Dari ufuk barat, cahaya kemerah-merahan agak ke-orange menelan sinar matahari untuk berganti malam. Dengan cepatnya akan kembali lagi bersama fajar, tanda siap untuk bertempur dengan pelajaran di sekolah. Senja yang membiaskan pesonanya pada gadis cilik sepertiku memang sangat adil. Toh, kenyataan ini membuat senyum kembali menyungging dengan hati penuh impian.
“Ayuk, bentar lagi ulangan kenaikan kelas. Nggak terasa bakal kelas lima.” Kataku ketika istirahat sekolah. Sungguh, aku benar-benar bahagia.
“Iyo Ti. Liburan sekolah jalan-jalan, yok!” ujar Ayuk.
“Jalan-jalan ke mana?”
“Ke rumah Halimah.”
“Baiklah. Apakah nanti kita akan membawa bekal makanan?”
“Eum … boleh aja. Aku pengen bawa nasi goreng.”
“Mending bawa orek tempe, atau sambal goreng tahu.”
“Ikan bakar sama saus kecap.”
“Di tambah es sirup manis.”
“Yuummm, aku jadi lapar, Ti.”
“Yasudah, ayo ke kantin.”
“Yah, ujung-ujungnya kalau ke kantin juga beli mie rebus harga 700 perak.”
“Yang penting kenyang.”
Hahahaha. Tawa kami meledak begitu memutuskan selama jam istirahat, akan menghabiskan waktu di kantin. Ayuk pun bersedia mentraktir semua jajan yang kuinginkan. Namun, mengingat ia seorang yatim, aku tidak pernah menerima traktiran Ayuk. Ayuk, terima kasih sudah menjadi sahabat, teman seperjuangan, dan kakak di sekolah ini. Ya, usianya memnag dua tahun lebih tua dariku.
***
“Nggak sia-sia aku pindah sekolah di sini, banyak kebahagiaan yang aku rasakan. Sebelumnya aku sangat kesal.” Aku bergumam lalu menyeruput segelas es teh di kantin sendirian.
Dua sosok gadis seusiaku menghampiri dengan langkah cukup tergesa. Satunya mengenakan bandana merah jambu, satunya lagi memiliki rambut yang dibiarkan tergerai sebahu.
“Ti, kemarin soal ujian semester sulit banget. Soal isian hampir nggak aku jawab.” Halimah berceloteh dan mengisi bangku kosong.
“Iya Ti. Ada satu jawaban yang belum aku isi,” Ayuk menyahut lalu setengah berteriak kepada penjual kantin. “Mbak pesen mie rebusnya tiga!”
“Gini ya teman-temen, biar besok ngerjain ulangan semester mudah, aku punya ide.” Aku tersenyum menyeringai.
“Biar bisa ngerjain dengan mudah ya belajar Ti.” Ayuk memang anak yang menyukai pemmbelajaran. Tidak heran jika dia selalu mengingatkan kami untuk belajar setengah mati. Apalagi kalau bukan demi mendapatkan nilai terbaik di kelas.
“Ish! Bukan lah. Sini aku bisikin,” aku mulai membisiki telinga mereka satu persatu. “Gimana? Seru nggak?”
“Eng …,” Ayuk mulai ragu.
Dengan kesal aku meyakinkan mereka, lalu menghabiskan semangkuk mie rebus dengan cepat. Ayuk dan Halimah hanya saling pandang. Aku tidak peduli dan bergegas ke kelas sendirian. Mereka masih asik menghabiskan pesanan mie.
Mengerjakan soal ujian semesteran seperti biasa. Maksudku, tanpa menggunakan teknik cerdik eh licik tentu bukan hal mustahil akan mendapatkan nilai yang diinginkan. Namun, mereka seperti masih kurang paham dengan rencana yang ku buat. Aku harus bagaimana?
