Share

Bab 003 : Dua Kejadian Beruntun

Bab 003 : Dua Kejadian Beruntun

Terry menahan napas saat Meghan kembali melawannya. Napasnya menjadi berat. Emosi yang sudah ia tahan sedari tadi siap lepas kapan saja. Wajahnya memerah dan kepalan tangannya kian menguat, hingga kuku melukai telapak tangannya.

"Apa?!"

"Aku tak ingin hidup dengan pria miskin sepertimu! Aku ingin meminta cerai!"

Dada Terry terasa di remas mendengar kalimat mengerikan itu keluar dari mulut Meghan. Sendi sendi di tubuhnya seolah lepas menjadi jelly, terlampau terkejut dengan permintaan sang istri. 

"Apa? Kenapa kau meminta cerai? Bukankah dalam janji pernikahan kalau kau akan-"

"Pokoknya aku meminta cerai!" Sela Meghan cepat. Ia berjalan ke arah laci  yang berada di sisi tempat tidur dan mengambil sesuatu dari sana. Sebuah kertas perceraian. 

"Tanda tangani ini. Dengan begitu aku bisa lepas darimu!" Meghan melempar kertas perceraian itu ke wajah Terry, begitu juga dengan pena nya.

Terry memungut kertas itu dengan perasaan kecewa. Tangannya bergetar saat membaca isi dari kertas itu. Dan yang paling menyakitkan, istrinya sudah membubuhkan tanda tangan di atasnya.

Terry meremas kertas itu hingga membentuk bola, lalu melemparnya ke sudut ruangan. "Aku tidak ingin bercerai, Meghan. Aku tidak ingin mengingkari janji pernikahan kita,"

Meghan tersenyum sinis. Ia menatap Terry dengan tatapan merendahkan, yang mana adalah hal yang baru Terry lihat selama 3 tahun menikah dengan wanita itu.

"Janji pernikahan?" Tanyanya dengan tawa sarkas. "Memang ada yang masih menggunakan janji pernikahan di jaman sekarang? Aku rasa tidak,"

"Apa maksudmu?"

"Di era sekarang, janji pernikahan itu hanya sebatas formalitas. Yang penting itu adalah uang, penampilan dan kekuasaan. Sedangkan kau tak memiliki ketiganya," 

Meghan menggandeng tangan Matthias dan menyandarkan kepalanya. Matthias tersenyum penuh kemenangan dengan aksi kekasihnya itu.

Dada Terry terasa di hantam batu mendengar ucapan istrinya. Rasanya sakit dan panas sekali. Memang benar ia tak memiliki ketiganya. Tapi apakah sang istri harus mengatakan hal itu dan mengoyak harga dirinya di depan pria lain?

"Meghan, kau-"

"Intinya aku mau kita bercerai. Aku tak peduli kau setuju atau tidak," 

Meghan menghela napas lalu segera beralih ke lemari lapuk yang berada di sudut ruangan. Ia mengepak baju bajunya yang tak seberapa itu ke dalam koper rusak yang ada di bawah lemari.

Terry membulatkan matanya. Ia menghampiri Meghan. Ia mencengkeram tangan istrinya, berniat untuk menghentikan aksinya.

"Meghan, kau mau kemana? Aku tak mengizinkanmu untuk pergi!"

"Aku tak perlu mendengar ucapanmu. Lagipula, aku sudah tak mencintaimu,"

Meghan kembali membalas dengan nada dingin. Tangan Terry ia tepis sekuat tenaga. Setelah selesai membereskan bajunya ke dalam koper, ia menarik Matthias keluar dari kamar sempit itu. 

Terry mengejar dari belakang. Ia meraih pergelangan tangan istrinya untuk menghentikan Meghan yang akan pergi dari apartemen yang mereka tempati.

"Meghan. Aku mohon. jangan karena uang kau tega meninggalkanku sendirian. Aku sudah tak memiliki siapapun lagi." Terry memohon dengan nada mengiba.

Meghan menepis tangan Terry dengan kasar, hingga Terry terjatuh ke samping. "Aku tak peduli, Terry! Aku tetap akan pergi!"

"Kenapa kau bersikukuh ingin pergi?"

"Karena aku sudah mengandung bayi Matthias,"

Hati Terry hancur lebur tanpa sisa. Dari sudut matanya, ia mengeluarkan air mata. Lidahnya terasa kaku untuk mengucapakan sepatah kata, seolah ada sesuatu yang menahannya. Tubuhnya membeku. Dari semua kejadian, inilah yang membuatnya terpukul.

Melihat Terry tak bergerak, Meghan  pergi meninggalkan apartemen itu, menyeret koper di tangan kanannya dan Matthias di tangan kirinya.

Sebelum Matthias benar benar keluar, ia sempat berbisik ke telinga Terry dengan seringai lebar. "Dasar pecundang,"

Terry terdiam di tempat, menyaksikan kepergian sang istri bersama Matthias dari belakang. Batinnya berteriak sakit dengan rasa sesak yang tak terhingga. Terry meremat dadanya, kesulitan untuk mengambil napas.

