Meja bundar beralaskan kaca di rumah besar pinggir Kota Berlin bersinar terang. Kaca pada meja itu memantulkan cahaya yang dipancarkan keempat batu yang diletakkan di atasnya. Cahaya yang keluar juga sesuai dengan warna batu. Putih, merah, hijau serta biru. Membuat komposisi warna yang indah, meski tak sebanyak warna pelangi. Dan meski batu itu berukuran kecil, hanya seukuran pil, tapi cahayanya cukup menyilaukan mata.
Baru kali ini batu-batu itu memancarkan cahaya seterang itu, pasti karena diletakkan berdekatan. Lima pasang mata memandangnya dengan terpesona. Akhirnya, setelah beberapa lama, mereka terbebas dari pesona batu-batu itu dan kembali membicarakan misi mereka.
"Baik, simpan batu kalian kembali. Aku akan mulai bercerita." kata Ahmad pada keempat ponakannya.
Para anak muda itu langsung menurut. Mereka mencondongkan badan untuk mengambil batu milik mereka. Kecuali Sadewa, secara mengagumkan batu miliknya bergerak sendiri lalu menyatu dengan telapak tangannya. Seolah anak muda itu memiliki kekuatan menggerakkan benda tanpa menyentuhnya. Tentu saja itu bukanlah kekuatan pikiran atau hal yang bersifat magis. Seperti dijelaskan Sadewa sebelumnya, itu adalah kekuatan teknologi. Karena Sadewa menciptakan robot berukuran Nano untuk menggerakkan batu itu.
Setelah keempat batu itu kembali ke pemiliknya masing-masing, Ahmad mulai bercerita.
"Sekitar dua puluh tiga tahun lalu, Prof. Morati datang ke daerah terpencil di Pulau Jawa untuk melakukan penelitian geologis. Dia adalah seorang ilmuwan yang hebat, tapi bukan pebisnis. Sedangkan penelitian ilmiah itu membutuhkan dana yang cukup besar. Karenanya, saat Richard sahabatnya mengajukan tawaran untuk mendanai penelitian itu, dia menerimanya."
"Saat sedang melakukan penelitian, Prof. Morati mengalami sedikit kendala terkait perbekalan. Perbekalan mereka sudah habis, sedangkan suplai dari Jakarta terlambat datang karena faktor cuaca. Dengan terpaksa Prof. Morati datang ke pesantren abahku untuk menumpang selama beberapa hari. Karena memang lokasi pesantren terletak dekat dengan tempat penelitian mereka."
"Abah akhirnya bersedia menampung rombongan peneliti tersebut sampai perbekalan mereka sampai. Prof. Morati dan timnya kemudian tinggal di pesantren selama beberapa hari. Saat itulah dia bertemu Amira adikku. Dan dari pertemuan singkat itu, keduanya saling jatuh cinta. Meski Abah menentangnya, keduanya akhirnya memutuskan untuk menikah. Setelah penelitian itu selesai, Amira lalu ikut Prof. Morati ke Jakarta. Satu tahu kemudian lahirlah Malik. Selang dua tahun Aziz lahir, dan terakhir kalian si kembar."
Ahmad menyebutkan nama-nama itu sambil menatap orangnya. Seperti biasa, mereka percaya pada cerita Ahmad. Bukan karena mereka yakin bahwa Ahmad adalah orang yang jujur, tapi karena Nicholas ada di sana. Anak muda itu pasti tahu saat orang di hadapannya berdusta. Dan nyatanya dia diam saja mendengarkan cerita itu.
"Kalian tahu, sejak memiliki keluarga, kecenderungan Prof. Morati pada ilmu pengetahuan jadi berkurang. Dia jadi lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga. Tapi kemudian datanglah petaka itu. Saat melahirkan si kembar, Amira harus mengorbankan hidupnya. Peristiwa ini mengguncangkan hati Prof. Morati. Karena itu, untuk melupakannya, dia kembali menghabiskan waktu untuk meneliti. Hasilnya sungguh mencengangkan. Dia berhasil menciptakan alat yang bisa mengubah benda menjadi emas."
