Bab 004 : Ben Clayton
"Matthias brengsek!" Terry menggeram dan mengumpat dengan suara rendah. Tangannya kembali mengepal dengan kuat. Kuku miliknya kembali menancap di telapak tangannya, ditempat yang sama, membuat luka itu semakin dalam. Pria itu memalingkan wajahnya ke arah lain, berusaha untuk terlihat kuat di hadapan Jake. Akan tetapi, Jake melihat semua itu. Ia juga marah pada orang yang berkuasa di atas sana. Namun ia tak bisa membantu apapun. "Maaf, aku tak bisa mencegah bos kita untuk memecat mu," Jake berkata dengan nada bersalah. Ia menepuk nepuk punggung Terry, berharap bisa menghibur pria itu. Terry menolehkan kepalanya ke arah Jake. Kemudian menyunggingkan senyuman tipis sebagai respon. "Terima kasih sudah menghibur dan memberitahuku fakta ini," Keduanya terdiam lagi. Kebetulan, tak ada siapapun di ruangan itu selain mereka berdua. Suasana begitu canggung dan aneh. Jake sendiri kebingungan harus berkata apa untuk mencairkan suasana. Terry sedang berpikir. Sejauh apa kekuasaan yang di miliki Matthias sehingga ia memiliki kekuasaan untuk menyabotase pekerjaannya. Jujur saja, ada perasaan benci yang tertanam di hati Terry saat ini. "Kau pasti berpikir kan bagaimana tuan Matthias bisa meyakinkan bos kita untuk memecatmu, kan?" Pertanyaan yang ditanyakan oleh Jake membuat Terry terperanjat kaget. Pria itu membulatkan matanya karena terkejut. Darimana Jake tahu apa yang sedang ia pikirkan? Apa ia bisa membaca pikirannya? "Aku tahu dari raut wajahmu yang sepertinya sedang berpikir tentang hal itu." "Ah..." Perkataan Jake berhasil menjawab apa yang ia pikirkan. Dengan cepat, Terry menganggukkan kepalanya. "Benar, sejujurnya aku tidak terima dengan pemecatan yang tiba tiba ini tanpa penjelasan apapun." Terry mengajukan protesnya dengan bahasa yang sopan. Meskipun marah, ia tetap menjaga tutur bahasanya. Jake tersenyum getir sembari menatap langit langit ruangan loker yang sedikit kotor dan berdebu. Ia bahkan bisa melihat sarang laba laba di sudut ruangan. "Well, simpel saja. Tuan Matthias dan bos kita punya suatu hubungan yang spesial," "Maksudnya?" "Tuan Jay adalah sahabat lama tuan Matthias sewaktu mereka masih kuliah. Dan mereka masih berteman sampai sekarang. Jadi-" "Oke, aku mengerti," sela Terry cepat dengan helaan napas kasar. "Berarti tuan Jay hanya ingin mengabulkan keinginan sahabatnya saja untuk menyingkirkan aku," "Maafkan tuan Jay, Terry. Dia sendiri tak bisa berkutik jika ingin toko ini selamat. Kau tahu sendiri kalau tuan Matthias itu punya kekuasaan yang cukup besar," Terry merasa sedikit tertarik mendengarnya. Ia kembali menoleh dan menatap Jake yang saat ini sedang memegang ponselnya. "Bisa kau jelaskan padaku?" "Tentang apa?" "Kekuasaan tuan Matthias," Jake menarik napas panjang. Tangannya mengetik sesuatu di ponselnya pintarnya yang berlambang apel di gigit. "Lain kali saja aku jelaskan. Tapi yang jadi pertanyaannya, apa yang kau lakukan sampai tuan Matthias menargetkan dirimu?" "Well, aku memergoki dia bercinta dengan istriku saat pulang bekerja. Dan istriku malah membelanya dan mengatakan jika dia adalah kekasihnya." jawab Terry tanpa sadar. Ketikan Jake pada ponselnya pun terhenti. Tubuhnya menegang selama beberapa saat hingga keheningan kembali menjebak keduanya. "Maaf?" Jake mengorek telinganya, takut ia salah mendengar ucapan Terry. "Apa yang aku ucapkan itu kenyataan. Kau tidak salah dengar, Tuan Jake," "Wow, aku mendengar hal yang sangat privasi disini," Jake berkata dengan nada tidak enak. "Maaf menanyakan hal itu." "It's okay. Lagipula memang itu kenyataannya," Terry kembali membalas dengan nada getir. "Aku rasa-" "Tuan Jake, bos memanggilmu," Jake menoleh pada salah satu bawahannya, lalu mengangguk singkat sebagai jawaban. "Baiklah. Aku tidak bisa menemanimu saat ini, Terry. Tapi aku