Selama mengerjakan ujian kenaikan kelas di sekolah lama, aku selalu dibantu oleh teman yang cukup terampil agar bisa lulus. Setiap kali memegang kertas ujian pun, tangan gemetar, berkeringat yang menimbulkan hawa dingin, dan menyeka dahi beberapa kali sambil mengatur napas menjadi stabil.
Apalagi, menghadapi matematika yang membutuhkan jawaban pasti. Sedangkan aku orang yang terkadang tidak pasti untuk memberikan sebuah jawaban kepada orang lain. Apakah nasibku akan berakhir hanya gara-gara tidak bisa menyelesaikan soal matematika yang rumit?
“Aku bingung.” Aku mendesis pelan. Hampir saja meledakkan tangisan, tapi teringat oleh rencana untuk melawan ujian semester matematika. Semoga berhasil.
***
Aku merobek kertas kosong menjadi setengah bagian kecil. Lalu menuliskan beberapa catatan penting ke dalamnya. Ritual menyalin catatan pelajaran terhenti begitu teringat ada jadwal ke rumah Ayuk. Ide gila ini akan membawa kami pada sebuah keberuntungan yang membuat kedua orang tua bangga.
“Ayuk!” seruku.
Anak itu tengah sibuk mencuci piring di sumur depan rumah. Aku sangat bersyukur memiliki seorang best friend seperti Ayuk.
“Iya Ti, ada apa?” jawab Ayuk sambil membereskan piring ke dalam ember.
“Emm … aku mau nanya.”
“Bentar ya, aku naruh piring di dapur.”
“Eh-iya, aku bantuin.” Aku menawarkan bantuan kepadanya, karena merasa tidak enak.
“Memangnya ada apa sih, Ti?”
Aku berusaha mengimbangi langkahnya menuju kamar, mengambil tas sekolah.
“Emm … Ayuk, besok ulangan kenaikan kelas yang terakhir. Kamu nggak mau ngikutin rencanaku?”
“Untuk apa, Ti? Kata Mamakku, menyontek perbuatan nggak terpuji. Aku nggak mau punya nilai bagus dan ternyata hasil menyontek. Lebih baik belajar sungguh-sungguh,” Ayuk penuh percaya diri sambil mengeluarkan buku catatan dan LKS. “Lebih baik kita belajar bareng.”
Aku hanya membalas dengan senyuman kecut, sambil terpaksa membaca ulang catatan miliknya untuk jadwal ujian besok.
“Ti, ingat ya jangan menyontek!” Sekali lagi, Ayuk mengingatkan.
***
Kudus, Akhir Tahun 2005“Ti, ingat ya jangan menyontek!”Kalimat Ayuk tempo lalu selalu mengiang-ngiang di kepalaku. Aku tidak mencontek banyak jawaban ketika mengerjakan ujian kenaikan kelas. Sedikit saja. Soal matematika yang mengharuskan menghapal rumus, aku membawa catatan kecil di dalam saku. Beruntung, pengawas ujian tidak mengetahui aksi nakalku.Sebenarnya, ada rasa menyesal sudah mengabaikan pesan dari Ayuk. Meskipun aku sudah berusaha menghapal rumus matematika. Tetap saja, ketika sudah berhadapan pada soal ujian matematika, tiba-tiba hapalan rumusku menghilang. Akhirnya, kuputuskan mencontek catatan kecil yang ada di dalam saku.Entah bagaimana hasil nilai raporku nanti. Sepertinya, cita-citaku berada di peringkat tiga akan gagal. Kata emak, aku sudah berusaha maksimal mengerjakan ujian dengan sungguh-sungguh. Orang tuaku tidak mengerti kalau aku mengerjakan soal yang rumit itu dengan mencontek.“Kenapa tiba-tiba menang