Mendengar kata emas, Nicholas langsung tertarik lalu menegakkan posisi duduknya. Dia bertanya untuk meyakinkan.
"Apakah ada alat semacam itu?"
Ahmad tidak menjawab. Dia hanya mengeluarkan sekeping logam dari saku lalu menunjukkan pada mereka. Logam berwarna kuning berkilauan. Nicholas langsung bersiul dan bertanya lagi.
"Logam itu awalnya bukan terbuat dari emas?"
"Mana ada pengrajin emas yang mau membentuk barang berharga miliknya seperti ini. Ini adalah potongan kepingan besi yang diubah alat itu menjadi emas."
"Jika alat itu berfungsi seperti yang kau katakan, saat ini pemiliknya tentu sudah memiliki emas sebesar gunung." kata Aziz berkomentar.
"Mereka tidak sebodoh itu." Nicholas mencoba menyanggah. "Saat emas di dunia ini terlalu banyak, nilainya menjadi tidak berharga."
"Nicholas benar." kata Ahmad. "Mereka hanya memproduksi emas seperlunya. Sebagai modal untuk kegiatan mereka."
"Aku rasa mereka juga mendirikan perusahaan fiktif untuk menyamarkan kegiatan mereka. Kita kan tidak bisa begitu saja punya uang." kata Nicholas lagi, karena ini memang bidangnya.
"Dari tadi kalian mengatakan mereka. Sebenarnya siapa yang menguasai alat itu saat ini?" kali ini Malik yang bertanya.
"Dugaanku, Richard." jawab Ahmad.
"Richard, sahabat ayah yang memberinya modal untuk penelitian?" tanya Aziz tak percaya.
"Ya, karena itulah ayah kalian mengirim kalian ke tempat-tempat berbeda. Selain untuk menumbuhkan potensi kalian, dia juga ingin kalian berada di tempat yang aman saat hal buruk terjadi. Tapi ini baru dugaanku, kita masih harus memastikannya." kata Ahmad.
"Jangan khawatir, kali ini giliranku." Sadewa langsung berkata dengan penuh rasa bangga.
Setelah itu dia menggerakkan jarinya kembali. Di dinding kemudian muncul foto-foto seorang pria paruh baya secara bergantian.
"Yang mana foto ayah?" tanya Sadewa kemudian.
Ahmad lalu memperhatikan foto-foto itu. Saat wajah kakak iparnya muncul, dia langsung berseru.
"Stop. Ini dia ayah kalian."
Kelima pasang mata memandang foto Prof. Morati selama beberapa saat. Setelah itu Sadewa kembali menggerakkan jarinya sambil berkata.
"Sekarang saatnya kita menemukan Richard."
Gambar pada dinding kembali berganti. Kali ini menampilkan foto Prof. Morati bersama seorang pria.
"Maaf, aku tidak pernah bertemu dengan Richard. Saat dia datang ke pesantren, aku sedang tidak ada di sana." kata Ahmad dengan nada menyesal.
Dengan wajah masih tersenyum Sadewa menggerakkan jarinya lagi lalu berkata.
"Jangan khawatir Paman, kalau begitu biarkan komputer yang memilihnya."
Tak lama kemudian muncul beberapa foto Prof. Morati dengan orang yang sama. Ahmad langsung tertarik pada foto dengan latar belakang pegunungan. Dengan yakin dia akhirnya berkata.
"Ya, ini adalah Richard. Aku mengenali gambar di latar belakang foto itu. Bahkan aku selalu melihatnya saat berangkat mengajar di pagi hari."
"Baiklah, saatnya menemukan apa saja kegiatan Richard selama tujuh belas tahun terakhir." kata Sadewa lalu menggerakkan jarinya lagi.
Gambar di dinding lalu berganti dengan cepat. Kali ini tidak hanya foto yang dimunculkan, tapi juga video, potongan-potongan berita bahkan juga artikel-artikel ilmiah. Semua informasi itu hanya terkait satu orang. Namun karena rentang waktunya lama, jumlahnya jadi banyak sekali.
