Bandara Internasional John F. Kennedy di New York termasuk bandara yang paling sibuk di dunia. Jadi wajar jika bandara ini selalu ramai dipadati oleh penumpang baik di sesi liburan maupun di hari biasa. Antrean sering ditemukan mulai dari pintu masuk bandara, gate keberangkatan bahkan sampai tempat makan. Tapi ini tidak berlaku bagi keempat orang yang sedang menuju ke Jerman.
Nicholas memimpin di depan rombongan itu. Setiap rombongan itu menemui antrean, pintu khusus selalu dibukakan untuk mereka. Para petugas juga selalu menyapa mereka dengan hormat. Dan tentu saja mereka tidak perlu repot membawa barang-barang karena semua sudah ditangani bahkan sejak limosin mereka sampai di area bandara.
"Jet baru siap setengah jam lagi." kata Nicholas pada rombongan. "Kalian mau makan di pesawat atau di ruang tunggu?"
"Terserah kau saja." Ahmad menjawab mewakili yang lain karena dia yang paling tua.
"Baiklah, sebaiknya kita makan di ruang tunggu saja. Perjalanan ke Jerman cukup panjang, nanti kita bisa makan lagi di pesawat sebelum mendarat. Kita tidak tahu sambutan apa yang akan kita terima dari saudara kembarku."
Nicholas cukup terkejut waktu diberi tahu bahwa saudara kembarnya berada di Jerman. Tapi setelah dipikir-pikir, dua saudaranya yang lain juga berasal dari tempat yang jauh. Jadi wajar jika mereka berpencar ke segala penjuru dunia. Dan Nicholas tidak perlu khawatir telah ditipu karena dia memiliki kemampuan membaca pikiran seseorang bahkan mengendalikannya jika perlu. Dia yakin Ahmad berkata jujur.
Mereka lalu berjalan menuju ruang tunggu. Ruang tunggu tersebut lebih mirip ruang makan yang besar. Berbagai hidangan dari banyak negara dihidangkan. Dan karena ruang tunggu tersebut hanya boleh dimasuki oleh tamu istimewa, tidak banyak orang yang berada di sana. Malik dan Ahmad terlihat kebingungan memilih makanan yang ada. Bukan hanya karena selera makan mereka berbeda dengan apa yang dihidangkan, tapi juga karena mereka mencari makanan yang halal. Akhirnya kedua orang itu hanya mengambil roti dan buah yang disajikan.
Setelah dua puluh menit berada di ruang tunggu, rombongan itu kemudian keluar menuju gate keberangkatan untuk pesawat pribadi. Mereka naik mobil yang mengantar menuju landasan. Tak lama setelah mereka naik, pesawat pun langsung tinggal landas.
Interior pesawat jet pribadi berbeda dengan pesawat komersial pada umumnya. Pesawat yang mereka naiki didesain memiliki sofa yang saling berhadapan. Kini mereka sedang duduk-duduk di atasnya. Makanan kecil juga sudah dihidangkan di atas meja. Dan minuman selalu tersedia di dalam kulkas.
"Boleh aku menanyakan hal yang konyol?" tanya Ahmad membuka percakapan.
"Ya, silakan. Kurasa kita memang perlu mengobrol, untuk menghilangkan kebosanan. Kita akan cukup lama berada di pesawat ini." jawab Nicholas.
"Apakah kau membayar untuk segala fasilitas yang kita terima? Dari tadi aku tidak melihatmu mengeluarkan uang."
Nicholas tersenyum mendengar pertanyaan lugu itu. Senyum puas dari orang yang telah mencapai kesuksesan.
"Aku sudah menelepon petinggi bandara. Jadi mereka sudah bersiap menyambut kedatangan kita."
"Mengapa petinggi bandara internasional dari negara adikuasa mau mengistimewakan seorang anak muda berusia delapan belas tahun?" kali ini Malik yang bertanya.
"Karena aku pernah membantu mereka dalam suatu urusan bisnis, dan dari sana aku mendapat beberapa saham perusahaan pengelola bandara ini."
