Cuaca di Bandar Udara Soekarno Hatta sedang gerimis. Di siang hari yang teduh itu, beberapa pesawat sedang antre untuk mendarat karena padatnya jadwal penerbangan. Termasuk pesawat yang berasal dari Berlin, Jerman. Setelah mendapat izin dari otoritas Bandara, baru kemudian pesawat itu bersiap untuk mendarat. Tak lama setelah pesawat itu menginjak landasan, para penumpang pun turun.
Di antara para penumpang pesawat itu ada rombongan penumpang dari bermacam kewarganegaraan. Dari lima orang anggota rombongan, hanya dua orang yang merupakan Warga Negara Indonesia. Sisanya adalah Warga Negara Jepang, Amerika dan Jerman. Hampir satu harian mereka menempuh perjalanan menuju Jakarta. Karena mereka memang naik pesawat komersial biasa, bahkan membeli tiket kelas ekonomi.
Sebenarnya Nicholas telah menawarkan diri untuk menggunakan pesawat pribadi lagi. Tapi Ahmad menolaknya. Kantor pusat Richard berada di Jakarta, dan tidak ada yang tahu seberapa besar pengaruhnya saat ini. Menggunakan pesawat pribadi bisa sangat mencolok, dan rombongan itu juga tidak seperti sekumpulan turis biasa. Ahmad tidak mau mengambil risiko kedatangan mereka dicurigai.
Karenanya kali ini Sadewa yang memegang peranan. Saat masih di pesawat, dia sudah meretas database bagian imigrasi. Dan karena semua sudah serba elektronik, Sadewa tidak memiliki kesulitan untuk mendapatkan izin tinggal sebagai pekerja di Indonesia. Dalam waktu lima menit, dia sudah mendapatkan visa untuknya dan kedua saudaranya yang lain. Setelah pesawat mendarat, satu jam kemudian ketiga warga negara asing itu sudah keluar dari pintu kedatangan.
Ahmad dan Malik sudah menunggu di pintu keluar. Sebagai Warga Negara Indonesia, tentu mereka bisa keluar lebih cepat. Setelah menyewa mobil travel yang cukup besar, Ahmad dan Malik meminta sopir menunggu saudaranya yang lain. Setelah semuanya berkumpul, mereka kemudian berangkat menuju pesantren. Tempat di mana ibu mereka lahir dan dibesarkan. Tempat di mana kedua orang tua mereka bertemu sehingga menjadi jalan bagi keempat anak muda itu lahir ke dunia ini.
Setelah menempuh perjalanan selama hampir sepuluh jam, rombongan itu akhirnya sampai di tempat tujuan. Bagi Nicholas dan Sadewa, tempat tujuan mereka sangat luar biasa. Wajar saja karena kedua anak kembar itu biasa tinggal di daerah perkotaan. Alam di Indonesia memang indah, terutama di daerah pedalaman. Apalagi pesantren milik Abah Ahmad terletak di kaki gunung yang asri dan sejuk. Kini mereka bisa melihat langsung hamparan sawah hijau dan aliran sungai yang dulu hanya bisa dilihat gambarnya saja.
Saat mereka tiba, satu rumah besar sudah disiapkan. Sebelumnya Ahmad sudah menelepon manajemen pesantren untuk menyiapkan salah satu sakan yang biasa dipakai santri. Mereka butuh tempat untuk berkumpul, jadi Ahmad menempatkan keempat ponakannya di satu rumah. Hanya dia yang tinggal di tempat berbeda, bersama istri dan anak-anaknya.
"Kurasa aku tidak bisa berbuat banyak di sini. Aku memang membawa bermacam alat ciptaanku, tapi tanpa jaringan internet usahaku tidak akan maksimal." kata Sadewa sedikit mengeluh.
"Jangan khawatir." kata Ahmad. "Saat Prof. Morati melakukan penelitian di sini, dia membangun jaringan yang terhubung melalui satelit. Jaringan itu lalu dia hibahkan ke pesantren."