"Bisakah kau menampilkannya secara perlahan, aku tidak bisa menangkap informasi apa pun." kata Aziz, padahal dia sudah terbiasa menangkap gerakan yang cepat.
"Jangan khawatir." kata Sadewa. "Komputer hanya sedang mengumpulkan data. Nanti data itu akan ditampilkan secara detail setelah dianalisis."
"Aku melihat ada foto seorang wanita yang sering muncul. Siapa dia?" tanya Malik penasaran.
"Well, rupanya Sang Romeo langsung jatuh cinta pada pandangan pertama." kata Nicholas mengejek. Malik langsung menatap tajam padanya.
"Kalian jangan salah sangka." kata Ahmad menengahi. "Malik bisa menguasai nafsunya sehebat dia menguasai hati dan pikirannya. Jika dia tertarik pada seseorang, pasti karena hal itu perlu."
"Kalau begitu mari kita cari tahu seberapa menarik gadis itu." kata Sadewa sambil menggerakkan jarinya.
Tak lama kemudian muncul foto seorang wanita bersama beberapa tulisan yang menjelaskan siapa dia. Semuanya lengkap, bahkan mungkin termasuk informasi yang gadis itu lupa.
"Namanya Sofia. Rupanya dia adalah anak gadis Richard. Kau bisa mendapatkan datanya secara lengkap. Apa kau ingin aku mencari foto gadis itu saat tidak memakai busana?" tanya Sadewa sambil menyeringai.
Malik menatap kedua adik kembarnya dengan kesal. Kedua anak muda itu memang memiliki kemampuan yang menakjubkan, tapi sayang sifatnya masih sangat kekanak-kanakan. Mereka masih perlu mendapat bimbingan.
"Cukup. Mari kita fokus kembali pada Richard dan apa yang dia lakukan setelah memilik alat itu." kata Ahmad.
Sadewa lalu menggerakkan jarinya lagi sehingga foto Sofia berganti dengan foto ayahnya. Tak lama kemudian muncul banyak tulisan berisi informasi tentang lelaki itu.
"Richard memang seorang pengusaha, bahkan sebelum dia kenal dengan ayah. Usahanya bergerak di berbagai bidang mulai dari properti, transportasi, bahkan keuangan. Dan usahanya melejit tujuh belas tahun lalu. Sebelumnya usaha Richard hanya terbatas di Asia Tenggara, dengan mayoritas berada di Indonesia. Namun sekarang perusahaannya sudah menjangkau seluruh dunia."
"Bisakah kau mengakses laporan keuangan perusahaan miliknya?" tanya Nicholas, kali ini mencoba berkontribusi.
Sadewa menggerakkan jarinya lagi, tapi kali ini agak lama. Dia mengetikkan sesuatu ke papan kunci virtual pada meja di depannya. Selang beberapa menit kemudian muncul tulisan berisi angka-angka yang diinginkan Nicholas. Setelah data-data itu dia pelajari, akhirnya Nicholas berani mengambil kesimpulan.
"Ya, perusahaan ini berkembang dengan sedikit aneh. Setiap mereka membutuhkan modal untuk berkembang, ada saja perusahaan finansial yang tidak terkenal memberikan apa yang mereka butuhkan. Pasti modal itu didapat dari emas yang mereka ciptakan. Dengan cara seperti ini, tidak heran perusahaan Richard secara cepat menjadi perusahaan kelas dunia."
Kata-kata Nicholas seperti mengapung di udara. Tidak ada satu pun yang berkata-kata. Setelah mengetahui siapa lawan mereka, semua orang di ruangan itu sibuk memikirkan bagaimana cara mengalahkannya.
"Kau bilang bisa meretas kamera CCTV di seluruh dunia. Bisakah kau meretas kamera CCTV di perusahaan itu?" tanya Ahmad pada Nicholas.
Nicholas kembali mengetik tombol-tombol. Tapi setelah beberapa lama dia berusaha, dia belum juga berhasil. Baru kali ini tidak ada seringai di wajahnya.