"Jadi, kau adalah pemilik bandara itu?" tanya Ahmad lagi.
"Tentu saja tidak. Pemerintah setempatlah pemiliknya. Aku hanya memiliki sebagian kecil dari saham itu, tapi sebagian kecil itu bisa digunakan untuk menyewa semua fasilitas yang kita dapatkan hari ini."
"Satu pertanyaan lagi. Kenapa namamu menjadi Nicholas? ayahmu memberimu nama Nakula, dan aku jelas-jelas menyampaikannya pada ayah angkatmu."
Mendengar pertanyaan itu Nicholas tertawa lama sekali. Dia baru berhenti saat terbatuk. Setelah meneguk minuman beberapa kali akhirnya dia berkata.
"Tentu saja kau tidak mengenal ayah angkatku. Kalian hanya bertemu satu kali, itu pun tidak lama. Kau tahu? yang dia pedulikan hanya uang. Dia tidak akan peduli siapa nama anak yang dititipkan padanya. Mungkin saja nama Nakula susah dieja, atau jangan-jangan dia lupa setelah kau memberitahunya. Entah lah, kau harus bertanya langsung padanya."
Setelah itu tidak ada yang berbicara, mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing. Aziz yang sejak awal hanya diam, sudah mengenakan headset yang diberikan pramugari untuk mendengarkan lagu-lagu. Pramugari pesawat jet pribadi memang cekatan. Mereka sudah terlatih untuk melayani penumpang dan mengetahui apa yang mereka inginkan. Ahmad diberikan majalah dan buku-buka, dan Malik dipinjamkan gadget untuk mengakses internet. Sedangkan Nicholas sudah masuk ke kamar pribadi untuk tidur.
Beberapa jam kemudian, pilot pesawat menginfokan bahwa mereka akan segera mendarat. Rombongan itu diminta untuk bersiap. Setelah pesawat mendarat, mereka lalu menuju area bagasi. Tak lama kemudian barang-barang mereka sudah siap dibawa oleh portir. Rombongan pun keluar menuju pintu kedatangan. Karena ini bukan lagi wilayah Nicholas, kali ini Ahmad yang memimpin di depan.
Alangkah terkejutnya Ahmad saat melihat ada orang yang memegang kertas bertuliskan namanya di dekat pintu kedatangan. Ahmad memang nama yang umum. Tapi tulisan 'Mr. Ahmad from Indonesia' di Bandar Udara Berlin Tegel pada saat kedatangan mereka patut dicurigai. Karena itu Ahmad langsung mendatangi pemegang kertas itu. Untungnya lelaki itu bisa berbahasa Inggris. Ahmad tidak bisa membayangkan jika harus berbicara dalam Bahasa Jerman sedangkan Bahasa Inggrisnya saja masih terbata-bata.
"Saya Ahmad dari Indonesia." katanya singkat.
"Anda berangkat dari New York?" tanya lelaki itu.
"Ya, kami datang berempat. Siapa yang mengutus Anda?" tanya Ahmad penasaran.
"Ikuti saya. Anda akan saya antar untuk bertemu dengannya."
Tanpa curiga Ahmad langsung mengikuti lelaki itu. Sebenarnya Ahmad agak cemas karena dia tidak mengenal lelaki itu. Tapi ada Aziz dan Nicholas bersama mereka. Ahmad yakin kedua anak muda itu bisa menyelesaikan persoalan yang mungkin muncul baik dengan cara kekerasan atau negosiasi.
Lelaki itu ternyata telah menyiapkan segalanya. Dia datang dengan membawa mobil minivan sehingga keempat orang itu bisa diangkut dalam satu mobil bersama barang-barang mereka. Setelah barang-barang dimasukkan ke dalam mobil, mereka kemudian naik. Tak lama kemudian mobil melaju meninggalkan area bandara.
"Siapa orang yang mengutusmu?" tanya Nicholas pada lelaki itu sambil mengerahkan kemampuannya mengendalikan pikiran.