"Ini menyakitkan,"

Belum selesai dengan rasa sakit itu, Dylan datang dari arah kamarnya sembari menenteng paper bag yang tadinya akan ia berikan pada Meghan.

"Mau dibawa kemana paper bag itu?"

Dylan menghentikan langkahnya. Lalu mengalihkan matanya pada paper bag yang ada di tangannya. "Oh, aku akan memberikannya pada Meghan."

"Maaf?!"

"Kau ingin memberikannya padanya, kan? Makanya aku membawanya," jawab Dylan santai tanpa rasa malu sedikit pun.

Terry menggigit bibirnya. Tangannya lagi lagi mengepal dengan rahang yang mengetat dengan kuat. "Meghan sudah pergi bersama dengan pria lain. Jadi kau tak berhak membawanya,"

"Tentu saja aku berhak," Dylan menyilangkan tangan di depan dada dengan angkuh.

"Bukannya ini adalah hak Meghan? Dan kau memang berniat memberikannya, kan? Lalu kenapa kau melarangku membawanya?"

"Tentu saja aku melarangnya! Barang itu adalah hasil jerih payah yang aku beli dari uang tabunganku. Dan kau masih punya harga diri untuk membawanya?! Apa kau tak punya rasa malu?"

"Kalau aku tak membawanya, kau mau apakan benda ini?"

Terry terdiam. Ia tak bisa membalas perkataan Dylan. Otaknya mendadak buntu, tak bisa berpikir.

"Kau juga pasti membuangnya. Jadi daripada terbuang percuma, aku akan membawa benda ini," Dylan kembali berjalan keluar dari apartemen milik Terry.  Saat berada di ambang pintu, ia berbalik dan berkata lagi.

"Kau jangan sakit hati dengan ucapan Meghan. Dia melakukan ini karena katanya kau impoten. Jadi aku rasa Meghan melakukan hal yang tepat untuk meninggalkanmu," setelah mengatakan itu, Dylan pun pergi dari apartemen Terry..

"Apa? Impoten?! Hey, Dylan, siapa yang bilang aku impoten?! Kembali kemari!" Terry terus berteriak pada Dylan yang berjalan di depannya tanpa menoleh ke belakang.

"Sial, dia tak mendengarku! Kenapa dia mengatakan aku impoten? Apa Meghan mengarang cerita tentangku?" Decaknya kesal. Ia mengusap rambutnya dengan kasar hingga terlihat tak beraturan. Helaan napas kembali keluar dari mulutnya.

Setelah punggung Dylan tak terlihat, Terry memilih beristirahat. Di samping itu, ia juga harus mencari cara untuk membujuk Meghan agar kembali ke pelukannya. Terry memilih untuk menggunakan kamar tamu dan tidur di sana sampai menunggu jam malam tiba.

***

Pukul 7 malam, Terry sudah bersiap dengan baju kerja yang melekat di tubuhnya. Wajahnya masih terlihat kacau dan kusut. Ternyata, tidur tak membantu untuk meredakan rasa marahnya.

Namun, ia berusaha untuk menekan emosi itu. Terry tak ingin masalah pribadi bercampur dengan pekerjaan. Jadi, sebisa mungkin Terry memasang senyuman palsu, bersikap baik baik saja.

Saat dirinya menyimpan jaket di loker, Jake menghampirinya dengan langkah terburu buru. 

"Terry, bisa kita bicara sebentar?"

Terry menaikkan alisnya. Rasanya aneh saat melihat Jake menghampirinya terlebih dahulu seperti sekarang. Terlebih dengan raut wajah yang terlihat bingung dan juga kesal disaat yang bersamaan.

"Tentu, apa yang ingin kau bicarakan?" Tanya Terry berusaha bicara dengan nada ramah.

"Maaf, aku harus mengatakan hal ini. Tapi kau tak bisa bekerja di sini lagi,"

Mata Terry membulat mendengarnya. "Apa? Tapi kenapa?" Tanyanya tanpa jeda.

"Bos memintamu untuk berhenti bekerja. Untuk uang pesangon, aku akan mengirimkannya nanti," Jawab Jake tak enak. Ia menggenggam pergelangan tangannya sendiri dengan erat dan kepala tertunduk.

Terry tentu saja merasa kecewa. Bayangan akan menjadi pegawai tetap hilang begitu saja. Setelah masalah dengan Meghan, rupanya takdir masih ingin mempermainkannya dengan merenggut pekerjaannya.

"Tapi kenapa? Bukankah kau bilang aku akan menjadi pegawai tetap? Apa ada hal lain di balik pemecatan ku?"

"Baiklah. Karena kau sudah aku anggap saudara, aku akan memberitahumu," Jake celingukan ke seluruh penjuru ruangan, memastikan tak ada yang menguping pembicaraannya. 

"Ini karena perintah tuan Matthias,"

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status