"Aku tidak mengerti. Setiap kali aku berhasil masuk, sistem mereka mengubah kode keamanan sehingga aku terlempar kembali. Seolah sistem itu hidup." kata Nicholas saat akhirnya menyerah.
Ahmad sudah menduga hal itu. Menaklukkan sang penguasa dunia memang seharusnya tidak mudah.
"Pusat perusahaan itu ada di Indonesia?" tanya Ahmad pada Nicholas. Anak muda itu lalu mengangguk.
Ahmad lalu bangkit dari tempat duduknya dan berkata.
"Kurasa kini saatnya kalian pulang ke kampung halaman."
Cuaca di Bandar Udara Soekarno Hatta sedang gerimis. Di siang hari yang teduh itu, beberapa pesawat sedang antre untuk mendarat karena padatnya jadwal penerbangan. Termasuk pesawat yang berasal dari Berlin, Jerman. Setelah mendapat izin dari otoritas Bandara, baru kemudian pesawat itu bersiap untuk mendarat. Tak lama setelah pesawat itu menginjak landasan, para penumpang pun turun.Di antara para penumpang pesawat itu ada rombongan penumpang dari bermacam kewarganegaraan. Dari lima orang anggota rombongan, hanya dua orang yang merupakan Warga Negara Indonesia. Sisanya adalah Warga Negara Jepang, Amerika dan Jerman. Hampir satu harian mereka menempuh perjalanan menuju Jakarta. Karena mereka memang naik pesawat komersial biasa, bahkan membeli tiket kelas ekonomi.Sebenarnya Nicholas telah menawarkan diri untuk menggunakan pesawat pribadi lagi. Tapi Ahmad menolaknya. Kantor pusat Richard berada di Jakarta, dan tidak ada yang tahu seberapa besar pengaruhnya saat ini. Mengg
Pusat perbelanjaan di kawasan elite kota Jakarta siang itu tidak terlalu ramai. Bukan hanya karena hari itu adalah hari kerja, tapi pusat perbelanjaan itu memang hanya bisa dijangkau oleh kalangan atas karena harga barang-barang yang diperjualbelikan di sana sangat mahal. Kebanyakan adalah barang bermerek yang diimpor dari luar negeri.Siang itu, seorang wanita muda berusia awal dua puluhan sedang berjalan di koridor pusat perbelanjaan tersebut. Dia telah mendapatkan barang yang dia perlukan yang dijinjing di tangan kanan, sedang di pundak kirinya tergantung tas kecil berisi dompet dan barang berharga lainnya. Wanita itu kemudian berbelok ke koridor yang agak sepi untuk naik lift. Di situlah dia berpapasan dengan seorang pria yang mengenakan sweter dan masker di wajahnya.Tiba-tiba saja pria yang wajahnya tertutup masker itu merampas tas miliknya. Sontak wanita itu mencoba mempertahankan tasnya, sehingga sejenak terjadi tarik menarik karena ternyata tali tas itu cukup kuat sehingga ti
Apartemen di seberang kantor Richard termasuk gedung apartemen yang tinggi. Dan karena lokasinya sangat strategis, kebanyakan pemiliknya tidak tinggal di sana. Mereka membeli apartemen untuk kemudian menyewakannya pada orang lain. Meski demikian, suasana di apartemen itu tidak pernah sepi karena kamar-kamar di sana hampir semuanya terisi. Dan Ahmad serta keponakannya kini menempati salah satu kamar di lantai paling atas.Saat ini, di depan pintu apartemen tersebut, seorang petugas pengiriman sedang menekan bel. Dia membawa kardus besar berbentuk kotak. Setelah dua kali menekan bel, akhirnya terdengar suara pintu dibuka. Pria itu lalu melihat seorang pria muda berusia sekitar 20 tahun. Tanpa menunggu pria muda itu bertanya, petugas pengirim paket langsung berkata."Ada kiriman paket untuk Tuan Sadewa.""Ya, saya sendiri. Saya memang sedang menantinya."Petugas itu lalu menyerahkan kotak kardus yang dia bawa. Setelah itu dia meminta Sadewa menandatangani dokumen serah terima barang, kem