"Maaf Pak, saya sendiri tak tahu. Semua dilakukan secara online, mulai dari pemesanan sampai pembayaran. Saya hanya tahu nama dan foto kalian, lokasi penjemputan dan ke mana kalian harus diantar." jawab lelaki itu. Dan karena Nicholas yang bertanya, tidak ada yang meragukan kebenaran jawabannya.
"Kau memiliki foto kami?" tanya Malik agak terperangah.
Lelaki itu kemudian memberi mereka kertas bertuliskan nama Ahmad yang tadi dia gunakan. Ternyata dibalik tulisan itu tercetak foto mereka. Meski foto-foto itu diambil dari jarak jauh tanpa sepengetahuan mereka, gambarnya cukup jelas sehingga orang yang memiliki foto itu bisa mengenali mereka dengan mudah.
Tidak ada yang berkomentar apa-apa. Mereka semua sudah mengerti bahwa orang yang akan mereka temui bukanlah orang sembarangan. Dia bisa tahu jadwal kedatangan mereka dan anehnya bisa memiliki foto-foto mereka.
Ternyata tujuan mereka cukup jauh dari bandara. Setelah berkendara hampir dua jam, mereka sampai di sebuah rumah besar di pinggir Kota Berlin. Rumah itu tertutup rapat dan memiliki tembok yang tinggi, pertanda pemiliknya tidak senang dikunjungi. Alangkah terkejutnya mereka setelah melewati pintu gerbang. Tidak ada satu manusia pun terlihat. Tidak ada penjaga, pelayan atau bahkan tukang kebun. Mereka seolah tiba di rumah kosong tak berpenghuni.
Saat rombongan itu masuk, di halaman rumah sudah ada mobil berbentuk mini yang biasa digunakan di bandara untuk mengangkut bagasi penumpang. Lagi-lagi tidak ada orang yang mengendarai. Tapi situasi itu cukup mudah dimengerti. Mereka langsung memindahkan barang-barang dari mobil yang mereka tumpangi ke mobil mini itu. Anehnya, setelah semua barang selesai dipindahkan, mobil itu langsung bergerak masuk ke dalam rumah.
Kini, setelah lelaki yang mengantar mereka pergi, keempat orang itu berdiri di halaman rumah tanpa tahu harus berbuat apa. Tapi tak lama kemudian pintu rumah terbuka. Tanpa ragu mereka lalu masuk ke dalam. Mereka sudah bisa menduga bahwa rumah itu bertingkat dua. Yang tidak mereka duga adalah pemilik rumah itu. Lelaki itu masih muda, berusia sekitar 18 tahun. Dia sedang berdiri di pertengahan tangga yang menuju ke atas.
Saat melihat lelaki itu, Nicholas langsung tersenyum lebar. Setengah bergumam dia lalu berkata.
"Akhirnya aku bisa melihat wajahku sendiri tanpa menggunakan cermin."
"Halo saudara-saudaraku. Perkenalkan, namaku Ludwic Sadewa. Selamat datang di benteng kecilku." kata lelaki itu.
"Yah, setidaknya ayah angkatmu tidak mengganti nama. Hanya menambahkan satu kata di depan." Ahmad berkomentar pelan.
"Halo Paman Ahmad. Paman pernah ke kota ini sebelumnya kan? Tentu saja bukan ke rumah ini. Paman ke sini untuk mengantarku ke rumah ayah angkat, 17 tahun lalu."
"Ayah angkatmu menceritakan itu padamu?"
"Tidak. Ayah angkatku terlalu pendiam untuk bercerita apa-apa. Dan aku terlalu sungkan untuk bertanya. Jadi aku berusaha mencari tahu sendiri."
"Bagaimana kau bisa menyimpan foto kami?" tanya Malik penasaran, karena hal itu yang selama ini mengganggunya.
Senyum Sadewa sama persis seperti senyum Nicholas saat menceritakan bagaimana dia mendapatkan fasilitas dari petinggi bandara.
