Hubert berjalan di belakang Amelia dan Pulisic, menuju ruangan CEO perushaan. Langkahnya terasa berat, mencemaskan hukuman yang akan diberikan oleh Tuan Leo padanya.
Saat pintu dibuka, jantung Hubert berdetak lebih cepat. Tubuhnya bergetar dengan wajah penuh keringat dingin.
“Levon?” gumam Hubert saat melihat Levon sudah berdiri di dalam ruangan. Namun, ia menghiraukan keberadaan supervisor cleaning service itu, dan memilih mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan mencari keberadaan Tuan Leo.
“Mungkin Tuan Leo ada di kamar mandi atau di kamar tidur,” batin Hubert menebak karrena tidak melihat keberadaan Tuan Leo.
Sementara itu, Amelia langsung mendaratkan tubuhnya di permukaan sofa. Ia tersenyum geli saat melihat Levon berdiri dan masih memperlihatkan wajah konyolnya sebagai supervisor cleaning service.
“Apa yang Leo rencanakan?” Amelia menahan tawa melihat kekonyolan Levon. Lalu tawanya pecah saat sepupunya seperti orang bodoh dan
Deg!Aliran darah di tubuh Hubert seakan membeku setelah Tuan Leo menyela dan mengatakan hukuman yang akan diterimanya. Ia memberanikan diri mendongak dan menatap Sang Tuan, dan benar saja tatapan Tuannya sangat serius dan menakutkan.Hubert kembali bersujud, tetapi sebelum wajahnya menyentuh kaki Tuan Leo, kerah baju bagian belakangnya di tarik Sang Tuan. “Bangunlah, Hubert. Aku bukan Tuhan yang harus kau sembah. Dan bukankah kau adalah hamba yang taat?” sindir Levon pada Hubert yang mulai berdiri. Amelia dan Pulisic pun tersenyum kecut mendengar Hubert adalah hamba yang taat.“Apakah Tuhan menerima ibadah seorang hamba yang melakukan kejahatan di dunia?” Amelia ikut menyindir dengan penuh emosi, membuat Hubert tak kuasa mengeluarkan air mata karena ucapan Tuan Leo dan Amelia adalah benar. Ia sering mengingat Tuhan, tetapi perilakunya sangat dibenci oleh Tuhan.“Sepertinya kau telah mempermainkan Tuhan, Hubert!” Pulisi
Rose dan Frankie sudah tiba di rumah seseorang, Washington. Lelaki berumur 30 tahunan lebih, menyambut mereka dengan sangat ramah dan membawanya ke ruangan khusus.“Bagaimana kabarmu, Brandon?” tanya Rose memulai pembicaraan setelah dipersilahkan duduk di sofa panjang bersama Frankie, sedangkan Brandon duduk di sofa kecil yang menghadap ke arah mereka.Brandon tak menjawab pertanyaan Rose. Ia justru tersenyum miring sambil mengambil pistol di bawah sofa.Dooorrr ... Pyaarrr .... Peluru itu lewat di samping kepala Rose dan menyentuh mengenai vas bunga di belakang sana. Rose menegang karena peluru itu hampir mengenai kepalanya, tetapi di detik berikutnya ia dan Papanya tertawa.“Aku tahu pelurumu tidak pernah meleset,” puji Frankie sambil melihat vas bunga yang sudah hancur.“Itu caraku menjawab pertanyaan kalian. Jika bidikanku tepat sasaran, itu artinya aku dalam keadaan sehat. Tapi jika bidikanku mel
Frankie dan Rose tertawa renyah, wajahnya begitu semringah melihat Hubert yang penuh percaya diri bisa melenyapkan Amelia. “Lalu satunya lagi, siapa?” tanya Brandon di tengah-tengah tawa. Rose menghentikan tawanya. Wajahnya mendadak dipenuhi aura dendam yang amat besar, mengingat pria bertopeng yang sudah menghancurkan hidupnya dalam sekejap. “Pria bertopeng! Kau harus membunuhnya terlebih dahulu!” jawab Rose mempertebal ucapannya. “Pria bertopeng? Siapa?” tanya Brandon memicingkan matanya. Ia menebak pria bertopeng itu sudah mengusik kehidupan Rose dan Frankie. “Dia sangat berbahaya. Dia sudah membunuh ketiga orang kepercayaan kami. Dan yang terbaru dia sudah menyiksa Rose,” jawab Frankie dengan rahang mengeras dan tangan mengepal. “Aku tidak tahu wajahnya. Tapi kau tak perlu khawatir, itu tugasku. Tugasmu hanya melenyapkannya” sambung Rose sambil mengepalkan tangannya dengan tatapan penuh dendam. “Meskipun dia berbahaya, dia