harap, kau mendapat pengganti yang lebih baik dari istrimu yang sekarang. Ataupun pekerjaan yang lebih baik daripada disini. Aku pergi dulu," Jake pergi meninggalkan Terry sendirian disana, setelah memberikan tepukan di bahunya sebanyak dua kali sebagai ucapan perpisahan. Mata cokelat milik Terry mengikuti setiap gerakan atasannya sampai ke pintu. Begitu punggung Jake tak terlihat, Terry menghela napas lagi. Ia tak menyangka jika takdir akan menyedihkan seperti ini. Kehilangan istri, kehabisan uang dan kehilangan pekerjaan dalam satu waktu membuatnya hampir gila. "Aku rasa aku harus mencari pekerjaan baru untuk menyambung hidup," Terry bergumam rendah Terry membereskan barang barangnya dari dalam loker itu ke dalam tas lusuh yang tersimpan di sana, menatanya satu persatu tanpa terkecuali. Begitu barang barangnya sudah berpindah tanpa ada satupun yang tertinggal, Terry pun berjalan keluar dari toko itu. "Aku Lapar," Terry memegang perutnya yang terus berbunyi sedari tadi. Ia baru ingat jika ia belum makan sedari kemarin. Tak heran jika tubuhnya terasa lemas dan tak bertenaga. Terry merasa kepalanya terasa pusing. Bahkan, merasa melayang, seperti tak menapak pada tanah saat dirinya berjalan. Terry melangkahkan kakinya ke tepi, memegang tembok bangunan di sampingnya sembari menetralkan napasnya yang terasa cukup cepat. "Hah, bagaimana caranya aku mendapatkan makanan sementara tubuhku selemah ini?" Gumamnya putus asa. Di tengah rasa kebingungan itu, nasib buruk kembali menimpanya. Seseorang menubruk tubuh Terry dari belakang hingga keduanya terjatuh. Terry meringis kecil saat merasakan pantatnya bersentuhan dengan trotoar. "Akh, ini sakit sekali," "Akh, maafkan aku. Kau baik baik saja?" Terry mengelus bokongnya yang terasa sakit dengan gerutuan kecil. Ia membuka matanya dan menemukan seseorang pria berambut wolfcut dengan mata heterochromia mengulurkan tangan padanya. Terry menerima uluran tangan. Pria asing itu pun menarik Terry untuk bisa bangkit dan berdiri seperti semula. "Maafkan aku karena menabrakmu. Aku tak melihatmu karena terlalu fokus pada tablet ku." Pria itu berkali kali meminta maaf sembari menangkup tangan di depan dada. Terry merasa tak nyaman sekarang. Ia tak terbiasa menerima permintaan maaf dari orang lain. Karena biasanya, ia lah yang meminta maaf . Sekalipun ia tak bersalah. "Okay, aku memaafkan kamu. Jadi tolong berhenti lah untuk meminta maaf." Terry berkata dengan nada serak. "Ah, terima kasih sudah mau memaafkan aku. Kau baik sekali," "Hm," "Sebagai permintaan maaf, apa aku boleh mentraktir mu segelas kopi dan sepotong roti?" Terry mengernyitkan alisnya. "Kenapa kau ingin melakukan itu?" "Aku melihat wajahmu sedikit pucat dan aku takut kau pingsan. Kebetulan, aku juga sedikit lapar. Jadi kau mau?" Terry terlihat menimang tawaran itu. Ia melihat pria bermata heterochromia itu dari atas sampai bawah tanpa terkecuali. Rambut wolfcut berwarna coklat dengan mata heterochromia, yang berwarna biru dan hijau. Cukup unik. Lalu pakaian serba hitam dengan tablet di tangannya. Dari penampilannya, pria itu berasal dari kalangan atas. "Baiklah," "Kalau begitu, kita pergi ke cafe di seberang sana saja," pria itu menunjuk sebuah cafe di seberang jalan. "Kalau boleh tahu, namamu siapa?" "Terry Alfred. Kau sendiri?" "Ben Clayton." Pria itu memperkenalkan dirinya dengan singkat. "Apa kau adalah anak dari tuan Walter?" "Eh? Bagaimana kau bisa tahu?"bab 005 : jebakan "Eh? Bagaimana kau bisa tahu?"Terry membulatkan matanya menyadari perkataannya. Ia keceplosan Jantungnya berdetak lebih cepat daripada biasanya. Wajahnya terlihat pucat, lebih dari sebelumnya. Tubuhnya membeku selama beberapa detik. Selain itu, keringat sebesar biji jagung mulai mengalir dari pelipisnya. Terry menutup mulutnya menggunakan telapak tangan. Matanya