bab 005 : jebakan
"Eh? Bagaimana kau bisa tahu?" Terry membulatkan matanya menyadari perkataannya. Ia keceplosan Jantungnya berdetak lebih cepat daripada biasanya. Wajahnya terlihat pucat, lebih dari sebelumnya. Tubuhnya membeku selama beberapa detik. Selain itu, keringat sebesar biji jagung mulai mengalir dari pelipisnya. Terry menutup mulutnya menggunakan telapak tangan. Matanya bergerak gelisah dengan ekspresi wajah panik. Astaga, apa yang ia katakan pada pria asing itu? Terry memalingkan wajahnya ke arah lain dengan telinga memerah, merasa malu pada dirinya sendiri yang bertindak ceroboh. "Maaf, aku salah bicara." Ben tersenyum tipis, lalu menatap Terry dengan tatapan menyelidik. "Benarkah?" "Ya," Terry menjawab singkat karena tak ingin beradu argumen lebih lama. "Wah, sayang sekali." Ben terdengar kecewa. Suaranya terdengar jauh lebih rendah dibandingkan dengan sebelumnya. "Padahal aku sedang mencari putra bungsu keluarga Walter. Aku kira kau adalah orangnya. Ternyata bukan ya?" Rasa penasaran kini memenuhi hati Terry. Ia menolehkan kepalanya hingga kini bertemu tatap dengan Ben yang terlihat sedikit frustrasi. "Kenapa kau mencari putra bungsu keluarga Walter?" Terry berdehem pelan dengan gaya cool nya. Ia berusaha untuk terlihat natural saat bertanya seperti itu agar tak di curigai. "Kenapa kau ingin tahu?" Bukannya menjawab, Ben justru bertanya balik sembari mengetik sesuatu di tabletnya. Terry ingin melihatnya karena takut identitqsnya ketahuan. Namun, layar tablet itu berwarna hitam, ia tak bisa mengintip apa yang sedang Ben lakukan. Terry berdecak kesal dalam hati. "Hanya penasaran saja," Terry menyimpan tangannya di saku celana lusuhnya. "Karena ku dengar, anak bungsu dari keluarga Walter melarikan diri dari rumahnya." "Well, aku tak bisa menampiknya. Bagaimanapun, itu adalah rahasia umum," Ben menatap langit malam yang kini bertaburan dengan bintang. Ia menghela napas panjang dan mengeratkan pakaiannya. Lampu yang berderet di tiap sudut menjadi sumber penerangan untuk melawan gelapnya malam. Malam ini, Angin malam berembus sedikit kencang hingga membuat tulang ngilu karena rasa dingin yang menusuk. Para pejalan kaki yang melewati daerah ini pasti akan menggigil kedinginan, termasuk Terry. Ben melihat itu. Namun memilih berpura pura tak peduli. "Anak bungsu keluarga Walter melarikan diri dari rumah karena salah paham." Sambungnya setelah sekian lama. "Salah paham? Aku rasa tidak begitu," Terry mengeluarkan argumennya dengan nada serak. "Dia keluar karena dipaksa oleh ayahnya untuk melakukan perjodohan dengan gadis yang tak ia kenal." "Wow, kau tahu hal sedetail itu?" Ben menyunggingkan senyuman tipisnya sembari menahan tawa. Terry mengerutkan kening, tak mengerti dengan arti tawa yang tertahan itu. "Yeah, aku hanya tahu sedikit, itu pun dari rumor saja," "Oh, aku kira kau kenal putra bungsu keluarga Walter secara pribadi." "Kenapa kau bisa berpikir begitu?" "Karena nada suara dan gaya bicaramu seolah kau dekat dengannya, bukan dari orang yang mendengar rumor dari luar sana," Terry kelabakan. Ia kebingungan harus mencari alasan apa lagi untuk menghindar. "Terima kasih atas opinimu. Aku memang memiliki kemampuan untuk meyakinkan orang," sahutnya bercanda. "Lalu, apa lagi yang kau ketahui tentang putra keluarga Walter?" "Aku hanya tahu sebatas itu," Terry memilih untuk mengakhiri percakapan itu, sebelum akhirnya sadar saat semua orang tertuju padanya dan Ben. "Kenapa semua orang menatap kita berdua?" "Aku rasa mungkin karena penampilan kita berbeda?" Tebak Ben asal. Terry memperhatikan tubuhnya dan tubuh Ben. Ah, sepertinya pria bermata heterochromia itu benar. Mereka menggunjingkan dirinya karena penampilannya yang terlihat sangat lusuh. Berbeda dengan Ben yang terlihat begitu keren meskipun menggunakan outfit yang simpel. Terry menertawakan