Bab 001 : Hinaan
"Terry, ini gaji milikmu," Terry yang sedang melamun di sudut ruangan tersentak kaget saat namanya dipanggil. Matanya mengerjap selama beberapa saat, mengumpulkan kembali fokus yang sempat terburai. Dengan cepat, ia berjalan menghampiri Jake, manager di tempatnya bekerja. Terry mengambil amplop dari tangan Jake dengan perasaan senang. Senyuman tipis terukir di bibirnya. Ia segera memasukkan amplop itu ke dalam saku celananya yang lusuh. "Terima kasih, tuan Jake," "Sama sama," Jake tersenyum tipis. Ia menepuk bahu Terry dengan cukup keras. Membuat Terry yang akan pulang menghentikan langkahnya. "Ada apa lagi, tuan Jake?" Tanya Terry sopan. "Apa anda membutuhkan sesuatu?" "Tidak. Aku hanya ingin mengingatkan. Jangan lupa untuk pekerjaan tambahan nanti malam." Jake menjeda sejenak ucapannya dan menyenggol lengan Terry seperti kawan lama. " Sekedar informasi, Aku rasa kau akan dipromosikan oleh bos kita untuk menjadi pegawai tetap," Wajah Terry terlihat terkejut mendengarnya. Matanya yang runcing terlihat membulat. Alisnya terlihat naik dengan mulut setengah terbuka. "Benarkah?" "Ya, tentu saja," Jake menjawab dengan santai. "Aku sudah berdiskusi dengan bos kita. Dan katanya, kau adalah kandidat paling kuat untuk menjadi pegawai tetap di toko ini. Menurut bos kita, kau adalah pegawai yang rajin dan cekatan," Hatinya membuncah penuh kebahagiaan. Terry merasa perutnya terasa geli seperti ada kupu kupu yang berterbangan. Dadanya terasa begitu ringan dengan rasa senang yang membuncah. Sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk senyuman lebar. "Ah, terima kasih, Tuan Jake. Aku tidak tahu harus berkata apa," "Sama sama. Tingkatan saja kinerjamu sebagai pegawai di toko ini agar kau bisa mendapatkan gaji yang lebih baik. Apa kau bisa melakukannya?" "Bisa, tuan!" "Kalau begitu baguslah. Sekarang kau bisa pulang. Maaf mengganggu waktu istirahatmu," Terry menganggukkan kepala dan menunduk sedikit sebagai tanda hormat. Ia segera pergi ke lokernya yang berada di ruangan belakang, dekat dengan dapur. Terry ingin mengganti baju kerjanya dengan kemeja biasa. Setidaknya, Terry punya pekerjaan tetap dan tidak akan memusingkan uang yang kurang. Karena gaji dari pegawai training tentu sangat berbeda dengan pegawai tetap. Selisihnya saja bisa sampai lebih dari setengahnya. Setelah mengganti baju, Terry membuka amplop yang tadi ia simpan di sakunya. Jarinya menghitung lembaran uang yang ada di sana. "$200," gumamnya pelan. Ia mengeluarkan dompet lusuh dari kantung celana belakangnya. Dan mengeluarkan lembaran lain yang ada di sana. "Sudah pas $1000, setidaknya, aku bisa membeli higheels dan gaun cantik untuk Meghan," Terry bisa membayangkan senyuman lebar istrinya saat ia membawakan beberapa hadiah mahal yang ia istrinya inginkan. Dalam bayangannya, Meghan akan memekik senang dengan suara imutnya, memeluknya dengan manja, menyediakan makanan kesukaannya dan berakhir dengan kegiatan yang menyenangkan di atas ranjang, hal yang selama ini ia Idamkan. "Aku tidak sabar melihat reaksi Meghan. Aku harus bergegas membeli barang barang itu," Setelah selesai mengganti bajunya, Terry meninggalkan restoran tempatnya bekerja untuk membeli hadiah untuk istrinya. Selama perjalanan, mulutnya tak henti bersenandung kecil dengan perasaan bahagia Ketika sampai di sebuah toko yang terkenal di kotanya, Terry melangkah masuk ke dalam tanpa basa basi. Ia pun segera menghampiri salah satu pegawai yang ada di sana. "Permisi," Pegawai perempuan berambut pirang itu menoleh