Malam sudah sangat larut. Kebanyakan manusia saat ini pasti sedang terbuai dalam mimpi. Tapi berbeda dengan yang lainnya, dua orang lelaki masih terjaga. Bahkan saat ini mereka tidak berada di rumah. Kedua lelaki itu masih berada di tempat kerja. Laboratorium penelitian tepatnya. Dan kini mereka sedang asyik memperhatikan sesuatu."Sedikit lagi Prof, kali ini pasti berhasil. Kita hanya perlu mengatur intensitas lumen yang tepat." Kata salah seorang dari mereka."Baiklah, Richard. Aku akan mengurangi power-nya sedikit agar intensitas energinya tidak menghancurkan. Tapi mungkin waktu yang dibutuhkan menjadi lebih lama." Kata Profesor Morati mengikuti permintaan rekannya."Tidak apa-apa Prof, yang penting proses konversi nya berjalan sempurna."Profesor Morati kemudian mengkalibrasi lagi alat ciptaannya. Setelah alat itu siap, Richard kemudian mengambil sekeping logam besi. Logam itu kemudian diletakkan di depan komponen alat yang berbentuk seperti
Tempat penitipan anak di pusat kota biasanya terletak di sebuah gedung kantor atau apartemen. Tapi tempat seperti itu hanya menerima penitipan selama jam kerja orang tua saja, tidak sampai berhari-hari. Padahal Profesor Morati ingin menitip anaknya entah sampai berapa lama. Jadi akhirnya dia menitipkan anak-anak itu tidak di tempat penitipan resmi, tapi di beberapa yayasan yang biasa menjadi pengasuh anak-anak.Anak sulung Profesor Morati dititipkan di rumah penghafal Quran. Anak itu sudah berusia lima tahun, jadi Ahmad tidak memiliki kesulitan saat menjemputnya. Anak itu langsung mengenali sang paman. Dan setelah dia menyerahkan surat kuasa kepada pimpinan di Rumah Quran itu, dia langsung diizinkan untuk membawa anak itu pergi.Masalah sedikit muncul saat Ahmad menjemput anak kedua. Anak itu baru berumur tiga tahun, dan dia dititipkan di rumah penampungan yatim piatu atau anak yang ditelantarkan orang tuanya. Yayasan itu memiliki aturan yang ketat dalam hal pengurusan
Aula masjid di pesantren binaan Kyai Harun penuh sesak. Para jamaah antusias mengikuti kajian yang diadakan pesantren itu. Dan karena kajian tersebut terbuka untuk umum, banyak warga sekitar yang datang untuk menghadirinya.Sebenarnya kajian itu rutin dilakukan setiap pekan. Namun kali ini jumlah jamaah yang datang tidak seperti biasanya. Yang membuatnya istimewa adalah karena kajian ini diisi oleh ustadz yang baru pulang dari studinya di Mesir. Dan memang ustadz itu sudah lama menjadi kesayangan warga sekitar. Siapa lagi kalau bukan Malik, cucu dari Kyai Harun.Memang sejak kecil Malik telah menjadi santri favorit di pesantren itu karena budi pekertinya yang indah. Dia ringan tangan untuk membantu orang yang membutuhkan. Sikapnya santun, murah senyum dan kata-katanya selalu terjaga. Selain itu dia juga memiliki wajah yang tampan, blasteran karena memang ayahnya keturunan bangsa Arya dan ibunya berdarah Melayu. Tidak heran banyak gadis yang ingin dipersuntingnya. Sayan
