Amelia tersenyum karena Hubert akan mengakui kejatahatan yang disuruh oleh Rose.
“Aku akan memancing mereka mengakui kejahatannya agar datang pada Nona,” ucap Hubert. Ia masih ragu-ragu mengakui kejahatannya. Ia takut ini hanya akal-akalan Amelia untuk menjebak dirinya.
Sementara itu, yang tadinya Amelia tersenyum, kini sangat kecewa. Padahal ia akan membantu Hubert terlepas dari jeratan Rose.
Tidak ada cara lain selain cara kedua, batin Amelia berkata sambil mengulas senyum kecut pada Hubert.
“Mengapa kau tak mau mengakuinya, Tuan Hubert?” tanya Amelia tiba-tiba dengan suara sedikit tegas. Ia sudah kehilangan kesabaran dan harus memaksa Hubert mengatakan semuanya.
Jelas saja pertanyaan ini membuat Hubert terkejut. Hatinya bertanya-tanya, apakah Nona Amelia sudah tahu?
“Saya? Apa maksudmu, Nona?” tanya Hubert bersikap tenang. Mungkin saja Amelia hanya bicara asal.
“Sudahlah, Tuan Hubert.
Hubert berjalan di belakang Amelia dan Pulisic, menuju ruangan CEO perushaan. Langkahnya terasa berat, mencemaskan hukuman yang akan diberikan oleh Tuan Leo padanya. Saat pintu dibuka, jantung Hubert berdetak lebih cepat. Tubuhnya bergetar dengan wajah penuh keringat dingin. “Levon?” gumam Hubert saat melihat Levon sudah berdiri di dalam ruangan. Namun, ia menghiraukan keberadaan supervisor cleaning service itu, dan memilih mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan mencari keberadaan Tuan Leo. “Mungkin Tuan Leo ada di kamar mandi atau di kamar tidur,” batin Hubert menebak karrena tidak melihat keberadaan Tuan Leo. Sementara itu, Amelia langsung mendaratkan tubuhnya di permukaan sofa. Ia tersenyum geli saat melihat Levon berdiri dan masih memperlihatkan wajah konyolnya sebagai supervisor cleaning service. “Apa yang Leo rencanakan?” Amelia menahan tawa melihat kekonyolan Levon. Lalu tawanya pecah saat sepupunya seperti orang bodoh dan
Deg!Aliran darah di tubuh Hubert seakan membeku setelah Tuan Leo menyela dan mengatakan hukuman yang akan diterimanya. Ia memberanikan diri mendongak dan menatap Sang Tuan, dan benar saja tatapan Tuannya sangat serius dan menakutkan.Hubert kembali bersujud, tetapi sebelum wajahnya menyentuh kaki Tuan Leo, kerah baju bagian belakangnya di tarik Sang Tuan. “Bangunlah, Hubert. Aku bukan Tuhan yang harus kau sembah. Dan bukankah kau adalah hamba yang taat?” sindir Levon pada Hubert yang mulai berdiri. Amelia dan Pulisic pun tersenyum kecut mendengar Hubert adalah hamba yang taat.“Apakah Tuhan menerima ibadah seorang hamba yang melakukan kejahatan di dunia?” Amelia ikut menyindir dengan penuh emosi, membuat Hubert tak kuasa mengeluarkan air mata karena ucapan Tuan Leo dan Amelia adalah benar. Ia sering mengingat Tuhan, tetapi perilakunya sangat dibenci oleh Tuhan.“Sepertinya kau telah mempermainkan Tuhan, Hubert!” Pulisi
Rose dan Frankie sudah tiba di rumah seseorang, Washington. Lelaki berumur 30 tahunan lebih, menyambut mereka dengan sangat ramah dan membawanya ke ruangan khusus.“Bagaimana kabarmu, Brandon?” tanya Rose memulai pembicaraan setelah dipersilahkan duduk di sofa panjang bersama Frankie, sedangkan Brandon duduk di sofa kecil yang menghadap ke arah mereka.Brandon tak menjawab pertanyaan Rose. Ia justru tersenyum miring sambil mengambil pistol di bawah sofa.Dooorrr ... Pyaarrr .... Peluru itu lewat di samping kepala Rose dan menyentuh mengenai vas bunga di belakang sana. Rose menegang karena peluru itu hampir mengenai kepalanya, tetapi di detik berikutnya ia dan Papanya tertawa.“Aku tahu pelurumu tidak pernah meleset,” puji Frankie sambil melihat vas bunga yang sudah hancur.“Itu caraku menjawab pertanyaan kalian. Jika bidikanku tepat sasaran, itu artinya aku dalam keadaan sehat. Tapi jika bidikanku mel
