Kudus Tahun 2005
Seperti biasa, ritual pagi sebelum mandi. Aku harus menimba air dari sumur yang memiliki kedalaman cukup menakutkan. Hari itu, seolah semua tumpukan batu terlepas begitu saja dari kepala yang selama ini menjadi beban. Hari itu pula menjadi awal meraih cita-cita yang sebenarnya.
Akhirnya, bapak mengizinkan aku pindah sekolah yang dekat rumah. Selain aku bisa dekat dengan tetangga, justru orang tua memiliki alasan sendiri mengenai kepindahanku. Apalagi kalau bukan mengakhiri kebiasaan lamaku yang selalu bangun kesiangan. Bersyukur, aku tidak dikeluarkan dari sekolah yang lama. Mungkin karena bapak menjadi pekerja di sana, sehingga pihak sekolah memberikan sedikit kompensasi.
Tetap saja, hukuman dari wali kelas tidak pernah absen. Begitulah aku memang pethakilan. Entah mengapa, di hari pertama sekolah aku terlambat lagi masuk kelas empat. Wali kelas yang bernama Pak Kasim hanya mengembangkan senyum hangat. Seolah tidak terjadi kesalahan sama sekali.
“Dia ini Siti murid pindahan dari SDN 1 Karangrowo. Sebagian kalian pasti sudah mengenalnya, bukan?”
Sebagian teman-teman menjawab, “Iya, Pak.” Sisanya diam memperhatikan.
Hanya itu kalimat yang ku dengar dari seorang guru kesayangan. Biasanya, seorang guru akan menghukum muridnya yang melanggar peraturan. Mungkin, aku merupakan siswa baru jadi memiliki keistimewaan sendiri, atau Pak Kasim sudah biasa menghadapi murid nakal sepertiku? Mungkin saja.
“Akhirnya, Ti kamu pindah juga ke sini.” Beberapa tetangga yang menjadi teman sekelas, terlihat antusias membentuk sebuah lingkaran kecil di waktu istirahat.
“Begitulah. Aku bosen di sekolah yang lama. Lagian di sana lumayan jauh dari rumah. Aku pingin belajar mandiri buat berangkat sekolah sendiri.”
“Besok kamu bisa bareng sama kami kalau berangkat sekolah.” Salah satu temanku bernama Wahyu memberikan penawaran.
Siapa yang tidak menyukainya? Toh, selama ini aku berangkat sekolah selalu bersama bapak. Terkadang, sesampainya di sekolah aku menjadi bahan tertawaan. Padahal itu sangat wajar dilakukan seorang bapak kepada anaknya. Mereka saja yang mungkin menaruh rasa iri.
“Boleh saja. Ohiya, kamu kalau ke sekolah bawa bekal makanan ya, Wahyu?” aku melihat sebuah kotak makanan yang dikeluarkan Wahyu dari dalam laci meja.
“Kadang-kadang, Ti. Kalau ibuk nggak masak ya nggak bawa bekal.”
“Terus, teman-teman lainnya juga bawa bekal?” tanyaku sambil mengitari pandangan ke wajah mereka yang masih membetuk lingkaran kecil di sekitar tempat dudukku.
Sebagiannya menggeleng, sebagiannya mengangguk.
“Ya udah, kapan-kapan aku juga mau bawa bekal.” Ucapku sambil mengembangkan senyum semanis mungkin.
Mendoan, tahu goreng, sayur bening, sama sambal terasi sudah membayangi pikiran untuk menu yang akan kubawa besok. Semua bayangan mengasikkan itu menghilang begitu aku melihat sesosok anak lelaki berkulit hitam legam duduk di samping kiri. Aku memperhatikan sosoknya yang terus memasang senyum menjengkelkan.
Sepertinya, dia mau sok kenal dan sok dekat.
‘Awas saja kalau dia macam-macam. Seribu jurus bayangan sudah aku siapkan. Biar kapok.’ Saat membatin, senyum di bibirku tiba-tiba melebar. Ku perhatikan lagi anak lelaki itu.
“Eh, kamu kenapa senyam-senyum begitu?” Aku menegurnya dengan suara yang rendah. Agar anak-anak yang lain tidak mendengarnya.
Mungkin, baginya aku ini anak cewek yang konyol. Tapi, salah dia juga mengapa selalu senyam-senyum tidak jelas.
“Namaku Wanto.” Anak lelaki itu menyebut dirinya Wanto yang memiliki orang tua kelahiran Sulawesi Tenggara. Aku sendiri belum mengerti di mana daerah tersebut. Bodo amat.
Namun, karena salah satu orang tuanya asli desa sini, ia harus menetap di rt sebelah. Pantas saja, setiap keluyuran bersama tetangga samping rumah. Aku tidak pernah melihat anak lelaku itu. Sambil menceritakan dirinya, tetap saja Wanto masih tersenyum yang seolah mengejek. Apa iya ada yang salah dengan diriku? Aku rasa semuanya baik-baik saja.
“Oh ya, kamu kenapa pindah? Bukannya di sekolah yang lama itu favorit, ya?”