dirinya sendiri. Bagaimana ia bisa lupa jika dirinya dan Ben adalah dua orang yang berbeda kelas? Karena terlalu asyik mengobrol -hal yang sangat jarang ia lakukan dengan pria lain karena perbedaan kelas yang mencolok- membuat dirinya lupa diri. Oh, ini sangat buruk . "Aku rasa juga begitu," Ben melirik ke arah samping, melihat Terry yang tampak terdiam setelah menjawab pertanyaannya. Wajah pria itu mungkin saja datar. Namun, Ben bisa tahu jika Terry terlihat terluka. "Oh, jangan pikirkan kata mereka," Ben berkata dengan nada semangat.. ia merangkul bahu Terry dengan tiba tiba. "Lagipula perkataan mereka tak akan berpengaruh banyak pada hidupmu," "Kau bisa bilang begitu karena kau berasal dari kelas yang berbeda denganku," Terry melepas tangan Ben yang berada di bahunya. "Kau tak akan pernah merasakan saat rasanya menjadi orang yang tak memiliki apapun sepertiku. Jadi jangan bilang hal seperti itu. Jujur saja, aku sedikit tersinggung katanya," "Ah, maaf. Aku tak bermaksud begitu. Aku hanya ingin mencerahkan suasana agar tak terlalu suram," Ben memberi alasan. "Terserah," Ben membuka mulutnya, hendak kembali bicara pada Terry untuk meluruskan masalah yang terjadi diantara keduanya. Namun, tak ada sepatah katapun yang keluar. Ben mengurungkan niatnya, tak ingin menusuk Terry lebih jauh. Tak lama, keduanya sampai di cafe yang tadi dipilih oleh Ben. "Ayo masuk. Kau bisa pesan apapun yang kau inginkan," Ben membuka pintu dan duduk di kursi di pojok ruangan agar orang orang tak mendengar pembicaraan di antara dirinya dan Terry. "Hm," Terry bergumam pelan, lalu duduk di hadapan Ben dan mengambil kursi yang ada di hadapan Ben dan duduk di sana. Tanpa mengucapkan sepatah katapun. "Hei," Ben memanggil Terry dengan suara rendah. Ia menepuk lengan kurus Terry yang terbalut kemeja lusuh yang ia gunakan. "Aku minta maaf atas kejadian barusan. Aku tak bermaksud menyinggungmu," "Hah, baiklah. Aku memaafkanmu. Jadi, berhentilah bicara karena aku sedang tak ingin meladenimu," Terry menjawab pelan sembari memesan makanan dan minuman pada waiter yang mendekati meja mereka. "Terima kasih sudah memaafkan aku lagi," Ben tersenyum, lalu mengklik sesuatu di tabletnya. "Dan sejujurnya, kau tak perlu berbohong lagi padaku," "Berbohong padamu? Kapan melakukan itu?" "Barusan," Ben berkata lirih. "Kau juga tak perlu menyembunyikan identitas mu padaku," "Aku sudah jujur tentang-" Perkataan Terry terhenti saat Ben membalikkan layar tablet yang tadi ia mainkan. Disana, tertulis dengan jelas semua profil nya, baiklah dari kehidupan sekarang, pekerjaan, hingga hubungan asmaranya dengan istrinya, Meghan. "Kau berbohong," Ben kembali menegaskan kalimatnya. "Kau bilang kau bukan putra bungsu keluarga Walter," "Aku memang bukan anaknya. Kau salah orang." Terry bersikukuh dengan pendapatnya. "Mungkin aku hanya mirip dengan-" "Terry Alfred Walter," Ben memanggil Terry dengan suara tegasnya, yang mana membuat Terry tertegun di kursinya "Lebih baik kau jangan mengelak lagi. Kau adalah anak dari tuan Walter. Bukti sudah ada di depan mata," Terry menghela napas gusar. Ia mengacak rambutnya dengan asal, hingga bentuknya tidak beraturan. "Baiklah. Aku mengaku. Aku memang anak pak tua itu dulu. Tapi sekarang tidak!" "Kenapa kau mengatakan hal itu?" "Karena dia sudah melakukan kesalahan yang tak termaafkan." Terry menjeda sejenak ucapannya untuk meraih napas. " Dan aku tak akan memaafkannya begitu saja. Ia harus menebus semua dosa besarnya jika ingin aku kembali,"bab 006 : Target Seorang pria berambut pirang melangkah dengan langkah lebar di sebuah lorong kantor. Ia mengenakan setelan serba hitam, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Yang paling mencolok darinya adalah, ia memiliki mata berwarna amber dengan anting panjang sebahu dengan ujung berbentuk tanda X. Di tangannya, terdapat