Frankie dan Rose tertawa renyah, wajahnya begitu semringah melihat Hubert yang penuh percaya diri bisa melenyapkan Amelia. “Lalu satunya lagi, siapa?” tanya Brandon di tengah-tengah tawa. Rose menghentikan tawanya. Wajahnya mendadak dipenuhi aura dendam yang amat besar, mengingat pria bertopeng yang sudah menghancurkan hidupnya dalam sekejap. “Pria bertopeng! Kau harus membunuhnya terlebih dahulu!” jawab Rose mempertebal ucapannya. “Pria bertopeng? Siapa?” tanya Brandon memicingkan matanya. Ia menebak pria bertopeng itu sudah mengusik kehidupan Rose dan Frankie. “Dia sangat berbahaya. Dia sudah membunuh ketiga orang kepercayaan kami. Dan yang terbaru dia sudah menyiksa Rose,” jawab Frankie dengan rahang mengeras dan tangan mengepal. “Aku tidak tahu wajahnya. Tapi kau tak perlu khawatir, itu tugasku. Tugasmu hanya melenyapkannya” sambung Rose sambil mengepalkan tangannya dengan tatapan penuh dendam. “Meskipun dia berbahaya, dia
Rose dan Frankie pergi menuju mansion di Washington untuk menyusun rencana menjebak pria bertopeng. Dan sebelum itu, mereka sudah menghubungi orang kepercayaannya untuk mengurus dokumen perpindahan pemilik peerusahaan industri kimia, baik yang asli maupun palsu. Namun orang kepercayaan mereka tidak bisa mengurus dokumen itu sebelum mengetahui nama pemilik barunya. “Bahkan kita belum tahu namanya.” Frankie gelisah. Ia takut pria bertopeng menghancurkan hidupnya karena dokumen perpindahan pemilik perusahaan lewat batas waktu yang ditentukan. Rose juga gelisah, tetapi bukan karena memikirkan nama pria bertopeng. Ia gelisah karena hingga saat ini pria bertopeng tidak menghubunginya. Ia takut musuhnya itu punya rencana kejutan yang merugikan dan membahayakan dirinya dan Papanya, karena bagaimanapun juga lawan yang satu ini sangat licik dan berbahaya. “Yang aku takutkan bukan itu. Kita tidak tahu keberadaannya dan apa yang sedang dia rencanakan hari ini,” ucap Rose
Amelia dan Pulisic seketika menghentikan tawanya dan menoleh ke arah Levon. Dilihat dari tatapannya, Sang Tuan sedang merencanakan sesuatu untuk memberikan pelajaran pada Rose dan Frankie. “Em apa yang pria bertopeng rencanakan untuk menghancurkan Para bedebah itu?” tanya Amelia menerbitkan senyuman kemenangan. “Sesuatu yang bisa membuat rambut terlepas dari kepalanya tanpa disentuh orang lain.” Levon mengulas senyum licik, Amelia dan Pulisic pun kembali tertawa. Levon menoleh ke arah Hubert yang berdiri di pinggir sofa. Dan pengawas pabrik itu pun langsung menunduk, “Ini juga berkat dirimu, Hubert. Aktingmu sangat bagus. Terima kasih kau sudah membantuku,” ucap Levon, Pulisic dan Amelia pun menoleh ke arah Hubert. Mereka sedikit melupakan kekecewaan pada Hubert karena sudah membongkar siapa saja anak buah Rose yang berkeliaran di perusahaan. “Saya yang seharusnya yang mengucapkan terima kasih pada Tuan. Dengan kejatahan yang pernah saya lakukan, Tuan