Sadewa langsung tersenyum. Dia seperti anak-anak yang dijanjikan akan mendapat mainan baru.
"Ini tempat kalian. Kita sudah menempuh perjalanan selama satu hari dua malam. Beristirahatlah, esok pagi baru kita berkumpul lagi."
Keesokan paginya mereka dibangunkan oleh suara azan. Nicholas dan Sadewa sangat terkejut karena belum pernah mendengar suara itu sebelumnya. Sedangkan Aziz, meski ayah angkatnya tidak beragama, disekolahkan di tempat yang mengajarkan ajaran agama ibunya sehingga sudah terbiasa dengan suara itu. Jadi hanya Malik adan Aziz yang keluar rumah. Kedua anak kembar, melihat hari masih gelap dan udara sangat dingin, menarik selimut kembali.
Mereka baru berkumpul saat sarapan. Ahmad ingin keponakannya beradaptasi dengan budaya Indonesia, karena itu sarapan tidak diantar ke kamar mereka. Mereka sarapan bersama para santri, bahkan ikut mengantre untuk mengambil makanan. Saat itulah keempat pemuda menakjubkan itu terlihat seperti anak muda biasa, kecuali tentu fisik mereka. Karena memang usia mereka hanya beberapa tahun di atas usia santri pada umumnya.
Pesantren itu hanya menyediakan makanan lokal. Aziz, Nicholas dan Sadewa sempat kesulitan saat memilih apa yang ingin mereka makan. Tapi setelah mencobanya, ketiganya langsung merasa ketagihan. Baru kali ini mereka mencoba paduan rasa makanan yang menggugah selera.
"Kalian senang tinggal di sini?" tanya Ahmad setelah mereka duduk di satu meja makan.
"Ya, tentu. Udaranya sejuk dan makanannya juga enak." kata Nicholas mewakili.
"Bagus kalau begitu. O iya Aziz, aku tak melihatmu setelah selesai Shalat. Kau pergi ke mana?" tanya Ahmad lagi.
"Aku berlatih di balik pohon-pohon rindang itu."
"Kau pergi ke hutan? kau tahu, di sana banyak binatang buas."
"Aku tak takut binatang buas. Aku suka rintangan, itu bisa membuatku lebih kuat."
"Ya, mungkin tempat ini memang baik untukmu. Baiklah, kita berkumpul satu jam lagi. Kalian bisa pergi mandi, tapi aku peringatkan, airnya sangat dingin."
Ternyata air yang dingin bukanlah masalah bagi mereka. Anak-anak muda itu biasa tinggal di negara empat musim. Saat musim dingin, udaranya bisa mencapai minus beberapa derajat. Udara di pesantren ini masih jauh lebih hangat.
Satu jam kemudian mereka sudah duduk berkumpul di ruang tengah. Berbeda dengan saat di rumah Sadewa, tidak ada meja di ruangan itu. Jadi mereka harus duduk di lantai.
"Baiklah. Misi pertama kita adalah menemukan ayah kalian." kata Ahmad membuka diskusi. "Sadewa, apakah kau sudah terhubung dengan internet?"
"Tentu, sistem kalian sangat mudah ditembus. Peretas pemula saja bisa menembusnya." kata Sadewa.
"Sadewa, ini pesantren. Untuk apa orang meretas pesantren, tidak ada apa-apa di sini." kata Ahmad lagi.
"Waktu itu kau bilang tidak bisa menembus keamanan kantor pusat perusahaan Richard. Kurasa kita bisa memulainya dari luar." Malik mencoba mengemukakan pendapat.
"Malik benar. Sadewa, coba tunjukkan pada kami kantor itu sedekat yang kamu bisa."
Sadewa langsung menuruti perintah Ahmad. Dia mengeluarkan kotak kecil dari sakunya. Kotak itu berisi dua buah bola. Saat diletakkan, salah satu bola itu memancarkan citra gambar tiga dimensi sedangkan yang lain menampilkan proyeksi dari papan kunci. Sadewa kemudian mengetikkan sesuatu pada papan kunci, sampai akhirnya citra bola satunya menampilkan gambar sebuah kota lalu terus membesar sampai muncul gedung pencakar langit. Kantor pusat perusahaan Richard.