"Jangankan foto kalian. Aku memiliki data tentang kalian sampai pada hal yang sudah kalian lupakan atau belum kalian ketahui."
Berlin adalah ibukota Jerman yang penduduknya paling padat di antara kota-kota lainnya. Karena itu, rumah di pinggiran kota juga sudah penuh sesak. Bisa dikatakan sulit menemukan lahan kosong di kota ini. Termasuk rumah besar milik Sadewa, sudah banyak rumah-rumah lain di sekitarnya. Tapi karena Sadewa membangunnya seperti bangunan kastil dengan pagar yang tinggi, jarang sekali ada pengunjung yang datang ke rumah itu.Tapi kini di rumah itu ada empat orang yang datang berkunjung. Tentu saja mereka bisa masuk atas izin pemiliknya. Setelah memperkenalkan diri sebentar, Sadewa mengajak mereka ke ruang pertemuan yang sejak rumah ini dibangun, baru kali ini digunakan. Sadewa memang jarang menerima tamu langsung. Biasanya dia berkomunikasi secara online.Di ruang pertemuan itu ada meja bulat yang alasnya berbentuk kaca. Ternyata kaca itu bukan hanya berfungsi sebagai alas, tapi juga memiliki kemampuan sebagai layar sentuh. Saat seseorang duduk, kaca di hadapannya la
Meja bundar beralaskan kaca di rumah besar pinggir Kota Berlin bersinar terang. Kaca pada meja itu memantulkan cahaya yang dipancarkan keempat batu yang diletakkan di atasnya. Cahaya yang keluar juga sesuai dengan warna batu. Putih, merah, hijau serta biru. Membuat komposisi warna yang indah, meski tak sebanyak warna pelangi. Dan meski batu itu berukuran kecil, hanya seukuran pil, tapi cahayanya cukup menyilaukan mata.Baru kali ini batu-batu itu memancarkan cahaya seterang itu, pasti karena diletakkan berdekatan. Lima pasang mata memandangnya dengan terpesona. Akhirnya, setelah beberapa lama, mereka terbebas dari pesona batu-batu itu dan kembali membicarakan misi mereka."Baik, simpan batu kalian kembali. Aku akan mulai bercerita." kata Ahmad pada keempat ponakannya.Para anak muda itu langsung menurut. Mereka mencondongkan badan untuk mengambil batu milik mereka. Kecuali Sadewa, secara mengagumkan batu miliknya bergerak sendiri lalu menyatu dengan telapak tang
Cuaca di Bandar Udara Soekarno Hatta sedang gerimis. Di siang hari yang teduh itu, beberapa pesawat sedang antre untuk mendarat karena padatnya jadwal penerbangan. Termasuk pesawat yang berasal dari Berlin, Jerman. Setelah mendapat izin dari otoritas Bandara, baru kemudian pesawat itu bersiap untuk mendarat. Tak lama setelah pesawat itu menginjak landasan, para penumpang pun turun.Di antara para penumpang pesawat itu ada rombongan penumpang dari bermacam kewarganegaraan. Dari lima orang anggota rombongan, hanya dua orang yang merupakan Warga Negara Indonesia. Sisanya adalah Warga Negara Jepang, Amerika dan Jerman. Hampir satu harian mereka menempuh perjalanan menuju Jakarta. Karena mereka memang naik pesawat komersial biasa, bahkan membeli tiket kelas ekonomi.Sebenarnya Nicholas telah menawarkan diri untuk menggunakan pesawat pribadi lagi. Tapi Ahmad menolaknya. Kantor pusat Richard berada di Jakarta, dan tidak ada yang tahu seberapa besar pengaruhnya saat ini. Mengg