“Ya memang. Tapi, di sana aku lebih sering terlambat. Pokoknya nggak nyaman. Kalau di sini ada teman-teman lamaku. Jadi, aku merasa lebih senang aja.”
“Hmmm … begitu.” Ucapnya nyengir sambil menggaruk kepala. Apa kepalanya gatal hingga digaruk begitu? Aneh memang.
“Ya.” Jawabku yang terasa malas.
Mata pelajaran di sekolah yang baru memang sama saja seperti di sekolah lama, tetapi entah mengapa ada hal yang menyenangkan ketika Pak Kasim menjelaskan. Khususnya pelajaran matematikan yang memusingkan kepala kecilku. Aku yang tidak terbiasa dengan matematika, hari demi hari terasa mudah untuk kupecahkan. Semua teman bertepuk bangga dengan sorak yang membuatku semakin betah.
***
Teng! Teng! Teng!Aku mendengar lonceng sekolah dipukul tiga kali oleh penjaga. Pertanda pelajaran sekolah selesai. Sudah hampir satu bulan aku belajar bersama teman-teman baru dengan sosok guru yang tidak akan pernah terlupakan. Selamanya. Semua menyenangkan, tanpa terkecuali. Selama itu pula, kebiasaan bangun siang menjadi berkurang.Seluruh siswa sekolah dasar lima desa Karangrowo berhambur keluar menuju sebelah timur gapura. Di sana, tempat parkir sepeda para murid yang lama. Karena halaman sekolah cukup untuk menampung parkir kendaraan para staf pengajar.“Hei Siti! Ora gowo sepeda? Ayo nek goncek!”[1] Seseorang menawarkan sebuah boncengan.Ternyata Wanto. Beberapa hari ini, entah mengapa kami menjadi akrab. Apakah dewi kebaikan menaburkan sihirnya? Atau, doaku yang membumbung langit sudah dijawab oleh Allah? Sebelum pindah sekolah, aku selalu mengharap belas kasihan sama Allah, agar didekatkan orang-
Dari ufuk barat, cahaya kemerah-merahan agak ke-orange menelan sinar matahari untuk berganti malam. Dengan cepatnya akan kembali lagi bersama fajar, tanda siap untuk bertempur dengan pelajaran di sekolah. Senja yang membiaskan pesonanya pada gadis cilik sepertiku memang sangat adil. Toh, kenyataan ini membuat senyum kembali menyungging dengan hati penuh impian.“Ayuk, bentar lagi ulangan kenaikan kelas. Nggak terasa bakal kelas lima.” Kataku ketika istirahat sekolah. Sungguh, aku benar-benar bahagia.“Iyo Ti. Liburan sekolah jalan-jalan, yok!” ujar Ayuk.“Jalan-jalan ke mana?”“Ke rumah Halimah.”“Baiklah. Apakah nanti kita akan membawa bekal makanan?”“Eum … boleh aja. Aku pengen bawa nasi goreng.”“Mending bawa orek tempe, atau sambal goreng tahu.”“Ikan bakar sama saus kecap.”“Di tambah
Kudus, Akhir Tahun 2005“Ti, ingat ya jangan menyontek!”Kalimat Ayuk tempo lalu selalu mengiang-ngiang di kepalaku. Aku tidak mencontek banyak jawaban ketika mengerjakan ujian kenaikan kelas. Sedikit saja. Soal matematika yang mengharuskan menghapal rumus, aku membawa catatan kecil di dalam saku. Beruntung, pengawas ujian tidak mengetahui aksi nakalku.Sebenarnya, ada rasa menyesal sudah mengabaikan pesan dari Ayuk. Meskipun aku sudah berusaha menghapal rumus matematika. Tetap saja, ketika sudah berhadapan pada soal ujian matematika, tiba-tiba hapalan rumusku menghilang. Akhirnya, kuputuskan mencontek catatan kecil yang ada di dalam saku.Entah bagaimana hasil nilai raporku nanti. Sepertinya, cita-citaku berada di peringkat tiga akan gagal. Kata emak, aku sudah berusaha maksimal mengerjakan ujian dengan sungguh-sungguh. Orang tuaku tidak mengerti kalau aku mengerjakan soal yang rumit itu dengan mencontek.“Kenapa tiba-tiba menang
Mengenang Lagu Hymne GuruSepanjang liburan kenaikan kelas selama dua minggu, aku bermain bersama teman-teman di rumah. Bersama Selamet, Kokom, dan Yuni, Ulum. Mereka tetangga sebelah rumahku. Di belakang rumah adalah pekarangan yang masih tertanam pohon pisang dan tanaman mangkuk. Aku mendirikan gubuk, kayu kutancapkan ke dalam tanah dengan kokoh.Menerapkan karung beras bekas sebagai lapisan dinding. Daun pisang yang kering kujadikan atap gubuk. Sempurna! Tinggal mencari alas duduk untuk lantainya. Aku kembali ke rumah, mencari tikar atau karung bekas.“Nyari apa to, Nduk?”“Tikarnya dimana, Mak?”“Buat apa?”Aku menggaruk kepala, lalu membuang napas pelan sambil berkata, “Buat alas lantai di gubuk buatanku, Mak.”“Jangan pakai tikar! Di gudang samping rumah ada karung beras bekas, pakai saja karungnya, setelah itu dibakar sama sampah-sampah yang ada, ya!” tuk