"Hanya sampai sini yang bisa aku tunjukkan pada kalian." kata Sadewa.
"Kurasa cukup. Mari kita memperhatikannya, siapa tahu kita dapat sesuatu." kata Ahmad.
"Apakah ini proyeksi live? aku melihat ada beberapa pergerakan di sana." Aziz bertanya heran.
"Ya, ini proyeksi satelit saat ini. Hanya terjeda beberapa menit." jawab Sadewa.
"Menurutku ini standar gedung kantor biasa. Aku sudah memasuki ratusan gedung kantor. Pada dasarnya mereka memiliki susunan pola yang sama." kata Nicholas.
"Kau bisa menjelaskannya?" tanya Ahmad.
Nicholas lalu menjelaskan apa saja yang biasanya ditempatkan di level bawah, menengah, dan atas gedung kantor pusat suatu perusahaan raksasa. Saat memperhatikan level atas, Nicholas berpikir sejenak. Setelah yakin dengan apa yang dilihatnya, baru dia berkata.
"Gedung kantor ini memiliki Griya Tawang di puncaknya. Mengingat Sadewa saja tidak bisa menembus keamanannya, aku yakin Richard menempatkan miliknya yang paling berharga di sana."
"Jadi menurutmu ayah kalian ada di sana?" tanya Ahmad. Nicholas lalu mengangguk.
"Jika kita tidak bisa menembusnya lewat jaringan, bagaimana jika kita menembusnya dengan cara fisik?" Aziz mencoba mengusulkan.
"Jangan, perang terbuka di awal pertempuran bukanlah ide yang baik." kata Ahmad. "Dan meski kau bisa melumpuhkan seluruh personel gedung itu, saat kau sampai di atas, sudah tidak ada apa-apa lagi di sana."
"Lalu apa saranmu?" tanya Malik.
"Kita butuh mata. Sadewa, jika ada seseorang yang bisa masuk gedung itu, apakah kau bisa membuat sesuatu yang bisa menampilkan gambar dalam gedung?"
"Sebentar, kurasa aku punya sesuatu." kata Sadewa, lalu masuk ke dalam kamarnya.
Lima menit kemudian pemuda itu keluar sambil membawa kotak yang ternyata berisi banyak sekali benda berbentuk seperti laba-laba kecil. Sadewa lalu menjelaskan bagaimana alat itu bekerja.
"Kurasa kita bisa memakai alat ini. Cukup letakkan dia di atas kabel yang terhubung ke kamera CCTV. Setelah itu alat ini akan mentransmisikan data gambar yang dilihat kamera itu. Cuma ada kelemahannya. Alat ini tidak terhubung secara online. Jadi untuk menangkap gambar yang alat ini kirim, aku harus berada maksimal satu kilometer darinya."
"Tidak masalah. Biasanya di sekitar gedung kantor pasti ada gedung kantor lain atau apartemen yang bisa disewa. Berarti tinggal mencari cara memasukkan orang di sana. Saatnya mencari seseorang yang mudah dipengaruhi untuk mengajak aku bekerja di sana." kata Nicholas.
"Jangan, wajah kalian terlalu mencolok untuk bekerja di sana. Hanya Malik yang bisa." kata Ahmad.
"Aku tidak bermaksud kasar, tapi kurasa kantor Richard tidak menerima pegawai berlatar pendidikan agama." kata Nicholas lagi.
"Tentu dia tidak menjadi dirinya sendiri. Malik adalah pemuda lokal lulusan SMA yang sedang mencari pekerjaan sebagai petugas keamanan. Kurasa Sadewa bisa mengaturnya."
"Aku bisa membuat dokumen untuk Malik sehingga dia terlihat sebagai petugas keamanan profesional. Tapi aku tidak bisa memastikan dia diterima bekerja di sana."