Rose dan Frankie pergi menuju mansion di Washington untuk menyusun rencana menjebak pria bertopeng. Dan sebelum itu, mereka sudah menghubungi orang kepercayaannya untuk mengurus dokumen perpindahan pemilik peerusahaan industri kimia, baik yang asli maupun palsu. Namun orang kepercayaan mereka tidak bisa mengurus dokumen itu sebelum mengetahui nama pemilik barunya. “Bahkan kita belum tahu namanya.” Frankie gelisah. Ia takut pria bertopeng menghancurkan hidupnya karena dokumen perpindahan pemilik perusahaan lewat batas waktu yang ditentukan. Rose juga gelisah, tetapi bukan karena memikirkan nama pria bertopeng. Ia gelisah karena hingga saat ini pria bertopeng tidak menghubunginya. Ia takut musuhnya itu punya rencana kejutan yang merugikan dan membahayakan dirinya dan Papanya, karena bagaimanapun juga lawan yang satu ini sangat licik dan berbahaya. “Yang aku takutkan bukan itu. Kita tidak tahu keberadaannya dan apa yang sedang dia rencanakan hari ini,” ucap Rose
Amelia dan Pulisic seketika menghentikan tawanya dan menoleh ke arah Levon. Dilihat dari tatapannya, Sang Tuan sedang merencanakan sesuatu untuk memberikan pelajaran pada Rose dan Frankie. “Em apa yang pria bertopeng rencanakan untuk menghancurkan Para bedebah itu?” tanya Amelia menerbitkan senyuman kemenangan. “Sesuatu yang bisa membuat rambut terlepas dari kepalanya tanpa disentuh orang lain.” Levon mengulas senyum licik, Amelia dan Pulisic pun kembali tertawa. Levon menoleh ke arah Hubert yang berdiri di pinggir sofa. Dan pengawas pabrik itu pun langsung menunduk, “Ini juga berkat dirimu, Hubert. Aktingmu sangat bagus. Terima kasih kau sudah membantuku,” ucap Levon, Pulisic dan Amelia pun menoleh ke arah Hubert. Mereka sedikit melupakan kekecewaan pada Hubert karena sudah membongkar siapa saja anak buah Rose yang berkeliaran di perusahaan. “Saya yang seharusnya yang mengucapkan terima kasih pada Tuan. Dengan kejatahan yang pernah saya lakukan, Tuan
Pria bertopeng memutus sambungan sepihak, membuat emosi Rose dan Frankie meledak seketika. Mereka memukul dan menendang barang yang ada di sekitarnya. Bahkan Rose tidak sadar sudah melempar ponselnya ke lantai hingga layarnya retak.“Argh! Lama-lama aku bisa gila!” teriak Frankie sambil mengacak rambutnya. Lalu ia menendang kaki sofa. “Ahhh!” Frankie menjerit, kakinya kesakitan karena terlalu keras menendang kaki sofa.“Amelia! Pri bertopeng!” raung Rose sambil menghempaskan tubuhnya di sofa dan langsung memukul-mukul permukaan sofa dengan penuh emosi.Mereka terus meluapkan emosinya dengan caranya masing-masing, hingga akhirnya Rose lebih dulu bisa menenangkan dirinya.Rose tidak mau berlarut dalam emosi, sekarang seharusnya iabergerak cepat memikirkan ancaman dari pria bertopeng. Ia tidak mau musuhnya itu menyebarkan video rekaman kejahatannya kepada publik.“Papa, kita tidak bisa seperti ini. Kita
“Levon? Mengapa pria sampah sepertimu ada disini?” Fletcher terkejut melihat Levon berada di mansion milik Tuan Leo. Fletcher melupakan rasa takutnya saat melihat wajah orang yang sangat dibencinya.“Tuan Fletcher? Benarkah kau adalah Tuan Fletcher? Bukankah Tuan sekarang seharusnya ada di penjara?” tanya Levon berpura-pura terkejut, menampilkan wajah konyol yang biasa Fletcher lihat.Fletcher tersadar, wajahnya masih di make over agar orang tidak mengenal dirinya. Namun, ia tak peduli lagi. Ia sudah terlanjur emosi melihat orang yang telah membuat hidupnya menderita.“Hakim berubah pikiran. Seharusnya aku tidak menerima hukuman itu, jadi aku dibebaskan.” Fletcher berdusta. Ia mengeraskan rahang dan menggertakkan gigi menatap Levon dengan tatapan penuh kebencian. Ia mengingat segalanya. “Dan sekarang aku akan menghajarmu. Kau sudah membuat hidupku berantakan!”“Apakah Tuan berbohong?,” tany
Fletcher, Eric, dan Ethan spontan berdiri. Bola matanya hanya tertuju pada satu titik, yakni keluar masuknya ruangan. Jantungnya berdetak dengan sangat cepat, bahkan terdengar cukup nyaring. Mereka menggigit bibir, tubuhnya bergetar drngan keringat yang semakin deras mengalir ketika mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat.“Dia pasti Tuan Leo!”“Dia datang untuk menghukum kita!”“Kita sudah tamat!”Ethan, Eric, dan Fletcher bergantian berbicara sambil tetap menatap lurus ke depan dengan tatapan pasrah, hidupnya tak akan lama lagi. Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya seperti mati rasa, dan jantungnya seperti ingin keluar dari tempatnya dan berlari menjauh sejauh mungkin.Sementara itu, Levon yang berdiri di belakang Fletcher cs,hanya bisa menutup mulut dengan tangan kanannya untuk menahan tawa.Levon menyingkirkan tangan dari mulutnya dan mengulas senyum licik, “Masih mendingan