Kudus, Akhir Tahun 2005Masih terekam jelas ingatan tentang beliau; Pak Kasmirin. Aku sesekali menanyakan bagaimana isi surat yang diberikan Kalim kepada beliau. Jawabannya tetap sama, rahasia. Aku dan Ayuk mulai menggelitik Kalim. Kami memecahkan gelak tawa yang membuat Kalim mual. Namun, aku paham Kalim hanya pura-pura saja agar kami semakin tertawa lebar.Seperti biasa, kelas belum ada kegiatan belajar. Rasanya waktu begitu cepat mengantarkan kami menuju gerbang baru. Sebentar lagi kami akan menginjak tahun baru dua ribu enam. Sebelum liburan sekolah, guru kami yang bernama Pak Bakir mengumumkan rencana wisata ke Yogyakarta.Aku melihat isi lemari, ternyata bingung tidak memiliki baju bagus seperti teman-teman. Bagaimana aku mengatakan kepada emak kalau pergi ke luar kota harus mengenakan pakaian yang bagus? Sebal. Sebenarnya, Emakku sudah mengerti tentang rencana liburan kali ini. Wanita tuaku juga sudah mengerti kalau pergi liburan harus mengenakan baju bar
Akhirnya, bis yang kami tunggu menuju lokasi. Orang-orang di dalam bis sangat riuh. Mereka sangat membosankan. Huh! Apakah mereka tidak mengetahui kalau aku sangat sebal? Pagi yang menemani perjalanan, membuatku mengantuk. Aku ingin menyenderkan kepala di jendela, hanya sejenak saja.Namun, aku teringat kembali akan nasihat Emak tempo lalu bahwa seorang anak gadis sangat pamali kalau tidur pagi hari. Orang-orang desaku masih percaya mengenai kepercayaan tersebut. Meskipun aku masih duduk di bangkus sekolah dasar, aku tidak mudah percaya begitu saja. Aku selalu mempertanyakan hal itu kepada Emak, tetapi tiada jawaban yang kuterima.Beliau berlalu seolah-olah aku tidak pernah ada di sekitarnya. Aku pun tidak terbiasa bangun sepagi tadi. Biasanya, aku akan terbangun dan buru-buru berangkat sekolah pukul setengah 7 pagi, atau terkadang terlambat masuk ke kelas. Emak sendiri sering bingung dengan kelakuanku yang tidak disiplin.Bahkan, Ayuk sering memberikanku nasiha
Telingaku menangkap ada benda jatuh yang tidak jauh dari dalam ruang koleksi satu. Aku bahkan tidak menyadari–sahabatku Si Ayuk pingsan. Salah satu teman lain yang melihat kejadiannya langsung mencari keberadaan para guru. Sementara Kalim hanya diam membantuku memindahkan Ayuk ke bangku yang berada di ruang koleksi.“Ayuk, bangun!” Aku mengguncang-guncangkan tubuhnya cukup keras, tetapi masih belum ada respon. Kalim memijit-mijit telapak kakinya Ayuk.“Kalim, kamu mijitnya yang bener, dong!” selorohku yang menyadari Kalim memijit telapak kakinya Ayuk dengan kurang wajar. Ia hanya menyentuh dengan jari telunjuknya sangat pelan. Wajahnya cukup pucat bagai mayat yang tergeletak di sudut ruangan.“Kalim, kamu baik-baik aja, kan? Apa kamu lapar? Duh, teman-teman yang lain ke mana, ya? Para guru juga ke mana?” Aku mengusap beberapa kali tengkuk leherku. Bukan lantaran merasakan merinding, karena ruang koleksi itu yang membuatk
Hidup. Terkadang, aku tidak mengetahui mengapa aku hidup. Ketika mengalami sebuah kekurangan, tetapi tidak menemukan solusinya, aku menyerah. Dewasa ini, kusadari banyak orang jahat yang mengincar sebuah kelebihan orang lain. Entah karena tidak bisa menjadi orang tersebut, atau ingin menjadi seorang pemenang satu-satunya.Satu-satunya jalan yang ku tempuh ialah berdoa. Lalu, ingatanku kembali ke masa di mana aku tetap berjalan. Lebih tepatnya tidak memedulikan siapa yang jahat dan orang yang benar-benar baik. Perjalanan menuju kedewasaan memang cukup panjang.Baiklah, sesampainya di tempat wisata kedua aku hanya melihat-lihat sekeliling. Tidak pernah terpikir untuk menikmati aneka permainan yang ada di sana. Objek wisata Kiai Langgeng. Akan kuceritakan sedikit mengenai tempat tersebut.Tentu saja Kiai Langgeng yang sekarang dengan yang dulu sedikit berbeda. Tempatnya memang sangat luas. Aku mengira tempat tersebut hanya sekadar area permainan untuk anak-anak. Te