Share

Bab 002 : Pengkhianatan?

Bab 002 : Pengkhianatan?

Terry memperhatikan dengan seksama kedua sepatu yang ada di rak. Sepatu pertama, Terry merasa familiar dan ia mengenalinya. Namun untuk sepatu kedua, ia merasa asing.

Pasalnya, sepatu yang satunya lagi terlihat begitu mewah meskipun dengan modelnya sederhana. Sepatu itu terbuat dari bahan yang sangat bagus. Terry bisa menduga jika pemilik sepatu ini adalah orang berada.

Melihat sepatu itu, pikiran negatif langsung menyerbu kepala Terry tanpa henti. Batinnya berbisik ada yang tak beres dengan hal ini.

Maka dari itu, Terry putuskan untuk masuk ke dalam rumah untuk mencari tahu siapa yang bertamu ke apartemennya. Karena seingatnya, Meghan tak memiliki satupun teman pria.

Terry berjalan mengendap ngendap layaknya pencuri. Ia tak ingin ketahuan. Saat melewati ruang tamu, seseorang menegurnya. Membuat tubuhnya membeku secara tiba tiba.

"Terry?"

Terry menoleh, menemukan sosok pria yang berusia 6 tahun lebih muda darinya. Dia adalah Dylan Trainor, adik Meghan.

"Oh, halo Dylan," Terry menyapa sembari memaksakan senyumnya pada adik iparnya itu. "Apa yang sedang kau lakukan disini?"

"Berkunjung," 

Terry menaikkan alisnya. Ia tahu jika ia dan keluarga Meghan memiliki hubungan yang sangat buruk. Apalagi, Dylan termasuk orang yang sangat membencinya karena ia bukanlah manusia berada. Jadi, kenapa pria itu ada disini?

"Tumben kau berkunjung kemari,""

"Aku merasa bosan berada di rumah. Memang aku tak boleh berkunjung kemari?" Tanya Dylan balik dengan nada sinis dan tajam, seperti yang biasa ia lakukan padanya.

"Oh, bukan seperti itu. Aku-"

"Lupakan. Aku tak ingin mendengar alasan murahanmu," sela Dylan cepat. Terry menghembuskan napas kasar, berusaha memaklumi tindakan adik iparnya yang kurang ajar.

"Omong omong, apa yang ada dalam paper bag di tanganmu? Selain itu, mengapa kau pulang jauh lebih cepat dari biasanya?" Tanya Dylan

Matanya terlihat gelisah. Ekspresinya juga sedikit berubah, meskipun Dylan mencoba menutupinya. Beberapa kali kepalanya melongok ke arah pintu bercat putih yang berada di ujung ruangan dengan cemas.

"Oh, itu karena toko tempatku bekerja sudah di sewa untuk mengadakan semacam pesta. Makanya aku pulang dulu untuk beristirahat sebentar." Kata Terry. Mencoba untuk tak terusik dengan tindakan Dylan yang nampak aneh.

"Apa kau akan pergi lagi setelah ini?"

Terry mengerutkan keningnya. Alisnya terlihat naik dengan tatapan heran. "Tentu saja. Aku diminta oleh manager untuk hadir menjadi pegawai saat pesta itu berlangsung. Kenapa kau bertanya?"

"Hanya penasaran,"

Hening kini melanda keduanya. Baik Terry maupun Dylan, keduanya terjebak dalam pikiran masing masing.  Terry sibuk memikirkan kemana perginya Meghan karena tak menyambutnya. Sedangkan Dylan dengan pikirannya sendiri.

Tak ingin terlalu lama terdiam bersama orang yang tak ia suka, Terry pun kembali membuka mulutnya. "Omong omong, sepatu siapa di depan? Dimana Meghan?"

Dylan tampak menggigit bibirnya, terlihat ragu. Ia mengetik sesuatu di ponselnya tanpa menjawab pertanyaan Terry.

Hal ini tentu membuat Terry kesal. Ia merasa di abaikan. "Hey, aku bertanya padamu!"

Dylan kembali memfokuskan matanya ke arah kakak iparnya dengan helaan napas kasar. "Ya, aku mendengarnya. Kau tak perlu berteriak seperti orang utan di sini,"

"Itu karena kau mengacuhkan aku," Terry berkata kesal dengan nada naik beberapa oktaf. Tangannya terlipat di depan dada.

"Sekarang katakan, siapa pemilik sepatu itu? Dimana Meghan?"

"Sepatu itu milikku. Aku tak mungkin menggunakan sandal kemari,"

"Jangan bersikap bodoh, Dylan! Di rak ada dua pasang sepatu. Kau tak mungkin menggunakan keduanya sekaligus," gertak Terry dengan tatapan tajam, yang mana membuat Dylan merasa terintimidasi. Ini pertama kalinya Dylan merasa takut pada kakak iparnya itu.