dan menghentikan kegiatannya yang sedang mengobrol dengan rekannya. Ia melihat Terry dari atas sampai bawah, tengah memindainya tanpa terkecuali. "Oh maaf. Toko kami tidak menerima pengemis, Tuan." Terry merasa tersinggung dengan perkataan wanita itu. Pengemis? Apa maksudnya? "Maaf, aku bukan pengemis. Aku ingin membeli dress dan higheels untuk istriku," ujar Terry tegas. Wanita itu membulatkan matanya, terlihat terkejut. "Tuan, anda yakin ingin membeli kedua barang itu di toko ini?" Senyuman yang terpatri di wajah Terry pun memudar, bergantian menjadi rasa bingung. "Tentu saja. Kenapa kau menanyakan itu?" Perempuan berambut pirang itu menyunggingkan senyuman mengejek dengan tatapan mata sinis ke arah Terry. "Tentu saja saya menanyakan hal itu. Maksudku, apa kau sanggup membayarnya?" "Apa maksudmu?" "Tuan, dari penampilanmu saja, aku tak yakin kau akan bisa membayarnya. Apalagi harga satu dress yang ada di toko ini lebih dari $500," suara perempuan berambut pirang itu terdengar sarkas, yang mana berhasil membuat ego Terry merasa terusik. Perkataan wanita itu membuat harga dirinya terkoyak. Hanya karena ia berpenampilan lusuh, wanita itu menganggapnya tak bisa membayarnya dan meremehkannya? Oh, Terry merasa dadanya terasa sesak sekarang. Dadanya naik turun dengan cepat, dengan tangan yang terkepal kuat. Ia ingin berteriak dan memaki wanita itu. Disisi lain, Terry tak ingin menimbulkan keributan yang tak perlu. Terlebih lawan bicaranya adalah seorang wanita. Jadi, ia menghela napas kasar sebagi solusi. "Aku mampu membayarnya. Makanya aku datang kemari." Terry berkata dengan nada menahan emosi. "Keluarkan saja semua model yang sedang tren di musim ini," "Kalau begitu ikuti aku," Perempuan berambut pirang itu segera berjalan dengan langkah lebar ke arah ruangan lain. Terry mengikuti dari arah belakang, mengabaikan orang orang yang berbisik ke arahnya dengan tatapan mengejek. Terry sadar jika penampilannya berbeda dari mereka. Tapi ia tak peduli. Begitu sampai di ruangan lain, Terry berdecak kagum. Gaun gaun seksi dan juga Trendi di musim panas ini sungguh memikat matanya. Ia bisa membayangkan jika Meghan menggunakan salah satu dari gaun ini, pasti istrinya akan terlihat cantik sekali. "Silahkan anda pilih. Jika sudah, tolong bayar ke kasir dengan uang cash ataupun kartu debit," "Baiklah." Wanita itu segera pergi dari hadapannya. Terry pun melihat lihat setiap koleksi yang terpajang di sini. Ada satu buah gaun yang menarik hatinya. Yaitu dress selutut berwarna biru muda dengan hiasan bunga di ujung lengannya. Terry melihat tag harga yang tertulis di sana. "$800," pria itu meringis saat melihat harganya. "Kalau membeli gaun ini, aku tak akan bisa membeli higheels untuk Meghan." Gumamnya pelan. Ia melirik ke arah lain, berharap mendapatkan gaun yang lebih murah namun dengan kualitas yang sama. Hanya saja, sejauh apapun Terry mencari, ia tak menemukannya. "Kurasa aku harus menggunakan tabunganku untuk membeli higheels nya," sahutnya pelan sembari merogoh uang yang ada di kantung kemeja lusuhnya senilai $300, lalu menyatukannya dengan uang yang ada di dompetnya. Terry mengambil gaun biru muda itu, lengkap dengan higheels berwarna senada dan segera membayarnya ke kasir. "Totalnya $1300" ujar kasir itu dengan nada ketus. Terry merogoh dompet lusuhnya dan segera membayar semuanya. Ia meringis kecil saat melihat jika isi dompetnya benar benar sudah kosong. Uangnya benar benar habis untuk membeli hadiah untuk Meghan. "Terima kasih," Terry mengambil paper bag