sebuah berkas yang berisi beberapa dokumen penting.Pria itu tak berjalan sendirian. Ia ditemani oleh dua orang yang berpenampilan sama sepertinya. Bedanya, kedua pria itu memiliki pistol yang terletak di kaki kiri mereka. Wajah kedua pria yang di kenali sebagai bodyguard itu terlihat datar.Begitu berada di depan pintu, pria berambut pirang itu segera masuk tanpa perlu mengetuknya terlebih dahulu. "Tuan Daniel kita sudah mendapatkan target,"Pria lain berambut platina yang bernama Daniel memutar kursinya. Yang tadinya menghadap jendela menuju ke lawan bicara yang ada di depannya. Daniel mengenakan setelan berwarna navy. Tangannya terlipat di depan dada dengan
bab 007 : Keluarga Trainor (1) Ben keluar dari kamar mandi setelah urusannya dengan Steve selesai. Ia melirik jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam sudah menunjukan pukul 8.15. pm. Itu artinya Steve meneleponnya selama satu jam!Ben segera berlari ke arah mejanya, takut Terry meninggalkannya. Terlebih, ia belum bisa dekat dan menyakinkan pria itu dan membawanya pulang ke keluarga Walter.Jika hal ini terjadi, maka misi yang sedang ia jalankan akan gagal. Dan ia terpaksa mendapatkan konsekuensi yang mengerikan dari tuan Walter. Terlebih, keluarga itu memiliki kelemahannya.Begitu sampai di mejanya, Ben bernapas lega saat melihat Terry yang masih duduk disana. Dengan dua gelas jus dan satu cangkir kopi yang terlihat kosong."Ah, syukurlah kau masih ada disini,"Terry mendelik ke arah Ben. Tangannya terlipat di atas dada dengan rahang mengetat. "Kenapa lama sekali?""Ada beberapa hal yang harus aku urus dengan rekan kerjaku." Ben berkata dengan nada ramah. Ia du
bab 008 : Keluarga Trainor (2)"Oh, Madam Yessa," Terry menyapa dengan sopan ibu Meghan yang baru saja keluar dari kamar pribadinya. Wanita paruh baya itu mengenakan pakaian mewah dengan warna merah menyala."Selamat malam. Maafkan saya jika kedatangan saya mengganggu anda,"Yessa mengalihkan tatapannya ke arah Terry. Bibirnya tertarik keatas, membentuk senyuman sinis. Tatapan tajam dan merendahkan itu ia layangkan pada Terry yang saat ini mencoba mempertahankan senyumannya."Kalau kau tahu kedatanganmu menggangguku, kenapa malah tetap kemari?" Yessa bertanya dengan nada sarkas.Tangannya yang penuh dengan gelang emas terlipat di depan dada. Seolah ingin menunjukan aset apa saja yang ia punya. Seingat Terry, Yessa tak memiliki perhiasan. Lalu darimana semua perhiasan itu?Terry terdiam sesaat, mencoba mencari alasan yang sekiranya bisa membuat ibu mertuanya menerima kedatangannya. "Saya kemari ingin mengunjungi anda.""Hanya mengunjungiku?" Tanya Yessa lagi. "Kau yakin niatmu hanya
bab 009 : Anggota Keluarga Setelah mengantar Terry pulang ke apartemennya, Ben melajukan mobilnya ke arah markasnya. Ia mengemudikan mobil miliknya dengan kecepatan sedang. Tak sampai 10 menit, Ben sampai di sebuah hutan yang letaknya jauh dengan pemukiman penduduk. Ia menyimpan mobil Porche kesayangannya di salah satu tempat yang sudah ia tandai, mengingat mobil tak akan masuk ke dalam jalan setapak yang akan ia lalui."Hah, kadang aku malas untuk datang ke markas karena aksesnya yang sangat buruk," gerutu Ben. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya dan menyalakan lampu senter sebagai sumber penerangan, lalu mulai berjalan menuju jalan setapak yang membentang sekitar 200 meter ke depan.Begitu sampai di sebuah bangunan tua, Ben masuk ke dalamnya tanpa permisi. Ia melepaskan sepatunya dan menaruhnya di rak samping pintu. Isi dari bangunan itu sangat berbeda dengan luarnya."Kau datang terlambat dari jam perjanjian kita," komentar seseorang yang saat ini tengah fokus pada komput