Dojo yang terletak di pinggiran Kota Tokyo dipenuhi oleh murid-murid yang sedang berlatih. Kebanyakan dari mereka berlatih berpasangan atau berkelompok. Namun di tengah keramaian itu, ada satu area di mana banyak murid yang hanya sekedar menonton. Mereka sedang menyaksikan latihan pertandingan. Yang membuat latihan tanding itu menarik adalah karena pertandingan itu tidak dilakukan berpasangan, tapi satu lawan tiga.Aziz harus berkonsentrasi penuh untuk mengantisipasi serangan dari segalaarah. Tiga orang yang mengepungnya bisa menyerang kapan saja. Bahkan mereka bisa menyerang bersamaan, karena memang tidak ada aturan yang melarangnya. Apalagi tiga orang itu bukanlah murid kemarin sore. Mereka adalah murid senior yang sudah bertahun-tahun berlatih di Dojo ini.Dan ternyata ketiga murid itu memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka langsung mengambil posisi yang menyulitkan Aziz. Dua orang di kiri dan kanan mengambil posisi ke arah belakang di luar jangkauan
Suasana di salah satu Ball Room lantai 34 gedung Empire State, New York cukup mencekam. Saat ini adalah penentuan pemenang tender dari proyek bernilai milyaran dollar yang mencakup seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Dari seleksi ketat yang sudah diadakan, kini hanya tersisa tiga perusahaan yang dianggap mampu menjalankan proyek itu.Karena besarnya nilai proyek yang ada, para pimpinan tertinggi perusahaan bersama tim terbaiknya datang langsung untuk berjuang memperebutkan proyek itu. Tentu saja sebelumnya mereka sudah menggunakan berbagai cara agar posisi perusahaan mereka lebih unggul dari yang lain, baik dengan cara resmi maupun lewat jalur belakang. Tapi karena ketiga perusahaan itu sama kuat, sampai saat ini belum terlihat siapa calon pemenangnya.Hal inilah yang membuat suasana menjadi tegang. Aura persaingan sangat kental terasa. Ketiga kelompok perusahaan itu saling memperhatikan satu sama lain untuk mengukur keunggulan dari rivalnya. Dan ketegan
Apartemen di seberang kantor Richard termasuk gedung apartemen yang tinggi. Dan karena lokasinya sangat strategis, kebanyakan pemiliknya tidak tinggal di sana. Mereka membeli apartemen untuk kemudian menyewakannya pada orang lain. Meski demikian, suasana di apartemen itu tidak pernah sepi karena kamar-kamar di sana hampir semuanya terisi. Dan Ahmad serta keponakannya kini menempati salah satu kamar di lantai paling atas.Saat ini, di depan pintu apartemen tersebut, seorang petugas pengiriman sedang menekan bel. Dia membawa kardus besar berbentuk kotak. Setelah dua kali menekan bel, akhirnya terdengar suara pintu dibuka. Pria itu lalu melihat seorang pria muda berusia sekitar 20 tahun. Tanpa menunggu pria muda itu bertanya, petugas pengirim paket langsung berkata."Ada kiriman paket untuk Tuan Sadewa.""Ya, saya sendiri. Saya memang sedang menantinya."Petugas itu lalu menyerahkan kotak kardus yang dia bawa. Setelah itu dia meminta Sadewa menandatangani dokumen serah terima barang, kem
Pusat perbelanjaan di kawasan elite kota Jakarta siang itu tidak terlalu ramai. Bukan hanya karena hari itu adalah hari kerja, tapi pusat perbelanjaan itu memang hanya bisa dijangkau oleh kalangan atas karena harga barang-barang yang diperjualbelikan di sana sangat mahal. Kebanyakan adalah barang bermerek yang diimpor dari luar negeri.Siang itu, seorang wanita muda berusia awal dua puluhan sedang berjalan di koridor pusat perbelanjaan tersebut. Dia telah mendapatkan barang yang dia perlukan yang dijinjing di tangan kanan, sedang di pundak kirinya tergantung tas kecil berisi dompet dan barang berharga lainnya. Wanita itu kemudian berbelok ke koridor yang agak sepi untuk naik lift. Di situlah dia berpapasan dengan seorang pria yang mengenakan sweter dan masker di wajahnya.Tiba-tiba saja pria yang wajahnya tertutup masker itu merampas tas miliknya. Sontak wanita itu mencoba mempertahankan tasnya, sehingga sejenak terjadi tarik menarik karena ternyata tali tas itu cukup kuat sehingga ti