itu dan berjalan ke arah rumah. Meskipun uangnya habis, tapi ia bisa mendapatkan barang mahal ini. Ini semua demi wanita yang ia cintai. Terry tak sabar bertemu Meghan sekarang. Rumah Terry tak terlalu jauh dari toko itu. Hanya membutuhkan waktu 10 menit dengan jalan kaki melewati gang kecil. Kebetulan, Terry dan Meghan tinggal di apartemen murah di pinggir kota. "Sayang, aku pulang," Terry masuk ke dalam apartemen, melepas sepatunya yang lusuh untuk ditaruh ke rak yang ada di sisi pintu. Akan tetapi, dirinya tertegun saat melihat ada dua sepatu lain yang ada di sana. "Sepatu milik siapa ini?"Bab 002 : Pengkhianatan?Terry memperhatikan dengan seksama kedua sepatu yang ada di rak. Sepatu pertama, Terry merasa familiar dan ia mengenalinya. Namun untuk sepatu kedua, ia merasa asing.Pasalnya, sepatu yang satunya lagi terlihat begitu mewah meskipun dengan modelnya sederhana. Sepatu itu terbuat dari bahan yang sangat bagus. Terry bisa menduga jika pemilik sepatu ini adalah orang berada.Melihat sepatu itu, pikiran negatif langsung menyerbu kepala Terry tanpa henti. Batinnya berbisik ada yang tak beres dengan hal ini.Maka dari itu, Terry putuskan untuk masuk ke dalam rumah untuk mencari tahu siapa yang bertamu ke apartemennya. Karena seingatnya, Meghan tak memiliki satupun teman pria.Terry berjalan mengendap ngendap layaknya pencuri. Ia tak ingin ketahuan. Saat melewati ruang tamu, seseorang menegurnya. Membuat tubuhnya membeku secara tiba tiba."Terry?"Terry menoleh, menemukan sosok pria yang berusia 6 tahun lebih muda darinya. Dia adalah Dylan Trainor, adik Meghan."Oh, ha
Bab 003 : Dua Kejadian BeruntunTerry menahan napas saat Meghan kembali melawannya. Napasnya menjadi berat. Emosi yang sudah ia tahan sedari tadi siap lepas kapan saja. Wajahnya memerah dan kepalan tangannya kian menguat, hingga kuku melukai telapak tangannya."Apa?!""Aku tak ingin hidup dengan pria miskin sepertimu! Aku ingin meminta cerai!"Dada Terry terasa di remas mendengar kalimat mengerikan itu keluar dari mulut Meghan. Sendi sendi di tubuhnya seolah lepas menjadi jelly, terlampau terkejut dengan permintaan sang istri. "Apa? Kenapa kau meminta cerai? Bukankah dalam janji pernikahan kalau kau akan-""Pokoknya aku meminta cerai!" Sela Meghan cepat. Ia berjalan ke arah laci yang berada di sisi tempat tidur dan mengambil sesuatu dari sana. Sebuah kertas perceraian. "Tanda tangani ini. Dengan begitu aku bisa lepas darimu!" Meghan melempar kertas perceraian itu ke wajah Terry, begitu juga dengan pena nya.Terry memungut kertas itu dengan perasaan kecewa. Tangannya bergetar saat m
Bab 004 : Ben Clayton"Matthias brengsek!" Terry menggeram dan mengumpat dengan suara rendah. Tangannya kembali mengepal dengan kuat. Kuku miliknya kembali menancap di telapak tangannya, ditempat yang sama, membuat luka itu semakin dalam.Pria itu memalingkan wajahnya ke arah lain, berusaha untuk terlihat kuat di hadapan Jake. Akan tetapi, Jake melihat semua itu. Ia juga marah pada orang yang berkuasa di atas sana. Namun ia tak bisa membantu apapun."Maaf, aku tak bisa mencegah bos kita untuk memecat mu," Jake berkata dengan nada bersalah. Ia menepuk nepuk punggung Terry, berharap bisa menghibur pria itu.Terry menolehkan kepalanya ke arah Jake. Kemudian menyunggingkan senyuman tipis sebagai respon. "Terima kasih sudah menghibur dan memberitahuku fakta ini,"Keduanya terdiam lagi. Kebetulan, tak ada siapapun di ruangan itu selain mereka berdua. Suasana begitu canggung dan aneh. Jake sendiri kebingungan harus berkata apa untuk mencairkan suasana.Terry sedang berpikir. Sejauh apa keku