Pria bertopeng memutus sambungan sepihak, membuat emosi Rose dan Frankie meledak seketika. Mereka memukul dan menendang barang yang ada di sekitarnya. Bahkan Rose tidak sadar sudah melempar ponselnya ke lantai hingga layarnya retak.“Argh! Lama-lama aku bisa gila!” teriak Frankie sambil mengacak rambutnya. Lalu ia menendang kaki sofa. “Ahhh!” Frankie menjerit, kakinya kesakitan karena terlalu keras menendang kaki sofa.“Amelia! Pri bertopeng!” raung Rose sambil menghempaskan tubuhnya di sofa dan langsung memukul-mukul permukaan sofa dengan penuh emosi.Mereka terus meluapkan emosinya dengan caranya masing-masing, hingga akhirnya Rose lebih dulu bisa menenangkan dirinya.Rose tidak mau berlarut dalam emosi, sekarang seharusnya iabergerak cepat memikirkan ancaman dari pria bertopeng. Ia tidak mau musuhnya itu menyebarkan video rekaman kejahatannya kepada publik.“Papa, kita tidak bisa seperti ini. Kita
“Levon? Mengapa pria sampah sepertimu ada disini?” Fletcher terkejut melihat Levon berada di mansion milik Tuan Leo. Fletcher melupakan rasa takutnya saat melihat wajah orang yang sangat dibencinya.“Tuan Fletcher? Benarkah kau adalah Tuan Fletcher? Bukankah Tuan sekarang seharusnya ada di penjara?” tanya Levon berpura-pura terkejut, menampilkan wajah konyol yang biasa Fletcher lihat.Fletcher tersadar, wajahnya masih di make over agar orang tidak mengenal dirinya. Namun, ia tak peduli lagi. Ia sudah terlanjur emosi melihat orang yang telah membuat hidupnya menderita.“Hakim berubah pikiran. Seharusnya aku tidak menerima hukuman itu, jadi aku dibebaskan.” Fletcher berdusta. Ia mengeraskan rahang dan menggertakkan gigi menatap Levon dengan tatapan penuh kebencian. Ia mengingat segalanya. “Dan sekarang aku akan menghajarmu. Kau sudah membuat hidupku berantakan!”“Apakah Tuan berbohong?,” tany
Air mata Angelina mengalir deras, menumpahkan semua kesedihannya. Kalimatnya barusan diucapkan secara sadar. Ia siap mati, Jika dengan nyawanya bisa membuat Amelia kembali ke jalan yang Sementara itu, Amelia sangat terkejut. Tanpa dugaannya sama sekali, Angelina mengetahui identaitasnya. “Nona Amelia? Aku Ketty ... Namaku Ketty, bukan Nona Amelia,” ucap Amelia masih belum mengaku. “Sudahlah, Nona. Buka topengmu. Jika kau ingin membunuhku, silahkan saja. Aku tidak akan melawannnya,” kata Angelina pasrah. Amelia mulai cemas. Ia mulai curiga bahwa Angelina datang bersama dengan Levon dan orang-orang kepercayaannya. “Aku bukan Nona Amelia!” teriak Amelia. “Aku Ketty ... Aku memanggilmu kesini untuk menyelesaikan masalahku. Tapi kau justru berpihak pada wanita itu.” Amelia masih mempertahankan penyamarannya. Lalu ia berjalan cepat ke arah sudut pintu. Ia melihat layar pengintai aktifitas di luar, depan dan sekitar kamarnya. Tidak ada siapa-siapa, batinnya. Lalu ia kembali memutar ba
“Sayang sekali, padahal kue ini sangat enak,” ucap Amelia sambil meletakkan kue itu ke wadahnya“Em kalau begitu, makanlah,” kata Angelina setengah mengetes.“Ah aku sudah kenyang ... aku sudah banyak menghabiskan kue ini,” kilah Amelia tersenyum paksa, menutupi rasa kesalnya.“Ow ya, Ketty. Rumahmu dimana?” tanya Angelina.“Hemmm dekat dengan mansion Tuan Leo,” jawab Amelia.“Apa Tuan Leo mengenalmu?” tanya Angelina memancing.“Emmm tidak ... Tuan Leo tidak mengenalku,” kilah Amelia. “ow ya lanjutkan pembahasan yang tadi ... Jadi bagaimana menurutmu? Apa aku harus mengalah?”“Terkadang kita harus mengalah demi kebahagiaan orang yang kita cintai,” jawab Angelina bijak. “Tapi aku tidak sudi wanita iblis itu merebut orang yang aku cintai ... Hanya aku yang pantas mendampinginya, bukan wanita iblis itu,” respon Amelia sedikit emosi. Tatapan tajamnya mulai diperlihatkan pada Angelina. “tunggu ... Apa itu artinya kau mendukung wanita itu merebut pujaan hatiku?” tanyanya.Angelina menghela