Cuaca di Bandar Udara Soekarno Hatta sedang gerimis. Di siang hari yang teduh itu, beberapa pesawat sedang antre untuk mendarat karena padatnya jadwal penerbangan. Termasuk pesawat yang berasal dari Berlin, Jerman. Setelah mendapat izin dari otoritas Bandara, baru kemudian pesawat itu bersiap untuk mendarat. Tak lama setelah pesawat itu menginjak landasan, para penumpang pun turun.Di antara para penumpang pesawat itu ada rombongan penumpang dari bermacam kewarganegaraan. Dari lima orang anggota rombongan, hanya dua orang yang merupakan Warga Negara Indonesia. Sisanya adalah Warga Negara Jepang, Amerika dan Jerman. Hampir satu harian mereka menempuh perjalanan menuju Jakarta. Karena mereka memang naik pesawat komersial biasa, bahkan membeli tiket kelas ekonomi.Sebenarnya Nicholas telah menawarkan diri untuk menggunakan pesawat pribadi lagi. Tapi Ahmad menolaknya. Kantor pusat Richard berada di Jakarta, dan tidak ada yang tahu seberapa besar pengaruhnya saat ini. Mengg
Meja bundar beralaskan kaca di rumah besar pinggir Kota Berlin bersinar terang. Kaca pada meja itu memantulkan cahaya yang dipancarkan keempat batu yang diletakkan di atasnya. Cahaya yang keluar juga sesuai dengan warna batu. Putih, merah, hijau serta biru. Membuat komposisi warna yang indah, meski tak sebanyak warna pelangi. Dan meski batu itu berukuran kecil, hanya seukuran pil, tapi cahayanya cukup menyilaukan mata.Baru kali ini batu-batu itu memancarkan cahaya seterang itu, pasti karena diletakkan berdekatan. Lima pasang mata memandangnya dengan terpesona. Akhirnya, setelah beberapa lama, mereka terbebas dari pesona batu-batu itu dan kembali membicarakan misi mereka."Baik, simpan batu kalian kembali. Aku akan mulai bercerita." kata Ahmad pada keempat ponakannya.Para anak muda itu langsung menurut. Mereka mencondongkan badan untuk mengambil batu milik mereka. Kecuali Sadewa, secara mengagumkan batu miliknya bergerak sendiri lalu menyatu dengan telapak tang
Berlin adalah ibukota Jerman yang penduduknya paling padat di antara kota-kota lainnya. Karena itu, rumah di pinggiran kota juga sudah penuh sesak. Bisa dikatakan sulit menemukan lahan kosong di kota ini. Termasuk rumah besar milik Sadewa, sudah banyak rumah-rumah lain di sekitarnya. Tapi karena Sadewa membangunnya seperti bangunan kastil dengan pagar yang tinggi, jarang sekali ada pengunjung yang datang ke rumah itu.Tapi kini di rumah itu ada empat orang yang datang berkunjung. Tentu saja mereka bisa masuk atas izin pemiliknya. Setelah memperkenalkan diri sebentar, Sadewa mengajak mereka ke ruang pertemuan yang sejak rumah ini dibangun, baru kali ini digunakan. Sadewa memang jarang menerima tamu langsung. Biasanya dia berkomunikasi secara online.Di ruang pertemuan itu ada meja bulat yang alasnya berbentuk kaca. Ternyata kaca itu bukan hanya berfungsi sebagai alas, tapi juga memiliki kemampuan sebagai layar sentuh. Saat seseorang duduk, kaca di hadapannya la