bab 005 : jebakan "Eh? Bagaimana kau bisa tahu?"Terry membulatkan matanya menyadari perkataannya. Ia keceplosan Jantungnya berdetak lebih cepat daripada biasanya. Wajahnya terlihat pucat, lebih dari sebelumnya. Tubuhnya membeku selama beberapa detik. Selain itu, keringat sebesar biji jagung mulai mengalir dari pelipisnya. Terry menutup mulutnya menggunakan telapak tangan. Matanya bergerak gelisah dengan ekspresi wajah panik. Astaga, apa yang ia katakan pada pria asing itu?Terry memalingkan wajahnya ke arah lain dengan telinga memerah, merasa malu pada dirinya sendiri yang bertindak ceroboh. "Maaf, aku salah bicara."Ben tersenyum tipis, lalu menatap Terry dengan tatapan menyelidik. "Benarkah?""Ya," Terry menjawab singkat karena tak ingin beradu argumen lebih lama."Wah, sayang sekali." Ben terdengar kecewa. Suaranya terdengar jauh lebih rendah dibandingkan dengan sebelumnya. "Padahal aku sedang mencari putra bungsu keluarga Walter. Aku kira kau adalah orangnya. Ternyata bukan y
bab 006 : Target Seorang pria berambut pirang melangkah dengan langkah lebar di sebuah lorong kantor. Ia mengenakan setelan serba hitam, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Yang paling mencolok darinya adalah, ia memiliki mata berwarna amber dengan anting panjang sebahu dengan ujung berbentuk tanda X. Di tangannya, terdapat sebuah berkas yang berisi beberapa dokumen penting.Pria itu tak berjalan sendirian. Ia ditemani oleh dua orang yang berpenampilan sama sepertinya. Bedanya, kedua pria itu memiliki pistol yang terletak di kaki kiri mereka. Wajah kedua pria yang di kenali sebagai bodyguard itu terlihat datar.Begitu berada di depan pintu, pria berambut pirang itu segera masuk tanpa perlu mengetuknya terlebih dahulu. "Tuan Daniel kita sudah mendapatkan target,"Pria lain berambut platina yang bernama Daniel memutar kursinya. Yang tadinya menghadap jendela menuju ke lawan bicara yang ada di depannya. Daniel mengenakan setelan berwarna navy. Tangannya terlipat di depan dada dengan
bab 007 : Keluarga Trainor (1) Ben keluar dari kamar mandi setelah urusannya dengan Steve selesai. Ia melirik jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam sudah menunjukan pukul 8.15. pm. Itu artinya Steve meneleponnya selama satu jam!Ben segera berlari ke arah mejanya, takut Terry meninggalkannya. Terlebih, ia belum bisa dekat dan menyakinkan pria itu dan membawanya pulang ke keluarga Walter.Jika hal ini terjadi, maka misi yang sedang ia jalankan akan gagal. Dan ia terpaksa mendapatkan konsekuensi yang mengerikan dari tuan Walter. Terlebih, keluarga itu memiliki kelemahannya.Begitu sampai di mejanya, Ben bernapas lega saat melihat Terry yang masih duduk disana. Dengan dua gelas jus dan satu cangkir kopi yang terlihat kosong."Ah, syukurlah kau masih ada disini,"Terry mendelik ke arah Ben. Tangannya terlipat di atas dada dengan rahang mengetat. "Kenapa lama sekali?""Ada beberapa hal yang harus aku urus dengan rekan kerjaku." Ben berkata dengan nada ramah. Ia du