bergerak gelisah dengan ekspresi wajah panik. Astaga, apa yang ia katakan pada pria asing itu?Terry memalingkan wajahnya ke arah lain dengan telinga memerah, merasa malu pada dirinya sendiri yang bertindak ceroboh. "Maaf, aku salah bicara."Ben tersenyum tipis, lalu menatap Terry dengan tatapan menyelidik. "Benarkah?""Ya," Terry menjawab singkat karena tak ingin beradu argumen lebih lama."Wah, sayang sekali." Ben terdengar kecewa. Suaranya terdengar jauh lebih rendah dibandingkan dengan sebelumnya. "Padahal aku sedang mencari putra bungsu keluarga Walter. Aku kira kau adalah orangnya. Ternyata bukan y
bab 006 : Target Seorang pria berambut pirang melangkah dengan langkah lebar di sebuah lorong kantor. Ia mengenakan setelan serba hitam, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Yang paling mencolok darinya adalah, ia memiliki mata berwarna amber dengan anting panjang sebahu dengan ujung berbentuk tanda X. Di tangannya, terdapat sebuah berkas yang berisi beberapa dokumen penting.Pria itu tak berjalan sendirian. Ia ditemani oleh dua orang yang berpenampilan sama sepertinya. Bedanya, kedua pria itu memiliki pistol yang terletak di kaki kiri mereka. Wajah kedua pria yang di kenali sebagai bodyguard itu terlihat datar.Begitu berada di depan pintu, pria berambut pirang itu segera masuk tanpa perlu mengetuknya terlebih dahulu. "Tuan Daniel kita sudah mendapatkan target,"Pria lain berambut platina yang bernama Daniel memutar kursinya. Yang tadinya menghadap jendela menuju ke lawan bicara yang ada di depannya. Daniel mengenakan setelan berwarna navy. Tangannya terlipat di depan dada dengan
bab 007 : Keluarga Trainor (1) Ben keluar dari kamar mandi setelah urusannya dengan Steve selesai. Ia melirik jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam sudah menunjukan pukul 8.15. pm. Itu artinya Steve meneleponnya selama satu jam!Ben segera berlari ke arah mejanya, takut Terry meninggalkannya. Terlebih, ia belum bisa dekat dan menyakinkan pria itu dan membawanya pulang ke keluarga Walter.Jika hal ini terjadi, maka misi yang sedang ia jalankan akan gagal. Dan ia terpaksa mendapatkan konsekuensi yang mengerikan dari tuan Walter. Terlebih, keluarga itu memiliki kelemahannya.Begitu sampai di mejanya, Ben bernapas lega saat melihat Terry yang masih duduk disana. Dengan dua gelas jus dan satu cangkir kopi yang terlihat kosong."Ah, syukurlah kau masih ada disini,"Terry mendelik ke arah Ben. Tangannya terlipat di atas dada dengan rahang mengetat. "Kenapa lama sekali?""Ada beberapa hal yang harus aku urus dengan rekan kerjaku." Ben berkata dengan nada ramah. Ia du
bab 008 : Keluarga Trainor (2)"Oh, Madam Yessa," Terry menyapa dengan sopan ibu Meghan yang baru saja keluar dari kamar pribadinya. Wanita paruh baya itu mengenakan pakaian mewah dengan warna merah menyala."Selamat malam. Maafkan saya jika kedatangan saya mengganggu anda,"Yessa mengalihkan tatapannya ke arah Terry. Bibirnya tertarik keatas, membentuk senyuman sinis. Tatapan tajam dan merendahkan itu ia layangkan pada Terry yang saat ini mencoba mempertahankan senyumannya."Kalau kau tahu kedatanganmu menggangguku, kenapa malah tetap kemari?" Yessa bertanya dengan nada sarkas.Tangannya yang penuh dengan gelang emas terlipat di depan dada. Seolah ingin menunjukan aset apa saja yang ia punya. Seingat Terry, Yessa tak memiliki perhiasan. Lalu darimana semua perhiasan itu?Terry terdiam sesaat, mencoba mencari alasan yang sekiranya bisa membuat ibu mertuanya menerima kedatangannya. "Saya kemari ingin mengunjungi anda.""Hanya mengunjungiku?" Tanya Yessa lagi. "Kau yakin niatmu hanya