“Ya, Tuan.” Angelina mengangguk dengan tatapan serius “aku siap kehilangan nyawa asal Nona Amelia kembali menjadi orang baik. Karena aku memang salah.”Mendengar itu, Levon terharu. Ia menatap Angelina dengan tatapan bangga. Jack dan teman-temannya pun merasakan hal yang sama.“Aku tidak salah memilih calon istri ...” ucap Levon dengan tatapan lembut. Lalu ia mengambil ponsel Angelina. “Aku tidak akan membiarkan calon istriku celaka.”Angelina meneteskan air mata, lalu ia spontan memeluk Levon.“Tuan, aku stress. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin sekali menjadi istri Tuan, tapi disisi lain ... aku kasihan pada Nona Amelia. Aku tidak mau merebut Tuan darinya,” kata Angelina menangis dalam pelukan Levon. Lalu ia melepas pelukannya dan mendongak menatap penuh arti pada calon suaminya itu. “Menikahlah saja dengan Nona Amelia, Tuan.”“Aku menyayangi Amelia. Dia adikku, dan selamanya statusnya tidak berubah ... Sementara kau, Angel. Kau adalah calon istriku,” respon Levon tersenyu
Dengan pakaian khas pria bertopeng, Amelia menunggu di salah satu kamar apartemen British, kira-kira jarak tempuhnya sekitar satu jam dari apartemen Hoston. Amelia sudah menyelipkan sebuah pisau di sela-sela lubang sofa. Ia juga mencampurkan racun di makanan ringan berupa kue keju yang ada di atas meja. “Leo sudah berbohong padaku, Angelina tidak pulang ke Washington.” Angelina sangat marah, ia sudah tidak sabar ingin bertemu gadis itu dan segera membunuhnya. “Aku pastikan hari adalah hari terakhirnya bisa bernapas!” Sementara itu, Jack bergerak cepat setelah menerima pesan dari Levon. Ia melacak nomor ponsel yang diberikan Sang Tuan. “kamar nomor 987,” ucap temannya pada Jack setelah berhasil melacak keberadaan pemilik nomor itu. Jack dan teman-temannya menyusuri setiap lorong, menaiki lift untuk sampai ke kamar teratas yang ada di apartemen British. Salah satu di antara mereka menyamar sebagai cleaning service, namanya Sancho. TOK! TOK! Sancho mengetok pintu kamar Amelia, se
Levon tampak duduk di kursi ruangan makan yang ada di apartemen Hoston. Ia sudah janjian dengan Angelina untuk makan bersama.“Hem dia sangat cantik,” gerutu Levon ketika melihat Angelina datang. Ia memandangi penampilan gadis itu dari atas sampai bawah. Kecantikannya sangat natural.“Tuan sudah menunggu lama?” tanya Angelina sambil menarik kursi makan yang menghadap Levon.“Hemm dua menit yang lalu,” jawab Levon. lalu ia memanggil waitress“Mau makan apa, Angel?” tanya Levon, Angelina pun mengamati daftar menu makanan dan minuman yang ada di hadapannya.“Tuna sandwich, terus minumannya emmm ...lemon tea.”“Dua tuna sandwich, dua lemon tea,” ulang Levon pada waitress yang berdiri di samping meja makan mereka.“Baik, mohon ditunggu.”Angelina terkekeh pelan, “Kenapa Tuan memesan menu yang sama?”“Karena sebent