bab 008 : Keluarga Trainor (2)"Oh, Madam Yessa," Terry menyapa dengan sopan ibu Meghan yang baru saja keluar dari kamar pribadinya. Wanita paruh baya itu mengenakan pakaian mewah dengan warna merah menyala."Selamat malam. Maafkan saya jika kedatangan saya mengganggu anda,"Yessa mengalihkan tatapannya ke arah Terry. Bibirnya tertarik keatas, membentuk senyuman sinis. Tatapan tajam dan merendahkan itu ia layangkan pada Terry yang saat ini mencoba mempertahankan senyumannya."Kalau kau tahu kedatanganmu menggangguku, kenapa malah tetap kemari?" Yessa bertanya dengan nada sarkas.Tangannya yang penuh dengan gelang emas terlipat di depan dada. Seolah ingin menunjukan aset apa saja yang ia punya. Seingat Terry, Yessa tak memiliki perhiasan. Lalu darimana semua perhiasan itu?Terry terdiam sesaat, mencoba mencari alasan yang sekiranya bisa membuat ibu mertuanya menerima kedatangannya. "Saya kemari ingin mengunjungi anda.""Hanya mengunjungiku?" Tanya Yessa lagi. "Kau yakin niatmu hanya
bab 009 : Anggota Keluarga Setelah mengantar Terry pulang ke apartemennya, Ben melajukan mobilnya ke arah markasnya. Ia mengemudikan mobil miliknya dengan kecepatan sedang. Tak sampai 10 menit, Ben sampai di sebuah hutan yang letaknya jauh dengan pemukiman penduduk. Ia menyimpan mobil Porche kesayangannya di salah satu tempat yang sudah ia tandai, mengingat mobil tak akan masuk ke dalam jalan setapak yang akan ia lalui."Hah, kadang aku malas untuk datang ke markas karena aksesnya yang sangat buruk," gerutu Ben. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya dan menyalakan lampu senter sebagai sumber penerangan, lalu mulai berjalan menuju jalan setapak yang membentang sekitar 200 meter ke depan.Begitu sampai di sebuah bangunan tua, Ben masuk ke dalamnya tanpa permisi. Ia melepaskan sepatunya dan menaruhnya di rak samping pintu. Isi dari bangunan itu sangat berbeda dengan luarnya."Kau datang terlambat dari jam perjanjian kita," komentar seseorang yang saat ini tengah fokus pada komput
Bab 016 : Laporan "Dimana Terry?""Apa maksudmu?"Kai menoleh ke arah belakang. Matanya memperhatikan pria bermata heterochromia itu dari atas sampai bawah, memindai dengan seksama. Keningnya mengerut dalam dengan garis bibir yang terlihat turun. Ia tak senang dengan pertanyaan darinya."Tak usah berpura pura tidak tahu, Kai," "Tapi aku memang tak tahu apa yang kau bicarakan, Ben,"Ben mengatupkan bibirnya. Rahangnya terlihat mengetat dengan dada yang terasa sangat sesak. Sejujurnya, emosinya sudah berada di puncak kepala saat ini. Bicara dengan Kai harus memiliki banyak stok kesabaran."Aku tahu kalau kau membawa Terry," Ben kembali berkata dengan tangan mengepal di kedua sisi tubuhnya.Kai menggelengkan kepalanya dengan helaan napas kasar. "Ben, kau nampaknya tak berubah,""Apa maksudmu?""Kau selalu menuduhku tanpa bukti. Maksudku, Terry yang mana yang kau bicarakan? Kau tahu kan kalau aku baru pulang dari Jerman?" Tanya Kai bertubi tubi.Ben terdiam selama beberapa saat. Kepalan
Bab 015 : Tawaran (Berbahaya)Kai turun dari mobil Bentley dengan membawa beberapa berkas di tangannya. Bibirnya melengkung ke atas dengan aura ramah. Saat ada orang yang menyapanya, ia akan menjawab dengan ramah. Kai berharap, Semoga ia mendapatkan apa yang ia butuhkan di tempat ini.Kakinya melangkah menuju bangunan yang menjulang tinggi di depannya, yaitu Van Derrick Corp. Ia memiliki urusan dengan pemimpinnya karena perintah dari Daniel.Saat berada di persimpangan jalan, Kai merasakan ponselnya bergetar, menandakan adanya panggilan yang masuk. Karena penasaran, Kai merogoh sakunya untuk melihat siapa yang meneleponnya.Di layar ponselnya, tertulis nama [kitten Miu]. Kai tentu saja kebingungan. Kenapa orang itu menelepon dirinya disaat ia sedang bertugas?Karena rasa penasaran yang membludak, Kai menggulirkan jarinya pada layar ponselnya untuk mengangkat panggilan itu. "Halo?""Kai!"Kai menjauhkan ponsel yang ia pegang dari telinganya saat mendengar suara melengking milik Miu.