Pusat perbelanjaan di kawasan elite kota Jakarta siang itu tidak terlalu ramai. Bukan hanya karena hari itu adalah hari kerja, tapi pusat perbelanjaan itu memang hanya bisa dijangkau oleh kalangan atas karena harga barang-barang yang diperjualbelikan di sana sangat mahal. Kebanyakan adalah barang bermerek yang diimpor dari luar negeri.Siang itu, seorang wanita muda berusia awal dua puluhan sedang berjalan di koridor pusat perbelanjaan tersebut. Dia telah mendapatkan barang yang dia perlukan yang dijinjing di tangan kanan, sedang di pundak kirinya tergantung tas kecil berisi dompet dan barang berharga lainnya. Wanita itu kemudian berbelok ke koridor yang agak sepi untuk naik lift. Di situlah dia berpapasan dengan seorang pria yang mengenakan sweter dan masker di wajahnya.Tiba-tiba saja pria yang wajahnya tertutup masker itu merampas tas miliknya. Sontak wanita itu mencoba mempertahankan tasnya, sehingga sejenak terjadi tarik menarik karena ternyata tali tas itu cukup kuat sehingga ti
Apartemen di seberang kantor Richard termasuk gedung apartemen yang tinggi. Dan karena lokasinya sangat strategis, kebanyakan pemiliknya tidak tinggal di sana. Mereka membeli apartemen untuk kemudian menyewakannya pada orang lain. Meski demikian, suasana di apartemen itu tidak pernah sepi karena kamar-kamar di sana hampir semuanya terisi. Dan Ahmad serta keponakannya kini menempati salah satu kamar di lantai paling atas.Saat ini, di depan pintu apartemen tersebut, seorang petugas pengiriman sedang menekan bel. Dia membawa kardus besar berbentuk kotak. Setelah dua kali menekan bel, akhirnya terdengar suara pintu dibuka. Pria itu lalu melihat seorang pria muda berusia sekitar 20 tahun. Tanpa menunggu pria muda itu bertanya, petugas pengirim paket langsung berkata."Ada kiriman paket untuk Tuan Sadewa.""Ya, saya sendiri. Saya memang sedang menantinya."Petugas itu lalu menyerahkan kotak kardus yang dia bawa. Setelah itu dia meminta Sadewa menandatangani dokumen serah terima barang, kem
Malam sudah sangat larut. Kebanyakan manusia saat ini pasti sedang terbuai dalam mimpi. Tapi berbeda dengan yang lainnya, dua orang lelaki masih terjaga. Bahkan saat ini mereka tidak berada di rumah. Kedua lelaki itu masih berada di tempat kerja. Laboratorium penelitian tepatnya. Dan kini mereka sedang asyik memperhatikan sesuatu."Sedikit lagi Prof, kali ini pasti berhasil. Kita hanya perlu mengatur intensitas lumen yang tepat." Kata salah seorang dari mereka."Baiklah, Richard. Aku akan mengurangi power-nya sedikit agar intensitas energinya tidak menghancurkan. Tapi mungkin waktu yang dibutuhkan menjadi lebih lama." Kata Profesor Morati mengikuti permintaan rekannya."Tidak apa-apa Prof, yang penting proses konversi nya berjalan sempurna."Profesor Morati kemudian mengkalibrasi lagi alat ciptaannya. Setelah alat itu siap, Richard kemudian mengambil sekeping logam besi. Logam itu kemudian diletakkan di depan komponen alat yang berbentuk seperti
Tempat penitipan anak di pusat kota biasanya terletak di sebuah gedung kantor atau apartemen. Tapi tempat seperti itu hanya menerima penitipan selama jam kerja orang tua saja, tidak sampai berhari-hari. Padahal Profesor Morati ingin menitip anaknya entah sampai berapa lama. Jadi akhirnya dia menitipkan anak-anak itu tidak di tempat penitipan resmi, tapi di beberapa yayasan yang biasa menjadi pengasuh anak-anak.Anak sulung Profesor Morati dititipkan di rumah penghafal Quran. Anak itu sudah berusia lima tahun, jadi Ahmad tidak memiliki kesulitan saat menjemputnya. Anak itu langsung mengenali sang paman. Dan setelah dia menyerahkan surat kuasa kepada pimpinan di Rumah Quran itu, dia langsung diizinkan untuk membawa anak itu pergi.Masalah sedikit muncul saat Ahmad menjemput anak kedua. Anak itu baru berumur tiga tahun, dan dia dititipkan di rumah penampungan yatim piatu atau anak yang ditelantarkan orang tuanya. Yayasan itu memiliki aturan yang ketat dalam hal pengurusan
