amarah atau rasa penyesalan dari ulah nakal kami. Namun, jika aku boleh membuat sedikit perbandingan antara Pak Kasmirin dengan Pak Bakir. Entah kenapa aku lebih menyayangi Pak Kasmirin.
Mungkin Pak Kasmirin seperti sosok bapakku keberadaannya entah di mana. Bagiku mereka sangat penyabar. Biar bagaimana pun, aku wajib mencintai Pak Bakir selayaknya super hero yang selalu menyelamatkan manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Guru-guruku memang seorang pahlawan. Meskipun mereka mengabdi tanpa tanda jasa atau dengan tanda jasa sekalipun, tetap saja pundi-pundi kebaikan mengalir pada setiap langkah.
Sebenarnya, secara diam-diam aku ingin menjadi seperti mereka. Kelak, jika sudah dewasa aku pasti menjadi seorang guru. Entahlah. Kadang-kadang impian seorang Putri Desa sepertiku terlalu tinggi. Aku bahkan belum mengerti cara untuk mencapai cita-cita.
“Pak Bakir,” sapaku.
Ketika hendak menuju pintu keluar museum, aku sendirian memberanikan diri mendekati beliau. Ayuk dan Kalim sedang asik jajan cilok dan ice cream. Mereka tadinya mengajakku bergabung untuk membeli beberapa camilan. Namun, aku malas sekali. Perutku tadi sudah menampung banyak kue tart. Tentu mulutku tidak menerima makanan lain.
“Iya, Nak Siti.”
“Pak, bolehkah Siti bertanya?”
“Tentu saja.”
Kami duduk di bawa pohon yang cukup besar. Aku tidak mengetahui nama pohon yang lebih mirip pohon beringin. Akar, dahan, serta daunnya yang cukup lebat memang mampu melindungi tubuh kami dari matahari yang mulai terik.
“Pak, sebenarnya saya memiliki cita-cita.”
“Ya malah bagus to, Nak. Cita-citanya apa?”
“Sebenarnya saya ingin nantinya menjadi guru. Tapi, saya tidak tahu harus bagaimana.”
“Jika kamu ingin menjadi guru seperti bapak, kamu harus rajin belajar, disiplin, khususnya jangan terlambat masuk sekolah. Ha ha ha.”
Aku menunduk sejenak. Kedua bola mataku berputar. Pak Bakir memang benar, aku tidak boleh terlambat datang ke sekolah. Meskipun beliau tidak pernah menghukumku saat terlambat, tetapi teman-teman satu kelas menertawakannya.
“Kamu ingat ya. Jika nanti kamu sudah besar dan sukses, jangan pernah melupakan kami ya, Nak Siti. Bapak juga sudah tua, mungkin saja suatu saat saya tidak akan mengingatmu lagi.”
“Lhah, kok gitu, Pak. Memangnya kenapa?”
“Saya kasih tahu kamu sesuatu. Sebenarnya, orang tua mudah sekali lupa.” Sejenak wajah Pak Bakir menjadi muram. Sementara aku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Aku masih tidak mengerti maksud penjelasan dari beliau.
“Lalu kenapa orang tua bisa mudah lupa, Pak?” Aku mengulang perkataan yang sama agar mendapatkan jawaban yang pasti.
“Ya tentu saja karena sudah tua.”
“Oh gitu, Pak.” Aku manggut-manggut.
Pikiranku akhirnya menemukan sebuah jawaban yang cukup memuaskan. Ternyata orang tua mudah lupa, karena usianya sudah tua. Aku berkali-kali mengucapkan rasa terima kasih kepada beliau. Lalu bergegas untuk bergabung bersama kedua sahabatku.