Amelia turun dari atas dan bepura-pura tidak mengetahui apa-apa. Dengan mengenakan pakaian olaharaga, ia menghampiri mereka.“Hai,” sapa Amelia ramah. “Selamat pagi semuanya.”“Pagi,” jawab mereka bersamaan.“Mau kemana, nak?” tanya Emma perhatian. Sebenarnya ia merasa kasihan dan tidak tidak tega mendengar keputusan Levon mengirim sepupunya itu kembali ke Turki.“Mau olahraga, Anne,” jawab Amelia. “Ya udah dulu, lanjutkan obrolan kalian.”Amelia berjalan ke luar mansion. Ia ingin melarikan diri tanpa naik mobil karena orang-orang kepercayaan Levon ada dimana-mana.Pandangannya mengawasi sekitar jalan. Dirasa aman, ia meyetop taksi yang kebetulan lewat.“Nona Amelia?” tanya supir taksi itu setelah tahu siapa penumpangnya.“Hem antarkan aku ke toko pakaian terdekat,” titah Amelia. “cepat, aku terburu-buru.”“B
“Arg! Sial!” teriak Amelia menghempaskan tubuhnya ke kasur sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. Lalu ia berdiri lagi dan mulai merusak barang-barang miliknya di kamar itu.“Leo!” teriaknya lagi penuh emosi. Kali ini ia mengacak-acak sprei kasur. “Apa kau menginginkan aku mati? Kenapa kau tak mencegahku, Leo? Kenapa kau malah mengantar wanita iblis itu pulang?”Angelina sangat marah karena setelah mengirim video itu, Levon justru tidak panik dan berusaha datang menemuinya.“Leo!” teriakannya lebih kencang hingga suaranya serak. “gara-gara wanita iblis itu, kau jauh dariku!”Sementara itu Levon sudah sampai di mansion. Kedatangannya ditemui Emma.“Leo kenapa pulang? Dimana Angel? Bukannya kau mengantarkan Angel ke Washington?” tanya Emma cemas.“Tidak, Anne. Leo mengantarnya ke apartemen Hoston. Sementara waktu dia lebih baik tinggal di sana sampai keadaan di mans
Amelia mengirimkan sebuah video yang memperlihatkan dirinya sedang melakukan aksi percobaan bunuh diri dengan cara memakan serbuk sabun cuci.“Ada apa, Leo?” tanya Emma sekilas melihat perubahan ekspresi wajah Levon.“Hem tidak ada apa-apa, Anne,” kilah Levon. Beruntung ia barusan menekan mute suara di ponselnya.“Hem Anne kira ada sesuatu.”Levon menggelengkan kepala. Lalu pandangannya bergeser ke arah Angelina. “Ow ya, Angel. Aku akan mengantarmu pulang.”“Tidak perlu, Tuan. Aku minta bantuan pada Fred saja,” respon Angelina menolak. Ia berusaha menghindar dari Levon.“Biarlah Levon yang mengantarmu pulang, Angel,” kata Emma.“Tidak perlu ....” Angelina berhenti berbicara ketika Emma menatapnya dengan isyarat dirinya tidak boleh menolak dihantar Levon. “Baik, Anne.”Malam ini aja aku menuruti permintaan Anne. Setelah ini aku akan m
“Nona, jangan lakukan itu.” Yang tadinya Angelina diam seribu bahasa, akhirnya bersuara. Tatapannya penuh rasa bersalah. “Aku tidak akan menerima perjodohan ini. Maafkan aku ... aku gadis yang tidak tahu diri. Seharusnya dari dulu aku tidak hadir dalam keluarga Tuan Leo.” “Jika kau menyadari semua kesalahanmu, pergilah sekarang juga!” bentak Amelia pada Angelina dengan sorot mata tajam. “Jika kau tidak ingin melihatku mati, pergilah sejauh mungkin dan jangan perlihatkan wajahmu lagi! Kalau perlu pindah Negara!” Angelina meneteskan air mata, “Baik, Nona. Aku akan pergi dari kehidupan Tuan Leo. Aku akan menjauh dari Tuan Leo ... Maafkan semua kesalahanku. Sejujurnya aku tidak pernah punya niat merebut Tuan Leo dari Nona.” Angelina pun berlari ke kamarnya dengan tangisan, sedangkan sedari tadi tatapan tajam Levon tetap menyorot pada Amelia. “Menikahlah denganku, Leo. Aku janji akan menjadi istri yang baik untukmu,” ucap Amelia dengan buliran tangisan, me