Mengenang Lagu Hymne GuruSepanjang liburan kenaikan kelas selama dua minggu, aku bermain bersama teman-teman di rumah. Bersama Selamet, Kokom, dan Yuni, Ulum. Mereka tetangga sebelah rumahku. Di belakang rumah adalah pekarangan yang masih tertanam pohon pisang dan tanaman mangkuk. Aku mendirikan gubuk, kayu kutancapkan ke dalam tanah dengan kokoh.Menerapkan karung beras bekas sebagai lapisan dinding. Daun pisang yang kering kujadikan atap gubuk. Sempurna! Tinggal mencari alas duduk untuk lantainya. Aku kembali ke rumah, mencari tikar atau karung bekas.“Nyari apa to, Nduk?”“Tikarnya dimana, Mak?”“Buat apa?”Aku menggaruk kepala, lalu membuang napas pelan sambil berkata, “Buat alas lantai di gubuk buatanku, Mak.”“Jangan pakai tikar! Di gudang samping rumah ada karung beras bekas, pakai saja karungnya, setelah itu dibakar sama sampah-sampah yang ada, ya!” tuk
Kudus, Akhir Tahun 2005Masih terekam jelas ingatan tentang beliau; Pak Kasmirin. Aku sesekali menanyakan bagaimana isi surat yang diberikan Kalim kepada beliau. Jawabannya tetap sama, rahasia. Aku dan Ayuk mulai menggelitik Kalim. Kami memecahkan gelak tawa yang membuat Kalim mual. Namun, aku paham Kalim hanya pura-pura saja agar kami semakin tertawa lebar.Seperti biasa, kelas belum ada kegiatan belajar. Rasanya waktu begitu cepat mengantarkan kami menuju gerbang baru. Sebentar lagi kami akan menginjak tahun baru dua ribu enam. Sebelum liburan sekolah, guru kami yang bernama Pak Bakir mengumumkan rencana wisata ke Yogyakarta.Aku melihat isi lemari, ternyata bingung tidak memiliki baju bagus seperti teman-teman. Bagaimana aku mengatakan kepada emak kalau pergi ke luar kota harus mengenakan pakaian yang bagus? Sebal. Sebenarnya, Emakku sudah mengerti tentang rencana liburan kali ini. Wanita tuaku juga sudah mengerti kalau pergi liburan harus mengenakan baju bar
Akhirnya, bis yang kami tunggu menuju lokasi. Orang-orang di dalam bis sangat riuh. Mereka sangat membosankan. Huh! Apakah mereka tidak mengetahui kalau aku sangat sebal? Pagi yang menemani perjalanan, membuatku mengantuk. Aku ingin menyenderkan kepala di jendela, hanya sejenak saja.Namun, aku teringat kembali akan nasihat Emak tempo lalu bahwa seorang anak gadis sangat pamali kalau tidur pagi hari. Orang-orang desaku masih percaya mengenai kepercayaan tersebut. Meskipun aku masih duduk di bangkus sekolah dasar, aku tidak mudah percaya begitu saja. Aku selalu mempertanyakan hal itu kepada Emak, tetapi tiada jawaban yang kuterima.Beliau berlalu seolah-olah aku tidak pernah ada di sekitarnya. Aku pun tidak terbiasa bangun sepagi tadi. Biasanya, aku akan terbangun dan buru-buru berangkat sekolah pukul setengah 7 pagi, atau terkadang terlambat masuk ke kelas. Emak sendiri sering bingung dengan kelakuanku yang tidak disiplin.Bahkan, Ayuk sering memberikanku nasiha
Telingaku menangkap ada benda jatuh yang tidak jauh dari dalam ruang koleksi satu. Aku bahkan tidak menyadari–sahabatku Si Ayuk pingsan. Salah satu teman lain yang melihat kejadiannya langsung mencari keberadaan para guru. Sementara Kalim hanya diam membantuku memindahkan Ayuk ke bangku yang berada di ruang koleksi.“Ayuk, bangun!” Aku mengguncang-guncangkan tubuhnya cukup keras, tetapi masih belum ada respon. Kalim memijit-mijit telapak kakinya Ayuk.“Kalim, kamu mijitnya yang bener, dong!” selorohku yang menyadari Kalim memijit telapak kakinya Ayuk dengan kurang wajar. Ia hanya menyentuh dengan jari telunjuknya sangat pelan. Wajahnya cukup pucat bagai mayat yang tergeletak di sudut ruangan.“Kalim, kamu baik-baik aja, kan? Apa kamu lapar? Duh, teman-teman yang lain ke mana, ya? Para guru juga ke mana?” Aku mengusap beberapa kali tengkuk leherku. Bukan lantaran merasakan merinding, karena ruang koleksi itu yang membuatk