"Kita akan mengusahakan Malik bekerja di sana lewat gadis itu." kata Ahmad. "Kurasa kalian memang berjodoh."
Entah serius atau bercanda, perkataan Ahmad membuat yang lain tersenyum. Kecuali tentu saja Malik. Pemuda itu tidak pernah membayangkan harus menggoda seorang wanita untuk menyelamatkan ayahnya.
Pusat perbelanjaan di kawasan elite kota Jakarta siang itu tidak terlalu ramai. Bukan hanya karena hari itu adalah hari kerja, tapi pusat perbelanjaan itu memang hanya bisa dijangkau oleh kalangan atas karena harga barang-barang yang diperjualbelikan di sana sangat mahal. Kebanyakan adalah barang bermerek yang diimpor dari luar negeri.Siang itu, seorang wanita muda berusia awal dua puluhan sedang berjalan di koridor pusat perbelanjaan tersebut. Dia telah mendapatkan barang yang dia perlukan yang dijinjing di tangan kanan, sedang di pundak kirinya tergantung tas kecil berisi dompet dan barang berharga lainnya. Wanita itu kemudian berbelok ke koridor yang agak sepi untuk naik lift. Di situlah dia berpapasan dengan seorang pria yang mengenakan sweter dan masker di wajahnya.Tiba-tiba saja pria yang wajahnya tertutup masker itu merampas tas miliknya. Sontak wanita itu mencoba mempertahankan tasnya, sehingga sejenak terjadi tarik menarik karena ternyata tali tas itu cukup kuat sehingga ti
Apartemen di seberang kantor Richard termasuk gedung apartemen yang tinggi. Dan karena lokasinya sangat strategis, kebanyakan pemiliknya tidak tinggal di sana. Mereka membeli apartemen untuk kemudian menyewakannya pada orang lain. Meski demikian, suasana di apartemen itu tidak pernah sepi karena kamar-kamar di sana hampir semuanya terisi. Dan Ahmad serta keponakannya kini menempati salah satu kamar di lantai paling atas.Saat ini, di depan pintu apartemen tersebut, seorang petugas pengiriman sedang menekan bel. Dia membawa kardus besar berbentuk kotak. Setelah dua kali menekan bel, akhirnya terdengar suara pintu dibuka. Pria itu lalu melihat seorang pria muda berusia sekitar 20 tahun. Tanpa menunggu pria muda itu bertanya, petugas pengirim paket langsung berkata."Ada kiriman paket untuk Tuan Sadewa.""Ya, saya sendiri. Saya memang sedang menantinya."Petugas itu lalu menyerahkan kotak kardus yang dia bawa. Setelah itu dia meminta Sadewa menandatangani dokumen serah terima barang, kem
Malam sudah sangat larut. Kebanyakan manusia saat ini pasti sedang terbuai dalam mimpi. Tapi berbeda dengan yang lainnya, dua orang lelaki masih terjaga. Bahkan saat ini mereka tidak berada di rumah. Kedua lelaki itu masih berada di tempat kerja. Laboratorium penelitian tepatnya. Dan kini mereka sedang asyik memperhatikan sesuatu."Sedikit lagi Prof, kali ini pasti berhasil. Kita hanya perlu mengatur intensitas lumen yang tepat." Kata salah seorang dari mereka."Baiklah, Richard. Aku akan mengurangi power-nya sedikit agar intensitas energinya tidak menghancurkan. Tapi mungkin waktu yang dibutuhkan menjadi lebih lama." Kata Profesor Morati mengikuti permintaan rekannya."Tidak apa-apa Prof, yang penting proses konversi nya berjalan sempurna."Profesor Morati kemudian mengkalibrasi lagi alat ciptaannya. Setelah alat itu siap, Richard kemudian mengambil sekeping logam besi. Logam itu kemudian diletakkan di depan komponen alat yang berbentuk seperti