Bab 014 : Daniel"Tuan?"Terry menoleh ke arah belakang, di ikuti oleh Miu yang tampaknya familiar dengan suara itu. Terry melihat seorang pria dewasa yang berjalan ke arahnya.Pria itu mengenakan pakaian formal, dengan kemeja putih yang dilapisi oleh setelan jas berwarna biru gelap, serta menggunakan dasi berwarna senada, dengan jam tangan dari merek ternama yang melingkar di tangan kirinya. Jangan lupakan kacamata yang bertengger di hidungnya. Terry bisa memperkirakan usia pria itu lebih dari 60 tahun.Pria itu berjalan mendekat, dan kini berdiri di hadapan Terry maupun Miu."Miu, siapa yang mengizinkanmu untuk menawarkan pekerjaan serendah itu pada tamuku?" Pria itu menyilangkan tangannya di depan dada, dengan tatapan tajam yang terarah pada gadis berambut platina itu.Miu meneguk ludahnya. Mata ambernya bergulir ke arah lain, enggan bertatapan dengannya. Tubuhnya bergetar hebat, begitu juga dengan suaranya. "Itu..."Suasana yang tadinya ramah dan hangat berubah menjadi canggung
Bab 013 : Informasi Saat ini, Ben berada di kantor pusat Walter Group. Ia dan Steve akan memberikan laporan pada Frank tentang perkembangannya membujuk Terry pulang. Ben berjalan sendirian karena Steve pergi ke kamar mandi dulu sekaligus membeli minuman. Langkahnya begitu lebar seolah tengah di kejar oleh waktu. "Ben,"Ben menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah sumber suara. Tangannya menyeka keringat yang mengalir dari pelipisnya. Napasnya tersengal dengan wajah memerah. "Ya, ada apa, Tuan Ethan?" Tanyanya dengan sopan dengan senyuman tipis, mengabaikan rasa lelahnya."Dimana Terry?" Ethan langsung bertanya pada hal inti. "Mengapa ia tak bersama kamu?"Senyuman Ben luntur, berganti menjadi raut wajah menyesal. "Aku gagal mendapatkannya,"Ethan terkejut mendengarnya. Namun ia tak banyak memberikan reaksi. Wajahnya terlihat datar, begitu pula dengan garis bibirnya. Tatapan tajamnya kian intens menatap lantai mendengar perkataan Ben."Tuan?" Ben memanggil dengan ragu. Detak j
Bab 012 : Tempat asing"Kai, apa kau yakin ini adalah tempat yang aman?" Tanya Terry. Ia mengedarkan matanya melihat sekeliling. Halaman bangunan itu nampak berantakan, dengan sampah dan dedaunan yang bersebaran. Sulur yang tumbuh subur di dinding, menjuntai di tiap sisi tembok. Cat tembok yang kusam dan mengelupas, serta rumput liar yang tumbuh tinggi, sekitar selutut.Kai menghentikan kegiatannya mengetik di ponselnya. Ia mengangkat kepalanya, menatap Terry dengan tatapan heran. "Apa maksudmu?"Kai mengerutkan keningnya hingga kedua alisnya terlihat menyatu. Senyum bibirnya yang terlihat lebar pun pudar secara perlahan.Terry menggaruk tengkuknya yang tak terasa gatal. Ia mengalihkan matanya coklatnya ke arah lain, dengan bertatapan dengan Kai yang saat ini sedang menunggu jawaban darinya."Itu..." Kata kata yang ada di pangkal lidah Terry seolah tertelan begitu saja. Otaknya terasa kosong. Dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri. Astaga, apa yang baru ia katakan?"Terry?" Kai mem