Hidup. Terkadang, aku tidak mengetahui mengapa aku hidup. Ketika mengalami sebuah kekurangan, tetapi tidak menemukan solusinya, aku menyerah. Dewasa ini, kusadari banyak orang jahat yang mengincar sebuah kelebihan orang lain. Entah karena tidak bisa menjadi orang tersebut, atau ingin menjadi seorang pemenang satu-satunya.Satu-satunya jalan yang ku tempuh ialah berdoa. Lalu, ingatanku kembali ke masa di mana aku tetap berjalan. Lebih tepatnya tidak memedulikan siapa yang jahat dan orang yang benar-benar baik. Perjalanan menuju kedewasaan memang cukup panjang.Baiklah, sesampainya di tempat wisata kedua aku hanya melihat-lihat sekeliling. Tidak pernah terpikir untuk menikmati aneka permainan yang ada di sana. Objek wisata Kiai Langgeng. Akan kuceritakan sedikit mengenai tempat tersebut.Tentu saja Kiai Langgeng yang sekarang dengan yang dulu sedikit berbeda. Tempatnya memang sangat luas. Aku mengira tempat tersebut hanya sekadar area permainan untuk anak-anak. Te
Anehnya, bis yang kutumpangi ini, kosong. Hanya ada aku, Pak Sopir, dan Wawan. Lalu, ke mana perginya Ayuk, Kalim, Pak Bakir, dan teman-teman lainnya? Ada apa sebenarnya?“Wawan, kamu kenapa bisa ada di sini?” tanyaku penuh heran. Aku memang heran semua orang menghilang.Wawan tersenyum sangat manis. Anehnya, wajahnya tidak sepucat ketika aku bertemu dengannya di tempat penyewaan becak mini. Wajahnya lebih bersinar cerah. Kedua bola matanya sangat indah. Aku bisa melihat iris matanya yang kecoklatan. Buah bibirnya pun merah, seperti milik anak bayi yang baru lahir.“Siti, maafkan aku kalau mengikutimu hingga ke sini.”“A-a-apa maksudmu?”“Aku pernah bilang sama kamu, akan menjadi temanmu yang setia. Kamu setuju kita berteman. Makanya aku datang mengikutimu sampai sini.” Ia nyengir memperlihatkan gigi putihnya yang sangat rapi.“Ta-tapi, di mana teman-temanku yang lainnya? Ayuk sama Kalim
Napasku terasa sekali ngos-ngosan. Seolah-olah aku baru selesai berlari seratus kilometeran, atau habis dikejar oleh macan. Tidak keduanya. Aku memegang kepalaku sambil mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Kupandangi sekeliling, ternyata aku masih di dalam bis yang terus melaju.Kumenyibak-nyibak gorden bus, ternyata hari hampir tengah malam. Kurasakan telapak tanganku bau minyak yang tidak pernah asing.“Siti, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Ayuk sambil memegang minyak kayu putih.Aku tentu saja linglung. Tiba-tiba saja Ayuk mengajukan pertanyaan tersebut.“Memangnya ada apa? Aku baik-baik aja.”“Enggak, Ti. Hampir tiga jam kamu pingsan. Aku kira tidur, tapi kok kayak nggak bernapas. Aku manggil Pak Bakir buat bangunin, ternyata kamu pingsan. Apa kamu lapar jadinya pingsan?”“Perasaan tadi aku udah makan banyak, kok.”“Terus, apa kamu sakit? Apa yang kamu rasakan?”