"Siapa pemilik sepatu yang satu lagi? Cepat katakan padaku sebelum aku kehabisan kesabaran,"

Dylan menghela napas, lalu berbalik dan memunggungi Terry. "Kalau kau ingin tahu jawabannya, ayo, ikuti aku,"

Terry mengerutkan keningnya. Apalagi yang Dylan rencanakan? Dia mau dibawa kemana? Pikiran itu terus berputar putar di atas kepalanya tanpa henti.

Tak ingin berpikir terlalu rumit, Terry mengikuti Dylan dari belakang dengan perasaan berkecamuk. Hatinya resah tak karuan. Pikiran negatif yang sedari tadi hinggap di kepalanya menyerbu tanpa henti. Namun Terry mencoba untuk menepisnya.

Dylan berhenti di depan pintu bercat putih pudar yang berada di sudut apartemen ini. Ini adalah kamarnya dan sang istri. Kenapa Dylan mengajaknya kemari?

Dari luar, Terry bisa mendengar suara desahan saling bersahutan, mengejar kenikmatan dunia. Suara wanita yang ada di dalam sana tampak familiar di telinganya. Jangan bilang jika....

"Jawabanmu ada di dalam sana," tunjuk Dylan.

Terry meneguk ludahnya, menyiapkan hati untuk kemungkinan terburuk. Tangannya yang bergetar meraih gagang pintu, membukanya dengan perlahan. 

Begitu dibuka, matanya membulat. Paper bag yang berisi hadiah untuk sang istri terjatuh begitu saja di lantai.

Tubuh Terry membeku. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Wajahnya terlihat pucat dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Bibirnya bergetar hebat.

Di depan matanya, istrinya sedang bercinta dengan pria lain. Tubuh istrinya terlihat dipeluk dengan erat di balik selimut yang mereka menutupi tubuh keduanya. Baju milik sang istri dan pria asing itu berceceran di lantai.

"Meghan?"

Pasangan yang kini sedang bercinta itu menolehkan kepalanya ke belakang. Mata keduanya membola, terkejut dengan kehadiran Terry yang datang tanpa diundang. Aktivitas  panas itu terhenti begitu saja. Keduanya memisahkan diri dan sedikit berjauhan satu sama lain.

"Ada apa?" Tanya Meghan datar, seolah tak terjadi apapun. Wanita itu memungut pakaiannya yang tercecer di lantai dan memasangnya di tubuh polosnya.

"Siapa dia?"

"Dia kekasihku. Namanya Matthias," sahut Meghan santai.

Terry menahan napas. Rasa sakit itu berubah menjadi kemarahan. Dadanya naik turun dengan cepat. Matanya menyalang tajam, mengintimidasi seolah siap menerkam mangsa.

"Kenapa kau membawa pria asing itu ke kamar kita?"

"Karena-"

"Karena kau tak bisa memuaskannya," Matthias menjawab pertanyaan Terry, menyela pembicaraan diantara pasangan suami istri itu. Ia pun memungut bajunya di lantai, memasangnya di tubuh atletisnya.

"Apa?"

"Kau tak mendengar ucapanku?" Matthias kembali bertanya dengan nada mengejek. "Kau tak bisa memuaskannya, baik secara finansial maupun di ranjang."

Ego Terry tersentil. Jiwanya memberontak mendengar ejekan yang merendahkan harga dirinya. Emosi dalam dirinya memberontak, berada di atas kepala.

Terry maju dengan langkah penuh kemarahan. Begitu berada di hadapan Matthias, ia menyeret Matthias dari ranjang dan meninju rahangnya. Matthias pun terjatuh karena tak bisa menyeimbangkan diri.

"Brengsek!" Maki Terry kesal.

"Terry, apa yang kau lakukan? Kenapa kau memukulnya?!" Teriak Meghan histeris.

"Dia pantas mendapatkannya!" 

Terry berkata dengan nada dingin. Lalu menatap tajam Meghan yang saat ini malah membantu Matthias daripada membela dirinya.

"Kenapa kau malah membantunya?!"

"Karena dia adalah kekasihku yang bisa memberiku segalanya. Tidak sepertimu yang memberiku kesengsaraan!" Meghan berkata dengan nada tinggi. Ia membantu Matthias berdiri dan menatap Terry dengan tatapan menusuk. 

"Kau kejam sekali meninju orang yang tak bersalah."

"Apa? Kau bilang aku kejam?!" Terry membentak Meghan dengan mata melotot. Tangannya berada di pinggang. 

"Kau pikir aku harus diam saja saat istriku bercinta dengan pria lain? Apa kau pikir itu pantas dilakukan oleh seorang istri saat suaminya sedang bekerja?"

"Tentu saja,"

"Kenapa kau berkata seperti itu?"

"Aku muak hidup miskin denganmu. Bagiku, kau tak lebih dari kesialan salam hidupku. Aku menyesal menikah denganmu!"

Terry membulatkan matanya. Hatinya terasa hancur mendengar keluhan istrinya. "Meghan, apa yang kau ucapkan? Tarik kembali ucapanmu!"

"Aku tidak mau!"

"Apa?!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status