***
Hidup. Terkadang, aku tidak mengetahui mengapa aku hidup. Ketika mengalami sebuah kekurangan, tetapi tidak menemukan solusinya, aku menyerah. Dewasa ini, kusadari banyak orang jahat yang mengincar sebuah kelebihan orang lain. Entah karena tidak bisa menjadi orang tersebut, atau ingin menjadi seorang pemenang satu-satunya.Satu-satunya jalan yang ku tempuh ialah berdoa. Lalu, ingatanku kembali ke masa di mana aku tetap berjalan. Lebih tepatnya tidak memedulikan siapa yang jahat dan orang yang benar-benar baik. Perjalanan menuju kedewasaan memang cukup panjang.Baiklah, sesampainya di tempat wisata kedua aku hanya melihat-lihat sekeliling. Tidak pernah terpikir untuk menikmati aneka permainan yang ada di sana. Objek wisata Kiai Langgeng. Akan kuceritakan sedikit mengenai tempat tersebut.Tentu saja Kiai Langgeng yang sekarang dengan yang dulu sedikit berbeda. Tempatnya memang sangat luas. Aku mengira tempat tersebut hanya sekadar area permainan untuk anak-anak. Te
Anehnya, bis yang kutumpangi ini, kosong. Hanya ada aku, Pak Sopir, dan Wawan. Lalu, ke mana perginya Ayuk, Kalim, Pak Bakir, dan teman-teman lainnya? Ada apa sebenarnya?“Wawan, kamu kenapa bisa ada di sini?” tanyaku penuh heran. Aku memang heran semua orang menghilang.Wawan tersenyum sangat manis. Anehnya, wajahnya tidak sepucat ketika aku bertemu dengannya di tempat penyewaan becak mini. Wajahnya lebih bersinar cerah. Kedua bola matanya sangat indah. Aku bisa melihat iris matanya yang kecoklatan. Buah bibirnya pun merah, seperti milik anak bayi yang baru lahir.“Siti, maafkan aku kalau mengikutimu hingga ke sini.”“A-a-apa maksudmu?”“Aku pernah bilang sama kamu, akan menjadi temanmu yang setia. Kamu setuju kita berteman. Makanya aku datang mengikutimu sampai sini.” Ia nyengir memperlihatkan gigi putihnya yang sangat rapi.“Ta-tapi, di mana teman-temanku yang lainnya? Ayuk sama Kalim
Napasku terasa sekali ngos-ngosan. Seolah-olah aku baru selesai berlari seratus kilometeran, atau habis dikejar oleh macan. Tidak keduanya. Aku memegang kepalaku sambil mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Kupandangi sekeliling, ternyata aku masih di dalam bis yang terus melaju.Kumenyibak-nyibak gorden bus, ternyata hari hampir tengah malam. Kurasakan telapak tanganku bau minyak yang tidak pernah asing.“Siti, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Ayuk sambil memegang minyak kayu putih.Aku tentu saja linglung. Tiba-tiba saja Ayuk mengajukan pertanyaan tersebut.“Memangnya ada apa? Aku baik-baik aja.”“Enggak, Ti. Hampir tiga jam kamu pingsan. Aku kira tidur, tapi kok kayak nggak bernapas. Aku manggil Pak Bakir buat bangunin, ternyata kamu pingsan. Apa kamu lapar jadinya pingsan?”“Perasaan tadi aku udah makan banyak, kok.”“Terus, apa kamu sakit? Apa yang kamu rasakan?”
Sebenarnya, perjalananku ke tempat wisata terakhir yaitu Candi Borobudur, tidak ada yang menarik. Aku bersama beberapa teman lainnya memang berada di samping Stupa Candi sambil menikmati hamparan bukit yang memukau. Lalu berbincang dengan sok bahasa inggris dengan salah satu wisatawan mancanegera–yang ternyata turis asing itu bisa berbahasa Indonesia. Kami hanya tertawa menyadari kekonyolan yang dibuat-buat oleh salah satu temanku.Mengenai sosok Si Hantu Wawan, anehnya tidak terlihat sepanjang aku menelusuri area candi. Aku hanya membeli beberapa souvenir berupa kalung manik-manik, miniature Candi Borobudur warna putih yang terbuat dari gypsum, miniature patung, dan beberapa camilan. Sementara Ayuk membeli baju-baju kecil bersablon candi, Magelang, Jogja, dan sekitarnya. Jika aku menceritakan apa yang dibeli Kalim, sungguh sangat membuatku geleng-geleng kepala.Ia hanya membeli cilok? Sebenarnya aku tidak percaya ia yang doyan