bab 009 : Anggota Keluarga Setelah mengantar Terry pulang ke apartemennya, Ben melajukan mobilnya ke arah markasnya. Ia mengemudikan mobil miliknya dengan kecepatan sedang. Tak sampai 10 menit, Ben sampai di sebuah hutan yang letaknya jauh dengan pemukiman penduduk. Ia menyimpan mobil Porche kesayangannya di salah satu tempat yang sudah ia tandai, mengingat mobil tak akan masuk ke dalam jalan setapak yang akan ia lalui."Hah, kadang aku malas untuk datang ke markas karena aksesnya yang sangat buruk," gerutu Ben. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya dan menyalakan lampu senter sebagai sumber penerangan, lalu mulai berjalan menuju jalan setapak yang membentang sekitar 200 meter ke depan.Begitu sampai di sebuah bangunan tua, Ben masuk ke dalamnya tanpa permisi. Ia melepaskan sepatunya dan menaruhnya di rak samping pintu. Isi dari bangunan itu sangat berbeda dengan luarnya."Kau datang terlambat dari jam perjanjian kita," komentar seseorang yang saat ini tengah fokus pada komput
bab 010 : Teman lama?"Siapa kau?""Aku?"Pria berambut pirang dengan mata amber itu menunjuk dirinya sendiri. Matanya membulat selama beberapa saat, sebelum akhirnya menyunggingkan senyuman lebar yang penuh makna."Aku ini salah satu temanmu saat kita masih SD. Apa kau sudah lupa denganku?"Terry mengerutkan keningnya. Ia berpikir sejenak sembari mengingat pria yang berada di hadapannya ini. Jujur saja, Terry kesulitan mengingat wajah orang, apalagi jika sudah lama tak bertemu.Selain itu, matanya memindai penampilan pria itu. Rambut pirang, mata amber, anting panjang sebahu dengan tanda x di ujungnya, lalu setelan hitam yang nampak mahal dari ujung rambut sampai ujung kaki. Pria ini berasal dari kalangan atas."Maaf, aku tak mengingatmu. Kau mungkin salah orang,"Pria bermata amber itu mendengkus kesal, lalu berjalan ke arah Terry dan mengalungkan tangannya di bahu pria itu."Aku Kai. Teman sebangku mu sebelum aku pindah ke Jerman mengikuti ayahku." Pria itu memperkenalkan dirinya d
Bab 011 : Dalam PerjalananSepanjang perjalanan, suasana di mobil begitu hening. Baik Terry maupun Kai, keduanya larut dalam pemikiran masing masing.Terry menolehkan kepalanya ke arah jendela, melihat banyaknya gedung gedung tinggi di sepanjang jalan yang ia lewati.Terry terlihat bosan dengan keheningan ini. Terlebih, Kai tak mengatakan apapun tentang pekerjaan yang akan ia lakukan. Helaan napas kasar keluar dari bibirnya."Kai?" Terry memanggil setelah sekian lama terjebak dalam keheningan."Ada apa?" Kai menjawab. Ia tak menolehkan kepalanya ke arah Terry. Matanya masih fokus pada jalanan yang sedikit macet."Saat di kantor Van Derrick, aku akan bekerja sebagai apa?" Tanya nya dengan suara pelan. "Bagaimanapun, aku harus tahu dulu tentang pekerjaan yang akan aku jalani nanti," sambungnya.Kai terdiam. Mulutnya terkunci dengan rapat. Tangannya meremat setir cukup kuat, seolah menahan emosi yang kapan saja akan membludak. Hanya saja, ekspresi wajahnya tak berubah sedikit pun, terli
Bab 012 : Tempat asing"Kai, apa kau yakin ini adalah tempat yang aman?" Tanya Terry. Ia mengedarkan matanya melihat sekeliling. Halaman bangunan itu nampak berantakan, dengan sampah dan dedaunan yang bersebaran. Sulur yang tumbuh subur di dinding, menjuntai di tiap sisi tembok. Cat tembok yang kusam dan mengelupas, serta rumput liar yang tumbuh tinggi, sekitar selutut.Kai menghentikan kegiatannya mengetik di ponselnya. Ia mengangkat kepalanya, menatap Terry dengan tatapan heran. "Apa maksudmu?"Kai mengerutkan keningnya hingga kedua alisnya terlihat menyatu. Senyum bibirnya yang terlihat lebar pun pudar secara perlahan.Terry menggaruk tengkuknya yang tak terasa gatal. Ia mengalihkan matanya coklatnya ke arah lain, dengan bertatapan dengan Kai yang saat ini sedang menunggu jawaban darinya."Itu..." Kata kata yang ada di pangkal lidah Terry seolah tertelan begitu saja. Otaknya terasa kosong. Dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri. Astaga, apa yang baru ia katakan?"Terry?" Kai mem