bab 007 : Keluarga Trainor (1) Ben keluar dari kamar mandi setelah urusannya dengan Steve selesai. Ia melirik jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam sudah menunjukan pukul 8.15. pm. Itu artinya Steve meneleponnya selama satu jam!Ben segera berlari ke arah mejanya, takut Terry meninggalkannya. Terlebih, ia belum bisa dekat dan menyakinkan pria itu dan membawanya pulang ke keluarga Walter.Jika hal ini terjadi, maka misi yang sedang ia jalankan akan gagal. Dan ia terpaksa mendapatkan konsekuensi yang mengerikan dari tuan Walter. Terlebih, keluarga itu memiliki kelemahannya.Begitu sampai di mejanya, Ben bernapas lega saat melihat Terry yang masih duduk disana. Dengan dua gelas jus dan satu cangkir kopi yang terlihat kosong."Ah, syukurlah kau masih ada disini,"Terry mendelik ke arah Ben. Tangannya terlipat di atas dada dengan rahang mengetat. "Kenapa lama sekali?""Ada beberapa hal yang harus aku urus dengan rekan kerjaku." Ben berkata dengan nada ramah. Ia du
bab 008 : Keluarga Trainor (2)"Oh, Madam Yessa," Terry menyapa dengan sopan ibu Meghan yang baru saja keluar dari kamar pribadinya. Wanita paruh baya itu mengenakan pakaian mewah dengan warna merah menyala."Selamat malam. Maafkan saya jika kedatangan saya mengganggu anda,"Yessa mengalihkan tatapannya ke arah Terry. Bibirnya tertarik keatas, membentuk senyuman sinis. Tatapan tajam dan merendahkan itu ia layangkan pada Terry yang saat ini mencoba mempertahankan senyumannya."Kalau kau tahu kedatanganmu menggangguku, kenapa malah tetap kemari?" Yessa bertanya dengan nada sarkas.Tangannya yang penuh dengan gelang emas terlipat di depan dada. Seolah ingin menunjukan aset apa saja yang ia punya. Seingat Terry, Yessa tak memiliki perhiasan. Lalu darimana semua perhiasan itu?Terry terdiam sesaat, mencoba mencari alasan yang sekiranya bisa membuat ibu mertuanya menerima kedatangannya. "Saya kemari ingin mengunjungi anda.""Hanya mengunjungiku?" Tanya Yessa lagi. "Kau yakin niatmu hanya
bab 009 : Anggota Keluarga Setelah mengantar Terry pulang ke apartemennya, Ben melajukan mobilnya ke arah markasnya. Ia mengemudikan mobil miliknya dengan kecepatan sedang. Tak sampai 10 menit, Ben sampai di sebuah hutan yang letaknya jauh dengan pemukiman penduduk. Ia menyimpan mobil Porche kesayangannya di salah satu tempat yang sudah ia tandai, mengingat mobil tak akan masuk ke dalam jalan setapak yang akan ia lalui."Hah, kadang aku malas untuk datang ke markas karena aksesnya yang sangat buruk," gerutu Ben. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya dan menyalakan lampu senter sebagai sumber penerangan, lalu mulai berjalan menuju jalan setapak yang membentang sekitar 200 meter ke depan.Begitu sampai di sebuah bangunan tua, Ben masuk ke dalamnya tanpa permisi. Ia melepaskan sepatunya dan menaruhnya di rak samping pintu. Isi dari bangunan itu sangat berbeda dengan luarnya."Kau datang terlambat dari jam perjanjian kita," komentar seseorang yang saat ini tengah fokus pada komput
bab 010 : Teman lama?"Siapa kau?""Aku?"Pria berambut pirang dengan mata amber itu menunjuk dirinya sendiri. Matanya membulat selama beberapa saat, sebelum akhirnya menyunggingkan senyuman lebar yang penuh makna."Aku ini salah satu temanmu saat kita masih SD. Apa kau sudah lupa denganku?"Terry mengerutkan keningnya. Ia berpikir sejenak sembari mengingat pria yang berada di hadapannya ini. Jujur saja, Terry kesulitan mengingat wajah orang, apalagi jika sudah lama tak bertemu.Selain itu, matanya memindai penampilan pria itu. Rambut pirang, mata amber, anting panjang sebahu dengan tanda x di ujungnya, lalu setelan hitam yang nampak mahal dari ujung rambut sampai ujung kaki. Pria ini berasal dari kalangan atas."Maaf, aku tak mengingatmu. Kau mungkin salah orang,"Pria bermata amber itu mendengkus kesal, lalu berjalan ke arah Terry dan mengalungkan tangannya di bahu pria itu."Aku Kai. Teman sebangku mu sebelum aku pindah ke Jerman mengikuti ayahku." Pria itu memperkenalkan dirinya d