Aula masjid di pesantren binaan Kyai Harun penuh sesak. Para jamaah antusias mengikuti kajian yang diadakan pesantren itu. Dan karena kajian tersebut terbuka untuk umum, banyak warga sekitar yang datang untuk menghadirinya.Sebenarnya kajian itu rutin dilakukan setiap pekan. Namun kali ini jumlah jamaah yang datang tidak seperti biasanya. Yang membuatnya istimewa adalah karena kajian ini diisi oleh ustadz yang baru pulang dari studinya di Mesir. Dan memang ustadz itu sudah lama menjadi kesayangan warga sekitar. Siapa lagi kalau bukan Malik, cucu dari Kyai Harun.Memang sejak kecil Malik telah menjadi santri favorit di pesantren itu karena budi pekertinya yang indah. Dia ringan tangan untuk membantu orang yang membutuhkan. Sikapnya santun, murah senyum dan kata-katanya selalu terjaga. Selain itu dia juga memiliki wajah yang tampan, blasteran karena memang ayahnya keturunan bangsa Arya dan ibunya berdarah Melayu. Tidak heran banyak gadis yang ingin dipersuntingnya. Sayan
Apartemen di seberang kantor Richard termasuk gedung apartemen yang tinggi. Dan karena lokasinya sangat strategis, kebanyakan pemiliknya tidak tinggal di sana. Mereka membeli apartemen untuk kemudian menyewakannya pada orang lain. Meski demikian, suasana di apartemen itu tidak pernah sepi karena kamar-kamar di sana hampir semuanya terisi. Dan Ahmad serta keponakannya kini menempati salah satu kamar di lantai paling atas.Saat ini, di depan pintu apartemen tersebut, seorang petugas pengiriman sedang menekan bel. Dia membawa kardus besar berbentuk kotak. Setelah dua kali menekan bel, akhirnya terdengar suara pintu dibuka. Pria itu lalu melihat seorang pria muda berusia sekitar 20 tahun. Tanpa menunggu pria muda itu bertanya, petugas pengirim paket langsung berkata."Ada kiriman paket untuk Tuan Sadewa.""Ya, saya sendiri. Saya memang sedang menantinya."Petugas itu lalu menyerahkan kotak kardus yang dia bawa. Setelah itu dia meminta Sadewa menandatangani dokumen serah terima barang, kem
Pusat perbelanjaan di kawasan elite kota Jakarta siang itu tidak terlalu ramai. Bukan hanya karena hari itu adalah hari kerja, tapi pusat perbelanjaan itu memang hanya bisa dijangkau oleh kalangan atas karena harga barang-barang yang diperjualbelikan di sana sangat mahal. Kebanyakan adalah barang bermerek yang diimpor dari luar negeri.Siang itu, seorang wanita muda berusia awal dua puluhan sedang berjalan di koridor pusat perbelanjaan tersebut. Dia telah mendapatkan barang yang dia perlukan yang dijinjing di tangan kanan, sedang di pundak kirinya tergantung tas kecil berisi dompet dan barang berharga lainnya. Wanita itu kemudian berbelok ke koridor yang agak sepi untuk naik lift. Di situlah dia berpapasan dengan seorang pria yang mengenakan sweter dan masker di wajahnya.Tiba-tiba saja pria yang wajahnya tertutup masker itu merampas tas miliknya. Sontak wanita itu mencoba mempertahankan tasnya, sehingga sejenak terjadi tarik menarik karena ternyata tali tas itu cukup kuat sehingga ti