Tempat penitipan anak di pusat kota biasanya terletak di sebuah gedung kantor atau apartemen. Tapi tempat seperti itu hanya menerima penitipan selama jam kerja orang tua saja, tidak sampai berhari-hari. Padahal Profesor Morati ingin menitip anaknya entah sampai berapa lama. Jadi akhirnya dia menitipkan anak-anak itu tidak di tempat penitipan resmi, tapi di beberapa yayasan yang biasa menjadi pengasuh anak-anak.Anak sulung Profesor Morati dititipkan di rumah penghafal Quran. Anak itu sudah berusia lima tahun, jadi Ahmad tidak memiliki kesulitan saat menjemputnya. Anak itu langsung mengenali sang paman. Dan setelah dia menyerahkan surat kuasa kepada pimpinan di Rumah Quran itu, dia langsung diizinkan untuk membawa anak itu pergi.Masalah sedikit muncul saat Ahmad menjemput anak kedua. Anak itu baru berumur tiga tahun, dan dia dititipkan di rumah penampungan yatim piatu atau anak yang ditelantarkan orang tuanya. Yayasan itu memiliki aturan yang ketat dalam hal pengurusan
Aula masjid di pesantren binaan Kyai Harun penuh sesak. Para jamaah antusias mengikuti kajian yang diadakan pesantren itu. Dan karena kajian tersebut terbuka untuk umum, banyak warga sekitar yang datang untuk menghadirinya.Sebenarnya kajian itu rutin dilakukan setiap pekan. Namun kali ini jumlah jamaah yang datang tidak seperti biasanya. Yang membuatnya istimewa adalah karena kajian ini diisi oleh ustadz yang baru pulang dari studinya di Mesir. Dan memang ustadz itu sudah lama menjadi kesayangan warga sekitar. Siapa lagi kalau bukan Malik, cucu dari Kyai Harun.Memang sejak kecil Malik telah menjadi santri favorit di pesantren itu karena budi pekertinya yang indah. Dia ringan tangan untuk membantu orang yang membutuhkan. Sikapnya santun, murah senyum dan kata-katanya selalu terjaga. Selain itu dia juga memiliki wajah yang tampan, blasteran karena memang ayahnya keturunan bangsa Arya dan ibunya berdarah Melayu. Tidak heran banyak gadis yang ingin dipersuntingnya. Sayan
Dojo yang terletak di pinggiran Kota Tokyo dipenuhi oleh murid-murid yang sedang berlatih. Kebanyakan dari mereka berlatih berpasangan atau berkelompok. Namun di tengah keramaian itu, ada satu area di mana banyak murid yang hanya sekedar menonton. Mereka sedang menyaksikan latihan pertandingan. Yang membuat latihan tanding itu menarik adalah karena pertandingan itu tidak dilakukan berpasangan, tapi satu lawan tiga.Aziz harus berkonsentrasi penuh untuk mengantisipasi serangan dari segalaarah. Tiga orang yang mengepungnya bisa menyerang kapan saja. Bahkan mereka bisa menyerang bersamaan, karena memang tidak ada aturan yang melarangnya. Apalagi tiga orang itu bukanlah murid kemarin sore. Mereka adalah murid senior yang sudah bertahun-tahun berlatih di Dojo ini.Dan ternyata ketiga murid itu memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka langsung mengambil posisi yang menyulitkan Aziz. Dua orang di kiri dan kanan mengambil posisi ke arah belakang di luar jangkauan
Suasana di salah satu Ball Room lantai 34 gedung Empire State, New York cukup mencekam. Saat ini adalah penentuan pemenang tender dari proyek bernilai milyaran dollar yang mencakup seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Dari seleksi ketat yang sudah diadakan, kini hanya tersisa tiga perusahaan yang dianggap mampu menjalankan proyek itu.Karena besarnya nilai proyek yang ada, para pimpinan tertinggi perusahaan bersama tim terbaiknya datang langsung untuk berjuang memperebutkan proyek itu. Tentu saja sebelumnya mereka sudah menggunakan berbagai cara agar posisi perusahaan mereka lebih unggul dari yang lain, baik dengan cara resmi maupun lewat jalur belakang. Tapi karena ketiga perusahaan itu sama kuat, sampai saat ini belum terlihat siapa calon pemenangnya.Hal inilah yang membuat suasana menjadi tegang. Aura persaingan sangat kental terasa. Ketiga kelompok perusahaan itu saling memperhatikan satu sama lain untuk mengukur keunggulan dari rivalnya. Dan ketegan