Bab 011 : Dalam PerjalananSepanjang perjalanan, suasana di mobil begitu hening. Baik Terry maupun Kai, keduanya larut dalam pemikiran masing masing.Terry menolehkan kepalanya ke arah jendela, melihat banyaknya gedung gedung tinggi di sepanjang jalan yang ia lewati.Terry terlihat bosan dengan keheningan ini. Terlebih, Kai tak mengatakan apapun tentang pekerjaan yang akan ia lakukan. Helaan napas kasar keluar dari bibirnya."Kai?" Terry memanggil setelah sekian lama terjebak dalam keheningan."Ada apa?" Kai menjawab. Ia tak menolehkan kepalanya ke arah Terry. Matanya masih fokus pada jalanan yang sedikit macet."Saat di kantor Van Derrick, aku akan bekerja sebagai apa?" Tanya nya dengan suara pelan. "Bagaimanapun, aku harus tahu dulu tentang pekerjaan yang akan aku jalani nanti," sambungnya.Kai terdiam. Mulutnya terkunci dengan rapat. Tangannya meremat setir cukup kuat, seolah menahan emosi yang kapan saja akan membludak. Hanya saja, ekspresi wajahnya tak berubah sedikit pun, terli
bab 010 : Teman lama?"Siapa kau?""Aku?"Pria berambut pirang dengan mata amber itu menunjuk dirinya sendiri. Matanya membulat selama beberapa saat, sebelum akhirnya menyunggingkan senyuman lebar yang penuh makna."Aku ini salah satu temanmu saat kita masih SD. Apa kau sudah lupa denganku?"Terry mengerutkan keningnya. Ia berpikir sejenak sembari mengingat pria yang berada di hadapannya ini. Jujur saja, Terry kesulitan mengingat wajah orang, apalagi jika sudah lama tak bertemu.Selain itu, matanya memindai penampilan pria itu. Rambut pirang, mata amber, anting panjang sebahu dengan tanda x di ujungnya, lalu setelan hitam yang nampak mahal dari ujung rambut sampai ujung kaki. Pria ini berasal dari kalangan atas."Maaf, aku tak mengingatmu. Kau mungkin salah orang,"Pria bermata amber itu mendengkus kesal, lalu berjalan ke arah Terry dan mengalungkan tangannya di bahu pria itu."Aku Kai. Teman sebangku mu sebelum aku pindah ke Jerman mengikuti ayahku." Pria itu memperkenalkan dirinya d
bab 009 : Anggota Keluarga Setelah mengantar Terry pulang ke apartemennya, Ben melajukan mobilnya ke arah markasnya. Ia mengemudikan mobil miliknya dengan kecepatan sedang. Tak sampai 10 menit, Ben sampai di sebuah hutan yang letaknya jauh dengan pemukiman penduduk. Ia menyimpan mobil Porche kesayangannya di salah satu tempat yang sudah ia tandai, mengingat mobil tak akan masuk ke dalam jalan setapak yang akan ia lalui."Hah, kadang aku malas untuk datang ke markas karena aksesnya yang sangat buruk," gerutu Ben. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya dan menyalakan lampu senter sebagai sumber penerangan, lalu mulai berjalan menuju jalan setapak yang membentang sekitar 200 meter ke depan.Begitu sampai di sebuah bangunan tua, Ben masuk ke dalamnya tanpa permisi. Ia melepaskan sepatunya dan menaruhnya di rak samping pintu. Isi dari bangunan itu sangat berbeda dengan luarnya."Kau datang terlambat dari jam perjanjian kita," komentar seseorang yang saat ini tengah fokus pada komput
bab 008 : Keluarga Trainor (2)"Oh, Madam Yessa," Terry menyapa dengan sopan ibu Meghan yang baru saja keluar dari kamar pribadinya. Wanita paruh baya itu mengenakan pakaian mewah dengan warna merah menyala."Selamat malam. Maafkan saya jika kedatangan saya mengganggu anda,"Yessa mengalihkan tatapannya ke arah Terry. Bibirnya tertarik keatas, membentuk senyuman sinis. Tatapan tajam dan merendahkan itu ia layangkan pada Terry yang saat ini mencoba mempertahankan senyumannya."Kalau kau tahu kedatanganmu menggangguku, kenapa malah tetap kemari?" Yessa bertanya dengan nada sarkas.Tangannya yang penuh dengan gelang emas terlipat di depan dada. Seolah ingin menunjukan aset apa saja yang ia punya. Seingat Terry, Yessa tak memiliki perhiasan. Lalu darimana semua perhiasan itu?Terry terdiam sesaat, mencoba mencari alasan yang sekiranya bisa membuat ibu mertuanya menerima kedatangannya. "Saya kemari ingin mengunjungi anda.""Hanya mengunjungiku?" Tanya Yessa lagi. "Kau yakin niatmu hanya