bab 010 : Teman lama?"Siapa kau?""Aku?"Pria berambut pirang dengan mata amber itu menunjuk dirinya sendiri. Matanya membulat selama beberapa saat, sebelum akhirnya menyunggingkan senyuman lebar yang penuh makna."Aku ini salah satu temanmu saat kita masih SD. Apa kau sudah lupa denganku?"Terry mengerutkan keningnya. Ia berpikir sejenak sembari mengingat pria yang berada di hadapannya ini. Jujur saja, Terry kesulitan mengingat wajah orang, apalagi jika sudah lama tak bertemu.Selain itu, matanya memindai penampilan pria itu. Rambut pirang, mata amber, anting panjang sebahu dengan tanda x di ujungnya, lalu setelan hitam yang nampak mahal dari ujung rambut sampai ujung kaki. Pria ini berasal dari kalangan atas."Maaf, aku tak mengingatmu. Kau mungkin salah orang,"Pria bermata amber itu mendengkus kesal, lalu berjalan ke arah Terry dan mengalungkan tangannya di bahu pria itu."Aku Kai. Teman sebangku mu sebelum aku pindah ke Jerman mengikuti ayahku." Pria itu memperkenalkan dirinya d
Bab 011 : Dalam PerjalananSepanjang perjalanan, suasana di mobil begitu hening. Baik Terry maupun Kai, keduanya larut dalam pemikiran masing masing.Terry menolehkan kepalanya ke arah jendela, melihat banyaknya gedung gedung tinggi di sepanjang jalan yang ia lewati.Terry terlihat bosan dengan keheningan ini. Terlebih, Kai tak mengatakan apapun tentang pekerjaan yang akan ia lakukan. Helaan napas kasar keluar dari bibirnya."Kai?" Terry memanggil setelah sekian lama terjebak dalam keheningan."Ada apa?" Kai menjawab. Ia tak menolehkan kepalanya ke arah Terry. Matanya masih fokus pada jalanan yang sedikit macet."Saat di kantor Van Derrick, aku akan bekerja sebagai apa?" Tanya nya dengan suara pelan. "Bagaimanapun, aku harus tahu dulu tentang pekerjaan yang akan aku jalani nanti," sambungnya.Kai terdiam. Mulutnya terkunci dengan rapat. Tangannya meremat setir cukup kuat, seolah menahan emosi yang kapan saja akan membludak. Hanya saja, ekspresi wajahnya tak berubah sedikit pun, terli
Bab 012 : Tempat asing"Kai, apa kau yakin ini adalah tempat yang aman?" Tanya Terry. Ia mengedarkan matanya melihat sekeliling. Halaman bangunan itu nampak berantakan, dengan sampah dan dedaunan yang bersebaran. Sulur yang tumbuh subur di dinding, menjuntai di tiap sisi tembok. Cat tembok yang kusam dan mengelupas, serta rumput liar yang tumbuh tinggi, sekitar selutut.Kai menghentikan kegiatannya mengetik di ponselnya. Ia mengangkat kepalanya, menatap Terry dengan tatapan heran. "Apa maksudmu?"Kai mengerutkan keningnya hingga kedua alisnya terlihat menyatu. Senyum bibirnya yang terlihat lebar pun pudar secara perlahan.Terry menggaruk tengkuknya yang tak terasa gatal. Ia mengalihkan matanya coklatnya ke arah lain, dengan bertatapan dengan Kai yang saat ini sedang menunggu jawaban darinya."Itu..." Kata kata yang ada di pangkal lidah Terry seolah tertelan begitu saja. Otaknya terasa kosong. Dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri. Astaga, apa yang baru ia katakan?"Terry?" Kai mem
Bab 013 : Informasi Saat ini, Ben berada di kantor pusat Walter Group. Ia dan Steve akan memberikan laporan pada Frank tentang perkembangannya membujuk Terry pulang. Ben berjalan sendirian karena Steve pergi ke kamar mandi dulu sekaligus membeli minuman. Langkahnya begitu lebar seolah tengah di kejar oleh waktu. "Ben,"Ben menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah sumber suara. Tangannya menyeka keringat yang mengalir dari pelipisnya. Napasnya tersengal dengan wajah memerah. "Ya, ada apa, Tuan Ethan?" Tanyanya dengan sopan dengan senyuman tipis, mengabaikan rasa lelahnya."Dimana Terry?" Ethan langsung bertanya pada hal inti. "Mengapa ia tak bersama kamu?"Senyuman Ben luntur, berganti menjadi raut wajah menyesal. "Aku gagal mendapatkannya,"Ethan terkejut mendengarnya. Namun ia tak banyak memberikan reaksi. Wajahnya terlihat datar, begitu pula dengan garis bibirnya. Tatapan tajamnya kian intens menatap lantai mendengar perkataan Ben."Tuan?" Ben memanggil dengan ragu. Detak j