Bandara Internasional John F. Kennedy di New York termasuk bandara yang paling sibuk di dunia. Jadi wajar jika bandara ini selalu ramai dipadati oleh penumpang baik di sesi liburan maupun di hari biasa. Antrean sering ditemukan mulai dari pintu masuk bandara, gate keberangkatan bahkan sampai tempat makan. Tapi ini tidak berlaku bagi keempat orang yang sedang menuju ke Jerman.Nicholas memimpin di depan rombongan itu. Setiap rombongan itu menemui antrean, pintu khusus selalu dibukakan untuk mereka. Para petugas juga selalu menyapa mereka dengan hormat. Dan tentu saja mereka tidak perlu repot membawa barang-barang karena semua sudah ditangani bahkan sejak limosin mereka sampai di area bandara."Jet baru siap setengah jam lagi." kata Nicholas pada rombongan. "Kalian mau makan di pesawat atau di ruang tunggu?""Terserah kau saja." Ahmad menjawab mewakili yang lain karena dia yang paling tua."Baiklah, sebaiknya kita makan di ruang tunggu saja. Perjal
Apartemen di seberang kantor Richard termasuk gedung apartemen yang tinggi. Dan karena lokasinya sangat strategis, kebanyakan pemiliknya tidak tinggal di sana. Mereka membeli apartemen untuk kemudian menyewakannya pada orang lain. Meski demikian, suasana di apartemen itu tidak pernah sepi karena kamar-kamar di sana hampir semuanya terisi. Dan Ahmad serta keponakannya kini menempati salah satu kamar di lantai paling atas.Saat ini, di depan pintu apartemen tersebut, seorang petugas pengiriman sedang menekan bel. Dia membawa kardus besar berbentuk kotak. Setelah dua kali menekan bel, akhirnya terdengar suara pintu dibuka. Pria itu lalu melihat seorang pria muda berusia sekitar 20 tahun. Tanpa menunggu pria muda itu bertanya, petugas pengirim paket langsung berkata."Ada kiriman paket untuk Tuan Sadewa.""Ya, saya sendiri. Saya memang sedang menantinya."Petugas itu lalu menyerahkan kotak kardus yang dia bawa. Setelah itu dia meminta Sadewa menandatangani dokumen serah terima barang, kem
Pusat perbelanjaan di kawasan elite kota Jakarta siang itu tidak terlalu ramai. Bukan hanya karena hari itu adalah hari kerja, tapi pusat perbelanjaan itu memang hanya bisa dijangkau oleh kalangan atas karena harga barang-barang yang diperjualbelikan di sana sangat mahal. Kebanyakan adalah barang bermerek yang diimpor dari luar negeri.Siang itu, seorang wanita muda berusia awal dua puluhan sedang berjalan di koridor pusat perbelanjaan tersebut. Dia telah mendapatkan barang yang dia perlukan yang dijinjing di tangan kanan, sedang di pundak kirinya tergantung tas kecil berisi dompet dan barang berharga lainnya. Wanita itu kemudian berbelok ke koridor yang agak sepi untuk naik lift. Di situlah dia berpapasan dengan seorang pria yang mengenakan sweter dan masker di wajahnya.Tiba-tiba saja pria yang wajahnya tertutup masker itu merampas tas miliknya. Sontak wanita itu mencoba mempertahankan tasnya, sehingga sejenak terjadi tarik menarik karena ternyata tali tas itu cukup kuat sehingga ti