Cuaca di Bandar Udara Soekarno Hatta sedang gerimis. Di siang hari yang teduh itu, beberapa pesawat sedang antre untuk mendarat karena padatnya jadwal penerbangan. Termasuk pesawat yang berasal dari Berlin, Jerman. Setelah mendapat izin dari otoritas Bandara, baru kemudian pesawat itu bersiap untuk mendarat. Tak lama setelah pesawat itu menginjak landasan, para penumpang pun turun.Di antara para penumpang pesawat itu ada rombongan penumpang dari bermacam kewarganegaraan. Dari lima orang anggota rombongan, hanya dua orang yang merupakan Warga Negara Indonesia. Sisanya adalah Warga Negara Jepang, Amerika dan Jerman. Hampir satu harian mereka menempuh perjalanan menuju Jakarta. Karena mereka memang naik pesawat komersial biasa, bahkan membeli tiket kelas ekonomi.Sebenarnya Nicholas telah menawarkan diri untuk menggunakan pesawat pribadi lagi. Tapi Ahmad menolaknya. Kantor pusat Richard berada di Jakarta, dan tidak ada yang tahu seberapa besar pengaruhnya saat ini. Mengg
Meja bundar beralaskan kaca di rumah besar pinggir Kota Berlin bersinar terang. Kaca pada meja itu memantulkan cahaya yang dipancarkan keempat batu yang diletakkan di atasnya. Cahaya yang keluar juga sesuai dengan warna batu. Putih, merah, hijau serta biru. Membuat komposisi warna yang indah, meski tak sebanyak warna pelangi. Dan meski batu itu berukuran kecil, hanya seukuran pil, tapi cahayanya cukup menyilaukan mata.Baru kali ini batu-batu itu memancarkan cahaya seterang itu, pasti karena diletakkan berdekatan. Lima pasang mata memandangnya dengan terpesona. Akhirnya, setelah beberapa lama, mereka terbebas dari pesona batu-batu itu dan kembali membicarakan misi mereka."Baik, simpan batu kalian kembali. Aku akan mulai bercerita." kata Ahmad pada keempat ponakannya.Para anak muda itu langsung menurut. Mereka mencondongkan badan untuk mengambil batu milik mereka. Kecuali Sadewa, secara mengagumkan batu miliknya bergerak sendiri lalu menyatu dengan telapak tang
Berlin adalah ibukota Jerman yang penduduknya paling padat di antara kota-kota lainnya. Karena itu, rumah di pinggiran kota juga sudah penuh sesak. Bisa dikatakan sulit menemukan lahan kosong di kota ini. Termasuk rumah besar milik Sadewa, sudah banyak rumah-rumah lain di sekitarnya. Tapi karena Sadewa membangunnya seperti bangunan kastil dengan pagar yang tinggi, jarang sekali ada pengunjung yang datang ke rumah itu.Tapi kini di rumah itu ada empat orang yang datang berkunjung. Tentu saja mereka bisa masuk atas izin pemiliknya. Setelah memperkenalkan diri sebentar, Sadewa mengajak mereka ke ruang pertemuan yang sejak rumah ini dibangun, baru kali ini digunakan. Sadewa memang jarang menerima tamu langsung. Biasanya dia berkomunikasi secara online.Di ruang pertemuan itu ada meja bulat yang alasnya berbentuk kaca. Ternyata kaca itu bukan hanya berfungsi sebagai alas, tapi juga memiliki kemampuan sebagai layar sentuh. Saat seseorang duduk, kaca di hadapannya la
Bandara Internasional John F. Kennedy di New York termasuk bandara yang paling sibuk di dunia. Jadi wajar jika bandara ini selalu ramai dipadati oleh penumpang baik di sesi liburan maupun di hari biasa. Antrean sering ditemukan mulai dari pintu masuk bandara, gate keberangkatan bahkan sampai tempat makan. Tapi ini tidak berlaku bagi keempat orang yang sedang menuju ke Jerman.Nicholas memimpin di depan rombongan itu. Setiap rombongan itu menemui antrean, pintu khusus selalu dibukakan untuk mereka. Para petugas juga selalu menyapa mereka dengan hormat. Dan tentu saja mereka tidak perlu repot membawa barang-barang karena semua sudah ditangani bahkan sejak limosin mereka sampai di area bandara."Jet baru siap setengah jam lagi." kata Nicholas pada rombongan. "Kalian mau makan di pesawat atau di ruang tunggu?""Terserah kau saja." Ahmad menjawab mewakili yang lain karena dia yang paling tua."Baiklah, sebaiknya kita makan di ruang tunggu saja. Perjal