Setelah Sang Mama Tiri membuang bungkusan hitam yang berisi mayat si Wawan ke pembuangan sampah massal. Wanita itu pulang ke rumah dengan tangisan palsu. Ia mengambil banyak air minum dari dispenser. Lalu menyiapkan makan siang untuk sang Suami, Sosrodiningrat. “Ternyata kamu sudah pulang. Tumben cepat sekali. Gimana pekerjaanmu di Sekolah Rakyat?” ucap Santi, Sang Mama Tiri sambil menata piring di meja makan. “Iya. Tadi teman-teman kantor ada rapat sebentar.” “Baguslah. Hari ini aku masakin kamu tahu bacem sama tumis kangkung. Aku pikir in makanan kesukaanmu.” Setelah Santi menuangkan nasi dan sayuran ke piring, ia memijit-mijit pundak suaminya. Ia memahami bahwa bekerja sebagai guru di Sekolah Rakyat pasti membuatnya lelah. “Kamu memang istri yang sangat mengerti kondisi suaminya.” “Tentu saja aku akan menjadi satu-satunya istri yang bisa membuatmu sangat puas,” ucap Santi dengan senyum menyeringai. Sosrodiningrat hanya membal
Aku sebenarnya tidak mengetahui secara pasti mengapa Sang Putri sepertiku bisa jatuh cinta kepada sosok hantu? Hal ini sangat aneh. Aku sangat berharap kalau sahabatku bernama Ayuk tidak pernah mengetahui perasaan aneh ini kepada seorang hantu. Namun, sampai kapan aku harus menyimpan rahasia besar ini? Hingga semua rambutku sudah memutih dan kulit wajahku keriput? Sangat mustahil! Aku terus saja teringat akan sosok hantu Wawan yang pernah menciumku. Hal itu merupakan ciuman pertama dan mungkin … terakhir. “Sitiii! Ah, kamu melamun saja. Memangnya kenapa, hayooo.” Lamunanku buyar gara-gara disinggung oleh Ayuk. Ia memang perusak suasana hatiku. “Nggak apa-apa, Ayuk. Ya sudah tidur lagi. Perjalanan pulang masih lumayan panjang!” celetukku sedikit kesal. Kulihat, sahabatku yang menyebalkan itu pun mengalah. Ayuk kembali tidur. Kusibakkan tirai jendela bus untuk melihat malam yang semakin gelap. Kini, usai sudah perjalananku di tempat-tempat wisata itu. A
“Siti, apakah kamu menyukai pantai ini?” tanya Wawan sambil berhenti menyeruput minuman. “Aku ….” Aku menundukan kepala, karena tidak memiliki jawaban yang tepat. “Jawablah tanpa keraguan,” ucap Wawan sekali lagi. “Aku menyukai tempat ini, tapi aku nggak tahu di mana ini. Memangnya … tempat ini di mana?” “Sebenarnya, aku mengajakmu jalan-jalan sebentar di tempat ini. Aku akan mengatakan. Sebelumnya, aku memintamu untuk menutup kedua bola mata.” “Memangnya ada apa?” Aku mengernyitkan dahi. Tiba-tiba saja salah satu tangannya menyentuh punggung tanganku. Terasa dingin. Kumiringkan kepala untuk melihat sinar dari bola matanya yang kian aneh. Bukan aneh menyeramkan, tetapi sinar bening bak mutiara yang membuat perasaanku semakin kagum. “Hey! Jangan melamun!” Lagi-lagi Wawan mengganggu kosentrasiku. Dasar Si Hantu payah! Si Hantu Wawan sama sekali tidak mengerti bahwa aku hanya memperhatikan sinar yang keluar dari kedua bola matanya. Sekara
Aku terperanjat dari ranjang tempat tidur. Tentu saja pandanganku mengitari sekitar ruangan ini. Ternyata, aku baru saja terbangun dari mimpi yang aneh bersama … Si Hantu Wawan. Sebenarnya mimpi tersebut tidak bisa kupercaya begitu saja. Aku menyentuh leherku yang terasa ada benda yang menempel. Kalung yang diberikan oleh Wawan di dalam mimpiku menempel nyata di leher.Aku benar-benar sungguh bingung.“Wawan,” desisku sambil masih menyentuh kalung hadiah dari Si Hantu payah itu.Segera kukerjakan rutinitas seperti biasanya. Aku bisa sedikit bernapas lega, karena pihak sekolah memberikan libur selama tiga hari setelah liburan sekolah ke luar kota. Tercium aroma sedap yang berasal dari dapur. Aroma harum yang menusuk hidungku itu seolah-olah melarangku untuk pergi mandi. Ternyata Emak memasak kari ayam, nasi kebuli, dan roti maryam kesukaanku.“Siti, kamu setelah mandi jangan lupa bantuin emak ngasih sebagian kari ayam sama roti mar