Cuaca di Bandar Udara Soekarno Hatta sedang gerimis. Di siang hari yang teduh itu, beberapa pesawat sedang antre untuk mendarat karena padatnya jadwal penerbangan. Termasuk pesawat yang berasal dari Berlin, Jerman. Setelah mendapat izin dari otoritas Bandara, baru kemudian pesawat itu bersiap untuk mendarat. Tak lama setelah pesawat itu menginjak landasan, para penumpang pun turun.Di antara para penumpang pesawat itu ada rombongan penumpang dari bermacam kewarganegaraan. Dari lima orang anggota rombongan, hanya dua orang yang merupakan Warga Negara Indonesia. Sisanya adalah Warga Negara Jepang, Amerika dan Jerman. Hampir satu harian mereka menempuh perjalanan menuju Jakarta. Karena mereka memang naik pesawat komersial biasa, bahkan membeli tiket kelas ekonomi.Sebenarnya Nicholas telah menawarkan diri untuk menggunakan pesawat pribadi lagi. Tapi Ahmad menolaknya. Kantor pusat Richard berada di Jakarta, dan tidak ada yang tahu seberapa besar pengaruhnya saat ini. Mengg
Meja bundar beralaskan kaca di rumah besar pinggir Kota Berlin bersinar terang. Kaca pada meja itu memantulkan cahaya yang dipancarkan keempat batu yang diletakkan di atasnya. Cahaya yang keluar juga sesuai dengan warna batu. Putih, merah, hijau serta biru. Membuat komposisi warna yang indah, meski tak sebanyak warna pelangi. Dan meski batu itu berukuran kecil, hanya seukuran pil, tapi cahayanya cukup menyilaukan mata.Baru kali ini batu-batu itu memancarkan cahaya seterang itu, pasti karena diletakkan berdekatan. Lima pasang mata memandangnya dengan terpesona. Akhirnya, setelah beberapa lama, mereka terbebas dari pesona batu-batu itu dan kembali membicarakan misi mereka."Baik, simpan batu kalian kembali. Aku akan mulai bercerita." kata Ahmad pada keempat ponakannya.Para anak muda itu langsung menurut. Mereka mencondongkan badan untuk mengambil batu milik mereka. Kecuali Sadewa, secara mengagumkan batu miliknya bergerak sendiri lalu menyatu dengan telapak tang
Berlin adalah ibukota Jerman yang penduduknya paling padat di antara kota-kota lainnya. Karena itu, rumah di pinggiran kota juga sudah penuh sesak. Bisa dikatakan sulit menemukan lahan kosong di kota ini. Termasuk rumah besar milik Sadewa, sudah banyak rumah-rumah lain di sekitarnya. Tapi karena Sadewa membangunnya seperti bangunan kastil dengan pagar yang tinggi, jarang sekali ada pengunjung yang datang ke rumah itu.Tapi kini di rumah itu ada empat orang yang datang berkunjung. Tentu saja mereka bisa masuk atas izin pemiliknya. Setelah memperkenalkan diri sebentar, Sadewa mengajak mereka ke ruang pertemuan yang sejak rumah ini dibangun, baru kali ini digunakan. Sadewa memang jarang menerima tamu langsung. Biasanya dia berkomunikasi secara online.Di ruang pertemuan itu ada meja bulat yang alasnya berbentuk kaca. Ternyata kaca itu bukan hanya berfungsi sebagai alas, tapi juga memiliki kemampuan sebagai layar sentuh. Saat seseorang duduk, kaca di hadapannya la
Bandara Internasional John F. Kennedy di New York termasuk bandara yang paling sibuk di dunia. Jadi wajar jika bandara ini selalu ramai dipadati oleh penumpang baik di sesi liburan maupun di hari biasa. Antrean sering ditemukan mulai dari pintu masuk bandara, gate keberangkatan bahkan sampai tempat makan. Tapi ini tidak berlaku bagi keempat orang yang sedang menuju ke Jerman.Nicholas memimpin di depan rombongan itu. Setiap rombongan itu menemui antrean, pintu khusus selalu dibukakan untuk mereka. Para petugas juga selalu menyapa mereka dengan hormat. Dan tentu saja mereka tidak perlu repot membawa barang-barang karena semua sudah ditangani bahkan sejak limosin mereka sampai di area bandara."Jet baru siap setengah jam lagi." kata Nicholas pada rombongan. "Kalian mau makan di pesawat atau di ruang tunggu?""Terserah kau saja." Ahmad menjawab mewakili yang lain karena dia yang paling tua."Baiklah, sebaiknya kita makan di ruang tunggu saja. Perjal