Bab 011 : Dalam PerjalananSepanjang perjalanan, suasana di mobil begitu hening. Baik Terry maupun Kai, keduanya larut dalam pemikiran masing masing.Terry menolehkan kepalanya ke arah jendela, melihat banyaknya gedung gedung tinggi di sepanjang jalan yang ia lewati.Terry terlihat bosan dengan keheningan ini. Terlebih, Kai tak mengatakan apapun tentang pekerjaan yang akan ia lakukan. Helaan napas kasar keluar dari bibirnya."Kai?" Terry memanggil setelah sekian lama terjebak dalam keheningan."Ada apa?" Kai menjawab. Ia tak menolehkan kepalanya ke arah Terry. Matanya masih fokus pada jalanan yang sedikit macet."Saat di kantor Van Derrick, aku akan bekerja sebagai apa?" Tanya nya dengan suara pelan. "Bagaimanapun, aku harus tahu dulu tentang pekerjaan yang akan aku jalani nanti," sambungnya.Kai terdiam. Mulutnya terkunci dengan rapat. Tangannya meremat setir cukup kuat, seolah menahan emosi yang kapan saja akan membludak. Hanya saja, ekspresi wajahnya tak berubah sedikit pun, terli
Bab 012 : Tempat asing"Kai, apa kau yakin ini adalah tempat yang aman?" Tanya Terry. Ia mengedarkan matanya melihat sekeliling. Halaman bangunan itu nampak berantakan, dengan sampah dan dedaunan yang bersebaran. Sulur yang tumbuh subur di dinding, menjuntai di tiap sisi tembok. Cat tembok yang kusam dan mengelupas, serta rumput liar yang tumbuh tinggi, sekitar selutut.Kai menghentikan kegiatannya mengetik di ponselnya. Ia mengangkat kepalanya, menatap Terry dengan tatapan heran. "Apa maksudmu?"Kai mengerutkan keningnya hingga kedua alisnya terlihat menyatu. Senyum bibirnya yang terlihat lebar pun pudar secara perlahan.Terry menggaruk tengkuknya yang tak terasa gatal. Ia mengalihkan matanya coklatnya ke arah lain, dengan bertatapan dengan Kai yang saat ini sedang menunggu jawaban darinya."Itu..." Kata kata yang ada di pangkal lidah Terry seolah tertelan begitu saja. Otaknya terasa kosong. Dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri. Astaga, apa yang baru ia katakan?"Terry?" Kai mem
Bab 013 : Informasi Saat ini, Ben berada di kantor pusat Walter Group. Ia dan Steve akan memberikan laporan pada Frank tentang perkembangannya membujuk Terry pulang. Ben berjalan sendirian karena Steve pergi ke kamar mandi dulu sekaligus membeli minuman. Langkahnya begitu lebar seolah tengah di kejar oleh waktu. "Ben,"Ben menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah sumber suara. Tangannya menyeka keringat yang mengalir dari pelipisnya. Napasnya tersengal dengan wajah memerah. "Ya, ada apa, Tuan Ethan?" Tanyanya dengan sopan dengan senyuman tipis, mengabaikan rasa lelahnya."Dimana Terry?" Ethan langsung bertanya pada hal inti. "Mengapa ia tak bersama kamu?"Senyuman Ben luntur, berganti menjadi raut wajah menyesal. "Aku gagal mendapatkannya,"Ethan terkejut mendengarnya. Namun ia tak banyak memberikan reaksi. Wajahnya terlihat datar, begitu pula dengan garis bibirnya. Tatapan tajamnya kian intens menatap lantai mendengar perkataan Ben."Tuan?" Ben memanggil dengan ragu. Detak j
Bab 014 : Daniel"Tuan?"Terry menoleh ke arah belakang, di ikuti oleh Miu yang tampaknya familiar dengan suara itu. Terry melihat seorang pria dewasa yang berjalan ke arahnya.Pria itu mengenakan pakaian formal, dengan kemeja putih yang dilapisi oleh setelan jas berwarna biru gelap, serta menggunakan dasi berwarna senada, dengan jam tangan dari merek ternama yang melingkar di tangan kirinya. Jangan lupakan kacamata yang bertengger di hidungnya. Terry bisa memperkirakan usia pria itu lebih dari 60 tahun.Pria itu berjalan mendekat, dan kini berdiri di hadapan Terry maupun Miu."Miu, siapa yang mengizinkanmu untuk menawarkan pekerjaan serendah itu pada tamuku?" Pria itu menyilangkan tangannya di depan dada, dengan tatapan tajam yang terarah pada gadis berambut platina itu.Miu meneguk ludahnya. Mata ambernya bergulir ke arah lain, enggan bertatapan dengannya. Tubuhnya bergetar hebat, begitu juga dengan suaranya. "Itu..."Suasana yang tadinya ramah dan hangat berubah menjadi canggung