Suasana di salah satu Ball Room lantai 34 gedung Empire State, New York cukup mencekam. Saat ini adalah penentuan pemenang tender dari proyek bernilai milyaran dollar yang mencakup seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Dari seleksi ketat yang sudah diadakan, kini hanya tersisa tiga perusahaan yang dianggap mampu menjalankan proyek itu.Karena besarnya nilai proyek yang ada, para pimpinan tertinggi perusahaan bersama tim terbaiknya datang langsung untuk berjuang memperebutkan proyek itu. Tentu saja sebelumnya mereka sudah menggunakan berbagai cara agar posisi perusahaan mereka lebih unggul dari yang lain, baik dengan cara resmi maupun lewat jalur belakang. Tapi karena ketiga perusahaan itu sama kuat, sampai saat ini belum terlihat siapa calon pemenangnya.Hal inilah yang membuat suasana menjadi tegang. Aura persaingan sangat kental terasa. Ketiga kelompok perusahaan itu saling memperhatikan satu sama lain untuk mengukur keunggulan dari rivalnya. Dan ketegan
Dojo yang terletak di pinggiran Kota Tokyo dipenuhi oleh murid-murid yang sedang berlatih. Kebanyakan dari mereka berlatih berpasangan atau berkelompok. Namun di tengah keramaian itu, ada satu area di mana banyak murid yang hanya sekedar menonton. Mereka sedang menyaksikan latihan pertandingan. Yang membuat latihan tanding itu menarik adalah karena pertandingan itu tidak dilakukan berpasangan, tapi satu lawan tiga.Aziz harus berkonsentrasi penuh untuk mengantisipasi serangan dari segalaarah. Tiga orang yang mengepungnya bisa menyerang kapan saja. Bahkan mereka bisa menyerang bersamaan, karena memang tidak ada aturan yang melarangnya. Apalagi tiga orang itu bukanlah murid kemarin sore. Mereka adalah murid senior yang sudah bertahun-tahun berlatih di Dojo ini.Dan ternyata ketiga murid itu memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka langsung mengambil posisi yang menyulitkan Aziz. Dua orang di kiri dan kanan mengambil posisi ke arah belakang di luar jangkauan
Aula masjid di pesantren binaan Kyai Harun penuh sesak. Para jamaah antusias mengikuti kajian yang diadakan pesantren itu. Dan karena kajian tersebut terbuka untuk umum, banyak warga sekitar yang datang untuk menghadirinya.Sebenarnya kajian itu rutin dilakukan setiap pekan. Namun kali ini jumlah jamaah yang datang tidak seperti biasanya. Yang membuatnya istimewa adalah karena kajian ini diisi oleh ustadz yang baru pulang dari studinya di Mesir. Dan memang ustadz itu sudah lama menjadi kesayangan warga sekitar. Siapa lagi kalau bukan Malik, cucu dari Kyai Harun.Memang sejak kecil Malik telah menjadi santri favorit di pesantren itu karena budi pekertinya yang indah. Dia ringan tangan untuk membantu orang yang membutuhkan. Sikapnya santun, murah senyum dan kata-katanya selalu terjaga. Selain itu dia juga memiliki wajah yang tampan, blasteran karena memang ayahnya keturunan bangsa Arya dan ibunya berdarah Melayu. Tidak heran banyak gadis yang ingin dipersuntingnya. Sayan