Bandara Internasional John F. Kennedy di New York termasuk bandara yang paling sibuk di dunia. Jadi wajar jika bandara ini selalu ramai dipadati oleh penumpang baik di sesi liburan maupun di hari biasa. Antrean sering ditemukan mulai dari pintu masuk bandara, gate keberangkatan bahkan sampai tempat makan. Tapi ini tidak berlaku bagi keempat orang yang sedang menuju ke Jerman.Nicholas memimpin di depan rombongan itu. Setiap rombongan itu menemui antrean, pintu khusus selalu dibukakan untuk mereka. Para petugas juga selalu menyapa mereka dengan hormat. Dan tentu saja mereka tidak perlu repot membawa barang-barang karena semua sudah ditangani bahkan sejak limosin mereka sampai di area bandara."Jet baru siap setengah jam lagi." kata Nicholas pada rombongan. "Kalian mau makan di pesawat atau di ruang tunggu?""Terserah kau saja." Ahmad menjawab mewakili yang lain karena dia yang paling tua."Baiklah, sebaiknya kita makan di ruang tunggu saja. Perjal
Suasana di salah satu Ball Room lantai 34 gedung Empire State, New York cukup mencekam. Saat ini adalah penentuan pemenang tender dari proyek bernilai milyaran dollar yang mencakup seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Dari seleksi ketat yang sudah diadakan, kini hanya tersisa tiga perusahaan yang dianggap mampu menjalankan proyek itu.Karena besarnya nilai proyek yang ada, para pimpinan tertinggi perusahaan bersama tim terbaiknya datang langsung untuk berjuang memperebutkan proyek itu. Tentu saja sebelumnya mereka sudah menggunakan berbagai cara agar posisi perusahaan mereka lebih unggul dari yang lain, baik dengan cara resmi maupun lewat jalur belakang. Tapi karena ketiga perusahaan itu sama kuat, sampai saat ini belum terlihat siapa calon pemenangnya.Hal inilah yang membuat suasana menjadi tegang. Aura persaingan sangat kental terasa. Ketiga kelompok perusahaan itu saling memperhatikan satu sama lain untuk mengukur keunggulan dari rivalnya. Dan ketegan
Dojo yang terletak di pinggiran Kota Tokyo dipenuhi oleh murid-murid yang sedang berlatih. Kebanyakan dari mereka berlatih berpasangan atau berkelompok. Namun di tengah keramaian itu, ada satu area di mana banyak murid yang hanya sekedar menonton. Mereka sedang menyaksikan latihan pertandingan. Yang membuat latihan tanding itu menarik adalah karena pertandingan itu tidak dilakukan berpasangan, tapi satu lawan tiga.Aziz harus berkonsentrasi penuh untuk mengantisipasi serangan dari segalaarah. Tiga orang yang mengepungnya bisa menyerang kapan saja. Bahkan mereka bisa menyerang bersamaan, karena memang tidak ada aturan yang melarangnya. Apalagi tiga orang itu bukanlah murid kemarin sore. Mereka adalah murid senior yang sudah bertahun-tahun berlatih di Dojo ini.Dan ternyata ketiga murid itu memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka langsung mengambil posisi yang menyulitkan Aziz. Dua orang di kiri dan kanan mengambil posisi ke arah belakang di luar jangkauan
Aula masjid di pesantren binaan Kyai Harun penuh sesak. Para jamaah antusias mengikuti kajian yang diadakan pesantren itu. Dan karena kajian tersebut terbuka untuk umum, banyak warga sekitar yang datang untuk menghadirinya.Sebenarnya kajian itu rutin dilakukan setiap pekan. Namun kali ini jumlah jamaah yang datang tidak seperti biasanya. Yang membuatnya istimewa adalah karena kajian ini diisi oleh ustadz yang baru pulang dari studinya di Mesir. Dan memang ustadz itu sudah lama menjadi kesayangan warga sekitar. Siapa lagi kalau bukan Malik, cucu dari Kyai Harun.Memang sejak kecil Malik telah menjadi santri favorit di pesantren itu karena budi pekertinya yang indah. Dia ringan tangan untuk membantu orang yang membutuhkan. Sikapnya santun, murah senyum dan kata-katanya selalu terjaga. Selain itu dia juga memiliki wajah yang tampan, blasteran karena memang ayahnya keturunan bangsa Arya dan ibunya berdarah Melayu. Tidak heran banyak gadis yang ingin dipersuntingnya. Sayan