Suasana di salah satu Ball Room lantai 34 gedung Empire State, New York cukup mencekam. Saat ini adalah penentuan pemenang tender dari proyek bernilai milyaran dollar yang mencakup seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Dari seleksi ketat yang sudah diadakan, kini hanya tersisa tiga perusahaan yang dianggap mampu menjalankan proyek itu.Karena besarnya nilai proyek yang ada, para pimpinan tertinggi perusahaan bersama tim terbaiknya datang langsung untuk berjuang memperebutkan proyek itu. Tentu saja sebelumnya mereka sudah menggunakan berbagai cara agar posisi perusahaan mereka lebih unggul dari yang lain, baik dengan cara resmi maupun lewat jalur belakang. Tapi karena ketiga perusahaan itu sama kuat, sampai saat ini belum terlihat siapa calon pemenangnya.Hal inilah yang membuat suasana menjadi tegang. Aura persaingan sangat kental terasa. Ketiga kelompok perusahaan itu saling memperhatikan satu sama lain untuk mengukur keunggulan dari rivalnya. Dan ketegan
Dojo yang terletak di pinggiran Kota Tokyo dipenuhi oleh murid-murid yang sedang berlatih. Kebanyakan dari mereka berlatih berpasangan atau berkelompok. Namun di tengah keramaian itu, ada satu area di mana banyak murid yang hanya sekedar menonton. Mereka sedang menyaksikan latihan pertandingan. Yang membuat latihan tanding itu menarik adalah karena pertandingan itu tidak dilakukan berpasangan, tapi satu lawan tiga.Aziz harus berkonsentrasi penuh untuk mengantisipasi serangan dari segalaarah. Tiga orang yang mengepungnya bisa menyerang kapan saja. Bahkan mereka bisa menyerang bersamaan, karena memang tidak ada aturan yang melarangnya. Apalagi tiga orang itu bukanlah murid kemarin sore. Mereka adalah murid senior yang sudah bertahun-tahun berlatih di Dojo ini.Dan ternyata ketiga murid itu memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka langsung mengambil posisi yang menyulitkan Aziz. Dua orang di kiri dan kanan mengambil posisi ke arah belakang di luar jangkauan
Aula masjid di pesantren binaan Kyai Harun penuh sesak. Para jamaah antusias mengikuti kajian yang diadakan pesantren itu. Dan karena kajian tersebut terbuka untuk umum, banyak warga sekitar yang datang untuk menghadirinya.Sebenarnya kajian itu rutin dilakukan setiap pekan. Namun kali ini jumlah jamaah yang datang tidak seperti biasanya. Yang membuatnya istimewa adalah karena kajian ini diisi oleh ustadz yang baru pulang dari studinya di Mesir. Dan memang ustadz itu sudah lama menjadi kesayangan warga sekitar. Siapa lagi kalau bukan Malik, cucu dari Kyai Harun.Memang sejak kecil Malik telah menjadi santri favorit di pesantren itu karena budi pekertinya yang indah. Dia ringan tangan untuk membantu orang yang membutuhkan. Sikapnya santun, murah senyum dan kata-katanya selalu terjaga. Selain itu dia juga memiliki wajah yang tampan, blasteran karena memang ayahnya keturunan bangsa Arya dan ibunya berdarah Melayu. Tidak heran banyak gadis yang ingin dipersuntingnya. Sayan